PENGERTIAN HUKUM KHULUK DAN THALAK

Pengertian Hukum Khuluk dan Thalak
ADMIN
A.    Pengertian Khulu’
Istilah khulu’ berasal dari bahasa arab berarti ”melepaskan pakaian”, dalam hal ini erat kaitannya dengan masalh munakahat, yaitu berarti : suami melepaskan sekuasaan dan memberikan kekuasaan tersebut kepada istri, yaitu dalam bentuk thalak, khulu’ mengandung arti bahwa istri melepaskan pernikahan dengan membayar ganti rugi kepada suami yang berupa pengembalian mahar (maskawin) kepada suami, khulu’ berarti pula sebagai perceraian atas insiatif dan permintaan istri yang disebabkan beberapa hal yang mendasar dan permintaan/insiatif istri tersebut disetujui oleh suami dan istri mengembalikan mahar.
Menurut H. Mohammad Anwar dijelaskan bahwa : arti khulu’ menurut lugot, ialah mencabut. Arti khulu’  menurut istilah fikih, ialah perceraian yang disertai pemberian harta dari pihak istri untuk suaminya. Khulu’ itu perceraian atas keinginan pihak istri, sedangkan suaminya tidak menghendakinya.Agar suami menceraikannya, si istri suka memberikan sesuatu barang kepada suaminya, kebalikan dari mut’ah yang diberikan oleh pihak suami kepada istrinya yang dithalak. Sighat khulu’ itu hamper sama dengan sighat thalak, hanya di isyaratkan bagi istri menerima ikrar thalak beserta iwadhnya yang diucapkan olehi suaminya. Seperti kata suami : saya menalakmu mengkhulu’mu satu thalakan dengan iwadh sebuah… uang…. Lalu dijawab oleh istrinya: saya menerima ikrar itu berikut iwadhnya sekian…
Hussein bahreisj selanjutnya menjelaskan bahwa : seorang istri yang benci kepada suaminya boleh meminta kepada suaminya agar diceraikan (thalak) sesudah istri mengembalikan maskawin yang diberikan kepadanya atau menyerahkan sejumlah keuangan agar suami itu mau menceraikan istrinya dan cara tersebut disebut khulu’ (tebus thalak). Suami itu jika mau maka dapat menceraikan istrinya dengan thalak satu yang boleh dilaksanakn pada waktu istri itu dalam keadaan haid ataupun suci. Adapun perceraian dengan cara khulu’ itu tidak ada rujuk lagi dan jika keduanya ingin berkumpul kembali maka harus harus diadakan perkawinan atau akad nikah yang baru.
Adapun dalil naqlynya ialah surat Al-baqarah ayat 229 yaitu :
. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
[144] Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
Selanjutnya H. Muhammad Anwar menegaskan:
1. Istri yang mengkhulu’ tidak boleh diruju’ lagi, kecuali kalau mereka ingin kembali harus dengan akad nikah baru dan iddahnya termasuk iddah ba’in sugro dan selama iddahnya tidak wajib diberi nafkah untuk makan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya.
2. Perceraian yang dapat dikabulkan permohonannya, ialah karena :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut, tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat, yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terjadi terus menerus perselisihan dan penentangan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumahtangga. (PP. NO. 9/75Fasal 75)
Proses perceraian yang mirip dengan khulu’ adalah mubaro’ah sebab terjadinya perceraian didasarkan atas persetujuan bersama suami-istri. Mubaro’ah diberi pengertian, perceraian yang terjadi atas dasar persetujuan bersama untuk mengakhiri ikatan pernikahan.
Khulu’ dan mubaro’ah memliki persamaan dan perbedaan, yaitu :
1.      Perbedaannya :
Dalam mubaro’ah kehendak membebaskan akatan pernikahan datang dari kedua belah pihak suami-istri. Sedangkan dalam khulu’ kehendak itu datang  dari pihak istri sendiri.
2.      Persamaannya :
Dalam mubaro’ah dan khulu’ artinya persetujuan akan dating dari kedua belah pihak. Di samping itu keduanya bersumber kepada nash al-quran surat al-baqarah ayat 229.

A.    Pengertian Dan Dasar-Dasar Thalak
Arti thalak menurut bahasa adalah: melepaskan tali thalak merupakan salah satu pemutusan hubungan ikatan suami istri karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan lagi bagi suami istri meneruskan hidup berumah tangga. Pada dasarnya thalak adalah melepaskan akad nikah.
            Menurut H. Muhammad Anwar, cara menjatuhkan thalak terbagi dua macam, yaitu:
1.  Talak sorikh/jelas, yaitu dengan ucapan yang jelas menunjukkan talak. Seperti : saya menjatuhkan thalak kepada istri saya bernama… sekarang ini dengan sekian….. talakan; atau seperti kata suami kepada istrinya; engkau sekarang saya thalak dan sebagainya.
Sabda nabi Muhammad SAW:
“tiga macam ucapan: sesungguhnya, sungguh, jadi, dan bermain-mainnya pun dianggab sungguh-sungguh, yaitu : nikah, talak, rujuk (diriwayatkan imam yang empat)
2.   Talak kiniyah, yaitu ucapan yang tidak jelas mengenai thalak akan tetapi mengandung maksud talak cerai, seperti kata suami kepada istrinya :engkau sekarang haram bagiku atau engkau sekarang bebas dari kewajibanku atau engkau sekarang sudah bukan istriku.
Ucapan itu bisa menjatuhkan thalak kalau istri dengan niat menalak , kalau tidak disertai niat menalak, tidak jatuh talaknya.
Dalam kenyataan di tengah-tengah masyarakat dapat terjadi di mana seorang mendapat paksaan dari luar dari orang lain untuk menjelaskan thalak kepada istrinya. Keadaan seperti ini mengakibatkan tidak sahnya thalak yang dijatuhkan oleh seseorang kepada istrinya.
Menurut H. Muhammad Anwar ditegaskan bahwa : syarat pemaksa yang bisa diakui/disahkan sebagai paksaan, ada tiga macam, yaitu :
1)  Orang yang memaksanya itu berkuasa mampu melaksanakan ancamannya waktu itu, bila orang yang dipaksanya menolak paksaan, karena terdiri dari alat Negara atau mempunyai kegagahan yang sukar dilawannya.
2)  Orang yang dipaksanya tidak mampu melawan atau mengelakkan paksaan, baik dengan melarikan diri atau meminta bantuan orang lain.
3)  Mempunyai sangkaan, bahwa ia melawan atau mengelakkan paksaan, maka ancaman itu akan dilaksanakan oleh pengancam.
Kalau dengan adanya paksaan itu lalu si suami mengucapkan kalamah talak kepada istrinya dengan tiak disertai niat menolak/menceraikan dalam istrinya, maka tidak jatuh talaknya.(Kitab I’anatuth-thalibin juz IV hal 6).  Menjatuhkan thalak itu bisa sah meskipun dengan syarat dibaca dahulu oleh si suami atau dengan mewakilkan kepada orang lain dengan ucapan yang jelas, bisa di lihat dalam kitab (Mausu’ah al-Fiqh al-Islamy).

B.     Hukum Thalak
Menurut ajaran islam, thalak adalah perbuatan halal yang sangat dibenci Allah. Sesuai dengan sabda Rasulullah dari ibnu umar yang diriwayatkan abu daud.Karena itu, asal hokum Thalak adalah haramtetapi karena ada illatnya, maka hokum itu menjadi halal/mubah.
Perceraian adalah satu hal yang dibenci oleh Allah tetapi hal itu dibolehkan jika suami istri itu tidak dapat hidup bersama, setelah keluarga dari pihak laki-laki maupun dari yang perempuan yang bertindak sebagai hakamnya (dua hakim) telah menemui jalan buntu dalam mendamaikan kedua belah pihak (suami-istri) yang berakhir dengan satu keputusan yaitu Thalak (cerai). Dalam satu hadis di nyatakan sesuatu yang boleh tetapi dibenci oleh Allah adalah perceraian (HR.Abu Daud)
Ø  Adapun hokum Thalak menurut ajaran islam terbagi menjadi 5 macam, yaitu:
1.   Mubah,sebagai hokum asal, sebagaimana saba Nabi Saw :
“perbuatan halal yang dimurkai Allah, ialah Thalak”. (Riwayat Abu Daud)
Maksdu dimurkai dalam hadis ini tidak berarti dosa, melainkan untuk mempersempit perceraian saja.Demikian pendapat fukoha.
Contoh Thalak Mubah, ialah seperti menthalak istri yang tidak disukai/dicintainya sehingga si suami segan menggaulinya dan memberi nafkah.
2.  Wajib, yaitu seperti menalak istri yang yang disumpahi ila. Yaitu si suaminya bersumpah demi Allah bahwa ia tidak akan menjima’ juga, ia wajib terus menalak istrinya, kecuali kalau ia menjima’nya sebelum ini, kalau sudah habis 4 bulan si suami itu tidak menjima’istrinyaberhak mengadukan perkaranya ke pengadilan agama mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya. Kemudian setelah ketua pengadilan agama menerima pengaduan istri itu serta ia telah mempelajarinyadengan cukup  bukti-bukti kebenaran istri itu, lalu mengadakan siding dan menghadirkan suaminya. Kemudian Ketua Pengadilan agama setelah mengadakn pemeriksaan sebagaimana mestinya, atas wewenang hokum berwenang untuk menceraikan suami –istri termasuk dengan sekali thalakan.
3.  Sunnah (nadab), yaitu bilamana si suami tidak kuat memenuhi kewajiban bagi istrinya serta istrinya tidak bersabar atau keadaan istrinya tukang ma’syiat, seperti pezina, pelacur, penjudi, penipu, atau sebab istrinya jelek akhlaknya sehingga si suami tak kuat berumah tangga dengan istrinya itu, atau atas suruhan orang tuanya yang sungguh-sungguh tidak menyukai menantunya itu dengan alasan baik menurut hokum islam.
4.  Haram, yaitu yang disebut thalak bid’I yaitu menalak istri yang sedang haid atau istrinya sehabis di ijma’ serta dalam keadaan suci atau menalak istri yang dimadu yang tidak dipenuhi gilirannya atau menalakannya si suami yang sedang sakit keras dengan maksud bila ia mati, agar si istrinya tidak mendapat warisan.
5.   Makruh, yaitu menthalak istri dengan alasan selain yang tersebut di atas. Dan thalak itu bisa jatuh meskipun dengan ditangguhkan/dita’likan, seperti kata suami : kalau kamu keluar rumah tanpa ijinkujatuh thalakku  kepadamu. (kitab I’anatuth thalibin juz IV).

C.    Akibat Thalak
Menurut ajaran islam terdapat empat hal yang harus diperhatikan yang erat kaitannya dengan masalah thalak yaitu :
1.  Jika suami telah menthalak yang ketiga kepada istrinya, maka perempuan itu tidak halal dinikahi lagi sebelum ada laki-laki lain yang menikahinya. Ketentuan tersebut ditegaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 230 :
bÎ*sù$ygs)¯=sÛŸxsù@ÏtrB¼ã&s!.`ÏBß÷èt/4Ó®LymyxÅ3Ys?%¹`÷ry¼çnuŽöxî3bÎ*sù$ygs)¯=sÛŸxsùyy$uZã_!$yJÍköŽn=tæbr&!$yèy_#uŽtItƒbÎ)!$¨Zsßbr&$yJŠÉ)ãƒyŠrßãn«!$#3y7ù=Ï?urߊrßãn«!$#$pkß]ÍhŠu;ãƒ5Qöqs)Ï9tbqßJn=ôètƒÇËÌÉÈ

Artinya : kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Dalam hal ini harus ada perkawinan antara seorang perempuan yang dithalak tiga kemudian menikah dan bercerai dengan laki-laki lain, dalam keadaan demikian perempuan tersebut dikawin lagi oleh laki-laki bekas suami pertama. Perkawinan seperti ini halal hukumnya, tetapi jika terjadi ada laki-laki yang diupah oleh bekas suaminya pertama tadi agar agar menikah dengan bekas istrinya, kemudian menthalaknya dan oleh karena sudah dithalak oleh laki-laki yang diberi upah itu, bekas suami pertama (yang mengupah) mengawini perempuan itu lagi. Upaya-upaya tersebut tidak dibenarkan di dalam ajaran islam.
2.  Apabila suami menthalak istri, seyogyanya pada waktu telah suci dari haid dan belum dicampuri setelah suci haid itu. Juga baik dijatuhkan setelah istri diketahui secara jelas hamil tidaknya (sudah suci haid kemudian digauli dan mendatangkan kehamilan). Di samping itu talak tidak dijatuhkan pada saat istri hamil atau keadaan haid sehingga belum jelas keadaan antara hamil dan tidak hamil.

3.  Di dalam menjatuhkan thalak diperlakukan dua orang saksi yang memenuhi persyaratan : islam, aqil baligh, laki-laki dan adil. Hal ini sesuai dengan ketentuan surat at-thalk ayat 2 :

#sŒÎ*sùz`øón=t/£`ßgn=y_r&£`èdqä3Å¡øBr'sù>$rã÷èyJÎ/÷rr&£`èdqè%Í$sù7$rã÷èyJÎ/(#rßÍkô­r&urôursŒ5AôtãóOä3ZÏiB(#qßJŠÏ%r&urnoy»yg¤±9$#¬!4öNà6Ï9ºsŒàátãqヾÏmÎ/`tBtb%x.ÚÆÏB÷sル!$$Î/ÏQöquø9$#ur̍ÅzFy$#4`tBurÈ,­Gtƒ©!$#@yèøgs¼ã&©!%[`tøƒxCÇËÈ

Artinya :apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.

4.  Thalak menimbulkan akibat berupa suatu kewajiban suami terhadap istri yang telah di thalak antara lain :
    a.  Menurut ketentuan Surat Al-baqarah ayat 241, suami memberi mut’ah kepada istri yang dithalak yakni: suatu yang menggembirakan sesuai dengan kedudukan dan kemampuan suami berupa pakaian, barang-barang atau uang sesuai dengan keadaan.
     b.  Memberi nafkah kepada istri yang dithalak selama masa iddah, ketentuan ini sesuai dengan firman  Allah Surat Al-Thalak ayat 6.
    c.  Mahar/maskawin sewaktu akad nikah dilunasi apabila mahar/mas kawin tersebut belum dibayar baik seluruhnya maupun sebagian.
     d.   Memberi nafkah kepada anak-anaknya untuk pemeliharaan dan kepentingan pendidikan dengan tetap mengingat kemampuan suami. Ketentuan ini berdasarkan surat At-thalak ayat 6.

D.    Waktu Menjatuhkan Thalak
Apabila terpaksa sesorang menjatuhakn thalak kepada istrinya, oleh sarjana hokum islam telah memberikan perincian untuk kapan dapat dijatuhkan thalak itu dan dimana tempat dijatuhkan thalak.
Jadi pembolehan atau tidak boleh menjatuhkan thalak diatur sebagai berikut :
     1)   Tidak boleh suami menthalak isterinya pada waktu sang istri sedang hamil
     2)   Tidak boleh menthalak istri yang telah sucidari haidnya dan sudah dicampuri lagi sesudah suci itu (belum jelas hamil atau tidaknya sang istri.
    3) Apabila terpaksa menthalak istri, waktunya ialah sesudah istri itu suci dari haid dan belum dicampuri atau.
     4) Banyak pendapat di kalangan islam bahwa menthalak istri boleh pada waktu sang istri sudah jelas hamil, artinya sudah suci haid yang kemudian dicampuri dan jelas telah hamil.
Berdasarka hadist rasul, haram (bid’ah) melakukan thalak dalam dua keadaan :
1. menjatuhkan thalak pada waktu istri dalam keadaan haid.
2. menjatuhkan thalak sewaktu istri suci dari haid kemudian disetubuhi.
     5)  Pendapat lain mengatakan bahwa tidak baik menthalak istri yang dalam keadaan hamil, pendapat ini oleh sajuti thalib, SH.

E.     Pembagian Thalak
Menurut ajaran islam, thalak itu dapat di bagi-bagi dengan melihat beberapa  keadaan.
1.      Ditinjau dari segi waktu menjatuhkan thalak maka thalak dibagi dua, yakni
     a.       Thalak sunnah, yaitu thalak yang disetujui oleh rasul ada dua macam bentuknya :
1.   Bentuk akhsan bentuk yang disetujui yaitu thalak yang diucapkan 1 kali dan perempuan (istri) tersebut belum disetubuhi waktu suci dari haid.
2. Bentuk akhsan yang kedua juga disetujui rasul, thalak yang diucapkan berturut-turut 3 x masing-masing diucapkan pada waktu yang berlain-lainan si perempuan dalam keadaan suci dari haid belum disetubuhi dalam tiap-tiap waktu suci itu. Dua kali dari thalak itu telah di rujuk dan yang ketiga kali tidak dapat rujuk lagi.
     b.      Thalak bid’ah, yaitu bentuk thalak yang luar biasa dan tidak dapat disetujui rasul, terbagi dalam dua bentuk pula yaitu :
1.      Thalak tiga yang dijatuhkan sekaligus pada satu saat.
2.      Thalak satu kali dengan pernyataan tidak dapat rujuk lagi, yaitu thalak yang dijatuhkan sesudah dua kali thalak.

2.      Ditinjau dari segi jumlah/kuantitas penjatuhan thalak oleh suami kepada istrinya, maka thalak dibagi menjadi :
            a)      Thalak raj’I, yaitu thalak yang dijatuhkan satu kali dan suami dapat rujuk. Arti rujuk ialah kembali, artinya kembali sebagai suami-istri dengan tidak melalui proses perkawinan lagi, tetapi dengan cara sederhana.
Termasuk dalam thalak raj’I ialah:
1.   Thalak itu berupa thalak satu atau thalak dua, tetapi tidak memakai suatu pembayaran  (iwadh) dan mereka telah setubuh.
2. Perceraian dalam bentuk thalak yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan agama  berdasarkan proses ila’ yaitu suami bersumpah tidak mencampuri istrinya.
3.   Perceraian dalam bentu thalak yang juga dijatuhkan oleh pengadilan agama berdasarkan persamaan pendapat dua hakim karena proses syiqaq dari suami istri tetapi tidak memakai iwadh.
          b)   Thalak ba’in shugra yaitu thalak yang tidak boleh rujuk lagi, tetapi keduanya dapat berhubungan kembali menjadi suami istri sesudah habis tenggang waktu iddah dengan jalan melalui proses perkawinan kembali, yang terdiri dari :
1.    Thalak itu berupa thalak satu atau thalak dua dengan memakai suatu pembayaran (iwadh).
2.      Atau thalak satu atau thalak dua tidak pakai iwadh, tetapi suami istri belum campur (setubuh).
Imam  Syafii menyebutkan dalam kitab Al-Umm Juzuk 5 Hal 203 thalak bain shugra ini dengan thalak yang tidak apat rujuk lagi.
                   c)      Thalak bain kubra yaitu :
1. Thalak yang dijatuhkan ketiga kalinya dimana suami istri tidak dapat rujuk dan kawin lagi di antara mereka, sebelum si istri dikawini lebih dahulu oleh orang lain.
2. Perceraian karena li’an (tuduhan berzina antara bekas suami istri tidak dapat kawin lagi untuk selama-lamanya.
Menurut KUH Perdata pasal 35 ada suatu ketentuan bahwa sesudah dua kali perceraian antara suami istri tidak boleh kawin lagi di antara mereka.Jadi perceraian yang dapat kawin lagi yaitu apabila cerai pertama kali. Sesudah perceraian kedua tidak ada jalan lagi bagi bekas suami istri itu untuk kawin lagi, walaupun dengan perantaraan muhallil (si istri sudah kawin lagi dengan orang lain kemudian cerai).
Demikian juga terihat dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Apabila suami istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tiak menentukan lain.

Referensi
-          Prof. Dr. Abdul ghofur anshori, SH.,M.H./Hukum Perkawinan Islam/UII press Yogyakarta/Cetaka pertama agustus 2011
-          M.Idris Ramulyo,S.H/Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974/Jakarta edisi 1986
-          Drs. Sudarsono, S.H./Pokok-Pokok Hukum Islam/PT Rineka Cipta, Jakarta/ cetakan pertama 1992
Download Button
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.