ETIKA PROFESI SEORANG ADVOKAT KAJIAN TENTANG ETIKA PROFESI HUKUM

ADMIN
DOWNLOAD GRATIS EBOOK/BUKU (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini) 
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) H.TATA NEGARA (Klik Disini)



a.      Latar Belakang
Hukum adalah suatu aturan yang sifatnya adalah mengikat, memaksa dan memberi sanksi. Para  pakar di dalam kajian Hukum mengatakan bahwa Sangat banyak sekali ajaran-ajaran mengenai hukum itu sendiri mulai dari hukum alam, hukum agama, hukum internasional, hukum nasional dan lain-lain. Yang kesemuanya saling berhubungan untuk menciptakan hukum yang dicita-citakan bagi seluruh manusia.
Setiap manusia pasti ada hukum yang diterapkan bagi golongannya dan hukum tersebut berbeda satu dengan yang lainnya, karna pada hakikatnya hukum selalu mengikuti lingkungan disekitarnya. Namun ada beberapa faktor yang menyebabkan hukum itu menjadi pincang yaitu 1. Hukum tanpa moral, membentuk manusia tanpa kasih sayang yang terpendam hanyalah pembalasan, moral akan mengontrol dan mengidentifikasi mana yang akan dihukum berat atau ringan, mana yang tidak boleh dibela atau mana yg harus dibela. 2. Hukum tanpa pengamalan, yang hanya menjadikan hukum sebagai lebel untuk menakuti saja tanpa ada sanksi.
Adapun tempat pengambilan hukum ataupun sumber rujukan hukum ada berupa traktat, kebiasaan, jurisprudensi, doktrin. Keputusan Seorang hakim dapat pula menjadi sumber hukum, makannya seorang hakim ketika memberikan putusannya dia tidak boleh melihat mana uang yang paling banyak untuk kasus yang ia hadapi yang mengakibatkan repotasi seorang hakim jatuh. Oleh karna itu perlu adanya etika dalam setiap tindakan seorang profesi hakim, untuk menjadikan cerminan bagi semua orang khususnya bagi hakim-hakim yang lain. Dalam sebuah hadist disebutkan “bahwa seorang hakim itu sebelah badannya di syurga dan sebelahnya lagi dineraka” dalam hadit tersebut dimaksudkan untuk seorang hakim dalam putusannya tidak boleh berat sebelah, apabila ia memutuskan sesuai dengan kebenarannya maka baginya syurga, tetapi apabila ia memutuskan dengan kebohongannya atau ketidak adilannya maka neraka baginya. Di dalam hadist lain juga disebutkan “hakim itu ada 3 macam, yang 1 syurga dan yang kedua neraka,” yang dua ini adalah seorang hakim yang tahu tentang kebenaran tapi dia menyembunyikan kebenaran tersebut dan seorang hakim yang tidak tahu kebenaran lalu menghukum dengan ketidaktahuan itu maka dua orang hakim tersebut masuk neraka. Oleh sebab itu maka perlu ada etika bagi seorang profesi hakim, untuk mejalankan profesinya dengan baik dan benar.
Disamping seorang hakim dituntut untuk mengenal kode etik seorang hakim, seorang advokat juga dianjurkan untuk mengenal kode etik seorang advokat, agar kiranya seorang advokat mampu menjalankan profesinya dengan baik dan benar. Kode etik mengarahkan seseorang untuk tidak melanggar apa-apa yang menjadi batas bagi dirinya terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang. Dari bagaimana menjadi seorang advokat, hak dan kewajiban apa saja bagi advokat, bagaimana seorang advokat membela kliennya dan lain-lain.

b.      Rumusan Masalah
Untuk menciptakan seorang advokat yang berkeadilan tinggi, bijaksana, dituntut untuk memahami etika bagi diri seorang advokat, etka bahasa inggrisnya ethics berbeda dengan moral dan norma. Secara etimologis, etika metupakan sistem prinsip-prinsip moral, ia merupakan cabang disiplin ilmu filsafat. Berbeda dengan etika, moral lebih tertuju pada prinsip-prinsip tentang benar atau salah, baik dan buruk[1]. Oleh sebab itu agar tidak terjadi kesalahan dalam menjalankan profesinya maka ada beberapa permasalahan yang timbul:
a.       Bagaimana mekanisme seorang diangkat dan diberhentikan menjadi advokat?
b.      Apa-apa saja hak dan kewajiban seorang advokat?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Advokat
Dalam kenyataannya setiap negara memiliki sebuah operasi atau lembaga yang memberikan jasa pelayanan hukum terhadapa orang atau lembaga yang membutuhkan layanan hukum tersebut. Lembaga tersebut lazim disebut “advokat”[2] atau pengacara. Di Indonesia keberadaan advokat tidak terlepas dari pengaruh pemerintahan belanda yang menjajah Indoenesia pada waktu itu sehingga pengaturan advokattetap mengacu kepada ketentuan peraturan pemerintah belanda tersebut. Adapun peraturan perundang-undanganpeninggalan kolonial belanda, di antaranya Reglement op de Rechterlijkeorganisatie en het beleid der justitie in Indonesia (stb.1847: 23 jo. Stb. 1848: 57), pasal 185 sampai pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya, kemudian Bepalingen Betreffende het kostuum der rechterlijke ambtenaren dat der advokaten procereursen deuwaarders (stb. 1848:8), bevoegdheid departement hoof in burgelijke zaken van land (stb. 1910: 446 jo. Stb. 1922:523), dan vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S. 1922: 522).[3]
Istilah advokat menurut Luhut M. P. Pangaribuan adalah sebagai nama resmi profesi dalam sidang peradilan kita. Pertama-tama ditemukan dalam Bab IV Ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO). Advokat itu merupakan padanan dari kata advocaat (Belanda) yani seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Akar kata Advokat berasal dari bahasa latin yang berarti membela. Oleh karna itu, tidak mengherankan bila hampir di setiap bahasa di dunia, kata (istilah) itu dikenal.[4]
Lebih jauh Luhut M.P. pangaribuan mengatakan bahwa dalam praktek dewasa ini belum ada istilah yang baku untuk sebutan profesi dimaksud dalam berbagai ketentuan-perundang-undnagan terdapat inkonsestensi sebutan. Misalnya, dalam UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dibunakan istilah “Penasehat Hukum”, UU Mahkamah Agung menggunakan istilah “Penasehat Hukum”, dalam UU Peradilan Umum juga menggunakan istilah “Penasehat Hukum”, Angka 2 undang-undang yang terakhir merujuk pada yang pertama yang secara konseptual melihat bahwa Advokat adalah sebagai “pihak luar” dalam sistem peradilan itu. Pada saat yang sama, praktik administratif menggunakan secara berbeda dan inkonsisten pula. Misalnya, Departemen Kehakiman menggunakan pengacara, Pengadilan Tinggi menggunakan Advokat/Pengacara.[5]
Penggunaan istilah “Penasehat Hukum” pada dasarnya memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar:
a.        istilah penasehat hukum itu secara denotatif ataupun konotatif bermakna pasif. Padahal peranan profesi itu bisa kedua-duanya, yaitu pasif ketika hanya memberikan nasehat-nasehat hukum tertentu yang biasa berbentuk lisan atau tertulis (seperti legal opinion/audit), tetapi bisa aktif ketika melakukan pembelaan di depan Pengadilan (ligitasi) termasuk ketika menjalankan kuasa dalam penyelesaian suatu kasus alternatif (alternative dispute resolution) seperti negosiasi, mediasi, dan arbitrase.
b.      secara normatif sebagaimana telah diatur dalam RO, seorang advocaat en procereur dapat bertindak baik secara pasif mapun aktif dalam dalam mengurus sesuatu hal yang perlu pertimbangan hukum ataumengurus perkara yang dikuasakan kepadanya. Kapan harus aktif dan kapan harus pasif semuanya tergantung tuntutan penanganan masalahnya. Sejauh ini sistem kita dalam kaitannya dalam profesi ini tidak membedakan yang boleh bertindak dan yang tidak boleh bertindak di hadapan pengadilan seperti di Inggris, antara solicitor dan barrister.[6] Sebab di Inggris, menurut Yudha Pandu[7] untuk menjadi solicitor dan barrister harus melalui ujian saringan yang dilakukan oleh suatu badan yang disebut “legal Practitioners Adminission Board”, suatu badan yang mengatur dan berdiri sendiri (otonom). Perbedaan ujian antara calon solicitor dan barrister adalah solicitor ujiannya terkonsentrasi pada praktik hukum di luar pengadilan, sedangakan barrister ujiannya terkonsentrasi pada praktik hukum acara di dalam pengadilan (courtroom specialist).
Namun demikian, setelah diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah hukum, telah mempergunakan istilah advokat misalnya, UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Advokat merupakan salah satu lembaga atau organisasi yang memiliki peran yang sangat strategis dalam penegakan hukum di suatu negara. Advokat di negara maju mempunyai status sosial tinggi dibandingkan dengan profesi lainnya. Namun demikian, tidaklah heran kalau advokat sangat banyak digandrungi oleh sarjana-sarjana hukum barat. Oleh karna itu, sebagai sebuah organisasi yang banyak diminati saat ini, maka tepat kalau terdapat suatu undang-undang yang menjadi payung hukum bagi semua penasehat hukum atau lembaga-lembaga yang memeberi jasa layanan hukum.[8]
B.     Pengangkatan, Sumpah, Status, Penindakan, dan Pemberhentian Advokat
Untuk diangkat sebagai advokat, haruslah berlatar belakang pendidikan ilmu hukum. Hala ini sesuai ketentuan dalam pasal  2 UU Nomor 18 Tahun 2003. Bertitik tolak dari ketentuan pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2003 , maka tampaknya keberadaan UU ini ingin memperbaiki pengangkatan Advokat pada masa yang lalu, ketika campur tangan institusi peradilan sangat kental sekali. Hal ini terbukti, sebab seorang advokat pada masa yang lalu, pengangkatannya melalui Menteri Kehakiman setelah lulus ujian yang dilaksanakan oleh Menteri Kehakiman. Namun demikian, dengan diundangkannya UU ini, jelas bahwa yang boleh mengangkat Advokat adalah organisasi advokat itu sendiri. Selain pengangkatan advokat sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 diatas, maka untuk dapat diangkat menjadi Advokat, harus terpenuhi persyaratan sebagai berikut:[9]
a.       Warga negara Republik Indonesia
b.      Bertempat tinggal di Indonesia;[10]
c.       Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;[11]
d.      Berusia sekurang-kurangnya 25 tahun;
e.       Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
f.       Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat;
g.      magang[12] sekurang-kurangnya 2 tahun terus-menerus pada kantor advokat;
h.      tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana penjara 5 tahun atau lebih;
i.        berprilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil dan mempunyai integritas yang tinggi.
Mencermati dengan seksama ketentuan Pasal 3 UU Nomor 18 Tahun 2003 di atas, terdapat gambaran bahwa yang dapat berprofesi sebagai advokat adalah orang yang benar-benar membaktikan dirinya pada dunia advokat dan tidak  diperkenankan lagi pegawai negeri sipil. Dengan adanya persyaratan ini, pegawai negeri sipil tidak diperkenankan lagi merangkap sebagai pengacara. Di samping itu, dalam peraturan UU Advokat ini telah diatur pula mengenai keharusan seorang advokat muda untuk melakukan magang selama 2 tahun di kantor advokat senior. Adanya ketentuan ini mempunyai makna bahwa seseorang advokat yang baru perlu persiapan diri sebelum terjen menjadi seorang advokat yang profesional, persiapan yang dimaksud:[13]
a.       persiapan mental. Mental yang dimaksud di sini adalah mental yang berkaitan dengan penyesuaian dengan kondisi penegak hukum lain, misalnya polisi, jaksa, dan hakim.
b.      Persiapan pengalaman. Pekerjaan advokat merupakan pekerjaan keterampilan, sehingga membutuhkan pengalaman.
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 UU Nomor 18 tahun 2003 di atas, setelah seseorang Advokat dinyatakan lulus dalam suatu saringan yang dilakukan oleh Organisasi advokat tersebut, maka sebelum menjalankan profesinya, wajib mengangkat sumpah. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 dinyatakan bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Adapun Lafaz atau kata-kata sumpah atau janji tersebut sebagai berikut.
“demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:
·         Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
·         Bahwa saya untuk meperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga;
·         Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam maupun di luar pengadilan, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani;
·         Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat;
·         Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hematsaya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.”
C.    Penindakan dan Pemberhentian Advokat
Advokat sebagai sebuah lembaga atau institusi yang memberikan pelayanan hukum kepada klien, dapat saja diberikan tindakan apabila tidak sungguh-sungguh menjalankan profesinya tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 6 UU Nomor 18 tahun 2003, dinyatakan bahwa advokat dapat dikenakan tindakan dengan alsan-alasan:
a.       Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b.      Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan profesinya;
c.       Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;[14]
d.      Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
e.       Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau perbuatan tercela;
f.       Melanggar sumpah/janji advokat dan/atau kode etik profesi advokat.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 6 UU Nomor 18 tahun 2003 di atas memang bisa saja seorang advokat sebagai penegak hukum tempat masyarakat mengadukan nasibnya melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa dunia hukum saat ini menjadi buram atau hitam diakibatkan adanya sebagian pengacara yang tidak benar menjalankan profesinya, bahkan sering kali menyalahgunakan hukum itu sendiri.[15]
Berkaitan dengan ketentuan dalam pasal 6 di atas , soerang advokat yang telah melakukan tindakna atau perbuatan yang tidak baikdapat saja dikenakan tindakan sebagai sanksi. Hal ini diatur dalam pasal 7 ayat 1, dinyatakan bahwa jenis tindakan dikenakan terhadap advokat dapat berupa:
a.       Teguran lisan;
b.      Teguran tertulis;
c.       Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 sampai 12 bulan;
d.      Pemberhentian tetap dari profesinya;
Sehubungan dengan telah dijatuhkannya tindakan kepada seorang advokat yang dianggab telah melanggar salah satu ketentuan dalam pasal 6 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003, maka yang berhak untuk melakukan tindakan selanjutnya adalah Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (ayat (2)). Namun putusan dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Advokat kepada seorang Advokat yang dianggab telah melanggar Pasal 6 tersebut, kepada advokat yang bersangkutandiberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri (ayat (3)).[16]

D.    Hak dan Kewajiban Advokat
Lembaga advokat sebagai profesi yang menjalankan fungsi utama membantu klien dalam mengurus perkaranya, tetapi sekaligus sebagai penegak hukum yang paling utama. Oleh karna itu, wajar kalau dalam menjalankan profesinya tetap memiliki landasan pijakan berupa hak dan kewajiban yang melekat pada diri advokat tersebut. Dalam pasal 14 UU Nomor 18 Tahun 2003 dinyatakan bahwa:
Advokat bebas[17] mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam mebela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dalam pasal 14 UU Nomor 18 Tahun 2003 di atas lebih lanjut dipertegas oleh ketentuan pasal 15 UU Nomor 18 yang menyatakan bahwa advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.[18] Sementara ituseorang advokat dalam menjalankan profesinya tetap memiliki tanggung jawab dalam mebela perkara yang diajukan klien kepadanya. Begitu pula seorang advokat dalam menjalankan profesinya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003.[19]
Seorang advokat dalam menjalankan profesinya memerlukan dukungan dari semua instansi atau lembaga hukum dan lembaga lainnya yang memiliki hubungan dengan kepentingan pembelaan kliennya tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 17 UU Nomor 18 Tahun 2003 yang dinyatakan sebagai berikut.
Dalam menjalankan profesinya, advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari internal pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 18 Tahun 2003 di atas, maka seorang advokat harus netral dalam menjalankan profesinya tersebut. Kenetralan ini sebagai akibat dari profesi advokat sebagai pemberi jasa layanan yang sangat dibituhkan oleh siapa pun[20].

BAB III
KESIMPULAN
          Seorang advokat yang baik mampu menjalankan profesinya sesuia dengan kode etik dan keadilan. Dalam konsep islam, manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya, seperti hewan/ binatang dan tumbuh-tumbuhan. Keistimewaan manusia, karena Allah melengkapinya dengan akal, pikiran, perasaan, dan hati nurani. Instrumen yang dimiliki manusia tersebut, dibuanakan sebagai sarana untuk dapat mengendalikan hawa nafsunya dalam mengarungi proses kehidupannya. Instrumen ini juga merupakan alat yang sangat ampuh untuk dijadikan sebagai sarana dalam memutuskan sesuatu. Sebab pelu diketahui bahwa dalam proses menjalani kehidupan ini, opsi yang diberikan oleh Allah SWT, hanya dua, “baik” atau “buruk”,”gagal” atau “berhasil”,”menangis” atau “tertawa”, dan “benar” atau “salah”. Inilah yang harus dipahami oleh penegak hukum (jaksa, polisi, hakim, dan pengacara) dalam menjalankan profesinya.
Seorang advokat harus mampu membedakan mana yang harus dibela dan mana yang harus patut disalahkan, sehingga keadilan tercipta di dalam kehidupan ini.

Daftar Pustaka
Suparman Syukur, 2004, Etika Religius, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Luhut M.P. Pangaribuan, 2002, Advokat dan Contempt of Court: suatu proses di Dewan Kehormatan Profesi, Djambatsn, Jakarta, Edisi Revisi.
Yudha Pandu, 2004, Klien & Advokat dalam Praktik, Indonesia Legal Center Publishing, jakarta, (edisi revisi).
Supriadi, S.H., M.Hum, 2006, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
UU No 18 Tahun 2003





[1] Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 1
[2] Advokat adalah ahli hukum yang berwenang sebagai penasehat atau pembela perkara di pengadilan ; pengacara, lihat kamus besar bahasa indonesia, edisi kedua, Depaertemen pendidikan dan kebudayaan, balai pustaka, jakarta, hlm. 8
[3] Lihat Penjelasan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
[4] Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court: suatu proses di Dewan Kehormatan Profesi, Djambatsn, Jakarta, Edisi Revisi, 2002, hlm. 6.
[5] Ibid., hlm. 6
[6] Ibid., hlm. 6-7
[7] Yudha Pandu, Klien & Advokat dalam Praktik, Indonesia Legal Center Publishing, jakarta, 2004 (edisi revisi), hlm. 30.
[8] Supriadi, S.H., M.Hum, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 58.
[9] Lihat Pasal 3 UU Nomor 18 Tahun 2003
[10] Yang dimaksud dengan bertempat tinggal di Indonesia adalah bahwa pada waktu seseorang diangkat sebagai advokat, orang tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan tersebut tidak mengurangi kebebasan seseorang setelah diangkat sebagai advokat untuk bertempat tinggal di mana pun.
[11] Yang dimaksu dengan pegawai negeri dan pejabat negeri adalah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian.
[12] Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan dan etika dalam menjalankan profesinya. Magang dilakukan sebelum calon advokat diangkat sebagai advokat dan dilakukan di kantor advokat. Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut dilakukan secara terus-menerus dan sekurang-kurangnya 2 tahun.
[13] Supriadi, S.H., M.Hum, Op.cit, hlm. 60.
[14] Ketentuan ini berlaku bagi advokat baik di dalam maupun di luar pengadilan. Hal ini, sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak hukum, di manapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangn, atau pengadilan.
[15] Supriadi, S.H., M.Hum, Op.cit., hlm. 64
[16] Ibid., hlm. 64.
[17] Yang dimaksud dengan bebas adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi  dan peraturan perundang-undangan.
[18] Ketentuan ini mengatur mengenai kebebasan advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi klliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat.
[19] Ibid., hlm 66
[20] Ibid., hlm. 67.
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.