DOWNLOAD GRATIS EBOOK/BUKU (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
a. Latar Belakang
Hukum adalah suatu aturan yang sifatnya adalah
mengikat, memaksa dan memberi sanksi. Para
pakar di dalam kajian Hukum mengatakan bahwa Sangat banyak sekali
ajaran-ajaran mengenai hukum itu sendiri mulai dari hukum alam, hukum agama,
hukum internasional, hukum nasional dan lain-lain. Yang kesemuanya saling
berhubungan untuk menciptakan hukum yang dicita-citakan bagi seluruh manusia.
Setiap manusia pasti ada hukum yang diterapkan
bagi golongannya dan hukum tersebut berbeda satu dengan yang lainnya, karna
pada hakikatnya hukum selalu mengikuti lingkungan disekitarnya. Namun ada
beberapa faktor yang menyebabkan hukum itu menjadi pincang yaitu 1. Hukum tanpa
moral, membentuk manusia tanpa kasih sayang yang terpendam hanyalah pembalasan,
moral akan mengontrol dan mengidentifikasi mana yang akan dihukum berat atau
ringan, mana yang tidak boleh dibela atau mana yg harus dibela. 2. Hukum tanpa
pengamalan, yang hanya menjadikan hukum sebagai lebel untuk menakuti saja tanpa
ada sanksi.
Adapun tempat pengambilan hukum ataupun sumber
rujukan hukum ada berupa traktat, kebiasaan, jurisprudensi, doktrin. Keputusan
Seorang hakim dapat pula menjadi sumber hukum, makannya seorang hakim ketika
memberikan putusannya dia tidak boleh melihat mana uang yang paling banyak
untuk kasus yang ia hadapi yang mengakibatkan repotasi seorang hakim jatuh.
Oleh karna itu perlu adanya etika dalam setiap tindakan seorang profesi hakim,
untuk menjadikan cerminan bagi semua orang khususnya bagi hakim-hakim yang
lain. Dalam sebuah hadist disebutkan “bahwa seorang hakim itu sebelah badannya
di syurga dan sebelahnya lagi dineraka” dalam hadit tersebut dimaksudkan untuk
seorang hakim dalam putusannya tidak boleh berat sebelah, apabila ia memutuskan
sesuai dengan kebenarannya maka baginya syurga, tetapi apabila ia memutuskan
dengan kebohongannya atau ketidak adilannya maka neraka baginya. Di dalam
hadist lain juga disebutkan “hakim itu ada 3 macam, yang 1 syurga dan yang
kedua neraka,” yang dua ini adalah seorang hakim yang tahu tentang kebenaran
tapi dia menyembunyikan kebenaran tersebut dan seorang hakim yang tidak tahu
kebenaran lalu menghukum dengan ketidaktahuan itu maka dua orang hakim tersebut
masuk neraka. Oleh sebab itu maka perlu ada etika bagi seorang profesi hakim,
untuk mejalankan profesinya dengan baik dan benar.
Disamping seorang hakim dituntut untuk
mengenal kode etik seorang hakim, seorang advokat juga dianjurkan untuk
mengenal kode etik seorang advokat, agar kiranya seorang advokat mampu
menjalankan profesinya dengan baik dan benar. Kode etik mengarahkan seseorang
untuk tidak melanggar apa-apa yang menjadi batas bagi dirinya terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilarang. Dari bagaimana menjadi seorang advokat, hak
dan kewajiban apa saja bagi advokat, bagaimana seorang advokat membela kliennya
dan lain-lain.
b. Rumusan Masalah
Untuk menciptakan seorang advokat yang berkeadilan
tinggi, bijaksana, dituntut untuk memahami etika bagi diri seorang advokat,
etka bahasa inggrisnya ethics berbeda dengan moral dan norma. Secara
etimologis, etika metupakan sistem prinsip-prinsip moral, ia merupakan cabang
disiplin ilmu filsafat. Berbeda dengan etika, moral lebih tertuju pada
prinsip-prinsip tentang benar atau salah, baik dan buruk[1].
Oleh sebab itu agar tidak terjadi kesalahan dalam menjalankan profesinya maka
ada beberapa permasalahan yang timbul:
a. Bagaimana mekanisme seorang diangkat dan diberhentikan menjadi advokat?
b. Apa-apa saja hak dan kewajiban seorang advokat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Advokat
Dalam kenyataannya setiap negara memiliki
sebuah operasi atau lembaga yang memberikan jasa pelayanan hukum terhadapa
orang atau lembaga yang membutuhkan layanan hukum tersebut. Lembaga tersebut
lazim disebut “advokat”[2]
atau pengacara. Di Indonesia keberadaan advokat tidak terlepas dari pengaruh
pemerintahan belanda yang menjajah Indoenesia pada waktu itu sehingga
pengaturan advokattetap mengacu kepada ketentuan peraturan pemerintah belanda
tersebut. Adapun peraturan perundang-undanganpeninggalan kolonial belanda, di
antaranya Reglement op de Rechterlijkeorganisatie en het beleid der justitie in
Indonesia (stb.1847: 23 jo. Stb. 1848: 57), pasal 185 sampai pasal 192 dengan
segala perubahan dan penambahannya, kemudian Bepalingen Betreffende het kostuum
der rechterlijke ambtenaren dat der advokaten procereursen deuwaarders (stb.
1848:8), bevoegdheid departement hoof in burgelijke zaken van land (stb. 1910:
446 jo. Stb. 1922:523), dan vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S.
1922: 522).[3]
Istilah advokat menurut Luhut M. P.
Pangaribuan adalah sebagai nama resmi profesi dalam sidang peradilan kita.
Pertama-tama ditemukan dalam Bab IV Ketentuan Susunan Kehakiman dan
Kebijaksanaan Mengadili (RO). Advokat itu merupakan padanan dari kata advocaat
(Belanda) yani seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya
setelah memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Akar kata Advokat berasal
dari bahasa latin yang berarti membela. Oleh karna itu, tidak mengherankan bila
hampir di setiap bahasa di dunia, kata (istilah) itu dikenal.[4]
Lebih jauh Luhut M.P. pangaribuan mengatakan
bahwa dalam praktek dewasa ini belum ada istilah yang baku untuk sebutan
profesi dimaksud dalam berbagai ketentuan-perundang-undnagan terdapat
inkonsestensi sebutan. Misalnya, dalam UU Nomor 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dibunakan istilah “Penasehat
Hukum”, UU Mahkamah Agung menggunakan istilah “Penasehat Hukum”, dalam UU
Peradilan Umum juga menggunakan istilah “Penasehat Hukum”, Angka 2
undang-undang yang terakhir merujuk pada yang pertama yang secara konseptual
melihat bahwa Advokat adalah sebagai “pihak luar” dalam sistem peradilan itu.
Pada saat yang sama, praktik administratif menggunakan secara berbeda dan
inkonsisten pula. Misalnya, Departemen Kehakiman menggunakan pengacara,
Pengadilan Tinggi menggunakan Advokat/Pengacara.[5]
Penggunaan istilah “Penasehat Hukum” pada
dasarnya memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar:
a. istilah penasehat hukum itu secara
denotatif ataupun konotatif bermakna pasif. Padahal peranan profesi itu bisa
kedua-duanya, yaitu pasif ketika hanya memberikan nasehat-nasehat hukum
tertentu yang biasa berbentuk lisan atau tertulis (seperti legal
opinion/audit), tetapi bisa aktif ketika melakukan pembelaan di depan
Pengadilan (ligitasi) termasuk ketika menjalankan kuasa dalam penyelesaian
suatu kasus alternatif (alternative dispute resolution) seperti negosiasi,
mediasi, dan arbitrase.
b. secara normatif sebagaimana telah diatur dalam RO, seorang advocaat en
procereur dapat bertindak baik secara pasif mapun aktif dalam dalam mengurus
sesuatu hal yang perlu pertimbangan hukum ataumengurus perkara yang dikuasakan
kepadanya. Kapan harus aktif dan kapan harus pasif semuanya tergantung tuntutan
penanganan masalahnya. Sejauh ini sistem kita dalam kaitannya dalam profesi ini
tidak membedakan yang boleh bertindak dan yang tidak boleh bertindak di hadapan
pengadilan seperti di Inggris, antara solicitor dan barrister.[6]
Sebab di Inggris, menurut Yudha Pandu[7]
untuk menjadi solicitor dan barrister harus melalui ujian saringan yang
dilakukan oleh suatu badan yang disebut “legal Practitioners Adminission
Board”, suatu badan yang mengatur dan berdiri sendiri (otonom). Perbedaan ujian
antara calon solicitor dan barrister adalah solicitor ujiannya terkonsentrasi
pada praktik hukum di luar pengadilan, sedangakan barrister ujiannya
terkonsentrasi pada praktik hukum acara di dalam pengadilan (courtroom
specialist).
Namun demikian, setelah diundangkannya UU
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka semua peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan masalah hukum, telah mempergunakan istilah advokat
misalnya, UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Advokat merupakan salah satu lembaga atau
organisasi yang memiliki peran yang sangat strategis dalam penegakan hukum di
suatu negara. Advokat di negara maju mempunyai status sosial tinggi
dibandingkan dengan profesi lainnya. Namun demikian, tidaklah heran kalau
advokat sangat banyak digandrungi oleh sarjana-sarjana hukum barat. Oleh karna
itu, sebagai sebuah organisasi yang banyak diminati saat ini, maka tepat kalau
terdapat suatu undang-undang yang menjadi payung hukum bagi semua penasehat
hukum atau lembaga-lembaga yang memeberi jasa layanan hukum.[8]
B. Pengangkatan, Sumpah, Status, Penindakan, dan Pemberhentian Advokat
Untuk diangkat sebagai advokat, haruslah
berlatar belakang pendidikan ilmu hukum. Hala ini sesuai ketentuan dalam
pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2003. Bertitik
tolak dari ketentuan pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2003 , maka tampaknya keberadaan
UU ini ingin memperbaiki pengangkatan Advokat pada masa yang lalu, ketika
campur tangan institusi peradilan sangat kental sekali. Hal ini terbukti, sebab
seorang advokat pada masa yang lalu, pengangkatannya melalui Menteri Kehakiman
setelah lulus ujian yang dilaksanakan oleh Menteri Kehakiman. Namun demikian,
dengan diundangkannya UU ini, jelas bahwa yang boleh mengangkat Advokat adalah
organisasi advokat itu sendiri. Selain pengangkatan advokat sebagaimana yang
diatur dalam pasal 2 diatas, maka untuk dapat diangkat menjadi Advokat, harus
terpenuhi persyaratan sebagai berikut:[9]
a. Warga negara Republik Indonesia
b. Bertempat tinggal di Indonesia;[10]
c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;[11]
d. Berusia sekurang-kurangnya 25 tahun;
e. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
f. Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat;
g. magang[12]
sekurang-kurangnya 2 tahun terus-menerus pada kantor advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana penjara 5 tahun atau
lebih;
i.
berprilaku baik, jujur, bertanggung jawab,
adil dan mempunyai integritas yang tinggi.
Mencermati dengan seksama ketentuan Pasal 3 UU
Nomor 18 Tahun 2003 di atas, terdapat gambaran bahwa yang dapat berprofesi
sebagai advokat adalah orang yang benar-benar membaktikan dirinya pada dunia
advokat dan tidak diperkenankan lagi
pegawai negeri sipil. Dengan adanya persyaratan ini, pegawai negeri sipil tidak
diperkenankan lagi merangkap sebagai pengacara. Di samping itu, dalam peraturan
UU Advokat ini telah diatur pula mengenai keharusan seorang advokat muda untuk
melakukan magang selama 2 tahun di kantor advokat senior. Adanya ketentuan ini
mempunyai makna bahwa seseorang advokat yang baru perlu persiapan diri sebelum
terjen menjadi seorang advokat yang profesional, persiapan yang dimaksud:[13]
a. persiapan mental. Mental yang dimaksud di sini adalah mental yang berkaitan
dengan penyesuaian dengan kondisi penegak hukum lain, misalnya polisi, jaksa,
dan hakim.
b. Persiapan pengalaman. Pekerjaan advokat merupakan pekerjaan keterampilan,
sehingga membutuhkan pengalaman.
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 UU Nomor
18 tahun 2003 di atas, setelah seseorang Advokat dinyatakan lulus dalam suatu
saringan yang dilakukan oleh Organisasi advokat tersebut, maka sebelum
menjalankan profesinya, wajib mengangkat sumpah. Hal ini sesuai ketentuan dalam
pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 dinyatakan bahwa sebelum menjalankan
profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
hukumnya. Adapun Lafaz atau kata-kata sumpah atau janji tersebut sebagai
berikut.
“demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:
·
Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan
pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia;
·
Bahwa saya untuk meperoleh profesi ini,
langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga;
·
Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di
dalam maupun di luar pengadilan, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau
menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani;
·
Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan
akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan
tanggung jawab saya sebagai advokat;
·
Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan
pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hematsaya
merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.”
C. Penindakan dan Pemberhentian Advokat
Advokat sebagai sebuah lembaga atau institusi
yang memberikan pelayanan hukum kepada klien, dapat saja diberikan tindakan
apabila tidak sungguh-sungguh menjalankan profesinya tersebut. Hal ini sesuai
ketentuan dalam pasal 6 UU Nomor 18 tahun 2003, dinyatakan bahwa advokat dapat
dikenakan tindakan dengan alsan-alasan:
a. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan
profesinya;
c. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang
menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan,
atau pengadilan;[14]
d. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat
dan martabat profesinya;
e. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau
perbuatan tercela;
f. Melanggar sumpah/janji advokat dan/atau kode etik profesi advokat.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 6 UU Nomor
18 tahun 2003 di atas memang bisa saja seorang advokat sebagai penegak hukum
tempat masyarakat mengadukan nasibnya melakukan tindakan-tindakan yang tidak
baik, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa dunia hukum saat ini menjadi buram
atau hitam diakibatkan adanya sebagian pengacara yang tidak benar menjalankan
profesinya, bahkan sering kali menyalahgunakan hukum itu sendiri.[15]
Berkaitan dengan ketentuan dalam pasal 6 di
atas , soerang advokat yang telah melakukan tindakna atau perbuatan yang tidak
baikdapat saja dikenakan tindakan sebagai sanksi. Hal ini diatur dalam pasal 7
ayat 1, dinyatakan bahwa jenis tindakan dikenakan terhadap advokat dapat
berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 sampai 12 bulan;
d. Pemberhentian tetap dari profesinya;
Sehubungan dengan telah dijatuhkannya tindakan
kepada seorang advokat yang dianggab telah melanggar salah satu ketentuan dalam
pasal 6 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003, maka yang berhak untuk melakukan
tindakan selanjutnya adalah Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (ayat (2)).
Namun putusan dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Advokat kepada seorang Advokat yang
dianggab telah melanggar Pasal 6 tersebut, kepada advokat yang
bersangkutandiberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri (ayat (3)).[16]
D. Hak dan Kewajiban Advokat
Lembaga advokat sebagai profesi yang
menjalankan fungsi utama membantu klien dalam mengurus perkaranya, tetapi
sekaligus sebagai penegak hukum yang paling utama. Oleh karna itu, wajar kalau
dalam menjalankan profesinya tetap memiliki landasan pijakan berupa hak dan
kewajiban yang melekat pada diri advokat tersebut. Dalam pasal 14 UU Nomor 18
Tahun 2003 dinyatakan bahwa:
Advokat bebas[17]
mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam mebela perkara yang menjadi
tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode
etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dalam pasal 14 UU Nomor 18 Tahun
2003 di atas lebih lanjut dipertegas oleh ketentuan pasal 15 UU Nomor 18 yang
menyatakan bahwa advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik
profesi dan peraturan perundang-undangan.[18]
Sementara ituseorang advokat dalam menjalankan profesinya tetap memiliki
tanggung jawab dalam mebela perkara yang diajukan klien kepadanya. Begitu pula
seorang advokat dalam menjalankan profesinya tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hal ini sesuai
ketentuan dalam pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003.[19]
Seorang advokat dalam menjalankan profesinya
memerlukan dukungan dari semua instansi atau lembaga hukum dan lembaga lainnya yang
memiliki hubungan dengan kepentingan pembelaan kliennya tersebut. Hal ini
sesuai ketentuan dalam pasal 17 UU Nomor 18 Tahun 2003 yang dinyatakan sebagai
berikut.
Dalam menjalankan profesinya, advokat berhak
memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari internal pemerintah
maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan
untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 17 UU
Nomor 18 Tahun 2003 di atas, maka seorang advokat harus netral dalam
menjalankan profesinya tersebut. Kenetralan ini sebagai akibat dari profesi
advokat sebagai pemberi jasa layanan yang sangat dibituhkan oleh siapa pun[20].
BAB III
KESIMPULAN
Seorang
advokat yang baik mampu menjalankan profesinya sesuia dengan kode etik dan
keadilan. Dalam konsep islam, manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling
sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya, seperti hewan/ binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Keistimewaan manusia, karena Allah melengkapinya dengan akal,
pikiran, perasaan, dan hati nurani. Instrumen yang dimiliki manusia tersebut,
dibuanakan sebagai sarana untuk dapat mengendalikan hawa nafsunya dalam
mengarungi proses kehidupannya. Instrumen ini juga merupakan alat yang sangat
ampuh untuk dijadikan sebagai sarana dalam memutuskan sesuatu. Sebab pelu
diketahui bahwa dalam proses menjalani kehidupan ini, opsi yang diberikan oleh
Allah SWT, hanya dua, “baik” atau “buruk”,”gagal” atau “berhasil”,”menangis”
atau “tertawa”, dan “benar” atau “salah”. Inilah yang harus dipahami oleh
penegak hukum (jaksa, polisi, hakim, dan pengacara) dalam menjalankan
profesinya.
Seorang advokat harus mampu membedakan mana
yang harus dibela dan mana yang harus patut disalahkan, sehingga keadilan
tercipta di dalam kehidupan ini.
Daftar Pustaka
Suparman
Syukur, 2004, Etika Religius, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Luhut M.P. Pangaribuan, 2002,
Advokat dan Contempt of Court: suatu proses di Dewan Kehormatan Profesi,
Djambatsn, Jakarta, Edisi Revisi.
Yudha Pandu, 2004, Klien & Advokat
dalam Praktik, Indonesia Legal Center Publishing, jakarta, (edisi revisi).
Supriadi, S.H., M.Hum, 2006, Etika dan
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
UU No 18
Tahun 2003
[1] Suparman Syukur, Etika Religius,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 1
[2] Advokat adalah ahli hukum yang
berwenang sebagai penasehat atau pembela perkara di pengadilan ; pengacara,
lihat kamus besar bahasa indonesia, edisi kedua, Depaertemen pendidikan dan
kebudayaan, balai pustaka, jakarta, hlm. 8
[3] Lihat Penjelasan UU Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat.
[4] Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan
Contempt of Court: suatu proses di Dewan Kehormatan Profesi, Djambatsn,
Jakarta, Edisi Revisi, 2002, hlm. 6.
[5] Ibid., hlm. 6
[6] Ibid., hlm. 6-7
[7] Yudha Pandu, Klien & Advokat dalam
Praktik, Indonesia Legal Center Publishing, jakarta, 2004 (edisi revisi), hlm.
30.
[8] Supriadi, S.H., M.Hum, Etika dan
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.
58.
[9] Lihat Pasal 3 UU Nomor 18 Tahun 2003
[10] Yang dimaksud dengan bertempat tinggal di
Indonesia adalah bahwa pada waktu seseorang diangkat sebagai advokat, orang
tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan tersebut tidak
mengurangi kebebasan seseorang setelah diangkat sebagai advokat untuk bertempat
tinggal di mana pun.
[11] Yang dimaksu dengan pegawai negeri dan
pejabat negeri adalah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian.
[12] Magang dimaksudkan agar calon advokat
dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan dan
etika dalam menjalankan profesinya. Magang dilakukan sebelum calon advokat
diangkat sebagai advokat dan dilakukan di kantor advokat. Magang tidak harus
dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut
dilakukan secara terus-menerus dan sekurang-kurangnya 2 tahun.
[13] Supriadi, S.H., M.Hum, Op.cit, hlm. 60.
[14] Ketentuan ini berlaku bagi advokat baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Hal ini, sebagai konsekuensi status advokat
sebagai penegak hukum, di manapun berada harus menunjukkan sikap hormat
terhadap hukum, peraturan perundang-undangn, atau pengadilan.
[15] Supriadi, S.H., M.Hum, Op.cit., hlm. 64
[16] Ibid., hlm. 64.
[17] Yang dimaksud dengan bebas adalah tanpa
tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan
harkat dan martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode
etik profesi dan peraturan
perundang-undangan.
[18] Ketentuan ini mengatur mengenai kebebasan
advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar
sidang pengadilan dan dalam mendampingi klliennya pada dengar pendapat di
lembaga perwakilan rakyat.
[19] Ibid., hlm 66
[20] Ibid., hlm. 67.