A.
PEMILU: SIRKULASI KEKUASAAN
DAN KEDAULATAN RAKYAT
Pemilu dalam sistem modern
seperti sekarang ini sesungguhnya adalah bagian dari perwujudan kedaulatan
rakyat karena rakyat diberikan kesempatan politik untuk memilih wakil-wakilnya.
Menurut Kacung Marijan, sistem pemilu berarti instrumen untuk menerjemahkan
perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan oleh
partai atau calon. Adapun variabel-variabel dasar yang sering dipakai mencakup
formula pemilihan (electoral formula), struktur penyuaraan (ballot structure),
dan besaran distrik (district magnitude).[1]
Dalam sistem demokrasi
perwakilan (representative democracy), sirkulasi kekuasaan ditentukan
oleh pemilu. Pemilu merupakan jawaban konkret dari partisipasi rakyat dalam
menentukan para pemimpin dan wakil-wakilnya dalam kelembagaan negara dan
merupakan simbol kedaulatan rakyat dalam sistme demokrasi. Karena itulah,
pemilu merupakan syarat mutlak dalam sistem demokrasi.
Menurut Jimly Asshiddiqie,
pengambilan keputusan oleh rakyat yang berdaulat tidak langsung dilakukan
lembaga perwakilan rakyat. Sistem perwakilan merupakan cara untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat secara tidak langsung. Dengan demikian, kepentingan rakyat
diharapkan dapat didengar dab turut menentukan proses penentuan kebijakan
kenegaraan, baik yang dituangkan dalam bentuk undang-undang maupun dalam bentuk
pengawasan terhadap kinerja pemerintahan dan upaya-upaya lain yang berkaitan
dengan kepentingan rakyat.[2]
Menurut Dahlan Thaib, dalam
masyarakat demokratis, pemilu yang dilakukan merupakan suatu proses pergantian
kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan
prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Dengan demikian, dapatlah dipahami
bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses
penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip
demokrasi. Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat
(demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses
pengambilan keputusan kenegaraan.[3]
Oleh karena itu, pemilu merupakan suatu proses pengambilan keputusan oleh
rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan sebagai sarana pengemban kedaulatan
rakyat dalam rangka pembentukan lembaga-lembaga perwakilan di samping pemilu
memiliki fungsi rekruitmen pemimpin dan legitimasi pelaksanaan kekuasaan.[4]
Menurut Moh. Kusnardi dan
Harmily Ibrahim, pemilu bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan
pemerintahan secara aman dan tertib, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan
melaksanakan hak asasi manusia.[5]
Jimly Asshiddiqie menambahkan tujuan keempat dari pemilu adalah untuk
memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan
rakyat di lembaga perwakilan.[6]
Pergantian pejabat di
negara-negara otoritarian dan totaliter berbeda dengan yang dipraktekkan di
negara demokrasi. Di negara otoriter dan totaliter, pergantian pejabat
ditentukan oleh sekelompok orang saja. Kelompok orang yang menentukan itu
bersifat oligarkis dan berpuncak di tangan satu orang. Sementara itu, di
lingkungan negara-negara yang menganut paham demokrasi, praktik yang demikian
itu tidak dapat diterapkan. Di negara-negara demokrasi, pergantian pejabat
pemerintahan dan legislatif ditentukan secara langsung oleh rakyat, yaitu
melalui pemilu yang dilaksanakan secara periodik.[7]
Di dalam sistem politik umat
islam di masa klasik, sirkulasi kekuasaan tidak ditentukan oleh pemilu dengan
prosedur-prosedur yang ketat. Prinsip yang disediakan dalam doktrin islam
adalah syura (musyawarah).[8]
Syura merupakan sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang digunakan
sebagai prinsip yang harus ditegakkan di muka bumi. Syura adalah prinsip yang
menegaskan bahwa sirkulasi kekuasaan dapat dibicarakan. Mengenai cara
bermusyawarah, lembaga permusyawaratan yang perlu dibentuk, cara pengmabilan
keputusan, cara pelaksanaan putusan musaywarah, dan aspek-aspek tata laksana
lainnya diserahkan kepada kelompok manusia yang bersangkutan untuk mengaturnya.
Jadi sebagai prinsip, musyawarah adalah syariat. Pemahamannya termasuk bidang
fikih dan pengaturannya termasuk siyasah syar’iyyah.[9]
Dalam praktiknya, Nabi
Muhammad sering bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dalam banyak hal.[10]
Karena itulah,dalam praktik politik umat islam, musyawarah yang telah menjadi
prinsip dalam bernegara diejawantahkan oleh para sahabatnya. Ada tiga periode
besar dalam sejarah politik umat islam:
1.
Periode pertama adalah periode sirkulasi kekuasaan
para khulafa’ al-Rsyidin yang teratur. Sejak khalifah Abu Bakara hingga
Khalifah Ali bin Abi Thalib, sirkulasi kekuasaan dilaksanakan secara
musyawarah, meskipun tidak menggunakan sistem pemilu seperti yang sekarang ini
dipraktikkan. Pemilihan khalifah Abu Bakar dalam sejrahnya dilkaukan oleh
golongan Muhajirin dan golongan Anshor di pertemuan Saqifah Bani Sa’idah.
Khalifah Umar, Utsman, dan Ali juga dipilih berdasarkan musyawarah para sahabat
besar (kibar al-shahabat).[11]
Mereka adalah tokoh-tokoh yang dapat mewakili dan mendapat kepercayaandari
umumnya kaum muslimin. Mereka dalam bahasa al-Mawardi adalah Ahlu
al-Ihtiyar, Ahlu al-Syura.
2.
Periode kedua adalah sirkulasi kekuasaan yang
turun menurun dalam sistem kerajaan islam. Periode ini diejawantahkan dalam
sistem pemerintahan Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah.
3.
Periode ketiga adalah sirkulasi kekuasaan di zaman
sekarang yang beragam karena ada negara yang berbentuk kerajaan dan ada negara
yang berbentuk republik.
Pada zaman modern ini,
sirkulasi kepemimpinan dilaksanakan secara bervariasi, ada negara yang
berbentuk kerajaan dan ada negara yang berbentuk republik. Berdasarkan
pengalaman sejarah politik umat islam di masa klasik, ada prinsip yang
menegaskan bahwa pemilihan kepala negara tidak dilakukan secara baku dalam satu
sistem, melainkan diberikan kewenangan kepada masyarakat islam di zamannya
untuk mengembangkan sistem pemilihan yang sesuai. Ini adalah masalah Siyasah
(Politik) yang terus berkembang.[12]
B.
Sistem dan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
UUD 1945 dalam pasal-pasalnya
tidak secara jelas mengatur tentang pemilihan umum berbeda dengan konstitusi
RIS dan UUDS 1950. Ketentuan tentang pemilihan itu hanya dikembangkan dari:
1.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
“kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Syarat
kedaulatan rakyat adalah pemilihan umum.
2.
Pasal 7 UUD 1945 menyatakan, “presiden dan wakil
presiden memegang jabatannya selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”.
3.
Penjelasan pasal 3 UUD 1945 yang menyatakan, “...
sekali dalam 5 tahun Majelis memerhatikan segala hal yang terjadi...” dari
butir 2 dan 3 dapat dikembangkan bahwa pemilu di Indonesia dilaksananakan
sekali dalam 5 tahun.
4.
Pasal 19 UUD 1945, susunan DPR ditetapkan dengan
undang-undang. Undang-undang yang dimaksud berarti mengatur pemilihan umum.
Keinginan untuk melaksanakan
pemilihan umum oleh pembentukan UUD 1945 tercermin dalam aturan tambahan yang
berbunyi: “dalam enam bulan sesudah berkhirnya peperangan Asia Timur Raya,
Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan
oleh undang-undang dasar ini”. Di samping itu, menurut Sri Soemantri M.,
landasan berpijak lainnya mengenai pemilu yang juga mendasar adalah demokrasi
pancasila yang secara tersirat dan tersurat juga kita temukan dalam pembukaan
UUD 1945, paragraf keempat.[13]
Sila keempat Pancasila menyatakan, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Ketentuan-ketentuan
konstitusional dalam pancasila, pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 tersebut
memberikan isyarat adanya proses dan mekasime kegiatan nasional lima tahunan.
Akan tetapi, karena ketatanegaraan yang belum memungkinkan ketika itu, selama
berlakunya UUD 1945 yang pertama ini pemilu belum dapat dilaksanakan.[14]
Baru setelah terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia tahun 1950,
disusun sebuah konstitusi (UUDS 1950) yang mengatur penyelenggaraan pemilu yang
dalam pasal 53 menyatakan, “Kemauan Rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa,
kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan
menurut hak pilih yang bersifat umum dan kebersamaan serta dengan pemungutan
suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan
mengeluarkan suara’. Atas dasar pasal ini pemerintah dan DPR membentuk UU no. 7
tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan anggota DPR, dan pada
tanggal 29 September 1955 diselenggarakanlah pemilu yang pertama di Indonesia.
Awal berlakunya kembali ke UUD
1945 yaitu pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), pemilihan umum belum
pernah atau belum sempat terlaksanakan, bahkan keinginan untuk itu pun belum pernah
ada. Baru setelah orde baru memegang kekuasaan di Indonesia , keinginan untuk
melaksanakan pemilihan umum muncul kembali. Hal itu dianut dalam amanat rakyat
melalui ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1965 yang menyatakan antara lain: “pemilihan
umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia diselenggarakan dengan
pemungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 juli 1968”. Tetapi karena
kondisi politik yang belum memungkinkan, penyelenggaraan suatu pemilihan umum
dan kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan untuk membiayai suatu pemilihan
umum 5 Juli 1968, amanat tersebut belum dapat dilaksanakan. Hal itu menyebabkan
MPRS melalui ketetapan MPRS No. XLII/MPRS/1968. Menetapkan bahwa pemilihan umum
akan diselenggarakan selambat-lambatnya 5 Juli 1971. Atas dasar ketetapan MPRS
ini, presiden dan DPR menetapkan UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum
anggota-anggota Badan Permusyawaratan/perwakilan rakyat dan UU No. 16 tahun
1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Atas dasar ketentuan tersebut
maka secara teratur diselenggarakanlah pemilu di Indonesia.[15]
Setelah diadakannya perubahan
UUD 1945 oleh MPR pada sidang tahunan 2001, masalah pemilumulai diatur secara
tegas dalam UUD 1945 Bab VIIB pasal 22 tentang pemilu. Lalu setelah adanya
ketentuan mengenai pemilihan umum dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk memberi
landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu sebagai salah satu wahana pelaksanaan
kedaulatan rakyat. Dengan adanya ketentuan itu dalam UUD 1945, maka lebih
menjamin waktu penyelenggaraan pemilu secara teratur reguler (perlima tahun)
maupun menjamin proses dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu
yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), serta jujur dan adil
(jurdil).
Baik UU No. 7 tahun 1953 yang mengatur pemilu 1955 maupun UU No. 15 tahun
1969 denga perubahannya, menganut system pemilihan proporsional (suara
berimbang), dalam penyelenggaraan system proporsional di Indonesia maka daerah
pemilihan ditentukan daerah tingkat I. bila daerah tingkat II paling sedikit
mempunyai satu wakil di DPR pusat maka ketentuan ini mirip dengan system
pemilihan distrik karena itu disebut system ini bervariasi dengan system
distrik.[16]
Pemilu tahun 1971, untuk memilih anggota-anggota DPRD Tingkat II,
anggota-anggota DPRD tingkat I dan anggota-anggota DPR. Pemilihan umum ini pada
pada asasnya menganut system pemilihan umum proporsional. Pemilu tahun 1971
sampai dengan pemilu 1987 sistem pemilihan umum yang dipakai sama dengan
sebelumnya yakni system proporsional. Pemilu tahun 1992 sistem pemilihan umum
yang dipakai adalah proporsional. Pemilu tahun 1997 dipakai system perwakilan
berimbang dengan stelsel daftar. Pemilu tahun 1999 dilaksanakan dengan
menggunakan system proporsional berdasarkan stelsel daftar. Berbeda dengan
pemilu sebelumnya, pemilu tahun 2004 untuk memilih anggota DPD dilaksanakan
dengan system distrik berwakil banyak.
Pada umumnya, cara yang biasa dianut untuk mengisi keanggotaan lembaga
perwakilan melalui pengangkatan (penunjukan) atau pengangkatan biasa disebut
system pemilihan organis dan pemilihan umum yang biasa disebut system pemilihan
mekanis. Akan tetapi, pelaksanaan kedua system tersebut tidak sama di semua
negara karena biasanya disesuaikan dengan masing-masing negara.
Menurut Wolhoff,[17]
dalam system organisme, rakyat dipandang sebagai sejumlah individu-individu
yang hidup bersama-sama dalam braneka warna persekutuan hidup seperti genealogi
(rumah tangga), territorial (desa. Kota, daerah), fungsional special (cabang
industry), lapisan-lapisan, dan sebagainya. Masyarakat dipandangnya sebagai
suatu organisasi yang terdiri dari organ-organ yang mempunyai kedudukan dan
fungsi tertentu dalam totalitet organisasi itu, yaitu persekutuan-persekutuan
hidup di atas. Persekutuan-persekutuan hidup inilah sebagai pengendali hak
pilih, atau lebih tepat sebagai hak untuk mengutus wakil-wakil kepada
Perwakilan Masyarakat (rakyat). Badan perwakilan menurut system organisme ini
bersifat badan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup yang
biasa disebut Dewan Korporatif.
Dalam pemilihan mekanis, menurut Wolhoff, rakyat dipandang sebagai massa
individu-individu yang sama. Individu-individu inilah yang berfungsi sebagai
pengendali hak pilih aktif dengan masing-masing mengeluarkan satu suara dalam
tiap pemilihan untuk satu lembaga perwakilan. System pemilihan mekanis biasanya
dilaksanakan dengan dua system pemilihan umum, yaitu: a) system proporsional:
b) system distrik.
System pemilihan proporsional adalah suatu system pemilihan di mana kursi
yang tersedia di parlemen dibagikan kepada partai-partai politik (organisasi
peserta pemilihan umum) sesuai dengan imbangan perolehan suara yang didapat
partai politik/organisasi peserta pemilihan bersangkutan. Oleh karena itu,
system pemilihan umum ini disebut juga dengan “system berimbang”.[18]
Dalam system ini, wilayah negara merupakan satu daerah pemilihan. Akan
tetapi, karena luasnya wilayah negara dan jumlah penduduk warga negara yang
cukup banyak, wilayah itu dibagi atas daerah-daerah pemilihan (mislanya
provinsi menjadi satu daerah pemilihan). Kepada daerah-daerah pemilihan ini
dibagikan sejumlah kursi yang harus diperebutkan, luas daerah pemilihan,
pertimbangan politik dan sebgainya. Hal yang pasti adalah jumlah kursi yang
diperebutkan pada masing-masing daerah pemilihan lebih dari satu, Karena itu
system pemilihan proporsional ini disebut juga dengan “Multi-member
constituency”. Sisa suara dari masing-masing peserta pemilihan umum di
daerah pemilihan tertentu tidak dapat lagi digabungkan dengan sisa suara di
daerah pemilihan lainnya.
Segi-segi positif dari system pemilihan proporsional adalah (1) suara
yang tebuang sangat sedikit; (2) partai-partai politik kecil/minoritas, besar
kemungkinan mendapat kursi di parlemen, sedangkan segi-segi negative dari
system ini adalah sebagai berikut:[19]
1.
System ini mempermudah
fragmentasi partai politik dan timbulnya partai-partai politik baru. System ini
tidak menjurus kea rah integrase bermacam-macam golongan dalam masyarakat,
tetapi kecenderungan lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan oleh
karena itu kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan.
Sebagai akibatnya system pemerintahan umum ini memperbanyak jumlah partai
politik.
2.
Setiap calon yang terpilih
mejadi anggota parlemen merasa dirinya lebih terikat kepada partai politik yang
mencalonkan dan kurang merasakan loyalitasnya kepada rakyat yang telah
memilihnya.
3.
Banyaknya partai politik
mempersukar dalam membentuk pemerintahan yang stabil, lebih-lebih dalam system
pemerintahan parlementer. Karena pembentukan pemerintahan/cabinet harus
didasarkan atas koalisi (kerja sama) antara dua partai politik atau lebih.
4.
Terjadinya pencerminan
pendapat yang salah tingkat pertama (the first stage of distortion of opinion).
System pemilihan distrik adalah suatu system pemilihan yang wilayah
negaranya dibagi atas distrik-distrik pemilihan, yang jumlahnya sama dengan
jumlah kursi yang tersedia di parlemen. Setiap distrik pemilihan hanya memilih
satu orang wakil dari calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai
politik/organisasi peserta pemilihan umum. Oleh Karena itu, sistm ini juga
disebut “single-member constituency”. Pihak yang menjadi pemenangnya (calon
terpilih) adalah yang memproleh suara terbanyak (mayoritas) dalam distrik
tersebut.
Segi-segi positif system pemilihan distrik adalah:[20]
1.
Hubungan antara si pemilih
dengan wakilnya sangat dekat, Karen aitu partai-partai politik tidak berani
mencalonkan orang yang tidak popular (tidak dikenal) dalam distrik tersebut.
Terpilihnya seorang calon biasanya Karena kualitas dan kepopulerannya, dan baru
kemudian kepopuleran partai politiknya.
2.
System ini mendorong
bersatunya partai-partai politik. Karena calon yang terpilih hanya satu,
beberapa partai politik dipaksa/terpaksa bergabung untuk mencalonkan seorang
yang lebih popular dan berkualitas seorang yang lebih popular dan berkualitas
serta berbakat di antara calon-calon yang lain.
3.
System pemilihan ini akan
mengakibatkan terjadinya penyederhanaan jumlah partai politik.
4.
Organisasi penyelenggara
pemilihan dengan system ini lebih sederhana, tidak perlu memakai banyak orang
untuk duduk dalam panitia pemilihan. Biaya lebih murah dan perhitungan suara
lebih singkat Karena tidak perlu menghitung sisa suara yang terbuang.
Segi-segi negative system pemilihan distrik adalah sebagai berikut:
1.
Kemungkinan akan ada suara
yang terbuang. Bahkan, ada kemungkinan calon terpilih mendapat suara minoritas
lawan-lawannya.
2.
System ini akan menyulitkan
partai-partai kecil dan golongan-golongan minoritas. Sukar bagi mereka
mempunyai wakil di lembaga perwakilan.
3.
Terjadinya pencerminan
pendapat yang salah tingkat pertama dan tingkat dua.
Untuk konteks Indonesia, banyak sekali orang yang mencampuradukkan antara
electoral laws dengan electoral processes. Di dalam ilmu politik yang disebut
dengan electoral laws menurut Douglas Rae, adalah system pemilihan dan aturan
yang menata bagaimana pemilu dijalankan serta distribusi hasil pemilihan umum.
Sementara electoral procces adalah mekanisme yang dijalankan di dalam pemilihan
umum, seperti misalnya mekanisme penentuan calon, serta berkampanya, dan
lain-lainnya.[21]
Munurut Affan Gafar, system pemilihan (electoral laws) tidak mempunyai
kaitan dengan system kepartaian di Indonesia. Proses dan mekanisme pemilihan
yang membawa konsekuensi terhadap system kepartaian. Ada dua alasan yang
mendasari pendapat tersebut; pertama, sejak tahun 1973 Indonesia sudah menganut
system tiga partai yang merupakan hasil reformasi system kepartaian yang dibuat
oleh pemerintah, bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah. Akibatnya karena
peraturan yang ada maka sudah tidak meungkin lagi untuk membentuk partai
politik yang baru, kecuali kalua undang-undangnya yang harus diubah. Kedua,
mekanisme dan proses pemilu yang tidak kompetitif telah berhasil membuat partai
politik yang hegemonik.
Proses pemilihan umum tersebut
mencakup rekruitemn, calon-calon yang tidak terbuka, terutama untuk
partai-partai politik yang nonpemerintah. Di dalam proses rekrutmen tersebut
partai yang nonpemerintah tidak mempunyai keleluasan untuk menampilkan
calon-calon yang mempunyai kualitas yang tinggi yang mempunyai kharisma
sehingga mampu menarik massa dukungan yang diharapkan. Hal itu terjadi karena
besarnya peranan Lembaga Pemilihan Umum dan Komkamtib di dalam menyaring
calon-calon yang diajukan oleh partai.[22]
Ketika situasi politik berubah
searah arus reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto tahun
1998, pelaksanaan pemilu tahun 1999 yang disiapkan dalam waktu singkat,
terlaksana dengan relatif bebas, jujur, dan adil khusunya jika dibandingkan
dengan pelaksanaan pemilu sebelumnya pada rezim orde baru. Penyelenggaraan
pemilu tahun 1999 adalah langka awal dan belum mempu menjadi sarana partisipasi
politik rakyat. Pada tahun 2004 bangsa Indonesia mendapat ujian yang berat
karena disibukkan dengan banyaknya jadwal pemilihan, mulai dari pemilu anggota
DPR,DPR,DPRD sampai dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dan untuk
pertama kalinya dalam sejarah pemilu di Indonesia, perselisihan hasil pemilu
Legislatif 2004 diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi.[23]
Pada tahun 2009, terdapat tiga macam pemilu yakni pemilu Legislatif pada 19
April 2009, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada 8 Juli 2009, serta pemilu
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telh dilaksanakan pada akhir 2008
dan awal 2009. DOWNLOAD GRATIS EBOOK/BUKU (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
[1] Yang dimaksud formula pemilihan adalah
aturan-aturan perhitungan di dalam sistem pemilu. Aturan-aturan perhitungan ini
pula biasanya yang dipakai sebagai landasan untuk membedakan sistem pemilu yang
satu dengan yang lain, seperti single member plurality, majotarian system,
single tranfereable, dan the list system. Struktur penyuaraan adalah
pemilihan-pemilihan yang tersedia kepada pemilihan. Pilihan demikian biasanya
membentuk penyuaraan kategoris (categoric ballot) di mana pemilih dihadapkan
pada hanya satu pilihan, yaitu calon atau partai, dan berbentuk penyuaraan
ordinal (ordinal ballot) di mana pemilih diberi kesempatan untuk melakukan
ranking terhadap pilihan-pilihan yang ada. Sedangkan yang dimaksud besaran
distrik adalah besaran daerah pemillihan di dalam menentukan jumlah para wakil,
seperti single member district hanya memilih satu wakil di setiap daerah
pemilihan, dan multi member district yang memungkinkan suatu daerah memiliki
dua atau lebih wakil. Lihat Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi
Demokrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 83.
[2] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, cetakan kedua, (Jakarta: BIP, 2008),
hlm. 740.
[3] Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia
Perspektif Konstitusional, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 98.
[4] Ibid., hlm. 103.
[5] Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Hukum
Tata Negara Indonesia, cetakan ketujuh, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum UI, 1988).
[6] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata
Negara, (Jakart: Rajawali Pers, 2011), hlm. 419.
[7] Ibid.,hlm. 419-420.
[8] QS. Al-Syura/42:38 dan QS. Ali Imran/3:
159
[9] Ahmad Sukardja dan Ahmad Sudirman Abbas,
Demokrasi dalam perspektif Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dan Anglo Media,
2005), hlm. 1.
[10] Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,
(Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi Wa Auladuh, tth), Juz 25, hlm.52-53.
[11] Abdul Hamid Isma’il al-Anshori,
al-Syura wa Atsaruha fi al-Dimukratiyah (Kairo: al-Mathba’ah al-Slafiyah,
1980).
[12] Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), Hlm.160
[13] Sri Soemantri M., Sistem Pemilu Dalam
Ketatanegaraan Indonesia, Majalah PERSAHI, Nomor Ketiga, Januari 1990.
[14] Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan
dan Pemilihan Umum di Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), hlm.
181.
[15] Ni’matu Huda, Hukum Tata Negara
Indonesia edisi revisi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), Hlm. 289
[16]
Bintan R. Saragih, Lembaga…. Op.cit.,hlm. 185.
[17]
Bintan R. Saragih, Lembaga…. Op.cit. hlm.171
[18]
Sri Soemantri M., “Pelaksanaan Pemilu Indonesia (Menulusuri UU Pemilihan dan
UU Partai Politik dan Golkar)”, dalam Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda (ed),
Pemilu…,op.cit., hlm. 22
[19]
Ibid. Lihat juga Bintan R Saragih, Lembaga…, op.cit.,hlm.180.
[20]
Ibid.
[21]
Affan Gafar, “Sistem Pemilihan Umum di Indonesia Beberapa Catatan Kritis”, dalam Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda (ed),
Pemilu…, Ibid., hlm 31.
[22] Ibid., hlm. 37-38.
[23] Berita Mahkamah Konstitusi, Edisi Khusus,
2004, hlm. 4.