>>>Baca juga Kumpulan Judul Skripsi Perdata
>>>Baca Juga Cerita Unik
FASE-FASE PELAKSANAAN TINDAK PIDANA
Suatu tindak pidana akan melalui fase-fase
tertentu sebelum terpidana melakukannya. Pertama-tama, dua memikirkannya,
kemudian berniat untuk melakukannya, kemudian mempersiapkan fasilitas-fasilitas
dan cara-cara untuk melaksanakan aksinya, seperti membeli senjata yang
digunakan untuk membunuh atau alat pencongkel dinding rumah yang akan menjadi
sasaran aksi pencuriannya, atau mempersiapkan kunci buatan untuk membuka pintu
tempat lokasi tindak pidana. Apabila terpidana telah mempersiapkan
fasilitas-fasilitas tindak pidana, dia akan beralih kepada fase ketiga yaitu,
fase pelaksanaan. Pada fase ini, dia akanmulai melancarkan aksinya menurut
strategi dan cara-cara yang dipikirkan dan dipersiapkannya.
Inilah tiga fase yang akan dilalui oleh
terpidana sampai dia bisa melaksanakan suatu tindak pidana. Pertanyaannya, fase
mana saja yang dianggap maksiat dan selanjutnya masuk dalam kategori tindak pidana
yang patut mendapat hukuman?
1. Fase Pertama, Fase Pemikiran dan Perencanaan
Pemikiran untuk melakukan tindak pidana dan
perencanaan untuk melancarkan aksinya tidak dipandang sebagai maksiat yang
patut mendapatkan hukuman takzir dan tidak dianggab sebagai tindak pidana yang
patut mendapat hukuman. Ini karena kaidah dalam hokum Islam menetapkan bahwa
islam tidak menghukum bisikan hati manusia atau suara hati atau suatu perkataan
atau perbuatan, begitu juga tidak mengambil tindakan terhadap apa yang masih
direncanakan oleh seseorang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW.
“sesungguhnya, Allah SWT mengampuni umatku
atas bisikan atau gejolak hatinya selama mereka belum melakukan atau
mengucapkannya.”
Dengan demikian, manusia hanya akan
dituntut atas apa yang telah diucapkannya dan apa yang diperbuatnya.
Dasar-dasar (kaidah) asasi tersebut yang
telah diterapkan oleh hokum Islam sejak awal keberadaannya adalah kaidah baru
dalam hokum konvensional. Sekarang ini, semua dasar itu diambil oleh hokum
konvensionalnya, tetapi dasar-dasar tersebut baru dikenal dan diambil semenjak
penghujung abad XVII pasca-Revolusi Prancis. Sebelum itu, niat atau pemikiran
dapat dihukum apabila hal itu dapat dibuktikan. Dalam penetapan dasar-dasar
ini, hokum islam telah mendahului semua hokum konvensional. Tatkala hokum
konvensional terlambat mengambil dasar-dasar ini, sebenarnya ia hanya mengambil
dasar-dasar asasi dalam hokum islam. Dalam hal ini, hokum islam tetap tidak
mempunyai pengecualian (istisna) terhadap dasar-dasar asasi ini, sedangkan
hokum konvensional memiliki pengecualian-pengecualian terhadap dasar-dasar ini.
Sebagai contoh, hokum pidana mesir dan prancis membedakan antara hokum-hukum
pembunuhan disengaja yang disertai dengan keteguhan niat atau pengintaian
(perencanaan) terlebih dahulu dan pembunuhan disengaja yang tidak didahului
oleh keduanya. Kedua hokum pidana Negara itu memberikan hukuman yang berat
terhadap perkara pertamadan memberikan keringanan pada perkara yang kedua.
Menurut KUHP Republik Persatuan Arab,
pelaku pembunuhan berencana di jatuhi hukuman mati, sedangkan pelaku pembunuhan
biasa dijatuhi hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara. Adapaun menurut
KUHP Indonesia, pelaku pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara
seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun,
sedangkan pelaku pembunuhan biasa dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
lima belas tahun.[1]
2. Fase Kedua, Fase Persiapan
Fase persiapan tidak bisa dianggab sebagai
maksiat. Hokum Islam tidak menghukum seseorang atau tindakannya menyiapkan
sarana untuk melakukan tindak pidana kecuali bila tindakan mempersiapkan itu
dianggab maksiat pada zatnya, seperti seseorang yang hendak mencuri dengan cara
membuat seseorang mabuk. Si pencuri itu kemudian membeli sesuatu yang
memabukkan. Dalam hal ini, perbuatan seperti itu dianggab maksiat, pelakunya
dihukum tanpa harus menunggu hingga ia melaksanakan tujuan utamanya, yaitu
mencuri.
Mengapa fase persiapan melakukan tindak
pidana tidak bisa dianggab sebagai tindak pidana? Karena hanya
tindakan-tindakan tersangka yang dikategorikan sebagai maksiat yang dapat
dihukum. Sementara itu, tersangka baru dianggab melakukan maksiat setelah dia
melanggar hak Allah, hak masyarakat, atau hak perseorangan.
Pada umumnya, tindakan mempersiapkan sarana
unutk melakukan tindak pidana tidak dapat dipandang sebagai pelanggaran secara
nyata terhadap hak masyarakat, atau hak perseorangan.
Pada umumnya, tindakan mempersiapkan sarana
untuk melakukan tindak pidanan tidak dapat dipandang sebagai pelanggaran secara
nyata terhadap hak masyarakat atau hak perseorangan. Adapun jika
tindakan-tindakan tersebut hendak dianggab sebagai pelanggaran, anaggapan atas
pelanggaran tersebut dapat diragukan. Hokum Islam tidak menetapkan seseorang
telah melakukan tindak pidana kecuali dengan adanya bukti secara meyakinkan dan
tanpa ada keraguan.
3. Fase Ketiga, Fase Pelaksanaan
Inilah satu-satunya fase yang pelakunya
dianggab telah melakukan tindak pidana. Suatu tindakan dianggab sebagai tindak
pidana jika perbuatan tersebut di kategorikan sebagai perbuatan maksiat.
Artinya, perbuatan tersebut melanggar hak masyarakat atau hak perseorangan.
Untuk dikategorikan sebagai tindak pidana,
sebuah perbuatan tidka harus berupa perbuatan permulaan dari pelaksanaan unsur
material tindak pidana, tetapi perbuatan itu cukup yang dianggab sebagai
maksiat. Meskipun demikian, perbuatan itu harus dimaksudkan untuk melaksanakan
untuk material tindak pidana kendati di antara tindakan itu dan unsur material
masih ada beberapa langkah lanjutan. Dalam masalah perbuatan mencuri misalnya,
tindakan mencongkel, menaiki atap, merusak pintu, dan membukanya dengan kunci
buatan, semua itu dipandang sebagai maksiat yang patut mendapatkan hukuman
takzir, selanjutnya dapat dikategorikan sebagai percobaan tindak pidana
pencurian. Hal ini terjadi meskipun di antara semua tindakan percobaan dan di
antara tindak-tindak material untuk melakukan tindak pidana (mencuri) masih
terdapat beberapa fase, seperti masuk ke tempat pencurian, menguasai
barang-barang curian, dan mengeluarkannya dari tempat penyimpanan. Apabila
seseorang mencongkel, membuka pintu, atau mencoba menaiki atap rumah, ia akan
dijatuhi hukuman takzir karena dianggab sebagai pelaku maksiat atau pelaku
percobaaan pencurian meskipun dalam menjalankan aksinya itu ia belum selesai
melakukannya.
Seseorang dianggab sebagai pelaku maksiat
dan dikenal hukuman takzir karena ia dipandang sebagai pelaku percobaan zina
apabila dia memasuki rumah seorang wanita untuk tujuan berzina, berduaan dengan
wanita dalam satu kamar, menciumnya, memeluknya, atau mlakukan foreplay
dengannya. Dalam hal ini, si pelaku dihukum atas perbuatan-perbuatannya
tersebut meskipun antara dirinya dan perbuatan tindak pidana material (zina)
terdapat banyak langkah perbuatan untuk sampai melakukan zina.
Abu Abdillah az-Zubairi berpendapat bahwa
tersangka harus dikenai hukuman takzir dengan memandangnya telah melakukan
maksiat atau berencana melakukan pencurian, yaitu apabila dia didapati di
samping rumah yang ingin dicurinya dan dia memiliki linggis yang dipakainya
untuk membuka pintu atau alat untuk melindungi dinding. Demikianlah, pelaku
tetap dikenai hukuman meskipun dia belum mulai membuka pintu atau melubangi
dinding, yakni apabila dia terbukti bertujuan mencuri. Abu Abdillah az-Zubairi
juga berpendapat bahwa tersangka harus dikenai hukuman apabila dia didapati sedang
mengancam seseorang penjaga took dan bermaksud mencuri barang-barang yang
dijaga penjaga toko tersebut.[2]
Ukuran perbuatan percobaan tindak pidana
yang dikenai hukuman yaitu bila terdapat hasil perbuatan tersangka yang
mengakibatkan maksiat, seperti adanya lubang. Untuk mengetahui apakah
tindakannya itu merupakan maksiat atau bukan, kita harus menyelidiki niat
tersangka dan tujuan tindakannya sebab terbukti adanya niat dapat menghilangkan
semua keragu-raguan dan membantu menentukan jenis maksiat. Pada contoh-contoh
yang telah disebutkan di atas, Abu Abdillah az-Zubairi menjadikan niat
tersangka sebagai perkara yang besar. Tindakan mengintai di dekat tempat
pencurian bisa jadi bertujuan untuk mencuri atau untuk tindakan lainnya yang
diperbolehkan. Dalam hal ini, niat tersangka sendirilah yang bisa menghilangkan
keragu-raguan dari tindakannya tersebut dan menentukan jenis maksiat.
Keberadaan tersangka yang sedang membawa
linggis atau alat pencongkel di samping sebuah toko menunjukkan kemungkinan
tersangka ingin mencuri di toko tersebut atau bertujuan lain, yaitu melakukan
perkerjaan lain yang tidak dilarang. Dalam hal ini, niat tersangkalah yang
kemudian menentukan tindakan tersebut dari kemungkinan tersebut kepada
keyakinan, sebagaimana niat juga yang menentukan jenis maksiat.[3]
[1] Al-ghazali, al-Mustafa (Penerbit al-Amiriyah), cet.I,
jld. 1, hlm.83 dan 90; Muhibbullah bin Abdus Syakur, Fawatihur Rahamut fi Syarh
Musallamis Subut, jld. 1, hlm. 143,144 dan 146; Syekh Muhammad al-Khudari,
Usulul Fiqh, hlm.109 dan sesudahnya.
[3] Dikutip dalam buku Ensiklopedia Hukum Pidana Islam
judul aslinya At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,
pengarang Abdur Qadir Audah.