MALAIKAT, BINATANG DAN MANUSIA
Makhluk Allah terbagi ke dalam tiga jenis: Pertama, adalah malaikat. Mereka hanya mengfokuskan diri secara murni pada ibadah. Ketaatan, ibadah dan zikir adalah sifat dan makanan mereka. Mereka makan dan hidup dengan semua esensi tersebut. Seperti ikan yang hidup di dalam air, alas dan bantal mereka adalah air. Malaikat tidak memilik nafsu karena mereka tidak dikaruniai syahwat sehingga mereka suci darinya. Lantas apa yang mereka peroleh dari tidak memiliki nafsu di dalam jiwa? Karena mereka suci dari nafsu, maka tentu saja tidak ada usaha bagi mereka untuk melepaskan diri dari hawa nafsu. Ketika mereka menaati apa yang Allah perintahkan, maka hal itu tidak lagi disebut sebagai sebuah ketaatan, sebab ketaatan adalah sifat mereka, mereka juga tidak memiliki kuasa sedikit pun untuk tidak taat.
Jenis yang kedua adalah
binatang, yang mana di dalam dirinya hanya ada nafsu belaka. Mereka tidak
memiliki akal yang dapat mencegah mereka dari hawa nafsunya. Mereka juga tidak
dibebani tanggungjawab apapun.
Adapaun jenis yang ketiga
adalah menusia. Mereka memiliki akal dan juga hawa nafsu. Setengah dari dirinya
adalah malaikat, dan setengahnya yang lain adalah binatang. Setengah ular
setengah ikan. Ikan menarik dirinya ke lautan, sementara ular menarik dirinya
kedaratan. Mereka selalu berada dalam pergulatan dan peperangan “barangsiapa
yang akalnya mengalahkan hawa nafsunya, maka ia lebih mulia dari malaikat, dan
siapa yang hawa nafsunya mengalahkan akalnya, maka ia lebih rendah daripada
binatang”.[1]
Sebagian anak Adam lebih memilih untuk
mengikuti akalnya ketimbang hawa nafsunya sehingga mereka sampai pada tingkat
malaikat dan cahaya murni. Mereka ini adalah para nabi dan wali, mereka telah
terbebas dari kungkungan rasa takut dan harapan, karena itulah, “maka tidak ada
kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
(QS.al-Baqarah: 38).
Adapun sebagian yang lain lebih memilih
untuk memenangkan hawa nafsunya ketimbang akal, sehingga mereka benar-benar
menjadi seperti binatang. Sedangkan sisanya masih terus dalam pergulatan antara
hawa nafsu dan akal. Mereka adalah sekelompok orang yang dalam diri mereka
berbaur perasaan gelisah, sakit, sedih, menderita, dan tidak puas dengan hidup
yang mereka jalani. Mereka adalah orang-orang mukmin yang ditunggu oleh para
wali untuk membawa mereka kembali ke tempat asal mereka, untuk membuat mereka
sepeti para wali itu. Di tempat lain, mereka juga ditunggu oleh para setan yang
akan menyeret mereka ke tempat yang paling rendah dan dijadikan sebagai kolega
mereka.
[1] Maulana Rumi berpendapat bahwa
pernyataan ini adalah hadist nabi, sementara beberapa ulama lainnya berpendapat
bahwa pernyataan ini adalah ucapan Sayyidana Ali bin Abi Thalib. Adapun yang
benar adalah pendapat yang kedua.