Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Filsafat - EDUKASI

ADMIN

A.    PENGERTIAN AKHLAQ
Secara literal, Akhlaq adalah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari asal kata khuluqun yang berarti tabiat atau budi pekerti.[1] Terma Akhlaq adalah bentuk plural dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah laku. Kata ini seakar dengan kata khaliq yang bermakna penciptaan.[2]
Secara terminology, kata akhlaq didefinisikan secara variatif. Ibnu Miskawih mendefenisikan akhlaq sebagai suatu keadaan jiwa atau sikap mental yang menyebabkan individu bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam.[3] Hampir senada dengan defenisi Miskawih, Abu Hamid al-Ghazali mendefenisikan akhlaq sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan–perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[4] Kemudian, Abdul Karim Zaidan mendefenisikan akhlaq sebagai nilai–nilai dan sifat–sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menjadikan seseorang berkemampuan menilai perbuatan baik atau buruk untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.[5]
Dalam pembahasan akhlak ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk mengatakan akhlak tersebut. Istilah-istilah itu adalah:
1.      Etika
Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat kebiasaan. Dalam pelajaran filsafat, etika merupakan bagian daripadanya. Di dalam Ensiklopedi Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk.
Dalam hubungan ini Dr. H. Hamzah Ya’qub merumuskan: Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.[6]
Kendati pemakaian istilah etika sering disamakan dengan pengertian ilmu akhlak, namun jika diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya mempunyai segi-segi perbedaan disamping juga ada persamaannya. Persamaannya antara lain terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas buruk baik tingkah laku manusia. Sedang perbedaannya, etika menentukan buruk baik perbuatan manusia dengan tolok ukur akal pikiran, ilmu akhlak menentukannya dengan tolok ukur ajaran agama (Al-Qur’an dan Al-Hadist).
2.      Moral
Perkataan moral berasal dari bahasa latin mores yaitu jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah baik buruk perbuatan dan kelakuan.
Salah satu pengertian moral yang disebutkan didalam Ensiklopedi Pendidikan adalah “nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral). Juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menentukan baik/buruk”.
Dengan keterangan diatas, moral merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai/hukum baik atau buruk, benar atu salah. Dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang yang mempunyai tingkah laku yang baik disebut orang yang bermoral.
Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk dengan tolok ukur akal pikiran, dalam pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dimasyarakat. Dalam hal ini Dr. Hamzah Ya’qub mengatakan: “ Yang disebut moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar”.
Sekarang dapat dilihat persamaan antara ilmu akhlak, etika dan moral, yaitu menentukan hukum/nilai perbuatan manusia dengan keputusan baik atau buruk. Perbedaan terletak pada tolok ukurnya masing-masing, dimana ilmu akhlak dalam menilai perbuatan manusia dengan tolok ukur ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, etika dengan pertimbangan akal pikiran dan moral dengan adat kebiasaan yang umum berlaku dimasyarakat.
Perbedaan lain antara etika dan moral, yakni etika lebih banyak bersifat teoritis sedang moral lebih banyak bersifat praktis.[7]
3.      Kesusilaan
Selain istilah-istilah diatas, di dalam bahasa Indonesia untuk membahas buruk baik tingkah laku manusia juga sering digunakan istilah kesusilaan.
Kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke dan akhiran  an. Susila berasal dari bahasa Sansakerta yaitu Su dan Sila. Su berarti baik, bagus dan Sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma.[8]
B.     PENDIDIKAN AKHLAQ
            Dapatkah akhlaq dididikkan? Sifat atau nilai–nilai yang tertanam didalam jiwa, sehingga menjadi keadaan jiwa (hal li al-nafs), dan mendorong untuk menampilkan suatu perilaku secara spontan terpuji atau tercela yang disebut akhlaq itu bisa dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu: 1). Berasal dari natur atau karakter dasar manusia, dan 2). Berasal atau diperoleh dari proses pembiasaan dan latihan. Karenanya, dari sisi ini, akhlaq itu ada yang sudah terbentuk sejak awal kehidupan manusia dan ada pula yang terbentuk melalui upaya manusia lewat proses pembiasaan atau latihan. Meskipun demikian, baik dalam konteks pertama atau kedua, akhlaq itu tetap bisa dididikkan kedalam diri manusia.
C.    TUJUAN PENDIDIKAN AKHLAQ
            Berdasarkan defenisi sebagaimana dikemukakan diatas, dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, tujuan pokok pendidikan akhlaq adalah :
1.      Memelihara diri peserta didik agar sepanjang hidupnya tetap berada dalam fitrah-nya, baik dalam arti suci dan bersih dari dosa dan maksiat, maupun dalam arti bersyahadat atau bertauhid kepada Allah Swt.
2.      Menanamkan prinsip–prinsip, kaedah–kaedah, atau norma–norma tentang baik buruk atau terpuji tercela kedalam diri dan kepribadian peserta didik agar mereka berkemampuan memilih untuk menampilkan perilaku yang baik dan menghindari atau meninggalkan semua perilaku buruk atau tercela dalam kehidupannya.
Dalam referensi lain disebutkan bahwa pelajaran akhlak bertujuan mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan yang buruk agar manusia dapat memegang teguh sifat-sifat yang baik dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang jahat sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan di masyarakat. Oleh karena itu pendidikan akhlak bertujuan hendak mendudukkan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna serta membedakannya dengan makhluk-makhluk lainnya. Akhlak bertujuan menjadikan manusia orang yang berkelakuan baik terhadap Tuhan, manusia dan lingkungannya.[9]
D.    METODE PENDIDIKAN AKHLAQ
            Pada dasarnya, semua metode pendidikan Islami bisa dipergunakan untuk mendidikkan akhlaq kedalam diri peserta didik. Sebab, dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, metode pendidikan adalah instrument yang dipergunakan pendidik untuk memudahkan peserta didik dalam menanamkan pengetahuan, melatih keterampilan, dan menginternalisasikan nilai–nilai kedalam diri dan kepribadian mereka. Dalam proses pembelajaran, penggunaan metode harus diarahkan pada pencapaian ketiga domain tersebut berupa pengetahuan, keterampilan, dan nilai– nilai secara integral dan seimbang.
Dalam perspektif Islam, metode pendidikan akhlaq itu diawali dari proses penanaman keimanan kepada Allah SWT melalui adzan atau iqamat yang dikumandangkan ditelinga setiap bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. Secara psikologis, hal tersebut dimaksudkan untuk menanamkan kesan positif kedalam jiwa manusia. Setelah itu, pemeliharaan dan pengasuhan yang baik dalam keluarga yang merupakan metode pendidikan akhlaq berikutnya yang harus dilakukan para pendidik khususnya kedua orangtua dan seluruh anggota keluarga. Dalam konteks ini, pemeliharaan adalah pendidikan akhlaq yang berkaitan dengan dimensi fisik sedangkan pengasuhan berkaitan dengan dimensi non fisik. Dalam konteks fisik, pemeliharaan berkaitan dengan upaya menumbuhkembangkan fisik dengan memberikan makanan dan minuman yang halal dan baik. Sementara dalam konteks non fisik, pengasuhan berkaitan dengan penciptaan lingkungan psikologis yang aman, nyaman, menyenangkan, dan bernuansa edukatif.
Setelah anak mampu menangkap kesan balik baik secara visual,verbal maupun kinestetik, maka metode pendidikan akhlak dilakukan dengan pemberian keteladanan yang baik (uswah hasanah) kepada anak. Keteladanan itu harus di munculkan dari diri para pendidik dalam setiap situasi dan keadaan dalam keseluruhan interaksinya dengan anak.
Pendidikan akhlak melalui keteladanan harus diikuti dengan penerapan metode latihan dan pembiasaan. Secara bertahap tetapi berkesinambungan, anak dilatih dan dibiasakan melakukan sendiri prilaku terpuji yang sesuai dengan prinsip, kaedah atau norma-norma akhlakulkarimah. Mencuci tangan sebelum dan setelah makan, duduk dengan tertib dan sopan ketika makan, memulai makan dengan membaca basmalah, adalah diantara prilaku terpuji yang harus dilatihkan dan dibiasakan kepada anak.[10]
E.     KEDUDUKAN AKHLAQ DALAM ISLAM
Banyak ulama telah mengklasifikasikan Islam menjadi tiga bagian, yaitu: akidah, syari’ah dan akhlak. Namun ada juga ulama yang hanya mengklasifikasikan ajaran menjadi dua bagian, yaitu: akidah dan syari’ah, atau dengan kata lain: akidah dan system.
Bagaimana sebenarnya kedudukan akhlak dalam ajaran Islam? Dalam pandangan Islam, akhlak bukn hanya sekedar sifat baik dan buruk, sehingga ketika berupa sifat baik, disebut akhlak mahmudah, dan disebut akhlak madzmumah ketika berupa kebalikannya. Akhlak memang sifat perbuatan, tetapi persoalan sifat tersebut tidak sesederhana itu. Sebab, sifat perbuatan baik dan buruk tersebut tidak muncul dengan sendirinya dari perbuatan itu sendiri. Misalnya duduk. Duduk tidak bias dinilai baik atau buruk semata-mata karena substansi duduknya itu sendiri. Karena substansi duduk adalah sama, tidak ada bedanya antara satu dengan yang lain. Demikian halnya dengan membunuh, juga tidak dapat dinyatakan baik atau buruknya berdasarkan substansi membunuhnya itu sendiri, melainkan harus dilihat dari aspek lain. Iktikaf di masjid adalah duduk, yang dinilai baik karena diperintahkan oleh Allah, bukan karena substansi duduknya. Membunuh orang murtad diperintahkan sebagai bentuk sanksi hukum atas kemurtadannya jelas baik, bukan karena substansi membunuhnya, melainkan karena Allah telah menetapkan hukum bunuh untuk mengganjarnaya.[11]
Dalam perspektif Islam, akhlaq merupakan prinsip, kaedah dan norma– norma fundamental yang menata idealitas interaksi manusia dengan KhaliQ-nya yakni Allah SWT, dengan dirinya sendiri, sesama manusia, dan dengan alam semesta. Karenanya akhlaq menempati posisi sentral dalam al–din al-Islamy. Itulah sebabnya, mengapa dalam salah satu hadis yang sangat populer, Rasulullah Saw menegaskan: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.[12] Ini bermakna bahwa risalah Islam yang dibawa Rasulullah Saw adalah ‘akhlaq’ karena itu, misi kerasulan beliau dan sekaligus tugas edukatif yang diemban sepanjang sejarah kehidupannya adalah mendidikkan akhlak kedalam diri dan kepribadian manusia.
            Dalam Islam akhlaq adalah akar dari segala kebaikan dan keutamaan yang akan memberi nilai setiap amal atau perilaku manusia. Keimanan dan amal seseorang dinilai kurang sempurna manakala tidak dilandasi dan dihiasi dengan akhlaq yang mulia. Dalam Islam, iman harus ditopang dengan ilmu yang harus diwujudkan dalam amal yang harus dihiasi dengan akhlaq yang mulia atau terpuji. Itulah sebabnya mengapa setiap perilaku harus disertai dan tidak boleh terlepas dari akhlaq.
F.     AKHLAK SEBAGAI ASAS KEBAHAGIAAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT
1.      Akhlak Baik Sebagai Asas Kebahagiaan
Kesadaran bahwa manusia dalam hidup ini membutuhkan manusia lainnya menimbulkan perasaan bahwa setiap pribadi manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang terbaik bagi orang lain. Islam mengajarkan bahwa manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak mendatangkan kebaikan kepada orang lain. Menurut sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Qadh’I dari Jabir, Rasulullah SAW pernah bersabda:
خير الناس انفعهم للنا س
“Sebaik-baik manusia ialah orang yang banyak manfaatnya (kebaikannya) kepada manusia lainnya”
Kesadaran untuk berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain ini melahirkan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam hubungannya antar manusia, baik pribadi maupun masyarakat lingkungannya.
Pada hakikatnya orang yang berbuat baik atau berbuat jahat terhadap orang lain adalah untuk dirinya sendiri. Mengapa orang lain senang berbuat baik kepada kita, karena kita telah berbuat baik kepada orang lain itu. Firman Allah SWT dalam surah Al-Isra ayat 7:
÷bÎ) óOçFY|¡ômr& óOçFY|¡ômr& ö/ä3Å¡àÿRL{ ( ÷bÎ)ur öNè?ù'yr& $ygn=sù 4
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri”[13]
Kejayaan suatu bangsa terletak pada akhlaknya, selama bangsa itu masih memegang norma-norma akhlak dan kesusilaan dengan teguh dan baik, maka selama itu pula bangsa tersebut jaya dan bahagia.
Ketinggian budi pekerti yang terdapat pada seseorang menjadikannya dapat melaksanakan kewajiban dan pekerjaan dengan baik dan sempurna, sehingga menjadikan orang itu dapat hidup bahagia. Sebaliknya apabila manusia buruk akhlaknya, kasar tabiatnya, buruk prasangkanya pada orang lain, maka hal itu sebagai pertanda bahwa orang itu hidup resah sepanjang hidupnya karena ketiadaan keserasiaan dan keharmonisan dalam pergaulannya sesama manusia lainnya.
2.      Akhlak Buruk Sebagai Pangkal Kesengsaraan
Karena misi Islam pertama-tama adalah untuk membimbing manusia berakhlak mulia, maka setiap pelanggaran akhlak akan mendapat sanksi atau siksa dari Tuhan, dengan kata lain setiap perbuatan buruk akan berakibat kesengsaraan bagi si pembuat sendiri dan bagi masyarakatnya. Banyak cerita yang diterangkan Allah dalam kitab suci Al-Qur’an tentang binasanya/celakanya orang dahulu, yaitu akibat dari kemaksiatan dan keburukan akhlak mereka. Cerita seperti ini tentu dimaksudkan untuk dijadikan sebagai ‘Ibrah yang perlu di perhatikan oleh orang-orang sekarang dan akan datang.[14]
Di dalam surah Ar-Ruum ayat 41 Allah SWT berfirman:
tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ  
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”[15]
G.    RUANG LINGKUP MATERI DAN SUBSTANSI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Ruang lingkup materi budi pekerti menurut Milan Pianto, (2004: 4-10) secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga hal nilai akhlak yaitu sebagai berikut :
1.      Akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa
a.       Mengenal Tuhan
·         Tuhan sebagai pencipta
Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan semua jenis benda yang ada disekeliling kita adalah makhluk ciptaa Tuhan yang Maha Kuasa. Kita harus percaya kepada Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, artinya kita wajib mengakui dan meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu memang ada. Kita beriman dan bertaqwa kepada-Nya dengan yakin dan patuh serta taat dalam menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya. Dan semua agama yang dianut mempunyai pengertian tentang ketaqwaan secara umum berarti melaksanakan segala perintah-Nya.
·         Tuhan sebagai pemberi (pengasih, penyayang)
Dalam ajaran agama disebutkan “Mintalah kepada-Ku, Niscaya aku akan memberinya”. Oleh karena itu, janganlah kita merasa bosan untuk berdoa dan memohon, jangan pula cepat menyerah dan paling penting dibarengi dengan berusaha dengan sekuat tenaga dan setiap melakukan sesuatu pekerjaan jangan mengucapkan kalimat “Bismillahirrohmanirrohim” agar mendapatkan hasil yang memuaskan serta selamat dan selesai itu mengucapkan kalimat “Alhamdulillahirobbil’alamin”.
·         Tuhan sebagai pemberi balasan (baik dan buruk)
Menurut norma agama, jika kita melanggar perintah Tuhan maka kita akan mendapatkan hukuman dari Tuhan karena kita berdosa. Oleh karena itu, marilah kita berbuat kebaikan dan beribadah sesuai dengan ajaran agama kita masing–masing. Sikap ini sangat baik dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara.
b.      Hubungan Akhlak kepada Tuhan Yang Maha Esa
·         Ibadah / Menyembah
ü  Umum
Kewajiban terhadap Tuhan ialah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Perbuatan yang dilakukan karena perintah-Nya disebutlah dengan Ibadah.
ü  Khusus
Selain dari ibadah yang umum, ibadah yang khusus ini adalah ibadah yang pelaksanaanya mempunyai tata cara tertentu. Dalam ajaran agama islam, misalnya : Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji. Semua ibadah khusus tersebut pelaksanaannya harus sesuai dengan petunjuk Allah SWT.
·         Meminta Tolong kepada Tuhan
ü  Usaha atau Upaya
Tuhan tidak akan menurunkan sesuatu kepada manusia, seperti ibu yang memberikan makanan kepada anaknya. Tuhan tidak akan menjatuhkan uang berkarung–karung dari langit karena manusia dituntut untuk berusaha mendapatkan apa yang diinginkan oleh manusia tersebut. Dalam ajaran agama menyebutkan Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tidak mengubahnya.
ü  Do’a
Dalam kitab suci Al- Qur’an, Tuhan mengajarkan ‘mintalah pada-Ku, maka Aku akan kabulkan”.
Dalam sumber lain disebutkan bahwa tugas dan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah adalah beriman kepada-Nya. Di dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan agar orang yangsudah mengaku beriman untuk beriman lagi kepada-Nya sebagaimana firman-Nya dalam surah An-Nisa’ ayat 136:
(#þqä9qè% $¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé& $uZøŠs9Î) !$tBur tAÌRé& #n<Î) zO¿Ïdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»oÿôœÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètƒur ÅÞ$t6óF{$#ur !$tBur uÎAré& 4ÓyqãB 4Ó|¤ŠÏãur !$tBur uÎAré& šcqŠÎ;¨Y9$# `ÏB óOÎgÎn/§ Ÿw ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7tnr& óOßg÷YÏiB ß`øtwUur ¼çms9 tbqãKÎ=ó¡ãB ÇÊÌÏÈ  
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".[16]
2.       Akhlak terhadap Sesama Manusia
a.       Terhadap diri sendiri
Setiap manusia mempunyai jati diri. Dengan jati diri, seseorang mampu menghargai dirinya sendiri, mengetahui kemampuannya, kelebihan dan kekurangan serta dapat menjawab berbagai pertanyaan. Jika sampai saat ini kita masih banyak kekurangannya, maka mulailah untuk mencoba memperbaiki kekurangan tersebut. Berbuatlah kebaikan untuk diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara serta Agama.[17]
Dalam hal ini tugas dan kewajiban manusia terhadap diri sendiri ialah memelihara jasmani dengan memenuhi kebutuhannya seperti pangan, sandang dan papan, dan memelihara rohani dengan memenuhi keperluannya berupa pengetahuan, kebebasan dan sebagainya sesuai dengan tuntutan fitrahnya sehingga dia dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagaimana manusia yang sesungguhnya.[18] Di dalam surah Al-Baqarah ayat 195 Allah SWT melarang manusia merusak, membinasakan atau menganiaya diri, baik itu merusak jasmani seperti memotong, membuat sakit atau merusak anggota badan maupun rohani seperti selalu membiarkan sedih, merana dan lain sebagainya. Sebagaimana firman-Nya:
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ 
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”[19]
b.      Terhadap orang tua
Orang tua adalah pribadi yang ditugasi Tuhan untuk melahirkan, membesarkan, memelihara, dan mendidik dan sudah sepatutnya kita mencintai, menghargai dan patuh kepada mereka. Dalam ajaran agama dikatakan bahwa “Surga itu terletak dibawah telapak kaki ibu”.[20]
Kewajiban terhadap orang tua menduduki tempat yang paling utama dalam ajaran Islam. Kewajiban terhadap orang tua menduduki tempat kedua sesudah berbakti kepada Allah SWT.[21] Di dalam Al-Qur’an pada surah Al-Isra’ ayat 23 Allah SWT berfirman:
 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ  
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”[22]
[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
c.       Terhadap orang yang lebih Tua
Bersikaplah hormat, menghargai, meminta saran ataupun petunjuk  karena orang yang lebih tua dari kita pengetahuan, kengalaman, dan kemampuannya lebih dari kita.
d.      Terhadap sesama
Melakukan tata krama dengan teman sebaya memang agak sulit karena mereka teman sederajat dan dalam keseharian sering berjumpa sering lupa memperlakukan tata krama yang sopan dan baik, diantaranya : menyapa jika bertemu, tidak mengolok-olok sampai melewati batas, tidak berprasangka buruk, tidak menyinggung perasaannya, tidak memfitnah tanpa bukti, selalu menjaga nama baiknya dan menolongnya disaat mendapatkan kesulitan.
e.       Terhadap orang yang lebih muda
Janganlah karena kita lebih tua maka kita seenaknya memperlakukannya ataupun memperbudaknya, justru kita harus melindungi, menjaga serta menjadi contoh untuk dipandang yang dibawah ataupun lebih muda dari kita seperti memberikan petunjuk kepada mereka yang muda berupa saran, nasihat dan membimbingnya.
3.      Akhlak terhadap Lingkungan
a.       Alam
       ü  Flora
Manusia tidak mungkin bertahan hidup tanpa adanya dukungan lingkungan alam yang sesuai, serasi seperti yang dibutuhkan. Tumbuh–tumbuhan (flora) sangat berguna bagi manusia  dengan menjaga kelestarian alam semesta yang sangat berguna bagi kita seperti : sayuran, buah–buahan, dan padi.
ü  Fauna
Bumi Indonesia dikaruniai Tuhan berbagai fauna yang memperkaya keindahan dan kemakruran penduduk. Hewan–hewan yang ada disekitar kita hendaklah dipelihara, dirawat, diternakkan untuk mencapai penghasilan yang menguntungkan bagi manusia. Misalnya : sapi, kerbau, harimau, banteng, buaya, gajah, kamping, dan sebgainya  yang dipelihara untuk wisata kunjungan. 
Flora dan fauna adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, wajib kita lestarikan dan bersyukurlah karena Indonesia diberi kekayaan flora dan fauna yang berlimpah ruah sehingga dapat memakmurkan rakyatnya.
b.      Sosial – Masyarakat Kelompok
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Bagaimanapun keadaannya dan kemampuannya pasti memerlukan bantuan oranglain, misalnya peristiwa melahirkan, perkawinan, khitanan, dan kematian.
Hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat ataupun kelompok harus selaras, serasi, dan seimbang. Kita harus saling menghormati, menghargai, dan tolong–menolong  untuk mencapai kebaikan. Jika mampu bantulah orang miskin dan yatim piatu sesuai dengan ajaran agama yang dianaut. Jika masyarakat membangun sebuah rumah ibadah ataupun sarana umum lainnya, kita perlu membantu dengan gotong–royong dan rasa ikhlas.[23]



[1]  A. W. Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 364.
[2] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al- Lughah wa al- A’lam (Bairut: Dar al- Masyriq, 1989), h. 164
[3] Ibn Miskawaih, Tahsib al- Akhlaq wa Tathhir al- A’raq (Mesir: al- Husaini, 1329 H), h. 25
[4] Abu Hamid al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Bairut: Dar al- Fikr, 1989), h. 58
[5] Abdul Karim Zaidan, Ushul al- Da’wah (Baghdad: Jami’ah al-Aman, 1975), h. 75
[6] Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1983) hal.12
[7]  Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994) hal.9
[8]  M. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita,1976) hal.23
[9] Ibid hal.55
[10]  Al Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islami,(Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis,2008),hal.48
[11] Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spritual, (Bogor: Al-Azhar Press,2012) hal.24
[12] Ahmad ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, jilid II (Kairo: Muassasah Qurtubah, t.t.), h. 381
[13] Depag RI,Al-Qur’an dan Terjemaha nya,(Bandung:Gema Risalah Press,1991) hal. 245

[14] Asmaran, op cit.,hal.58
[15]  Ibid,  hal. 164

[16]  Depag RI,Al-Qur’an dan Terjemaha nya, op cit., hal.112
[17] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) hal.76
[18] Asmaran, op cit.,hal.169
[19] Ibid, hal.78
[20] Ibid, hal.80
[21] Ibid, hal.176
[22] Ibid, hal.263
[23] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, op cit,. hal.94

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.