PRILAKU PROSOSIAL : MENOLONG ORANG LAIN
Tingkah laku prososial adalah suatu
tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu
keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin
akan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.
Sebagai contoh tingkah laku prososial
kadang- kadang melibatkan resiko adalah Seorang anak pramuka yang berniat
menolong menyeberangkan seorang ibu. Namun anak pramuka itu memohon kepada ibu
tersebut untuk menandatangani surat
pernyataan bahwa tidak akan menuntutnya dikemudian hari. Karena anak tersebut
tidak mau jika pertolongannya akan memicu timbulnya masalah hukum dimasa
mendatang.
A.
Merespons Keadaan Darurat : Mengapa Bystander
Kadang-kadang Menolong, Kadang-kadang Tidak?
Dalam studi tingkah laku prososial,
dikenal konsep bystander fakta menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berespons
prososial pada keadaan darurat dipengaruhi oleh jumlah bystander yang ada.
Bystander adalah orang yang melihat,
penonton ataupun pengamat. Kita dapat dengan mudah menemukan cerita di surat
kabar yang menggambarkan kejadian dimana bystander menyaksikan suatu keadaan
darurat dan tidak mau menolong. Sebagai contoh, seorang wanita tengah baya
mengalami kerusakan mobil pada jam sibuk suatu pagi dan kemudian harus
mendorong mobilnya kesisi jalan. Meskipun banyak orang yang lewat, tidak
satupun yang berhenti untuk bertanya apa yang salah atau bertanya apakah mereka
dapat menolong dengan cara menelponkan seseorang.
Mengapa Tidak
Seorang pun Menolong?
Dalam setiap kejadian, pertanyaan yang
tampak jelas adalah “Mengapa tidak seorang pun mau menolong?” dan jawabannya
pun tidak pernah jelas maka keadaan inilah yang mendorong dua psikolog sosial
untuk mencari jawaban berkaitan dengan hal ini dengan melakukan penelitian
mengenai pembunuhan Kitty Genovese di New York. Ketika Kitty Genovese berniat pulang
kerumahnya dari bekerja ia didekati seorang laki- laki yang bersenjatakan
pisau, mengetahui hal ini Kitty Genovese melarikan diri namun laki- laki
tersebut terus mengejarnya hingga akhirnya berhasil mendekati Kitty Genovese
dan menusuknya. Berkali- kali Kitty Genovese berteriak minta tolong hingga
lampu- lampu dari apartemen yang menghadap kejalan mulai menyala dan orang-
orang melihat keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Si penyerang berniat
pergi, namun ia melihat tidak ada seorang pun yang datang untuk menolong korban
sehingga ia kembali menusuk Kitty Genovese hingga meninggal namun tidak seorang
pun mengambil tindakan untuk menelpon polisi.
Kegagalan bystander untuk memberi
pertolongan banyak dibahas di media sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan
“Mengapa mereka tidak menolong?” dan kemungkinannya adalah orang-orang yang
melihat pada saat kejadian itu tidak mempunyai hati nurani, dingin dan tidak
peduli dengan masalah- masalah oranglain.
Terjadinya perilaku yang kontras ini
mendorong dua psikolog sosial, John Darley dan Bibb Latane melakukan diskusi
dan akhirnya memunculkan sebuah prediksi bahwasanya semakin banyak jumlah
Bystander, semakin berkurang bantuan yang ditawarkan dan semakin lama pula lah
pemberian pertolongan. Teori ini sering disebut dengan Efek bystander
(bystander effect).
Pengambilan
Keputusan untuk Menolong pada Keadaan Darurat : Lima Langkah Penting
Sejalan dengan meluasnya penelitian terhadap
tingkah laku prososial yang melampaui pertanyaan dan penelitian awalnya,
formulasi teoritis juga meluas untuk memperhitungkan faktor- faktor tambahan
yang mempengaruhi mengapa pertolongan diberikan atau tidak diberikan. Bagi kita
yang tidak dihadapkan pada kejadian tersebut dapat langsung memutuskan apa yang
seharusnya dilakukan bystander. Misalnya, pengemudi- pengemudi yang lewat
seharusnya menolong perempuan yang mengalami masalah dengan mobilnya dan para
penghuni apartemen seharusnya menelpon polisi ketika mereka mendengar teriakan
Kitty Genovese atau mungkin langsung meneriaki si penyerang atau bahkan datang
berkelompok untuk menyelamatkan perempuan tersebut.
Namun ketika kita benar – benar
dihadapkan pada keadaan darurat seperti ini, situasinya tidak sesederhana itu.
Disamping penyebaran tanggung jawab terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
bagaimana orang akan merespon. Ada
5 langkah yang dapat menentukan untuk melakukan tindakan prososial atau
tindakan berdiam diri saja:
1.
Menyadari adanya keadaan darurat
Menurut defenisinya, keadaan
darurat tidak terjadi menurut jadwal jadi tidak ada cara untuk mengantisipasi
kapan atau dimana masalah yang tidak diharapkan akan terjadi.
Ketika kita tiba- tiba dihadapkan
pada pengendara yang mobilnya mogok, kecelakaan di jalan tol bahkan teriakan
minta tolong. Namun,
kita terlalu sibuk untuk memperhatikan lingkungan sekitar dan gagal untuk
menyadari situasi darurat yang nyata-nyata terjadi. Pertolongan tidak diberikan
karena tidak adanya kesadaran bahwa keadaan darurat itu terjadi.
2. Menginterpretasikan
keadaan sebagai keadaan darurat
Meskipun kita memperhatikan apa yang terjadi disekitar kita,
kita hanya memiliki informasi yang tidak lengkap dan terbatas mengenai apa yang
kira- kira sedang dilakukan oleh orang asing tersebut. Kita cenderung untuk
menahan diri dan menunggu informasi lebih lanjut. Kecenderungan yang berada
dalam sekelompok orang asing untuk menahan diri dan tidak berbuat apa pun
disebut sebagai pengabaian majemuk (pluralistic ignorance). Yaitu,
karena bystander tidak tahu
dengan jelas apa yang sedang terjadi, masing-masing bergantung pada yang lain
untuk memberi petunjuk.
3. Mengasumsikan
bahwa dirinya bertanggung jawab untuk menolong
Bystander yang seorang diri lebih mungkin
untuk bertindak prososial dibandingkan seorang bystander dalam kelompok karena
tidak ada orang lain pada saat itu yang dapat bertanggung jawab memberika
pertolongan.
4. Mengetahui
apa yang harus dilakukan
Apabila
bystander sudah mengasumsikan adanya tanggung jawab pada dirinya maka ia harus
mengetahui pertolongan seperti apa yang akan ia berikan.
5. Mengambil
keputusan untuk menolong
Ketika bystander mengetahui pertolongan apa yang akan
diberikan. Ini adalah tahap yang paling menentukan apakah bystander akhirnya memutuskan untuk
menolong korban tersebut atau hanya berdiam diri saja.
Faktor Situasional yang Mendukung
atau Menghambat Tingkah Laku Menolong: Daya Tarik, Atribusi, dan Model-model
Prososial
Disamping lima langkah pengambilan keputusan yang
mempengaruhi tingkah laku prososial, ada juga faktor- faktor tambahan yang
memiliki pengaruh pada kemungkinan bystander menolong atau tidak yaitu :
1. Menolong mereka yang anda sukai
Daya tarik fisik adalah faktor yang dapat meningkatkan
ketertarikan bystander pada
korban dan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons prososial. Karena adanya
ketertarikan ini bystander pun akan segera memberikan pertolongan.
2. Atribusi menyangkut tanggung jawab
korban
Ketika
kita melihat seseorang yang membutuhkan pertolongan, tindakan kita untuk
menolong atau tidak menolong bergantung pada pemikiran kita tentang kejadian
yang dialami orang tersebut. Jika kita berfikir bahwa ia bertanggung jawab
terhadap keadaan yang tengah dialaminya maka kita cenderung mengabaikannya,
sebaliknya jika kita berfikir bahwa ia adalah seorang korban yang tidak
bersalah maka kita akan lebih cenderung membantunya
3. Model-model proposial : kekuatan
dari contoh positif
Sikap
menolong atau tidak juga bergantung kepada faktor orang- orang disekitar kita.
Sebagai contoh jika kita melihat ada orang yang memberikan sumbangan maka akan
semakin besar pula lah kemungkinan kita akan memberikan sumbangan juga.
Self Interest, Integritas Moral dan
Hipokrisi Moral
- Self interest adalah motivasi untuk terlibat dalam
tingkah laku apa pun yang menyediakan kepuasan terbesar. Kadang-kadang
disebut juga dengan egoism-
pertimbangan eksklusif terhadap kebutuhan serta kesejahteraan pribadi dan
bukan terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain.
- Integritas moral (moral integrity) adalah motivasi untuk bermoral dan benar-benar terlibat dalam
tingkah laku moral.
- Hipokrasi moral (moral hypocrisy) adalah motivasi untuk terlihat bermoral selagi melakukan apa
yang terbaik untuk menghindari kerugian yang dilibatkan dalam tindakan
bermoral yang sebenarnya.
B.
Penolong Dan Mereka Yang Menerima
Pertolongan
Dalam menggambarkan tingkah laku prososial, Pertama
kita akan menggambarkan bagaimana perubahan kondisi emosional (emotional state: perubahan suasana hati dan
efek yang menyertai situasi baik dan buruk) memiliki pengaruh kompleks pada
respons prososial.
·
Emosi positif dan tingkah laku
prososial
Kebanyakan
anak tampaknya percaya bahwa lebih baik meminta sesuatu dari orang tua ketika
mereka sedang berada pada suasana hati yang baik dari pada ketika suasana hati
mereka tidak baik. Sering kali hal ini benar adanya, dan pengaruhnya terlihat
pada tindakan prososial juga.
Emosi juga
dapat dipengaruhi oleh apa yang kita cium. Baron (1997a) menemukan bahwa bau
yang menyenangkan tidak hanya
menimbulkan pengaruh positif, tetapi juga meningkatkan prilaku menolong. Namun,
faktor-faktor lain dapat mempengaruhi ini. Apa yang akan terjadi jika seorang bystander yang berada
pada suasana hati yang sangat positif menghadapi situasi yang tidak jelas
kedaruratannya atau tidak? Ketika masalahnya tidak jelas dan seseorang merasa
bahagia, kebanyakan orang cenderung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada keadaan
darurat yang terjadi.
Kesimpulan
umum adalah bahwa jika pertolongan sangat jelas dibutuhkan dan menolong tidak
melibatkan konsekuensi negative untuk penolong, emosi positif meningkatkan
kemungkinan terjadinya respons prososial.jika, tingkah laku prososial dapat
merusak suasana hati baik seseorang, suasana hati yang baik itu menyebabkan
berkurangnya prilaku menolong.
·
Emosi negatif dan tingkah laku
prososial
Seseorang
yang berada dalam suasana hati negative lebih kurang mungkin untuk menolong.
Seperti halnya dengan emosi positif, emosi negative dapat memiliki pengaruh
yang berlawanan pada kondisi spesifik. Pengaruh positif dari emosi negative
paling mungkin dilihat jika perasaan negative tidak terlalu parah, jika keadaan
darurat tidak ambigu, dan jika prilaku menolong menarik dan memuaskan dan bukan
menyulitkan dan tidak menyenangkan.
Kedua mengindikasikan bagaimana
kecenderungan untuk bertindak dalam cara prososial yang dipengaruhi oleh
perbedaan disposisional.
·
Empati
Banyak
perbedaan pada minat seseorang untuk menolong bersumber pada motif altruistic
yang berdasarkan pada empati. Empati meliputi komponen afektif maupun kognitif.
Secara afektif orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan.
Secara kognitif orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan
mengapa. Jadi, empati berarti tidak hanya seperti pernyataan popular Presiden
Clinton “saya merasakan penderitaanmu”, tetapi juga, “saya mengerti
penderitaanmu”.
Menolong
orang lain dan ditolong oleh orang lain jelas meningkatkan kesempatan bagi
orang untuk dapat bertahan dan bereproduksi. Komponen afektif dari empati juga
termasuk merasa simpatik, tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi
juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan
penderitaan mereka. Misalnya, individu ang memiliki empati tinggi lebih
termotivasi unuk menolong seorang teman daripada mereka yang memiliiki empati
rendah.
·
Kadar empati yang berbeda
Factor-faktor
genetis berkonstribusi pada sekitar sepertiga dari factor-faktor yang
menjelaskan adanya perbedaan empati afektif diantara orang-orang. Diasumsikan,
factor-faktor eksternal menjelaskan adanya perbedaan dalam empati kognitif dan
mempengaruhi dua pertiga perbedaan empati afektif. Kita semua dilahirkan dengan
kapasitas biologis dan kognitif untuk merasakan empati, tetapii pengalaman
spesifik kita menentukan apakah potensi bawaan tersebut dihambat atau menjadi
bagian yang penting dari diri.
Terdapat
perbedaan individual yang besar dalam disposisi simpati, dan kita mengetahui
bahwa anak-anak yang berkarakter sipatik umumnya berasal dari lingkungan yang
hangat dan suportif. Anak-anak yang karakter simpatiknya tinggi juga cenderung
menjadi anak yang memiliki pernalaran moral yang cukup canggih serta cenderung
baik dalam mengelola emosi mereka.
Wanita mengekspresikan
tingkat empati yang lebih tinggi daripada pria, hal ini disebabkan baik oleh
perbedaan genetis atau perbedaan pengalaman sosialisasi.
·
Kepribadian yang berhubungan dengan
prilaku prososial
Di antara
factor-faktor kepribadian lainnya yang merupakan karakteristik yang paling
cenderung menolong orang lain adalah kebutuhan
akan persetujuan. Individu-individu yang tinggi kebutuhannya dalam hal ini
berespons pada reward seperti: pujian dan penghargaan lainnya. Ketika mereka
diberikan reward untuk tingkah laku prososial, maka prilaku menolong meningkat.
Kepercayan interpersonal (interpersonal trust), orang-orang yang mempunyai
kepercayaan interpersonal yang tinggi lebih banyak terlibat dalam tindakan
prososial daripada orang-orang yang cenderung untuk tidak mempercayai orang
lain.
Ketiga melihat respons
prososial pada masalah yang bukan merupakan situasi darurat yang akut, orang
yang membutuhkan bantuan jangka panjang.
·
Motif untuk sukarela
Keputusan
untuk menjadi sukarelawan dapat berdasarkan pada nilai-nilai personal,
kebutuhan untuk memahami fenomena, keinginan untuk meningkatkan perkembangan
diri sendiri, kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang berhubungan dengan
karier, kebutuhan untuk mengembangkan kebutuhan pribadi, keinginan untuk
mengurangi perasaan negative. Dengan kata lain, sukarelawan dapat melakukan
pekerjaaan yang persis sama, tetapi untuk alasan yang cukup berbeda.
·
Motivasi memberikan pertolongan
jangka panjang
Menolong
sebagai respons pada situasi darurat personal atau pada bencana internasional
yang merupakan suatu pristiwa yang hanya terjadi satu kali dalam priode waktu
yang singkat. Siapa saja yang menawarkan diri untuk menyediakan bantuan harus
memiliki komitmen dalam waktu, keterampilan istimewa/uang selama waktu yang
panjang.
Keempat melihat pengaruh menolong pada mereka yang menerima
pertolongan.
Anda membutuhkan pertolongan, dan seseorang datang untuk
membantu. Sekilas terlihat bahwa anda seharusnya bereaksi positif dan
berterimakasih, tetapi sering kali reaksi anda tidak seperti itu. Seseorang
yang menerima pertolongan dapat merasakan emosi negative seperti tidak nyaman
dan merasa tidak senang pada orang yang menolong.
Menerima pertolongan dapat menurunkan self-esteem, terutama
jika penolong adalah teman atau seseorang yang sama dengan anda dari segi usia,
pendidikan, dan karakteristik lainnya. Ketika self-esteem terancam, hasilnya
merupakan afek negative yang menciptakan perasaan tidak suka pada orang
tersebut.
Saat seseorang merespon secara negative ketika menerima
pertolongan, terdapat juga aspek positif yang tidak terlalu terlihat. Ketika ditolong
merupakan pengalamn yang sangat tidak menyenangkan sehingga orang tersebut
ingin menghindari terlihat tidak kompeten lagi, ia termotivasi untuk terlibat
dalam aktivitas self-help dimasa mendatang. Di antara manfaat-manfaat yang
lain, motivasi ini dapat mengurangi perasaan ketergantungan.
Pertolongan untuk masalah-masalah besar yang diberikan oleh
teman-teman, keluarga, dan tetangga dapat menimbulkan perasaan tidak adekuat
dan kebencian, tetapi hal ini dapat memotivasi indiviidu untuk bekerja keras menghindari
masalah-masalah seperti itu di masa mendatang. Namun sebaliknya, pertolongan
yang datang dari orang asing membuat orang yang butuh pertolongan tetap
memiliki self-image yang positif dan menghargai
pertolongan itu dan hanya menimbulkan sedikit motivasi untuk menghindari
krisis di masa depan.
C.
Menjelaskan Tingkah Laku Proposial
:
Mengapa
Orang Menolong ?
Teori-teori
yang ada cenderung untuk menekankan pada salah satunya, motif yang secara relatif
egois atau secara relatif tidak egois untuk bertindak secara prososial. Seperti
yang mungkin anda perkirakan, orang-orang cenderung mengaitkan perilaku
menolong mereka sendiri dengan motif egois, biasanya mengungkapkan nilai moral
dasar, “ Itu adalah yang benar di lakukan “ atau “ Itu cara orang tua saya
membesarkan saya “ atau “ Tuhan menempatkan saya di sana untuk suatu alasan “.
Kita
sekarang beralih pada empat teori utama yang mencoba menjelaskan motivasi
prososial :
·
Empati-altruisme : Menolong Orang Lain Membuat
Perasaan Menjadi Enak
Kemungkinan
penjelasan yang tidak egois dari prilaku proposial adalah bahwa orang yang
empatik menolong orang lain karena “ rasanya menyenangkan untuk berbuat baik”
Berdasarkan pada asumsi ini, Baston dan kolega-koleganya mengajukan hipotesis
empati-altruisme (empathy-altruism hypothesis ). Mereka mengungkapkan bahwa
setidaknya tingkah laku prososial hanya dimotivasi keinginan tidak egois untuk
menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan. Motivasi menolong orang ini
dapat menjadi sangat kuat sehingga individu yang memberi pertolongan bersedia
terlibat dalam aktivitas yang tidak menyenangkan, berbahaya dan bahkan
mengancam nyawa. Perasaan simpati dapat sangat kuat sehingga mereka
mangesampingkan semua pertimbangan lain. Perasaan empati yang kuat memberikan
bukti yang sangat valit pada individu tersebut, sehingga ia pasti sangat
menghargai kesejahteraan orang lain.
·
Model Mengurangi Keadaan Negatif : Menolong dapat
Mengurangi Efek Negatif
Teori
lain yang mengungkapkan bahwa orang-orang kadang menolong karena mereka berada
pada suasana hati yang jelek dan ingin membuat diri sendiri merasa lebih baik.
Penjelasan dari tingkah laku prososial ini dikenal sebagai model mengurangi
keadaan negatif (negative-state reliefmodel). Dengan kata lain prilaku prososial
sebagai prilaku self-help untuk mengurangi perasaan negatif diri sendiri.
Penelitian
mengindikasikan bahwa tidak penting apakah emosi negative bystander meningkat
sebelum terjadinya situasi darurat atau ditingkatkan oleh adanya situasi
darurat itu sendiri. Yaitu, anda dapat merasa tidak enak hati karena menerima
nilai yang buruk atau karena melihat orang asing kecelakaan. Dalam kedua
situasi tersebut, anda dapat terlibat dalam tingkah laku prososial yang
tujuannya untuk memperbaiki suasana hati anda sendiri. Dalam situasi seperti
ini, kesedihan menimbulkan prilaku prososial, dan empati bukan merupakan
komponen yang di butuhkan.
·
Kesenangan Empatik : Menolong dapat Membuat Perasaan
menjadi Enak-Jika Anda Tahu Bahwa Anda Mencapai Sesuatu
Secara
umum jelas bahwa perasaan menjadi lebih baik apabila anda dapat memberi
pengaruh positif pada orang lain. Secara harfiah, memberi dapat benar-benar
lebih baik dari pada menerima. Menolong kemudian dapat di jelaskan berdasarkan hipotesis kesenangan empatik (empathic joy
hypotheis). Dari pandangan ini, penolong berespon pada kebutuhan korban
karena dia ingin merasa enak karena berhasil mencapai sesuatu.
Satu
implikasi dari formulasi ini penting bagi seseorang yang menolong untuk
mengetahui bahwa tindakannya memiliki pengaruh positif bagi orang lain.
·
Determinisme Genetis : Menolong Orang Lain
Memaksimalkan Kelangsungan Hidup Gen
Model
determinisme genetis (genetic determinism model) didasarkan pada teori umum
dari prilaku manusia. Psikolog evosioner menekankan bahwa kita tidak sadar akan
respons yang dihasilkan oleh pengaruh genetis – kita melakukannya hanya karena
kita di bentuk seperti itu. Sebagai akibatnya, manusia diprogram untuk menolong
sebagaimana mereka diprogram sehubungan dengan prasangka, pemilihan pasangan,
agresi, dan tingkah laku lainnya.
Acher
(1991) menggambarkan bagaimana teori-teori sosiobiologis di dasarkan pada
konsep seleksi alam. Sebagaimana untuk ketertarikan fisik,banyak karakteristik
tingkah laku yang diasumsikan memiliki akar genetis. Dalam setiap kesempatan,
karakteristik di pilih melalui evolusi murni berdasarkan pada relevansinya pada
keberhasilan reproduksi. Tujuan utama individu adalah kebutuhan tidak sadar
untuk meyakinkan bahwa gennya di turunkan pada generasi berikutnya.
Pendekatan
yang sedikit berbeda yang mengarah pada kesimpulan yang sama di tawarkan oleh
Burnstein, Crandall, dan Kitayama. Mereka beragumentasi bahwa hasrat terdalam
dari manusia prasejarah bukanlah menolong satu sama lain_seleksi alam tidak
mendukung untuk menolong. Siapapun yang menolong orang lain dalam situasi darurat
seperti tenggelam atau diserang oleh binatang predator akan beresiko terbunuh
dan kemudian tidak dapat mewariskan gennya sendiri. Satu pengecualian dari
keadaan ini adalah jika orang yang membutuhkan pertolongan adalah kerabat
dekat.Dalam kejadian ini, seleksi alam akan mendukung mereka yang menolong kerabat yang cukup muda untuk bereproduksi. Prilaku menolong pada
kerabat dekat di persepsikan sebagai hal yang rasional, etis dan merupakan
kewajiban tetapi, hal ini berlaku hanya jika menolong akan memberi pengaruh
terhadap keberhasilan bertahap hidup (survival) atau reproduksi dan hanya jika
individu mersa dekat secara emosional dengan kerabatnya. Burnstein dan
kolega-koleganya melakukan sejumlah penelitian berdasarkan pada keputusan
hipotesis mengenai siapa yang seharusnya di tolong. Sebagaimana diprediksikan
berdasarkan kemampuan reproduksi, lebih banyak pertolongan diberikan kepada
kerabat yang muda dari pada yang tua_misalnya, lebih banyak pertolongan yang
dibarikan kepada kerabat wanita yang cukup muda untuk mengandung anak-anak dari
pada kerabat wanita yang telah melewati monopose.
Dalam
telaah literature altruisme, Buck dan Ginsberg (1991) menyimpulkan bahwa tidak
terdapat bukti adanya suatu gen yang menentukan prilaku prososial. Namun pada
manusia, maupun diantara binatang-binatang lain, memang terdapat kemampuan yang
berbasis gen untuk menbantuk ikatan sosial. Mungkin kapasitas yang diturunkan
ialah yang meningkatkan kemungkinan bahawa seseorang akan menolong orang lain
ketika masalah muncul. Oleh sebab itu, manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial
dan mampu berempati. Ketika orang-orang berinteraksi satu sama lain dalam
hubungan sosial “mereka selalu prososial, biasanya menolong dan sering kali altruistik”