Bagaimana Bentuk Masyarakat Hukum Adat

Ada beberapa penyebab lahirnya masyarakat hukum adat
ADMIN
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini) 
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)


MASYARAKAT HUKUM ADAT



     A. DASAR YANG MEMBENTUK MASYARAKAT HUKUM ADAT
Mengenai masyarakat hukum adat, secara teoritis pembentukannya disebabkan karena adanya faktor ikatan yang mengikat masing-masing anggota masyarakat hukum adat tersebut.
Faktor ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis adalah:
     1. Faktor genealogis (keturunan)
     2. Faktor teritorial (wilayah)'


     B. BENTUK MASYARAKAT HUKUM ADAT
Berdasarkan kedua faktor ikatan di atas, kemudian terbentuklah masyarakat hukum adat, yang dalam studi hukum adat disebut tiga tipe utama pesekutuan hukum adat yang dalam studi hukum adat disebut tiga tipe utama persekutuan hukum adat yang dalam studi hukum adat disebut:
     1. Persekutuan hukum genealogis
     2. Persekutuan hukum teritorial
  3. Persekutuan hukum genealogis-teritorial, yang merupakan penggabungan dua persekutuan hukum

      Kejelasan dari masing-masing bentuk masyarakat hukum adat di atas sebagai berikut:
     1. Persekutuan hukum genealogis
Pada persekutuan hukum (masyarakat hukum) genealogis dasar pengikat utama anggota kelompok adalah persamaan dalam keturunan, artinya angota-anggota kelompok itu terikat karena merasa berasal dari nenek moyang sama. Menurut para ahli hukum adat di masa hindia belanda masyarakat hukum genealogis itu dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu yang bersifat petrilinial, matrilinial, dan bilateral atau parental.[1]
      a. Masyarakat yang patrilineal
Pada masyarakat yang patrilineal ini susunan masyarakatnya ditarik menurut garis keturunan dari bapak (garis laki-laki), sedangkan sedangkan garis keturunan ibu disingkirkan. Yang termasuk ke dalam masyarakat patrilinial ini misalnya “marga genealogis” orang batak yang mudah dikenal dari nama-nama marga mereka seperti, sinaga, simatupang, pandiangan, situmorang, pane, nainggolan, siregar dan sebagainya. Masyarakat yang patrilineal ini terdapat juga di nusa tenggara (timor), maluku, dan irian.

      b. Masyarakat yang matrilineal
Pada masyarakat yang matrilineal, dimana susunan masyarakatnya itarik menurut garis keturunan ibu (garis perempuan), sedangkan garis keturunan bapak disingkirkan. Yang termasuk ke dalam masyakata matrilineal ini adalah masyarakat minangkabau. Masyarakat matrilineal ini tidak mudah dikenal karena mereka jarang sekali menggunakan nama-nama keturunan sukunya secara umum. Suku dalam masyarakat minangkabau sama dengan “marga” dalam masyarakat batak. Oelh karena itu suku di sini diartikan bukanlah dalam arti suku bangsa, tetapi disini diartikan sebagai golongan manusia  yang berasal dari satu turunan menurut “matriarchat” (matrilineal). Pada mulanya suku pada masyarakat minangkabau ada empat: koto, piliang, bodi, dan chaniago. Kemudian suku kota dan piliang digabungkan menjadi “lareh koto piliang”, kemudian lagi suku bodi dan chaniago digabungkan menjadi “lareh bodi chaniago”.[2]
Karena pemduduk bertambah terus dan banyak pula dari mereka yang berpindah-pindah, maka diadakan cabang-cabang dari kedua suku lareh koto piliang dan lareh bodi chaniago, akhirnya banyak nama suku yang sekarang yang tidak jelas lagi asal usulnya.
Yag termasuk koto piliang antara lain ialah, koto, piliang, pisang, tanjung, melayu, dan sebagainya. Cabang bodi chaniago antara lain ialah singkawang, panjalai, sumagek, dan lain-lain. Bahwa batas kedua suku ini tidak begitu jelas lagi dinyatakan dalam pantun sebagai berikut:[3]

Pisang sikalek-kalek hutan
Pisang tanbatu nan bagatah
Bodi chaniago nyo bukan
Koto piliang nyo antah

Dari pantun di atas dapatlah diopahamkan bahwa tiap orang minangkabau tergolong dalam satu suku.

     c. Masyarakat yang bilateral atau parental
Pada masyarakat yang bilateral atau parental, susunan masyarakatnya ditarik dari garis keturunan orang tuanya yaitu bapak dan ibu bersama-sama sekaligus. Jadi hubungan kekerabatan antara paihak bapak dan pihak ibu berjalan seimbang atau sejajar, masing-masing anggota kelompok masuk ke dalam klen bapak dan klen ibu, seperti terdapat di mollo (timor) dan banyak lagi di malanesia. Tetapi kebanyakan sifatnya terbatas dalam beberapa generasi saja seperti di kalangan masyarakat Aceh, Melayu, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi.

     2. Persekutuan hukum teritorial.
Mengenai persukutuan hukum teritorial yang dimaksudkan di atas, dasar pengikat utama anggota kelompoknya adalah daerah kelahiran dan menjalani kehidupan bersama ditempat yang sama. Menurut R. Van Dijk (1954) persekutuan hukum teritorial ini debidakan ke dalam tiga macam yatiu:[4]
     1. Persekutuan desa (dorp)
     2. Persekutuan daerah (streek)
     3. Perserikatan dari beberapa desa.


[1] H. Hilman Hadikusuma, 1992. Pengantar ilmu hukum adat indonesia, mandar maju, bandung, hlm.108; R. Soepomo, 1989. Bab-bab tentang hukum adat, prandja paramita, jakarta, hlm. 47-28
[2] Tsuyoshi kato, 1982. Matrliny and migration, evolving minagkabau traditions in indonesia, cornell university press, lthaca and london, hlm. 46; P.E. De josseling de jong, 1980. Minangkabau and negri sembilan, socio-political structure in indonesia, martinus nijhoff’s-gravenhage, hlm. 69.
[3] M.M. Hanafiah S.M., (tt). Tinjauan adat minangkabau, yayasan penerbitan dan percetakan ikatan dokter indonesia, jakarta, hlm. 27.
[4] Bushar muhammad, 1984. Asas-asas hukum adat suatu pengantar, prandja paramita, jakarta, hlm. 37.

>>>Baca Juga Cerita Unik

Download Button
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.