Mau Dapetin Jutaan Dollar? klik disini

TANGGUNG JAWAB JABATAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA

                         ANALISIS TENTANG SENI BUDAYA DAN PROBLEMATIKA

                         WARALABA/FRANCHISE MENURUT HUKUM ISLAM



TANGGUNG JAWAB JABATAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA

Latar Belakang Masalah
Sebagai peraturan dasar bagi negara Indonesia, Pembukaan UUD menentukan empat tujuan bernegara, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Meskipun dirumuskan ke dalam empat kalimat yang berbeda, namun secara umum dapat dikemukakan bahwa ‘kesejateraan rakyat’ tampak dapat dapat mewakili dari keempatnya. Kesejahteraan dalam hal ini berarti sejahtera dalam arti luas, yang bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga sosial, ekonomi, politik, keamanan, pendidikan, dan sebagainya.
Menurut Aristoteles, tujuan tertinggi dari negara adalah mewujudkan ‘a good life’ bagi rakyatnya yang secara eksplisit harus dinyatakan dalam konstitusi. Aristoteles bahkan membedakan antara ‘rigth constitution’ dan ‘wrong constitution’ dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konsitusi itu dia sebut dengan konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah.[1] Aristoteles tampaknya ingin menunjukkan bahwa target dari penyelenggaraan itu bukanlah terletak pada kepentingan negara itu sendiri, melainkan kepentingan kesejahteraan bagi rakyat harus ditetakkan pada posisi paling tinggi. Oleh karenanya, jika kita sandingkan dengan teori yang dikemukakan Aristoteles, konstitusi Indonesia sesungguhnya telah masuk dalam kategori ‘the rigth constitution’. Sebab, orientasi kerakyatan terasa lebih kental dan bahkan menjadi satu-satunya yang ingin diwujudkan dari penyelenggaraan negara. Indonesia menghindari adanya kekuasaan yang menjadi pengendali perjalanan suatu periode pemerintahan. Konstitusi paska amandemen bahkan secara tegas menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara akan diselenggarakan berdasarkan atas suatu aturan yang semuanya mengacu kepada UUD 1945 (kedaulatan ada di tangan rakyat).[2] Penyelengaraan negara semacam ini kemudian dikenal dengan istilah constitutional state yang merupakan salah satu jenis negara hukum, negara yang diselenggarakan dengan dasar aturan-aturan atau norma-norma.[3]
Demikianlah tujuan ideal dari pembentukan sebuah negara. Maka menjadi konsekuensi logis ketika pemerintah sebagai bagian dari penyelenggara negara dianugerahi segenap kewenangan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, baik dari pelayanan publik yang mereka lakukan maupun melalui penyediaan berbagai fasilitas kepada rakyat. Kewenangan yang didapatkan pemerintah itu ada yang bersifat atributif dan ada yang bersifat delegatif. Dengan adanya perkembangan masyarakat, maka seringkali terdapat keadaan-keadaan tertentu yang sifatnya mendesak yang membuat pejabat atau badan administrasi pemerintahan tidak dapat menggunakan kewenangannya khususnya kewenangan yang bersifat terikat dalam melakukan tindakan hukum dan tindakan faktual secara normal. Sebagai negara yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, melekatnya fungsi memajukan kesejahteraan umum dalam welfare state (negara kesejahteraan) menimbulkan beberapa konsekuensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yaitu pemerintah harus berperan aktif mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu kepada pemerintah dilimpahkan tanggung jawab bestuurszorg atau public service.[4]
Agar servis publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif yang kemudian dalam hukum administrasi diberikan kewenangan bebas berupa diskresi.[5] Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, hal semacam ini disebut dengan diskresi.
Dengan adanya kewenangan diskresi ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan pembentuk undang-undang dipindahkan ke tangan pemerintah sebagai badan eksekutif. Jadi supremasi badan legislatif diganti oleh supremasi badan eksekutif,[6] karena administrasi negara melakukan penyelesaian masalah tanpa harus menunggu perubahan Undang-Undang dari bidang legislatif.[7] Hal tersebut karena pada prinsipnya pejabat administrasi pemerintahan tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan hukumnya tidak ada ataupun hukumnya ada tetapi tidak jelas, sepanjang hal tersebut masih menjadi kewenangannya.[8]
Meskipun para pakar secara umum menyetujui bahwa tindakan diskresi pemerintah dibenarkan, namun sepenuhnya disadari bahwa perbuatan pemerintah ini sangat rentan terhadap berbagai persoalan. Ketika satu kebijakan yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara pada akhirnya terbukti tepat dan penilaian akhir dari pihak luar pemerintah adalah benar secara prinsipil, sangat mungkin tidak menjadi persoalan yang krusial bagi tatanan hukum di Indonesia. Namun, ketika satu kebijakan pemerintah atau penyelenggara pemerintahan ternyata menyimpang dari suatu hal semestinya, persoalan yang kerap muncul adalah terkait dengan pertanggungjawaban dari aparatur pemerintahan itu.

Rumusan Masalah
Dari paparan di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan dan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana batasan tindakan pemerintah antara yang dibenarkan dan tidak dibenarkan dalam menjalankan urusan pemerintahan?
2.      Bagaimana bentuk pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan, kaitannya dengan posisinya sebagai aparatur (pejabat) pemerintahan dan sebagai pribadi yang menjadi subyek hukum?

Menurut S. Prajudi Atmosudirjo, diskresi (Indonesia), discretion (Inggris), discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) dengan kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri.[9] Indroharto menyebut wewenang diskresi sebagai wewenang fakultatif, yaitu wewenang yang tidak mewajibkan badan atau pejabat tata usaha Negara menerapkan wewenangnya, tetapi memberikan pilihan sekalipun hanya dalam hal-hal tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.[10] Adapun Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Draft bulan Juli 2008 di dalam Pasal 6 mengartikan diskresi sebagai wewenang badan atau pejabat pemerintahan dan atau badan hukum lainnya yang memungkinkan untuk melakukan pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan atau tindakan faktual dalam administrasi pemerintahan.
Sjachran Basah mengatakan bahwa freies ermessen adalah kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah tindakan-tindakan administrasi Negara itu sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam Negara hukum berdasarkan Pancasila.[11] Lebih lanjut Diana Halim Koentjoro mengartikan freies ermessen sebagai kemerdekaan bertindak administrasi Negara atau pemerintah (eksekutif) untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan yang memaksa, dimana peraturan penyelesaian untuk masalah itu belum ada.[12]


Sumber Kewenangan
Wewenang bisa dibilang merupakan salah satu kajian utama dalam sistem administrasi negara. Sebab, akan menjadi penting ketika muncul pertanyaan mengapa atau apa dasar aparatur pemerintahan melakukan suatu tindakan? Lebih lanjut, teori kewenangan juga akan berdampak pada bentuk pertanggung jawaban penyelenggara negara ketika terdapat kejanggalan dari suatu kebijaksanaan yang diambil. Sampai di sini, pembahasan akan berkaitan pula bagaimana upaya yang dimiliki warga negara yang menjadi korban suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh aparatur pemerintahan. Ketika kewenangan yang dijalankan oleh pemerintah itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau kewenangan itu disalahgunakan atau diterapkan secara sewenang-wenang yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, maka kepada warga negara diberikan perlindungan hukum (rechtsbescherming) antara lain melalui Peradilan Administrasi.
Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan di antara keduanya. Ateng Syafrudin menegaskan bahwa istilah kewenangan (authority, gezag) harus dibedakan dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.[13]
Dua istilah di atas disejajarkan dengan “authority” dalam bahasa Inggris dan “bevoegdheid” dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai Legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties.[14] (Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik). “Bevoegdheid” dalam istilah Hukum Belanda, Phillipus M. Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah “wewenang” dan “bevoegdheid”. Istilah “bevoegdheid” digunakan dalam konsep hukum privat dan hukum publik, sedangkan “wewenang” selalu digunakan dalam konsep hukum publik.[15]
Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).[16]
Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi dan delegasi; kadang-kadang juga, mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang. Secara sederhana ketiga sumber wewenang ini dapat dijelaskan bahwa kewenangan atribusi adalah kewenangan badan atau pejabat administrasi pemerintahan yang diperoleh secara langsung dari peraturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan delegasi berarti kewenangan badan atau pejabat administrasi pemerintahan yang diperoleh dari pendelegasian badan atau pejabat administrasi pemerintahan yang lain. Dalam hal ini diperlukan peraturan/keputusan pendelegasian wewenang dari pemberi delegasi kepada penerima delegasi karena tanggung jawab yuridis akan beralih kepada penerima delegasi. Adapun mandat bukan merupakan peralihan kewenangan akan tetapi pelaksanaan kewenangan oleh jajaran administrasi pemerintahan atas nama pejabat definitif manakala pejabat definitif tersebut berhalangan.[17]
Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.[18]
Dalam suatu negara hukum-demokratis, tindakan pemerintah meletakkan suatu kewajiban atau beban bagi rakyatnya, hanya dapat dilakukan (halal) apabila memperoleh persetujuan dari rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen. Atribusi berarti adanya pemberian suatu wewenang (baru) oleh rakyat melalui wakilnya di parlemen kepada pemerintah, dimana wewenang tersebut sebelumnya tidak dimiliki oleh pemerintah. Dengan adanya pemberian wewenang itu berarti tindakan pemerintah menjadi sah (halal) dan secara yuridis mempunyai kekuatan mengikat umum, karena telah memperoleh persetujuan dari rakyat melalui wakilnya di parlemen, yang kemudian dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah.[19]
Lebih lanjut, SF Marbun memaparkan bahwa wewenang atribusi (legislators) dapat dibedakan asalnya, yakni yang asalnya diperoleh dari pemerintahan di tingkat pusat dan dari pemerintahan tingkat daerah. Atribusi yang asalnya diperoleh dari pemerintahan di tingkat pusat, bersumber dari MPR berupa UUD dan Ketetapan MPR lainnya dan dan bersumber dari DPR bersama-sama Pemerintah berupa UU. Sedangkan atribusi yang asalnya diperoleh dari tingkat daerah, bersumber dari DPRD dan pemerintah daerah berupa Perda dan bersumber dari Badan Perwakilan Desa (BPD) dan pemerintah desa berupa Perdes.[20]
Sementara Indroharto mengatakan, pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:[21]
1.      Yang berkedudukan sebagai original legislator, di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk kontribusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah.
2.      Yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu.
Sementara itu, delegasi dan mandat dalam banyak referensi dipadukan menjadi satu kelompok karena proses mendapatkan wewenang ini adalah melalui pelimpahan kekuasaan. Badan/pejabat tata usaha negara yang melimpahkan wewenang delegasi disebut delegans dan yang menerimanya disebut delegaris. Sedangkan pada badan/pejabat tata usaha yang melimpahkan mandat disebut dengan mandans dan yang menerimanya disebut mandataris.
Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.[22]
Pemberian atau pelimpahan wewenang ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:[23]
1.      Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
2.      Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam peraturan perundang-undangan.
3.      Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
4.      Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
5.      Peraturan kebijakan (beleidsregelen), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Sementara mandat, menurut Rosjidi Ranggawidjaja dengan mengikuti pendapat Heinrich Tripel, merupakan opdrach/suruhan kepada suatu alat perlengkapan (organ) untuk melaksanakan kompetensi sendiri maupun berupa tindakan hukum oleh pemegang suatu wewenang dengan diberikan kekuasaan penuh kepada suatu obyek lain untuk melaksakan kompetensi si pemberi mandat atas ama si pemberi mandat. Jadi mandat sama halnya dengan suatu kuasa khusus untuk melaksanakan suatu hal tertentu.[24]
Di dalam RUU Administrasi Pemerintahan dirumuskan pengertian delegasi adalah pelimapahan kewenangan untuk mengambil Keputusan Pemerintahan oleh badan kepada pihak lain yang melaksanakan atas tanggung-jawab sendiri, dan tidak diberikan kepada bawahan. Sedangkan mandat adalah kewenangan yang diberikan suatu organ pemerintahan atau delegator kepada orang lain atau organ di bawahnya untuk mengambil keputusan atas nama pemberi mandat.[25]
Di samping itu, dalam hukum pidana menganut prinsip “personal responsibilitiy”, tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. In casu dalam hal ini perlu dibedakan tanggung jawab menurut hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility).
Dari paparan di atas, dalam hukum administrasi setiap penggunaan wewenang itu di dalamnya terkandung pertanggung-jawaban, namun demikian harus pula dipisahkan tentang tata cara memperoleh dan menjalankan wewenang oleh karena tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang pemerintahan itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Pejabat yang memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan delegasi adalah pihak yang melaksanakan tugas dan atau pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab hukum.
Selain itu tak kalah pentingnya dalam penentuan kewajiban tanggung jawab yuridis yang didasarkan pada cara memperoleh wewenang/ kewenangan, perlu juga ada kejelasan tentang siapa “pejabat” tersebut dan yang kedua, bagaimana seseorang itu disebut dan dikategorikan sebagai pejabat? Dalam perspektif hukum publik, yang berkedudukan sebagai subyek hukum adalah jabatan (ambt) yakni suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu yang lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Pihak yang ditunjuk dan bertindak sebagai wakil adalah seseorang yang di satu sisi sebagai manusia (natuurlijke persoon) dan di sisi lain sebagai pejabat. Pejabat adalah seseorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve).
Selanjutnya jawaban atau pertanyaan kedua, seseorang disebut atau dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Dalam kaitan dengan tanggung jawab jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan “beleid”, hakim tidak dapat melakukan penilaian.[23] Berbeda halnya dalam pembuatan “beleid” tersebut ada indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat tersebut yang dapat dituntut pidana.


Asas Legalitas dan AAUPB dalam Menjalankan Pemerintahan
Salah satu prinsip negara hukum adalah prinsip legalitas (legaliteitsbeginsel), yang berarti bahwa setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan itu harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas ini menentukan bahwa tanpa dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basa, berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualitis selaku pilar-pilar, yang sifatnya konstitutif.[26] Di sinilah letak eratnya hubungan antara kajian asas legalitas dan juga wewenang yang didapatkan aparatur pemerintahan.
Dalam arti hukum, wewenang adalah kekuasaan yang sah berdasarkan hukum. Secara operasional, wewenang adalah kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu, atau kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, sehingga dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara. Wewenang pemerintahan ini dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat. Dalam suatu negara hukum ditentukan bahwa baik penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang, maupun pelaksanaan wewenang tunduk pada batasan-batasan yuridis. Mengenai penyerahan wewenang dan sebaliknya, terdapat aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Ketika kewenangan yang dijalankan oleh pemerintah itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau kewenangan itu disalahgunakan atau diterapkan secara sewenang-wenang yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, maka kepada warga negara diberikan perlindungan hukum (rechtsbescherming) antara lain melalui Peradilan Administrasi.[27]
Meskipun asas legalitas itu dianggap sebagai prinsip terpenting dari Negara hukum, namun mendasarkan setiap tindakan pemerintahan di bidang publik pada asas legalitas atau hukum tertulis sebenarnya bukan tanpa masalah. Hal ini karena, menurut Bagir Manan, adanya cacat bawaan (natural defect) dan cacat buatan (artificial defect) dari peraturan perundang-undangan sebagai suatu bentuk hukum tertulis. Sebagai ketentuan tertulis (written rule) atau hukum tertulis (written law) peraturan perundang-undangan mempunyai jangkauan yang terbatas – sekedar moment opname dari unsur-unsur politik, ekonomi, social, budaya dan hankam yang paling berpengaruh pada saat pembentukan, karena itu mudah sekali bila dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat atau dipercepat.[28]
Di samping itu, hal lain yang kerap munculkan masalah dalam penerapan asas legalitas adalah struktur norma hukum publik yang akan dijadikan dasar bagi tindakan pemerintahan. Berbeda dengan struktur norma hukum pidana atau perdata, struktur norma hukum publik khususnya hukum administrasi itu sifatnya berantai dan bertingkat. Artinya terhadap suatu urusan pemerintahan itu normanya tidak hanya terdapat dalam suatu undang-undang atau peraturan daerah tetapi bertebaran dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Seorang pejabat yang akan melakukan tindakan hukum tertentu dituntut untuk mengkaji semua peraturan perundang-undangan terkait.[29]
Atas dasar inilah, tindakan di luar peraturan perundang-undangan (diskresi/freies ermessen) dibenarkan bagi penyelenggara pemerintahan sebagai bagian dari tugasnya untuk kesejahteraan masyarakat. Para pakar mengakui bahwa hal yang dikandung dalam perbuatan diskresi pemerintah rentan terhadap penyimpangan sehingga dalam kerangka untuk meminimalisir kemungkinan itu serta untuk menguji satu tindakan diskresi pemerintah itu, sehingga dirumuskan berbagai asas-asas sebagai landasannya seperti asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, asas menghormati dan memberikan hak setiap orang, asas kecermatan, kepastian hukum, asas kepantasan dan kewajaran, asas tanggung jawab, dan lain sebagainya. Dalam dunia administrasi publik, berbagai asas ini dikenal dengan sebutan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), atau sebagian lagi menyebutnya dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Adil dan Patut.
Lebih lanjut, SF Marbun menjelaskan bahwa meskipun tidak menyebut secara eksplisit bahwa hakim PTUN dapat menggunakan asas-asas ini khususnya berkaitan dengan Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986, namun tidak berarti bahwa hakim PTUN tidak dapat menggunakan asas-asas tersebut, terlebih Indonesia belum memiliki UU Hukum Administrasi.[30] Dalam konteks Indonesia, AAUPB ini harus digali dari ajaran agama, Pancasila, UUD 1945, hukum adat, teori ilmu hukum dan yurisprudensi.[31]
Dengan beberapa pertimbangan sumber penggalian AAUPB itu, SF Marbun kemudian merumuskan 17 asas-asas yang harus dipedomani aparatur pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya, yaitu: asas persamaan; asas keseimbangan, keserasian, keselarasan; asas menghormati dan memberikan hak setiap orang; asas ganti rugi karena kesalahan; asas kecermatan; asas kepastian hukum; asas kejujuran dan keterbukaan; asas larangan menyalahgunakan wewenang; asas larangan sewenang-wenang; asas kepercayaan atau pengharapan; asas motivasi; asas kepantasan atau kewajaran; asas pertanggung-jawaban; asas kepekaan; asas penyelenggaraan kepentingan umum; asas kebijaksanaan; dan asas itikad baik.[32]
Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah bahwa dalam menjalankan tugas pelayanan publik, para penyelenggara pemerintahan harus berdiri di atas dua landasan, yakni asas legalitas dan AAUPB. Khusus terkait dengan AAUPB, satu kebijakan pemerintah akan dikategorikan sebagai kebijakan yang menyimpang jika di dalamnya ada unsur sewenang-wenang. Selain itu kebijakan dianggap menyimpang jika bertentangan dengan kepentingan umum.
Ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Unsur sewenang-wenang sendiri diuji dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk). Suatu kebijakan dikategorikan mengandung unsur willekeur jika kebijakan itu nyata-nyata tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk onredelijk).[33]
Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Draft bulan Juli 2008 dalam pasal 6 ayat (1) memberi batasan terhadap diskresi dengan menyebutkan bahwa Pejabat pemerintahan dan atau badan hukum lainnya yang menggunakan diskresi dalam mengambil keputusan wajib mempertimbangkan tujuan diskresi itu sendiri, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar diskresi dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Selanjutnya ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan bahwa penggunaan diskresi wajib dipertanggungjawabkan kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil serta dapat diuji melalui upaya administrative atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan tersebut berarti bahwa Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Ketentuan tersebut berarti bahwa Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan bukan hanya akan member batasas-batas penggunaan diskresi oleh Badan/Pejabat administrasi Pemerintah akan tetapi juga mengatur mengenai pertanggungjawaban Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan terhadap penggunaan diskresi yang tidak hanya bersifat pasif dalam arti menunggu adanya gugatan dari masyarakat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara akan tetapi juga bersifat aktif dengan adanya kewajiban mempertanggungjawabkan penggunaan diskresi kepada Pejabat atasannya mengingat hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar adanya diskresi itu sendiri. Tetapi yang disayangkan adalah meskipun Pasal 6 RUU Administrasi Pemerintahan telah mengatur tentang kewajiban melaporkan tindakan diskresi kepada atasan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alas an-alasan pengambilan keputusan diskresi, namun apabila ketentuan tersebut tidak dilaksanakan tidak ada sanksinya sehingga hal tersebut dapat menyebabkan Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan yang menerbitkan keputusan diskresi berdalih bahwa keputusan yang diambilnya bukan keputusan diskresi ataupun berdalih ia tidak tahu bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan diskresi.
Walaupun demikian paling tidak dengan akan dijadikannya batas-batas penggunaan diskresi sebagai suatu norma yang mengikat, maka hal tersebut sudah cukup untuk menghindari dilaksanakannya penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan perbuatan sewenang-wenang (willekeur) oleh Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan, sebab tujuan utama dari normatifisasi adalah menciptakan dan menjadikan Hukum Administrasi Negara menunjang kepastian hukum yang member jaminan dan perlindungan hukum baik bagi warga Negara maupun administrasi Negara.[34]

Tanggung Jawab Penyelenggara Pemerintahan: Antara Pribadi dan Jabatan
Dalam ajaran hukum dikenal istilah tindakan hukum, yang menurut R.J.H.M. Huisman, diartikan sebagai tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu,  atau suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban. Istilah tindakan hukum ini semula berasal dari ajaran hukum perdata (het woord rechtshandeling is ontleend aan de dogmatiek van het burgerlijk recht), yang kemudian digunakan juga dalam Hukum Administrasi, sehingga dikenal istilah tindakan hukum administrasi (administratieve rechtshandeling). Menurut H.J. Romeijn, tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi. Secara garis besar, perbuatan hukum pemerintah itu dapat berbentuk perbuatan hukum di bidang peraturan perundang-undangan (regeling), keputusan tata usaha negara (beschikking), dan perbuatan hukum perdata (materiale daad). Dalam konsepsi negara hukum, setiap perbuatan hukum itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid). Negara hukum juga menghendaki agar ketika terjadi perbuatan hukum yang menyimpang dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau terlanggarnya hak-hak subyek hukum lain, maka perlu diselesaikan melalui lembaga peradilan.[35]
Untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab ketika terjadi perbuatan hukum yang menyimpang dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau terlanggarnya hak-hak subyek hukum lain (masyarakat) oleh penyelenggara tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan, terlebih dahulu perlu dikemukakan tentang jabatan pemerintahan yang dilekati fungsi dan kewenangan pemerintahan.
Logemann mengatakan bahwa Negara dan organisasi jabatan “de staat is ambtenorganisatie”[36] dan dalam suatu Negara itu ada jabatan pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan tetap yang dilekati dengan wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni semua tugas-tugas kenegaraan selain bidang pembuatan undang-undang dan peradilan,”elke werkzaamheid van de overhead, welke niet als wetgwving of als rechtspraak is aan te merken”.[37] Tugas dan wewenang yang melekat pada jabatan ini dijalankan oleh manusia (natuurlijke persoon), yang bertindak selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan atau pejabat.
Setiap penggunaan wewenang oleh pejabat selalu disertai dengan tanggung jawab, sesuai dengan prinsip “deen bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). Karena wewenang itu melekat pada jabatan, namun dalam implementasinya dijalankan oleh manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan, maka siapa yang harus memikul tanggung jawab hukum ketika terjadi penyimpangan harus dilihat secara kasuistik karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung jawab jabatan dan dapat pula berupa tanggung jawab dan tanggung gugat pribadi.

Tanggungjawab Jabatan
Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan fungsi dan wewenang, karena pejabat tidak memiliki wewenang. Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann mengatakan bahwa, berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum.
Hak dan Kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat.[38] Karena kewenangan itu melekat pada jabatan, sementara tanggungjawab dalam bidang publik itu terkait dengan kewenangan, maka beban tanggungjawab itu pada dasarnya juga melekat pada jabatan.
Tanggungjawab jabatan ini berkenan dengan keabsahan tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Menurut F.R. Bothlingk, baik wakil maupun yang diwakili adalah pelaku, namun tidak berarti bahwa keduanya mempunyai tanggung jawab. Berkenan dengan perbuatan hukum, jawabannya jelas. Perbuatan hukum adalah pernyataan kehendak dan tanggung jawab secara khusus tertuju kepada pihak yang kehendaknya dinyatakan, yakni pihak yang diwakili. Wakil tidak menyatakan kehendaknya sendiri, karena itu meletakan tanggung jawab kepadanya tidak pada tempatnya.[39]
Meskipun kewenangan itu melekat pada jabatan yang membawa konsekwensi melekatnya tanggung jawab pada jabatan yang bersangkutan, namun dapat saja dalam pelaksanaan kewenangan itu tanggung jawabnya dibebankan kepada pribadi (in persoon) pejabat.

Tanggungjawab Pribadi
Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service. Seorang pejabat yang melaksanakan tugas dan kewenangan jabatan atau membuat kebijakan akan dibebani tanggung jawab pribadi jika ia melakukan tindakan maladministrasi.
F.R.Bothlingk mengatakan bahwa pejabat atau wakil itu bertanggung jawab sepenuhnya, ketika ia menyalahgunakan situasi dengan melakukan tindakan amoralnya sendiri terhadap kepentingan pihak ketiga.[40] Seseorang bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga bilamana ia telah bertindak secara moril sangat tercela atau dengan itikad buruk atau dengan sangat ceroboh, yakni melakukan tindakan maladministrasi.
Maladministrasi berasal dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau pengurusan yang buruk atau jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud Maladministrasi adalah “ Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan”.
Dalam panduan investigasi untuk Ombudsman Republik, disebutkan dua puluh macam maladministrasi, yakni penundaan atas pelayanan (berlarut-larut), tidak menangani, melalaikan kewajiban, persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, nyata-nyata berpihak, pemalsuan, pelanggaran undang-undang, perbuatan melawan hukum, diluar kompetensi, tidak kompeten, intervensi, penyimpangan prosedur, bertindak sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, bertindak tidak layak/tidak patut, permintaan imbalan uang/korupsi, penguasaan tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didalamnya ada unsure maladministrasi dan merugikan warga Negara, tanggung jawab dan tanggung gugatnya dibebankan kepada pribadi orang yang melakukan tindakan maladministrasi tersebut.
Di atas telah disebutkan bahwa UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan peraturan pelaksanaannya menganut teori tanggung jawab jabatan, namun dalam perkembangannya, khususnya setelah perubahan UU PTUN No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 5 Tahun 1986, dianut pula tanggung jawab pribadi. Berdasarkan Pasal 116 ayat (4) UU No 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa, “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif”, dan dalam ayat (5) disebutkan bahwa “Pejabat yang tidak melaksanakanputusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)”. Dalam penjelasannya tidak disebutkan apakah ketentuan Pasal 116 ayat (4) dan (5) ini merupakan tanggung jawab jabatan atau pribadi, namun jika dicermati dari latar belakang dan semangat perubahan undang-undang ini tampak bahwa ketentuan pasal ini dimaksudkan sebagai tanggung jawab pribadi. Dengan demikian, UU PTUN saat ini menganut tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Adapun kapan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi itu diterapkan, tergantung pada dalam hal apa dan bagaimana perbuatan atau tindakan pemerintahan itu dilakukan.




Bagir Manan mengatakan bahwa peraturan kebijakan bukan peraturan perundang-undangan sehingga asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan. Suatu peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid), karena memang tidak akan ada dasar peraturan perundangundangan untuk keputusan membuat peraturan kebijakan. Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan Freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi Negara yang bersangkutan untuk membuat peraturan perundang-undangan (baik karena secara umum tidak berwenang maupun untuk obyek yang bersangkutan tidak berwenang mengatur). Selanjutnya dikatakannya bahwa pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diarahkan pada doelmatigheid dan karena itu batu ujiannya adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintah yang layak12.
Dengan demikian tidak mudah untuk menentukan apakah suatu peraturan benar-benar merupakan suatu peraturan perundang-undangan serta apakah suatu keputusan benar-benar suatu keputusan. Bagir Manan dan Kuntana Magnar mencontohkan Undang-Undang tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Undang-Undang tentang Perubahan Anggaran, dilihat bentuk hukumnya adalah Undang-Undang, tetapi dilihat dari segi isi atau materinya akan lebih mendekati ketetapan daripada peraturan perundang-undangan. Begitu pula dengan Undang-Undang tentang pembentukan Pengadilan Tinggi atau pembentukan suatu Daerah Tingkat II lebih bersifat penetapan daripada suatu peraturan perundang-undangan13.



Pejabat/Badan administrasi pemerintahan dapat melakukan tindakan hukum dan atau tindakan faktual, maka dengan demikian subyek hokum tidak hanya terbatas pada orang atau badan hukum perdata saja ( seperti Perseroan Terbatas, Koperasi, Yayasan), akan tetapi juga Pejabat/Badan administrasi pemerintahan sehingga Pejabat/Badan administrasi pemerintahan dapat dikategorikan sebagai subyek hukum. Dalam kedudukannya sebagai subyek hukum, maka Pejabat/Badan administrasi pemerintahan dapat melakukan tindakan hokum yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum.
Lutfi Effendi2, menggolongkan perbuatan pemerintah ke dalam dua golongan perbuatan, yakni golongan yang bukan perbuatan hukum dan golongan perbuatan hukum. Perbuatan pemerintah yang bukan perbuatan hukum adalah suatu tindakan terhadap masyarakat yang tidak mempunyai akibat hukum dan tidak perlu ada sanksi hukum bila perbuatan tersebut tidak terlaksana, misalnya Walikota mengundang masyarakat untuk menghadiri acara ulang tahun dirinya, atau Presiden mengunjungi panti asuhan, dan Presiden menghimbau agar masyarakat hidup sederhana serta peresmian proyek-proyek pemerintah yang telah selesai dilaksanakan. Sedangkan perbuatan hukum adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum. Secara umum perbuatan hukum pemerintah dapat dikategorikan menjadi dua golongan, yakni perbuatan hukum yang bersifat hukum privat dan perbuatan hukum yang bersifat hukum publik;
Tindakan hukum privat (perdata) yang dilakukan oleh pemerintah contohnya pemerintah mengadakan perjanjian sewa-menyewa, jual-beli, utang-piutang dengan pihak swasta atau pihak lain dan tindakan hukum perdata lain yang cirinya adalah bersegi dua. Sedangkan tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah cirinya adalah bersegi satu yang dapat berbentuk keputusan yang bersifat konkrit, Individual dan final serta dapat pula berbentuk peraturan yang bersifat mengatur secara umum.


Sebagai bagian dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, kewenangan pembuatan kebijakan melekat pada jabatan pemerintahan (inherent aan het bestuur) yang dijalankan oleh pejabat pemerintahan, dan ternyata telah menyebabkan banyak pejabat yang menjadi tersangka bahkan terpidana. Di sisi lain, dianut suatu pendapat bahwa kebijakan pemerintah itu tidak dapat dipersoalkan secara hukum. Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, suatu kebijakan tidak mungkin diajukan ke pengadilan apalagi dikenakan hukum pidana karena dasar hukum kebijakan yang akan menjadi dasar hukum penuntutannya tidak ada. Hal ini disebabkan suatu kebijakan pada umumnya berjalan tidak seiring atau belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.[41]

Menurut Hadjon, bahwa kebijakan penguasa tidak dapat digugat didasarkan pada prinsip beleidsvrijheid yang ada pada penguasa. Beleidsvrijhneid penguasa meliputi; tugas-tugas militer, politonil, hubungan luar negeri, pekerjaan untuk kepentingan umum, keadaan yang tidak dapat diduga terlebih dahulu atau dalam mengambil tindakan darurat (Philipus M Hadjon:2007:119). Sementara Amarullah Salim (1994:157-158) mengatakan bahwa perbuatan kebijakan penguasa tidak termasuk kompetensi pengadilan untuk menilai sesuai dengan yurisprudensi dan ilmu hukum.
Jika dikatakan bahwa kebijakan pemerintah tidak dapat dipersoalkan secara hukum, namun ternyata dalam praktek yang selama ini terjadi pembuat kebijakan diproses secara hukum dan ditetapkan sebagi tersangka bahkan terpidana. Hal ini menimbulkan pertanyaan Dalam hal apa tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi diterapkan dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintahan? Serta apakah ada batasan norma hukum yang dapat diterapkan terhadap kebijakan pemerintahan?


Penutup

Mewujudkan tujuan negara dalam kajian Ilmu Negara dan Hukum Tata Negara selalu menuntut kita untuk mengkaji bagaimana negara itu dijalankan, dan bagaimana sistem yang dipakai untuk mewujudkan tujuan negara itu. Sejauh ini, beberapa sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, mengalir dengan banyak pengembangan-pengembangan. Misalkan saja, dahulu diketahui terdapat banyak negara yang menerapkan monarki sebagai sistem dalam penyelenggaraan negara. Sistem yang meletakkan kekuasaan di tangan seorang raja ini pada akhirnya berkembang ke arah yang berlawanan, dimana kekuasaan lebih cenderung dibagi kepada rakyat (perwakilannya) atau setidaknya berdasarkan aturan yang berlaku. Oleh karenanya, zaman modern banyak juga yang mengklaim menerapkan demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat) walau bentuk negaranya adalah kerajaan (monarki). Model ini populer dengan “monarki konstitusional”.[42]


Diskusi mengenai tujuan pembentukan suatu negara telah terjadi sejak masa lampau, bahkan ketika istilah negara itu belum muncul. Hingga kini, perdebatan tentang tema ini seolah tidak habis dibicarakan. Perkembangan yang terus terjadi menjadi salah satu faktor utama, mengingat efek yang ditimbulkannya juga memberi pengaruh pada ukuran dan bentuk kesejahteraan rakyat itu sendiri, misalnya. Dalam konteks Indonesia, eksistensi pembicaraan serta perdebatan tentang tema ini, menyiratkan makna bahwa kesejateraan rakyat  masih menjadi pertanyaan utama hingga saat ini. Padahal, sebagai dokumen tertinggi, UUD menunjukkan dengan jelas bahwa kesejahteraan bangsa adalah salah satu tujuan yang ingin dicapai. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan empat tujuan bernegara, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.


Teori tanggung jawab
Tanggung jawab pribadi dan jabatan
Sumber jabatan


 


[1] Lihat lebih lengkap dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi. Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal: 6
[2] Dalam hal ini, sebab penegasan seperti ini harus dikembalikan kepada faktor sejarah dalam penyelenggaraan negara Indonesia. UUD 1945 sebelum amandemen tidak secara tegas menyatakan bahwa hukum adalah landasan penyelenggaraan negara telah menyebabkan distorsi penafsiran, dan penafsiran pemerintah yang sedang berkuasa adalah pihak yang dimenangkan. Pemerintahan akhirnya berujung pada otoriterisme. Baca lebih lengkap dalam Edi Kholiludin (editor), Runtuhnya Negara Tuhan: Membongkar Otoritarianisme dalam Wacana Politik Islam, INSIDE PMII Komisariat Walisongo, Semarang, 2005, hlm: 122
[3] Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal:22-23
[4]
[5] S.F.Marbun 2001:73
[6] Siti Soetami, 2000:46
[7] Diana Halim Koentjoro,2004:42
[8]
[9] S. Prajudi Atmosudirjo (1994:82)
[10] Indroharto (1993:99-101)
[11] Sjachran Basah (1997:3)
[12] Diana Halim Koentjoro (2004:41)
[13] Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia, Bandung, Universitas Parahyangan, Edisi IV Tahun 2000, h. 22
[14] Henry Campbell Black, Black’S Law Dictionary, West Publishing, 1990, p. 133.
[15] Phillipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des 1997, h. 1
[16] Ibid. h. 1-2.
[17] Tri Cahya Indra Permana, Pengujian Keputusan Diskresi Oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2009, hlm. 31
[18] Ibid, hlm. 2-3
[19] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hlm. 137-138
[20] Ibid, hlm. 138
[21] Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Jakarta: Sinar Harapan, 1993, hlm. 91
[22] J.G. Brouwer dalam Sonny Pungus, Teori Kewenangan, dalam, http://sonny-tobelo.blogspot.com/2011/01/teori-kewenangan.html
[23] Philipus M Hadjon.,  op. cit. h. 4-5.
[24] SF Marbun, op.cit, hlm. 142
[25] Lihat Pasal 5 (2) dan Penjelasan RUU Administrasi Pemerintahan, November 2007
[27] Ridwan HR, Peradilan Tata Usaha Negara: Wujud “Keberhasilan” Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru, Makalah sebagai bahan kuliah pada Magister Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum UII, 2011, hlm. 6
[28] (Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987:16)
[29] Julista. Mustamu, Diskresi Dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan,  Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni 2011, hlm.
[30] SF Marbun, op.cit, hlm. 383
[31] Ibid., hlm. 385
[32] Ibid, hlm. 387
[33] Julista. Mustamu, Diskresi Dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan,  Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni 2011, hlm. 5
[34]  (Rusli K Iskandar dalam SF Marbun dkk, 2001:87).
[35] Ridwan HR, Peradilan Tata Usaha Negara: Wujud “Keberhasilan” Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru, Makalah sebagai bahan kuliah pada Magister Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum UII, 2011, hlm. 5
[36] (Logemann, 1854:88)
[37]  (C.J.N.Versteden dalam Julista. Mustamu, Diskresi Dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan,  Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni 2011, hlm. 6
[38] (Logemann, 1958:89)
[39] (F.R.Bothlingk: 1954:137)
[40] (F.R.Bothlingk, 1954:142)
[41] Arifin P Soeria Atmadja:2008:198
[42] Baca dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005,  hal: 79-80

Mau mendownload Undang-Undang/Peraturan Pemerintah, Klik disini.
Download File Pdf. KLIK DISINI.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TANGGUNG JAWAB JABATAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA"

Post a Comment