KEDUDUKAN AHLI WARIS DAN AHLI WARIS PENGGANTI (ILMU FARAIDH)

Sktruktur Ahli Waaaris dan Ahli Waris Pengganti
ADMIN

STRUKTUR AHLI WARIS DAN AHLI WARIS PENGGANTI


A.   Latar Belakang
        Hukum islam sejak kedatangannya di bumi nusantara indonesia hingga pada hari ini tergolong hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat. Fakta dari pernyataan tersebut adalah dengan diberlakukannya kompilasi hukum islam yang memuat berbagai masalah mengenai hukum keperdataan umat Indonesia khususnya umat islam. Dengan adanya kompilasi hukum islam, umat islam di indonesia hidupnya semakin terarah, tertib, dan rukun terutama menyangkut masalah hukum harta kekayaan atau harta benda, atau sering disebut juga hukum kewarisan islam.
           Seperti yang telah kita ketahui bahwa dalam istilah kewarisan itu ada yang disebut istilah waris atau ahli waris. Ahli waris merupakan objek kewarisan yang paling banyak dibahas dalam pembagian warisan. Dengan demikian, agar tidak terjadi persengketaan di antara ahli waris, maka ahli waris telah diatur dalam UUP no. 1 tahun 74 pasal 35 tentang harta benda dalam perkawinan dan dalam pasal 185-187 Kompilasi Hukum Islam.
B.     Tujuan
1.      Untuk memenuhi tugas makalah individu mata kuliah Hukum Perdata Islam
2.    Megetahui muatan pasal 35 UUP No. 1 Tahun 1974 dan pasal 85-87 KHI tentang waris sebelum ada kematian
3.      Mengetahui maam-macam ahli waris kerabat
4.      Mengetahui ahli waris karena sebab
5.      Mengetahui metode awl dan rad
6.      Mengetahui struktur ahli waris pengganti
C.    Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, bahwasannya sejak dahulu kala Indonesia telah mempraktekkan sistem kewarisan berdasarkan syari’at Islam. Kaitannya dengan hal tersebut, maka bagaimana struktur ahli waris berdasarkan UUP dan KHI ? Apa yang dimaksud dengan ahli waris pengganti ?

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Struktur Ahli Waris
            Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[1]
A.      Waris Sebelum Ada Kematian
          Waris sebelum ada kematian berdasarkan pasal 35 UUP No. 1 Tahun 1974 dan pasal 85-87 KHI adalah harta benda dalam sebuah perkawinan. Yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan menjadi harta bersama (harta gono-gini). Namun berbeda dengan harta bawaan dan harta benda yang diperoleh  masing-masing suami dan isteri baik sebagai hadiah atau warisan, karena itu adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.[2]                                      
         Waris sebelum ada kematian ini bisa dartikan sebagai pembagian harta kekayaan antara pihak suami dan pihak isteri karena putusnya tali pernikahan akibat perceraian.
           Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 85-87, adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Maka pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Dengan demikian, harta isteri tetap mejadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, begitu juga harta suami menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
          Aturannya, harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, itu merupakan dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan begitu, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing baik itu berupa hibah, hadiah, atau sodaqah lainnya.
          Menurut pandangan syari’at Islam, sebenarnya waris sebelum adanya kematian itu tidak ada. Karena harta warisan menurut pengertian ulama faroidh adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit.[3] Jadi harta yang pemiliknya masih hidup bukanlah harta warisan, sehingga hukumnya berbeda dengan hukum harta warisan. Dan itu lebih diartikan pada hibah. Karena hibah adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara suma-cuma pada masa hidupnya.[4] Sebagai contoh : 
1.      Jika seorang bapak membagikan hartanya sebelum meninggal dunia, maka harus dirinci terlebih dahulu. Yaitu,  Jika pembagian harta tersebut dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat, artinya tidak dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematian, maka pembagian atau pemberian tersebut disebut Hibah ( harta pemberian ), bukan pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah boleh. ( Ibnu Rusydi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 327).
2.      Jika seorang bapak membagikan hartanya kepada anak-anaknya dalam keadaan sehat wal afiat, sebagaimana telah diterangkan di atas, maka dibolehkan baginya untuk membagi seluruh hartanya.
Apakah pembagian tersebut harus sama besarnya antara satu anak dengan lainnya, atau antara laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya ?
Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. ( Ibnu Juzai, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005 ,hlm : 295 ) Sedangkan ulama hanabilah ( para pengikut imam Ahmad ) menyatakan bahwa pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al Qur’an dan hadist.
Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut :
Pertama : Jika tidak ada unsur yang membedakan antara mereka, seperti semua anak masih kecil-kecil semua, sebaiknya disamakan, agar terjadi keadilan.
Dalilnya adalah beberapa hadits di bawah ini :                               
1.      Hadist Nu’man Bin Basyir yang datang kepada nabi Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata : “ Ya Rasulullah, aku memberikan sesuatu ini kepada anakku. Kemudian Rasulullah bertanya : “Apakah semua anakmu kamu beri seperti itu?” “Tidak Ya Rasulullah” : Jawab Nu’man. “ Kalau begitu cabut kembali pemberian tersebut “ ! Kata Rasulullah. ( HR Bukhari dan Muslim ).
2.      “Bertaqwalah kepada Allah dan berbuatlah adil diantara anak-anak kalian.” ( HR Bukhari dan Muslim )
3.       “Perlakukanlah sama antara anak-anakmu, jika dibolehkan untuk membedakan tentunya aka akan lebih memperhatikan perempuan.”[5]
Kedua : Jika ada hal yang menuntut untuk dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka dibolehkan untuk membedakan antara anak satu dengan yang lainnya, seperti anak yang satu sudah menikah dan mempunyai tanggungan istri dan anak, sedangkan dia termasuk orang yang membutuhkan bantuan, maka anak ini boleh diberikan jatah lebih banyak. Apalagi anak yang lain masih kecil-kecil dan belum mempunyai banyak keperluan. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Abu bakar as-Siddiq terhadap anaknya Aisyah ra, ketika memberinya harta yang lebih ( 20 wisq ) dari anak-anaknya yang lain.
Sebagian ulama menyatakan jika seorang ayah memberikan salah satu anaknya uang yang cukup banyak, seperti membantunya di dalam membayarkan mahar pernikahannya, atau membayarkan uang perkulihannya, maka seharusnya dia juga memberikan kepada anak-anaknya yang lain dalam jumlah yang sama. Tetapi, jika sebagian dari anaknya menderita cacat seperti buta, atau lumpuh kakinya, sehingga tidak bisa bekerja dengan maksimal, maka dibolehkan bagi orang tua untuk memberinya lebih dari anak-anaknya yang lain. 
B.      Ahli Waris Kerabat
            Ahli waris kerabat adalah ahli waris yang dekat hubungannya dengan si pewaris. Adapun ahli waris yang dimaksud adalah ahli waris nasabiyah.
           Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang hubungan kekerabatannya kepada si pewaris berdasarkan hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini terdiri dari 13 orang laki-laki dan 8 orang perempuan. Berikut ini adalah pengelompokkan ahli waris nasabiyah berdasarkan tingkat kekerabatannya, adalah :
1.      Furu’ al-waris, yaitu ahli waris anak keturunan si mati, atau disebut kelompok cabang (al-bunuwah). Kelomok inilah yang terdekat dan mereka yang didahulukan menerima warisan. Ahli waris kelompok ini adalah :
a.       Anak laki-laki (al-ibn)
b.      Cucu laki-laki garis laki-laki
c.       Anak perempuan (al-bint)
d.      Cucu permpuan garis laki-laki

2.      Usul al waris, yaitu ahli waris leluhur si mati. Kedudukannya berada setelah furu’ al-waris. Mereka adalah:
a.       Bapak
b.      Ibu
c.       Kakek garis bapak
d.      Nenek garis Ibu
e.       Nenek garis Bapak
3.      Al-Hawasyi, yaitu ahli waris kelompok saudara, termasuk di dalamnya paman dan keturunannya. Seluruhnya ada 12 orang, yaitu:
a.       Saudara permepuan sekandung
b.      Saudara perempuan seayah
c.       Saudara perempuan seibu
d.      Saudara laki-laki sekandung
e.       Saudara laki-laki seayah
f.       Saudara laki-laki seibu
g.      Anak saudara laki-laki sekandung
h.      Anak laki-laki seayah
i.        Paman sekandung
j.        Paman seayah
k.      Anak paman sekandung
l.        Anak paman seayah
C.      Ahli Waris Karena Sebab
          Ahli waris karena sebab adalah ahli waris yang kerena hubungan pewarisannya timbul karena sebab-sebab tertentu, yaitu:
1.      Sebab perkawinan, yaitu suami atau isteri
2.      Sebab memerdekakan hamba sahaya
           Ahli waris karena sebab dapat menerima warisan apabila perkawinan suami isteri tersebut sah. Begitu juga hubungan yang timbul sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat dibuktikan dengan hukum yang berlaku.[6]
D.     Metode Awl dan Rad
           Menurut Pasal 192 Kompilasi Hukum Islam, apabila dalam pembagian harta warisan di antara ahli waris Dzawil Furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru setelah itu harta warisan dibagi secara aul menurut harta pembilang.
            Kemudian dalam pasal 193 KHI, apabila dalam pembagian harta waris di antara para ahli Dzawil Furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.
1.      Metode Awl
          Aul adalah tambahnya jumlah saham yang telah ditetukan dan berkurangnya bagian-bagian ahli waris. Hal ini terjadi apabila furudl-furudl yang ada dan jumlahnya saling memenuhi, yang dapat menghabiskan seluruh harta warisan, padahal masih ada ashabul furudl yang belum mendapat bagian. Maka ketika demikian kita terpaksa menambah asal masalah, sehingga semua ashabul furudl dapat mengambil warisan. Dengan demikian pengurangan akan mengenai semua ahli waris.[7]
          Adapun terkait dengan awl ini terdapat tujuh asal masalah yang di antaranya tiga yang dapat diawlkan (6, 12, 24), dan ada empat yang tidak bisa diawlkan (2, 3, 4, dan 8). Oleh karena itu, apabila ada salah satu dari sejumlah asal masalah ini, maka tidak mungkin diawlkan. Seperti apabila seorang perempuan mati, meninggalkan : suami, seorang saudara perempuan  kandung, dan seorang saudara perempuan sebapak, maka asal masalahnya 2. Untuk suami 1 dan untuk saudara1. Dalam masalah ini tidak ada awl. Seperti juga apabila seseorang mati, meninggalkan ibu dan bapak. Ibu mendapat 1/3 dan bapak mendapat sisa. Asal masalah ada 3. Jika demikian, maka tidak ada awl.
           Sedangkan asal masalah yang dapat diawlkan adalah 6,12, dan 24. 6 dapat diawlkan sempai 10, ganjil atau genap. Misalnya 6 diawlkan kepada 7, 8,9, dan 10, tetapi tidak bisa lebih dari ini. 12 dapat diawlkan sampai dengan 17, ganjil saja, tidak genap. Jadi ia dapat diawlkan pada 13,15, daan 17. Ia dapat diawlkan 3 kali saja. 24 dapat diawlkan pada 27 saja, yaitu dalam masalah yang dikenal dengan sebutan “masalah mimbariyah”. Maka ia hanya dapat diawlkan sekali saja.
2.      Metode Rad
a.       Pengertian Rad
           Rad menurut bahasa berarti kembali.(QS Al-ahzab ayat 25).
Yang artinya: “Alloh juga menghalau (mengembalikan) orang-orang yang kafirr itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun.”
           Rad menurut istilah adalah kurangnya asal masalah dan bertambahnya jumlah saham yang ditentukan. Rad merupakan kebaikan dari awl. Karena apabila ada kelebihan harta warisan sesudah dibagikan  ashabul al-furudl dan tidak ada asobah, makakita berikan kelebihan itu kepada ahli waris dari ashabul furudl yang ada sesuai dengan besar kecilnya saham mereka.
b.      Syarat-syarat Rad
Tidak terjadi rad kecuali memenuhi persyaratan, yaitu:
1.      Ada ashabul al-furudl
2.      Tidak ada ashobah
3.      Ada kelebihan dari harta warisan.
c.       Ahli waris yang mendapat rad
Semua ashabul furud mendapat rad, kecuali suami isteri.
Rad ini meliputi 8 orang ashabul furudl, yaitu:
1.      Anak perempuan
2.      Anak perempuan anak laki-laki
3.      Saudara perempuan kandung
4.      Saudara perempuan sebapak
5.      Ibu
6.      Nenek sejati
7.      Saudara perempuan seibu
8.      Saudara laki-laki seibu.
          Mengenai bapak dan kakek, sekalipun mereka adalah ashabul furudl dalam suatu keadaan, mereka tidak berhak rad. Sebab apabila ada bapak atau kakek tidak mungkin masalah itu ada rad, karena keduanya menemani ashobah yang keduanya mengambil sisa.
d.      Ahli waris yang tidak berhak rad
          Adapun ahli waris dari kalangan ashabul furudl yang tidak berhak rad adalah suami dan isteri saja. Hal ini karena kekerabatan mereka bukan disebabkan oleh nasabiyah melainkan oleh sebab perkawinan. Hubungan ini putus dengan kematian, maka mereka tidak berhak lagi rad. Dan masing-masing hanya berhak mengambil bagiannya saja. Sedangkan kelebihan tirkah tersebut diradkan kepada ashabul furudl lainnya.
e.       Pembagian Rad
           Rad dibagi menjadi 4 macam yang masing-masing bagian ini mempunyai cara tersendiri. Adapun 4 macam bagian tersebut adalah:
1.      Ahli waris hanya seorang ashabul furudl, bukan salah seorang suami isteri.
2.      Ahli waris lebih dari seorang ashabul furud, bukan salah seorang suami isteri
3.      Ahli waris hanya seorang ashabul furudl bersama seorang suami isteri
4.      Ahli waris lebih dari seorang ashabul furudl bersama salah seorang suami isteri
Hukum Keadaan Pertama
          Apabila ahli waris hanya seorang ashabul furudl, tanpa ada salah seorang suami isteri, maka pertama kali warisan dibagi menurut kepala demi ringkas dan sampainya pada tujuan melalui cara yang termudah. Apabila seseorang mati meningalkan 3 anak perempuan saja, maka masalah terdiri dari 3, yang merupakan jumlah kepala mereka, karena bagi mereka 2/3 melaui furudl dan sisa melalui rad. Maka warisan dibagi menurut jumlah kepala karena ahli waris terdiri dari ashabul furudl yang satu. Dengan demikian kita beri masing-masing dari mereka bagiannya serta bagiannya dari rad.
Hukum Keadaan Kedua   
           Apabila ahli waris terdiri sejumlah ashabul furudl yang bukan slah seorang suami isteri maka warisan dibagi dengan jumlah saham, bukan enurut jumlah kepala. Seperti seseorang mati meninggalkan ibu, dddan 2 saudara laki-laki seibu. Ibu mendapat 1/6 dan 2 saudara mendapat 1/3. Banyaknya asal masalah sejumlah saham, yakni 3. Karena untuk ibu 1 saham : 1/6, untuk 2 saudara laki-laki seibu 2 saham : 2/6. Jumlah saham 3. Maka 3 inilah asal masalahnya.
Hukum Keadaan Ketiga
          Apabila ahli waris terdiri dari seorang ashabul furudl bersama salah seorang suami isteri maka patokannya : ddapat kitakeluarkan bagian orang yang tidak menerima rad (terlebih dahulu). Sisanya dibagi menurut jumlah kepala ahli waris. Seperti suami dan 2 anak perempuan. Suami mendapat ¼. Sisanya ¾ dibagi oleh 2 orang anak perempuan sama rata, yakni menurut jumlah kepala mereka.
Hukum Keadaan Keempat
           Apabila ahli waris terdiri dari sejumlah ashabul furudl bersama sakah seorang suami isteri, maka ketentuannya : kita jadikan 2 masalah. Satu masalah di dalamnya kita letakkan suami isteri dan satu masalah yang tidak ada padanya salah seorang suami isteri. Kita letakkan masing-masing maslah berdiri sendiri-sendiri. Kemudian kita perhatikan kedua masalah ini dengan salah satu masalah dari 3 hubungan : At-Tamatsul, at-tawafuq, dan at-tabayun. Kita
2.Ahli Waris Pengganti
          Dalam kompilasi hukum islam, ahli waris disebutkan dalam pasal 171 huruf (c) yang berhubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Sedangkan ahli waris pengganti menurut pendapat Hazairin, adalah orang yang menjadi  ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.[8] Pendapatnya ini berdasarkan atas al-Qur’an surat An-nisa ayat 33:
شَهِيدًا شَيْءٍ كُلِّ عَلَى كَانَ اللَّهَ إِنَّ نَصِيبَهُمْ فَآتُوهُمْ أَيْمَانُكُمْ عَقَدَتْ وَالَّذِينَ وَالأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ تَرَكَ مِمَّا مَوَالِيَ جَعَلْنَا وَلِكُلٍّ
          Hazairin menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut: bagi mendiang anak, Allah mengadakan mawalli sebagai ahli waris atas harta peninggalan ayah atau ibu, dan bagi mendiang aqrabun alloh mengadakan mawalli sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sesama aqrabunnya.[9]
        Pengertian senada juga diungkapkan oleh ismuha  dalam bukunya Penggantian tempat dalam hukum waris menurut kitab undang-undang hukum perdata hukum adat dan hukum islam. Menurutnya, ahli waris pengganti adalah seorang yang meninggal dunia, meninggalkan cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu, cucu tersebut menggantikan kedudukan orang tuanya untuk menerima warisan dari kakek atau neneknya. [10]
          Adapun ketentuannya adalah bahwasannya cucu baik laki-laki maupun perempuan garis perempuan tidak berhak mewarisi. Cucu melalui anak laki-laki pun tidak berhak mewarisi apabila masih ada anak laki-laki yang masih hidup.. alasan ini yang membuat Wirjono Prodjodikoro dan sarjana yang lainnya mengemukakan pendapat bahwa tidak dikenal ahli waris pengganti (bij plaatsvervulling) menurut hukum Islam. Lain halnya menurut hukum Islam. Lain halnya menurut Sajuti Thalib yang mendasarkan argumentasi beliau pada ajaran kewarisan bilaterla menurut Qur’an dan Hadis khusus dalam masalah cucu yang mendalilkan pendapatnya kepada QS. An-Nisa ayat 33.
          Sajuti Thalib menafsirkan QS. An-Nisa ayat 33 tersebut menjadi 4 garis hukum yang berbunyi sebagai berikut :
a.       Bagi setiap orang Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu);
b.      Dan bagi setiap orang Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris penganti) dari (untuk mewarisi) harta    peningalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu);
c.       Dan bagi setiap orang Kami (Allah) menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan tolan peninggalannya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu);
d.      Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka.
        Dengan demkian, menurut ajaran bilaterla (Hazairin) yang dianut oleh Sajuti Thalib beserta para murid-muridnya dikenal lembaga bij plaatsvervulling atau penggantian ahli waris. Sedangkan menurut ajaran Syafi’i (Patrilinial) dikenal juga penggantian sepanjang cucu melalui anak laki-laki bila tidak ada anak laki-laki yang bukan ayah dari cucu tersebut yang masih hidup.

          Dari beberapa pengertian ahli waris pengganti di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggantian ahli waris pengganti dalam pasal 185 KHI adalah modifikasi atas beberapa pengertian di atas. Hal ini dapat dilihat dalam ayat (2) pasal 185 KHI yang berbunyi :
         “Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
           Waris sebelum ada kematian berdasarkan muatan pasal 35 UUP No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 85-87 KHI adalah terkait harta benda dalam perkawinan, yaitu mengenai harta bawaan dan harta bersama. Namun menurut pandangan Syari’at Islam, waris sebelum ada kematian itu tidak ada. Karena waris adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit. Dan itu lebih diartikan pada hibah. Karena hibah adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara suma-cuma pada masa hidupnya.
Ahli waris kerabat Ahli waris kerabat adalah ahli waris yang dekat hubungannya dengan si pewaris. Adapun ahli waris yang dimaksud adalah ahli waris nasabiyah.
           Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang hubungan kekerabatannya kepada si pewaris berdasarkan hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini terdiri dari 13 orang laki-laki dan 8 orang perempuan.
          Ahli waris karena sebab adalah ahli waris yang kerena hubungan pewarisannya timbul karena sebab-sebab tertentu, yaitu: Sebab perkawinan, yaitu suami atau isteri, dan Sebab memerdekakan hamba sahaya.
           Awl adalah kekurangan harta warisan dikarenakan angka pembilang lebih besar dari angka penyebut.
           Rad adalah kelebihan harta warisan karena angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut.
           Ahli waris pengganti menurut Hazairin adalah orang yang menjadi  ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Khumaidah, Luluk. 2005. Studi Kritis Pasal 185 Kompilasi hukum Islam tentang Ahli Waris Pengganti. Yogyakarta: Skripsi Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.
2.      Rafiq M.A., Drs. Ahmad. 1991. Fiqh Mawaris. Jakarta: Rajawali Pers.
3.      Ash Shabuniy, Muhammad Ali. 1997. Surabaya: Al-Ikhlas.
4.      Ramulyo, SH., MH, M. Idris. 1994. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika.
5.      Abu Bakar, Al Yasa. 1998. Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab. Jakarta: Indonesia- Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
6.      Undang-Undang Perkawinan.
7.      Kompilasi Hukum Islam.
8.      Hazairin. 1981. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadis. Jakarta: Tintamas.
9.      Ismuha. 1978. Penggantian Tempat dalam Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Hukum Adat dan Hukum Islam.  Jakarta: Bulan Bintang.


[1] Kompilasi Hukum Islam, Bab I Ketentuan,  Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Arkola, hlm.239. 
[2] UUP No. 1 Tahun 1974, Undang-undang perkawinan di Indonesia,
[3] Sholeh Fauzan, at Tahqiqat al Mardhiyah fi al Mabahits al Fardhiyah, Riyadh, Maktabah al Ma’arif, hlm 24
[4] Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 6/246.                                   
[5] HR Said bin Mansur, dihasankan Ibnu Hajar ) ( DR. Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke 3, Juz :5, hlm : 34-35).
[6] Drs. Ahmad Rafiq, M.A., fIqh Mawaris, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 53-54.
[7] Muhammad Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm.147-148.
[8] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: Tintamas, 1981), hlm. 32
[9] Hazairin, hukum Kewarisan Bilateral menurut al-qur’an dan hadis, hlm. 29.
[10] Ismuha, penggantian tempat dalam hukum waris menurut kitab undang-undang hukum perdata hukum adat dan hukum islam, cet ke-1 (jakarta: bulan bintang, 1978), hlm. 69.


Download Button
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.