Baca Juga:
Kumpulan Ebook Buku, Novel, Artikel dan Kitab Terbaru
Cara Mendapatkan Uang di Internet
Kumpulan Judul Skripsi Hukum Perdata, Hukum Tata Negara
Kumpulan Ebook Buku, Novel, Artikel dan Kitab Terbaru
Cara Mendapatkan Uang di Internet
Kumpulan Judul Skripsi Hukum Perdata, Hukum Tata Negara
EKONOMI PEMBANGUNAN DAN HUKUM,
Refleksi terhadap
Pemikiran Ekonomi, Studi Pembangunan dan Hukum di Negara Berkembang
Hukum, Ekonomi dan
Pembangunan
Kajian
hukum dan ekonomi pembangunan adalah kajian yang bersifat interdisipliner.
Kerjasama antar disiplin yang ada dapat dilihat sebagai suatu kajian yang
beroperasi pada irisan kedua disiplin, sehingga tugasnya ialah menentukan apa
yang dapat diperoleh dari analisis yang dihasilkan ketika dua disiplin yang
berbeda tersebut berinteraksi. Dengan adanya interaksi yang ada ini diharapkan
para ahli hukum dapat memasukkan pertimbangan pembangunan, sementara
pertimbangan hukum dapat diperhitungkan oleh orang-orang yang belajar tentang
pembangunan.
Pendapat lain melihat kajan hukum
dan ekonomi pembangunan sebagai sebuah “Doktrin” untuk mengubah sistem hukum
atas nama pembangunan. “doktrin” ini dapat dipahami sebagai irisan dari
pemikiran-pemikiran saat ini dalam lingkup teori ekonomi,ide-ide hhukum, serta
kebijakan dan praktik dari lembaga-lembaga pembangunan. Ketiga bidang ilmu
(hukum, ekonomi dan pembangunan) ini dapat dilihat secara analitik terpisah
satu sama lain, tapi secara praktis saling berhubungan secara kompleks dan
mempengaruhi satu sama lain.Teori dan praktik dalam kajian hukum dan
pembangunan dibentuk dan membentuk teori ekonomi, teori hukum dan praktik
sebuah institusi.
Model relasi antara ekonomi, hukum
dan pembangunan yang kedua ini terlihat lebih lengkap dalam menggambarkan
kondisi nyata. Kelengkapan ini terlihat dari pengamatan yang dilakukannya, yaitu
dengan mengamati interaksi tiga faktor (ekonomi, hukum dan pembangunan) apabila
dibandingkan dengan pengamatan terhadap dua faktor saja(ekonomi pembangunan dan
hukum). Model pertama hanya menyarankan pengamatan yang saling mempertimbangkan
satu sama lainnya sementara model kedua menunjukkan selain adanya hubungan
namun juga pengaruh dari irisan masing-masing ranah kajian.
Dalam
setiap irisan (pertemuan,pertukaran dan penggabungan), terjadi pasang surut dan
perebutan domisili antar berbagai madzhab. Kenyataan ini sering luput dari
perhatian para akademisi yang melakukan pengkajian. Hal itupun kerap dianggap
bahwa setiap domain tersebut sudah tiba pada kebenaran yang ajeg sementara
pendekatan lainnya sudah tidak dapat digunakan lagi. Kesimpulan yang begitu
simplistis ini sering diambil dalam rangka meredukasi kerumitan yang ada,
sehingga analisis yang dikembangkan bisa difokuskan, daripada mengamati banyak
fokus tapi semuanya dangkal. Pada bagian pembahasan berikut, akan digambarkan
pasang surut pengaruh berbagai madzhab ketika kajian hukum dan pembangunan
beroperasi dalam irisan disiplin ilmu yang ada.
Hubungan Hukum dan
Ekonomi Pembangunan dalam Pasang Surut Pemikiran
Setiap
disiplin mengandung pasang surut relasi antar berbagai mdzhab di dalamnya,
walaupun periodisasinya berbeda namun terlihat bahwa kedudukan mazhab yang ada
dalam setiap ranahnya masih belum mencapai kondisi yang ajeg.
Berikut
adalah pemaparan beberapa potret pasang surut kajian disiplin hukum,
pembangunan dan ekonomi menjadi penting dalam rangka untuk menempatkan secara
benar kajian antar disiplin dan juga untuk memahami realita yang ada.
1.
Tiga
Momen Pemikiran Hukum dan Pembangunan Ekonomi
Bagi Trubek dan Santos, mengamati
sejarah pemikiran mengenai hukum dan pembangunan ekonomi tidak bisa hanya
dilakukan pada tataran kerja akademis saja tetapi juga harus melibatkan dan
melihat pandangan serta pengalaman para praktisi pembangunan yang
bertanggungjawab terhadap alokasi dana dan desain proyek.
Sebagai
ide pemikiran, hukum dan pembangunan terus berevolusi. Dalam rentang
periodisasi perkembangan terlihat bahwa pada satu kurun tertentu sebuah ide
pemikiran menjadi panutan utama, dan selanjutnya ia digantikan oleh idea yang
lain. Hal ini oleh Truebek dan Santos disebut dengan momen.
Selanjutnya mereka mengusulkan tiga
momen, momen pertama disebut dengan “ Hukum dan Negara Pembangunan” (Law and Developmental State) yang
mempercayai bahwa substitusi impor untuk memenuhi kebutuhan suatu negara
merupakan mesin pertumbuhan sehingga tabungan yang langka harus diarahkan
menjadi investasi-investasi yang penting.
Pada momen pertama ini fokusnya ialah
memodernisasi regulasi dan profesi para ahli hukum dengan penekanan pada hukum
publik, pencangkokan berbagai regulasi dari negara maju ke negara berkembang,
dan pendidikan hukum.
Momen kedua disebut dengan “Hukum dan
Pasar Neoliberal” (Law and the Neoliberal Market). Di momen kini kebijakan
pembangunan disusun berdasarkan pada keyakinan keunggulan pasar neoliberal. Ia
percaya bahwa bahwa cara terbaik untuk mencapai pertumbuhan ialah melakukannya
dengan mekanisme pasar dan harga yang tepat, melakukan pengetahuan fiskal,
menghilangkan gangguan-gangguan yang timbul akibat intervensi negara,
mempromosikan perdagangan bebas, serta mendorong investasi publik. Untuk menuju
bekerjanya “operasi pasar neoliberal”, hukum digunakan untuk mempercepat
transaksi privat sehingga menjamin hak milik privat dan pertukaran melalui
kesepakatan yang jelas sehingga menuju pembatasan yang ketat pada intervensi
negara dan menjamin perlakuan setara dari modal asing. Penekanan dari momen
kedua ini adalah pada peran peraturan perundang-undangan baik untuk mengurangi
peran negara maupun untuk memfasilitasi pasar dengan kepercayaan bahwa pasar di
manapun di dunia ini adalah pasar neoliberal dan oleh karena itu landasan hukum
yang sama harus bisa diterapkan dimanapun.
Pada pergantian Milenium, reaksi
terhadap program neoliberal di berbagai negara berkembang menjadi semakin kuat
dari hari ke hari. Banyak negara berkembang dan negara transisi (dari ekonomi
sosialis ke perekonomian liberal) mengalami krisis ekonomi yang parah setelah
menerapkan resep-resep neoliberal. Di sinilah orang mengenal bahwa bukan hanya
negara yang bisa gagal namun pasar juga bisa gagal karena para pembuat kebijakan
tidak memperhatikan keberadaan institusi lokal dan waktu serta urutan untuk
melakukan reformasi.
Momen kedua sudah dihadapkan pada
tekanan untuk berubah secara serius, namun demikian momen ketiga pun dikatakan
belum muncul secara eksplisit karena masih dalam proses pembentukan. Momen
ketiga ini mengakomodasi ide bahwa pasar bisa gagal, intervensi yang
mengkompensasi pada saat kegagalan terjadi menjadi sangat penting, pembangunan
lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi tapi meluas sampai pembangunan manusia,
serta peran partisipatif masyarakat. Keberadaan peraturan perundang-undangan
tetap merupakan aktor sentral dan reformasi hukum masih merupakan fokus utama
bagi bantuan pembangunan
2.
Tiga
Globalisasi Pemikiran Hukum
Duncan Kennedy menghubungkan perkembangan
pemikiran kajian hukum dan pembangunan dengan dua periode institusionalisasi
dan perubahan konseptual yang saling beririsan di Barat pada jangka waktu 1850-2000 yang disebutnya
sebagai “tiga globalisasi dari hukum dan pemikiran hukum”. Ketiga globalisasi
ini terdiri atas: tumbuhnya pemikiran hukum klasik (1850-1914), pemikiran hukum
yang berorientasi sosial (1900-1968), serta transformasi dari kedua pemikiran
itu melalui proses difusi terpisah dari keduanya di berbagai belahan dunia.
Globalisasi
pertama, yaitu pada tahun 1850-1914 dan
diakhiri oleh Perang Dunia 1, memandang hukum sebagai suatu sistem ranah
otonomi baik untuk aktor privat dan publik dengan pembatasan ranah melalui
analisis logika hukum sebagai praktik keilmuan. Mekanisme dari globalisasi ini
ialah pemaksaan Barat pada koloni-koloninya untuk membuka rezim-rezim non-Barat
yang tidak mengikuti hukum Barat. Hukum negara Barat yang “maju” dimengerti
sebagai pelaksanaan rasional dari berbagai hal yang harus dilindungi oleh
pemerintah dalam menjaga hak-hak hukum seseorang –hal ini berarti pula membantu
mereka untuk menyadari kemauan-kemauan mereka-dan pada saat yang bersamaan
mengizinkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Karena menekankan
pengaturan dari kemauan, maka landasan dari pemikiran hukum klasik ini disebut
juga dengan “the will theory”.
Selain aliran pengaruh dari Barat ke
Kolonial, pada masa ini ada upaya pembuatan hukum ekonomi internasional yang
didasarkan pada perdagangan bebas, standar keuangan pada harga emas serta hukum
internasional privat(yang sering dilandaskan oleh para arbitrator)untuk
menyelesaikan sengketa. Uang didepolitisasi dan pasar modal internasional-yang
menyertai diplomasi kapal perang-muncul ke dunia. Kombinasi dari perdagangan
dunia dan investasi baik untuk infrastruktur maupun produk primer pertanian
dari Barat ke dunia kolonial memberi kesempatan pada transformasi sosial yang
tidak bisa dikembalikan ke masa lalu dengan mengatasi dikotomi tradisi dan
modernitas.
Kemudian antara tahun 1900-1968, hukum
dipandang sebagai aktivitas dengan tujuan yang jelas yaitu sebagai mekanisme
pengaturan yang dapat dan harus memfasilitasi evolusi kehidupan sosial dengan
memperhatikan saling ketergantungan antar masyarakat pada semua tingkatan. Agen
globalisasi pada globalisasi kedua ini ialah gerakan-gerakan reformasi di
negara-negara Barat, sedangkan di dunia kolonial adalah gerakan-gerakan
nasionalisme dan elite baru negara-negara yang baru merdeka setelah tahun 1945.
Kritik inti dari globalisasi kedua
ini adalah bhwa globalisasi pertama terlalu berbasis pada individualisme
sehingga globalisasi kedua ini sering disebut juga sebagai “The Social”.
Ide dasar dari para pendukung
globalisasi kedua ini adalah kondisi pada akhir abad XIX menggambarkan
transformasi sosial yang terdiri atas urbanisasi, industrialisasi, masyarakat
yang terorganisir, globalisasipasar-yang kesemuanya yang dirangkum pada gagasan
saling ketergantungan. Sementara “the will theory” berangkat dari
individualisme sehingga menutup mata terhadap saling ketergantungan ini dan
mendorong tumbuhnya berbagai macam perilaku anti-sosial.
Setelah tahun 1919, para pendukung
globalisasi kedua meneruskan analisis berbagai masalah yang muncul untuk
merefleksikan perang dunia yang dimengerti sebagai produk dari kegagalan tata
dunia internasional, karena mendasarkan pada logika kedaulatan yang analogis
terhadap masalah-masalah yang muncul pada pada pasar karena adanya logika
kepemilikan.
Pada saat itu terjadi sederetan
“kemenangan” internasional, yaitu (1) terbentuknya negara-negara kapitalis inti
yang dapat mempengaruhi dan mengatur perekonomian dunia baik di dalam negerinya
maupun secara internasional, (2) globalisasi dari sistem Bretton Woods, (3)
globalisasi reformasi sosial yang progresif dalam melakukan restrukturisasi
relasi kuasa yang diekspor dari para pemenang ke para negara taklukan dan dan
dari dunia pertama ke dunia ketiga sebagai basis dari ekonomi kapitalis yang
mengejar strategi kedamaian sosial melalui pembangunan ekonomi.
Ada dua fase yang bisa dicatat di sini. Fase pertama terjadi segera setelah
Perang Dunia II ketika sekutu secara digdaya dan sistematis mentransformasi
sistem Jepang, Jerman, dan Italia dari fasisme ke versi sosial yang progresif,
dan kemudian memberlakukan transformasi yang serupa kepada Korea Selatan dan
Taiwan sebagai benteng terhadap komunis Cina.Land reform menjadi bagian penting dari transformasi disertai
dengan pengaturan serikat pekerja dan
pasar keuangan.Fase kedua ialah terjadinya perluasan strategi industrialisasi
substitusi impor di Amerika Latin, berbagai negara baru merdeka dan
negara-negara besar seperti India, Mesir, Turki dan Iran, dan dilanjutkan
setelah tahun 1960 ke negara-negara Afrika kecil yang baru merdeka. Strategi
industrialisasi substitusi import ini mengandalkan intervensi besar-besaran
pada hukum dan pemerintahan yang didukung oleh badan-badan PBB, Bank Dunia dan
USAID sebelum akhirnya-seperti di Korea Selatandan taiwan-berhasil bergeser
menjadi pertumbuhan yang dimotori oleh ekspor.
Antara tahun 1945 dan 2000, diusahakan
secara pragmatis untuk menyeimbangkan pemikiran-pemikiran yang saling
bertentangan dalam pengaturan sistem yang diciptakan oleh para ahli hukum
sosial. Pada saat yang bersamaan ada harapan untuk menggunakan hukum sebagai
pelindung hak-hak asasi manusia, hak milik dan sistem relasi antar negara
melalui perluasan secara bertahapsupremasi hukum. Kurun ini pula ditandai oleh
kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Dunia Kedua dan Perang Dingin serta
penyebaran kesadaran hukum ke berbagai negara-bangsa melalui partisipasi pada
pasar dunia yang kondisinya ditentukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional
serta lembaga-lembaga pengatur kebijakan. Muncul pula dalam era terakhir dari
kurun ini kebanggaan terhadap budaya Amerika Serikat.
Globalisasi ketiga dapat dilihat sebagai
thesis dan antithesis dan sekaligus sebagai sintesis dari keduanya. Globalisasi
ketiga hadir dalam elemen-elemen tertransformasi baik dari pemikiran hukum
klasik maupun sosial yang terjadi pada periode sebelumnya. Pada pemikiran hukum
klasik, transformasi kunci yang terjadi ialah neoformalisme yang berasal dari
dedukasi dalam sistem hukum positif yang dianggap koheren. Sementara pada
pemikiran sosial, transformasi kuncinya ialah analisis kebijakan tetapi
didasarkan pada pertimbangan adanya kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan.
Hukum yang dihasilkan bersifat
kompromistis dibandingkan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan yang
ada pada globalisasi pertama dan globalisasi kedua. Berkaitan dengan aspek hak;
bila pemikiran hukum klasik menekankan hak individual dan hak milik, sementara
pemikiran sosial cenderung pada hak kelompok dan hak sosial, maka globalisasi
ketiga mendorong penghormatan hak-hak asasi manusia. Globalisasi kedua
mengedepankan semangat keadilan sosial melalui solidaritas, evolusi dan ilmu
sosial.
Ide mengenai negara yang muncul pada
globalisasi pertama pun lebih condong pada negara-bangsa yang satu. Pada
globalisasi kedua pada idea mengenai korporatisme, sedangkan pada globalisasi
ketiga pemikiran mengenai negara lebih mencondongkan diri pada federalisme dimana
masyarakatnya diakui mempunyai identitas yang beragam dalam masyarakat sipil.
3.
Empat
Common Sense Pemikiran Pembangunan
David Kennedy berupaya lebih lanjut
menyibak pemikiran yang membentuk kajian hukum dan pembangunan dengan melalui
apa yang disebutnya sebagai common sense dlam pemikiran
pembangunan.Kennedy mengidentifikasi ada empat fase dalam common sense pemikiran pembangunan yang berbobot politis-dalam arti
mempengaruhi distribusi sumber daya dari berbagai kelompok dan individual
(laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, orang desa dan orang kota, utara dan
selatan, serta pertanian dan industri) serta bagaimana para ahli juga melakukan
agenda politis ketika mereka berupaya mempengaruhi distribusi kekuasaan
sepanjang posisi-posisi ideologis yang sering diasosiasikan orang dengan
kontestasi politik dari ideologi kanan, tengah dan kiri. Namun demikian, fakta
di lapangan menunjukkan bahwa para ahli pembangunan pada masa pasca perang
secara politis terbagi kedalam aliran: anti komunis dan sosial demokrat dengan
berbagai variannya, dan hanya beberapa yang terlibat dengan kegiatan politis
secara jelas. Walaupun sering dipersepsikan terlibat aliran tertentu seperti
para pendukung neoliberalisme dengan ideologi kanan, namun para ahli dan
pemikir pembangunan sebenarnya lebih condong merupakan reformis yang moderat
dan pembela status quo dari sisa-sisa pembuatan kebijakan pacaperang.
Keempat common sensepemikiran pembangunan itu ialah (1) fase konsensus
intervensionis moderat pascaperang dunia (1945-1970), (2) fase krisis dan
penciutan (1970-1980), (3) fase konsensus untuk transisi dari
sosialisme-pertama-tama- di dunia ketiga kemudian di dunia kedua (1980-1995),
serta (4) fase keraguan, pengkajian ulang dan elektisme dimana konsensus
Washington yang neoliberal naik, dikritik dan direformasi. Seringkali fase-fase
ini dilabelkan secara simplistis dimana fase pertama disebut sebagai “fase
kiri”, fase kedua disebut dengan eksperimen yang gagal dari “fase kiri yang
lebih radikal”, fase ketiga sebagai “fase reaksi dari kanan” serta fase keempat
sebagai “fase keseimbangan dan eklektisisme dari kubu tengah”.
Pengamatan keempat fase tersebut
mengungkapkan bahwa setiap fase disertai dengan latar belakang dan penggerak
politik yang kental. Namun demikian, para profesional dan pemikir pembangunan –
yang kebanyakan mempunyai latar belakang disiplin ekonomi-seringkali
menunjukkan dirinya sebagai para profesional yang bebas dari kepentingan
politik. Mereka memang memberikan berbagai saran kepada pengambil keputusan dan
penyelenggara negara berdasrkan keilmiahan pandangan mereka dalam membantu
suatau negara mengatur distribusi berbagai sumber daya yang ada di tingkat
masyarakat, namun saran-saran ini lebih lahir sebagai hasil dari kepakaran
mereka yang tentu berbeda dengan pilihan politis mereka.
Menurut
David Kennedy, hal yang tidak bisa dipungkiri ialah bahwa analisis dalam
pembangunan menggunakan berbagai disiplin meliputi analisis ekonomi telah
bercampur dengan berbagai preferensi awal dari ilmu hukum, sosiologi dan etika.
Selain itu adalah adanya kecenderungan bahwa definisi pembangunan dan seluruh
profesi yang menunjang pembangunan masuk semakin jauh pada era hukum. Ide-ide
dan proyek-proyek ideologi bisa muncul ke permukaan bidang studi melalui
analisis kebijakan hukum. Oleh karena itu, bagi Kennedy tidaklah berlebihan
kalau teori pembangunan sendiri akhirnya menjadi common sense dari asumsi,
argumen dan kontra argumen berkaitan dengan hukum dan kebijakan pembangunan.
Dalam common sense
tersebut, kepentingan politis menjadi lebih utama daripada pertimbangan politik
dan ideologi itu sendiri, sementara arah dan model pembangunan pun
seringkali tergantung pada mainstream pemikiran yang sedang menjadi dominan
seperti pada era neoliberal sekarang ini dimana agenda distribusi dianggap
sudah selesai pada mekanisme pasar.
Hal lain yang juga tidak bisa
dilupakan ialah peran hukum yang harusnya menjamin tersedianya arena untuk
pencarian ide-ide pembangunan terbaik serta ruang untuk melakukan percobaan
yang dilakukan untuk kesejahteraan umat manusia-bukan sebaliknya.
Namun
demikian, pada saat membahas konsep pembangunan dan kemudian menurunkan
operasionalisasinya, termasuk pada konsep hukum, banyak orang yang memnganggap
bahwa mainstream pemikiran ekonomi merupakan pemikiran final yang sesuai untuk
menjawab berbagai permasalahan terkini. Contohnya adalah banyak orang yang
berbicara lebih mengenai pasar sempurna yang tetap merupakan kondisi ideal yang
harus dituju (bukan hanya sebatas visi) dan juga bahwa fondasi inti pembangunan
merupakan prioritas dibandingkan dengan model-model lain seperti negara yang
aktif, yang juga mengembangkan pasar dalam negeri. Tidak hanya pasar yang
sempurna tapi lebih menjamin kepentingan dalam negeri. Bagi banyak orang,
pemikiran pembangunan yang dikenal saat ini sudah lahir dari analisis ilmiah
yang sehatdan oleh karena itu sahih. Padahal banyak tekanan dn pemaksaan
politik berkontribusi di dalamnya.
Paparan di atas
menunjukkan adanya pasang surut dalam pemikiran baik itu dalam bidang hukum
maupun ekonomi dan ekonomi pembangunan. Dengan demikian bila kita dapat melihat
bahwa relasi antar berbagai disiplin itu begitu dinamis.