HADITS TENTANG PERNIKAHAN DAN TAKHRIJNYA (KEADILAN DALAM POLIGAMI)

ADMIN
Download Button
Baca Juga:


HADIS TENTANG PERNIKAHAN

(KEADILAN DALAM POLIGAMI)





A.    Teks Hadist
Hadist pertama:
وعن أبى هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من كانت امرأتاان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وشقه مائل .(روه أحمد والأربعة وسنده صحيح)
Artinya:
“ Barang siapa mempunyai dua orang istri dan ia condong kepada salah satu diantara mereka, niscaya pada hari kiamat nanti ia akan datang dengan tubuh miring”
Hadist kedua:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذاأراد سفرا أقرع بين نسائه فأيتهن خرج سهمها خرج بها معه، وكان يقسم لكل امرأة منهن يومها وليلتها غير أن سودة بنت زمعة وهبت يومها لعائشة رضي الله عنها. )رواه الثلاثة والنسائي(
Artinya:
“Apabila hendak bepergian, ia selalu mengadakan undian di antara isteri-isterinya, siapa pun dia antara mereka yang keluar namanya (dalam undian itu), maka beliau pergi bersamanya, nabi SAW selalu menggilir masing-masing isterinya selama siang dan malam harinya, hanya siti Saudah memberikan giliran kepada siti Aisyah r.a.”
B.     Takhrij Hadist
Hadist pertama:
Dalam hadist yang pertama ini, ada beberapa perbedaan jalur sanad, yaitu dalam sunan al- Dzarimi nomor 2109, Ibnu Majjah 1959, Abu Dawud 1821, Al Nasa’i 3881 dan Al Tirmidzi 1060, dan musnad ahmad: 7595.
Pada beberapa redaksi hadist diatas, ada dua penggunaan kata yang berbeda, yakni pada kata ساقطا   dan مائل, kedua arti tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu condong dan miring. Adapun kualitas dari hadist diatas, adalah sebagai hadist yang Marfu’ Muttasil, yaitu ketersambungan sanadnya sampai pada Rasulullah SAW. Sedangkan dalam kumpulan hadist-hadist Shahih Rasul, merupakan kategori hadist Shahih, dan juga sudah menjadi kesepakatan dari empat Imam, yakni Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i Dan Ibnu Majjah.
Hadist kedua:
Pada hadist yang kedua ini ada beberapa perbedaan dalam pentakhrijan hadist, yaitu adanya perbedaan yang satu dengan yang lainnya antara hadis yang terdapat dalam kitab al Bukhari nomor hadist 2491 dan kitab Sunan Abu Dawud nomor hadist 1826, dan Musnad Imam Ahmad 23714.
C. Korelasi Dengan Hadis Lain
Hadis di atas mempunyai korelasi dengan hadis yang lain yaitu dalam kumpulan hadis-hadis Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. hadis tersebut berbunyi : “Diriwayatkan dari Aisyah r.a berkata: ‘Aku tidak pernah meihat wanita yang paling aku senangi daripada Saudah binti Zam’ah dan aku ingin jika dapat seperti dia. Dia adalah seorang wanita yang tajam fikirannya. Setelah Saudah tua, giliran dari Rasulullah SAW diserahkan kepada Aisyah r.a. Saudah berkata: “Wahai Rasulullah, aku berikan giliranku sehari pada Aisyah, kemudian Rasul memberi giliran kepada Aisytah r.a dua hari, sehari jatah gilirannya sendiri dan sehari lagi giliran pemberian Saudah.”
Demikian pula pada kitab Sunan ad-Darimi nomor hadist 2208 terdapat hadist dan jalur sanad yang berbeda, yakni:
أخبرنا إسماعيل حدثنا ابن المبارك, عن يونس بن يزيد, عن الزهري, عن عروة, عن عائشة, قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم . إذاسافر أقرع بين نسائه, فأيتهن حرج سهمها, خرج بها معه

Artinya: Ismail mengabarkan kepada kami, Ibnu al Mubarak menceritakan kepada kami dari yunus bin yazid, dari al Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, dia berkata “ Apabila Rasul SAW akan bepergian, maka beliau akan mengundi (siapa yang akan ikut) diantara istri-istri beliau. Siapapun diantara mereka yang keluar undiannya, maka dia akan berangkat berasama beliau”[1]
Dengan demikian, hadis di atas kualitasnya sebagai hadis marfu’ (ketersambungan sanad kepada Rasulullah SAW).
D. Makna Mufradat
Hadist Pertama:
من كانت له أمرأتان (Barang siapa mempunyai dua orang istri) bagi setiap kaum laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu (poligami) dianjurkan untuk berbuat adil terhadap istri-istrinya. Dalam hal nafkah lahir dan bathin seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW termasuk dalam hal penyediaan makanan, pakaian, tempat tinggal dan pembagian waktu (giliran) dan Allah memerintahkan agar seorang suami tidak telalu menunjukkan kecintaan yang berlebihan terhadap salah seorang diantara mereka yang akan berakibat kekecewaan dan penderitaan dihati mereka yang lain.
جاء يوم القيامة وشقه مائل (Maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan bagian samping (tubuhnya) miring).
Hadist Kedua:
اذَاأَرَادَسَفَرًا  (Apabila hendak safar). Secara dzahirnya, undian dilakukan secara khusus ketika safar, tetapi ia tidak berlaku umum, bahkan undian untuk menentukan siapa yang ikut bepergian bersama Beliau, melainkan ketika hendak membagi giliran diantara istri-istrinya. Dalam membagi giliran beliau tidak memulai darimana saja yang beliau sukai, melainkan berdasarkan nomor undian.
 أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَا نِهِ (Mengundi diantara istri-istrinya). Ibnu Sa’ad menambahkan dari jalur sanad al-Qasim, dari Aisyah RA, فَكَا نَ اِذَاخَرَجَ سَهْمُ غَيْرِي عُرِفَ فِيْهِ الْكَرَاهِيَةُ
(Maka apabila keluar undian selain aku, tampaklah rasa tak suka diwajahnya).
Hadis ini menjadi dalil pensyari’atan undian di antara sekutu dan selainnya seperti yang telah diulas pada bagian akhir pembahasan tentang kesaksian. Pendapat yang masyhur dari kalangan Madzhab Hanafi dan Imam Malik adalah tidak berpedoman kepada undian. Iyadh berkata “inilah pendapat masyhur dari imam Malik dan Ulama’ulama Madzhabnya karena ia termasuk spekulasi dan judi. Namun Madzhab Imam Hanafi membolehkannya.”
Sedangkan para ulama dari madzhab Maliki melarang perbuatan ini dengan alasan bahwa sebagian isteri kadang lebih bermanfaat dalam perjalanan dibanding yang lainnya. Apabila nomor undian yang keluar itu adalah milik isteri yang kurang bermanfaat dalam perjalanan, tentu akan memudharatkan suami, dan demikian juga sebaliknya. Terkadang sebagian wanita lebih baik dalam menjaga dan mengurus rumah suami dibanding yang lainnya. Dalam pernyataan ini terdapat sikap menjaga pandangan dalam madzhab dan selamat pula dari tindakan menolak hadis karena memahaminya dalam konteks yang khusus seakan-akan dia mengkhususkan cakupan umum hadis berdasarkan makna.[2]
 وَكَيْفَ يَقْسِمُ ذَلِكَ(Bagaimana ia membagi hal itu).
Para ulama berkata “apabila seorang isteri memberi gilirannya kepada madunya, maka suami membagikan untuk isteri yang diberi itu pada hari yang sama dengan giliran isteri yang memberinya.”
Kemudian istri yang memberi gilirannya berhak menarik kembali kapan saja yang ia kehendaki. Tetapi untuk masa yang akan datang bukan masa yang telah berlalu. Namun, Ibnu Baththal mengatakan bahwa saudah tidak berhak menarik kembali gilirannya yang telah ia berikan kepada Aisyah RA.
Imam Bukhori meriwayatkan Hadist ini dari Malik Malik bin Ismail, dan Zuhair, dan Husain, dari Bapaknya, dari Aisyah RA. أَنسودة بنت زمعة (Sesungguhnya Saudah binti Zam’ah). Dia adalah isteri Nabi SAW . Beliau menikahinya di Makkah setelah Khadijah wafat. Di Makkah pula Nabi menggaulinya, lau dia turut hijrah bersama beliau.  Imam Muslim meriwayatkan dari Syarik dari Hisyam dalam Hadist ini   وكان أول إمرأة تزوجها بعدي(Aisyah berkata “Ia adalah wanita yang pertama dinikahi Nabi SAW sesudahku”). Nabi Muhammad melakukan akad dengan Saudah setelah akad dengan Aisyah R.A. tetapi Nabi menggauli Saudah terlebih dahulu daripada Aisyah menurut kesepakatan. Masalah ini sudah disinggung oleh Ibnu al-Jauzi.
 وهبت يومها لعا ئشة (Dia memberikan gilirannya kepada Aisyah RA). Sudah disebutkan pada pembahasan tentang Hibah dari Az-Zuhri, dari Urwah dengan lafadz  يومها وليلتها(Hari dan malam giliranya) lalu pada bagian akhirnya disebutkan  تبتغ بذلك رضا رسول الله صلئ الله عليه وسلم (ia mengharapkan keridhaan Rasulullah SAW dengan perbuatannya itu). Dalam riwayat Imam Muslim dari jalur Uqbah bin Khalid dari Hisyam disebutkan  لما أن كبرت سودة و هبت (ketika Saudah telah tua, dia memberikan) dia mengutip pula riwayat serupa melalui jarir dari Hisyam.
Abu Daud meriwayatkan juga hadist ini disertai tambahan keterangan tentang penyebabnya, dan ia lebih jelas dari pada riwayat Imam Muslim, dia mengutip dari Achmad bin Yunus, Abdurrahman bin Abi Az-Zaid dari Hisyam bin Urwah melalu sanad seperti diatas,  كان رسول الله صلئ الله عليه وسلم لايفصل بعضنا علئ بعض فئ القسم  (Biasanya Rasulullah SAW tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam hal pembagian giliran). Didalamnya disebutkan  ولقد قاللت سودة بنت زمعة حين أ سنت وخا فت أ ن يفا رقها رسول ا لله صلى الله عليه وسلم: يا رسول الله يومي لعا نشة فقبل ذلك منها ففيها وأشبا هها نز لت و ان امرأة خا فت من بعلها نشوزا (Saudah bin Zam’ah berkata ketika telah lanjut usia dan takut akan ditinggalkan Rasulullah SAW “Wahai Rasulullah giliranku s” Beliau Nabi Muhammad SAW pun menerima darinya.
Ibnu Sa’ad mengutip dengan sanad yang diriwayatkan oleh para periwayat yang tsiqah (terpercaya) dari Al-Qasim bin Abu Bazzah, secara mursal  النبي صلئ الله عليه وسلم طلقها فقعدت له علي طريقه فقالت: والذي بعثك بالحق مالي فئ الرجال حاجة ولكن آحب أن أبعث مع نسائك يوم القيامة قال شدك بالذي انزل عليك الكتاب هل طلقتني لموجدة وجدتها علي؟ قال: لا, قالت: فأنشدك لما رجعتني فراجعها قالت: فإن قد جعلت يومي وليلتي لعائشة حبة رسول الله صلي الله عليه وسلم(Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW menceraikannya, maka ia duduk di jalan yang dilalui beliau dengan berkata “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku tidak lagi memiliki hajat terhadap laki-laki, tetapi aku ingin dibangkitkan dengan istri-istrimu pada hari kiamat, maka aku memohon Demi yang menurunkan Al-Kitab kepadamu, “Apakah engkau menceraikanku karena sesuatu kekesalan terhadap diriku?” beliau menjawab “ Tidak” Ia berkata “Aku memohon kepadamu agar engkau rujuk kepadaku “ maka Nabi Muhammad SAW pun rujuk kepadannya. Ia berkata “ Sungguh aku akan menjadikan hari dan malam giliranku untuk Aisyah RA kesayangan Rasulullah SAW”.
 وكان النبي صلى الله عليه وسلم يقسم لعائئشة بيومهاويوم سودة(Nabi Muhammad SAW membagi waktunya untuk Aisyah RA gilirannya dan giliran untuk Saudah). Dalam riwayat jarir dari Hisyam yang dikutip Imam Muslim disebutkan  فكان يقسم لعائشة يومين يومها ويوم سودة(Maka Beliau membagi untuk Aisyah dua hari, hari gilirannya dan hari giliran Saudah)[3]
E.   Kata Kunci Hadis
Pada hadits yang pertama Lafadz Imraatani (امرأتاان) mununjukkan makna khas, karena pada lafadz tersebut menghususkan dua orang, tetapi bukan berarti poligami diperbolehkan cuman dua orang, akan tetapi didalam islam poligami dibatasi empat orang istri, dan boleh hukumnya beristri  sampai empat orang. Makna lain pada hadis diatas adalah menunjukkan fi’il amar pada posisi sighot khobariyah yang mengabarkan bagi laki-laki yang melakukan poligami, lafadz yang menunjukkan shighot khobariyah ialah bagi suami yang melakukan poligami yang apabila nilai keadilan kepada para istri-istriya maka dikabarkan pada suami itu  pada hari kiamat ia akan datang dalam keadaan miring atau badannya berat sebelah.
Dalam indikator lain bahwa hadits tersebut mengandung sebuah hukum wadl’i yang berupa syarat bahwa dalam tersebut secara kontekstual bagi suami yang berpoligami harus berpegang pada syarat poligami yaitu nilai-nilai keadilan. Selain itu terdapat juga katagori sebab akibat, yaitu jika seorang suami yang melakukan poligami tidak adil terhadap istri-istrinya (sebab), maka pada hari kiamat ia akan datang dalam keadaan badaannya miring atau berat sebelah (akibat).
Pada hadits kedua ini tedapat terdapat lafadz mutlak yaitu pada lafadz Yaqsimu (يقسم ) kemuadian ditaqyid oleh hadis lain yang menerangkan tentang giliran bagi orang yang melakukan poligami jikalau suami itu menikah lagi dengan seorang perawan maka ia harus menemani selama tujuh hari tujuh malam, akan tetapi ia kawin lagi dengan seorang janda maka ia harus menemaninya selama tiga hari tiga malam kemudian pada kedua indikator tersebut sudah ditunaikan maka selanjutnya berlaku untuk membagi giliran sesuai kesepakatan para istri-istrinya.
Ketentuan ini wajib hukumnya untuk menghilangkan rasa malu dan saling mengenal dari masing-masing hingga dapat rukun. Dianggap cukup masa tiga hari tiga malam bagi janda karena ia telah mengalami hidup dengan lelaki lain, berbeda dengan perawan, maka ia masih malu-malu dan serasa masih berada dalam pingitannya, karena itu diperlukan adanya kesabaran dan hati-hati.[4]
F.   Kandungan Hukum dan Metode Istimbat
Adapun kandungan hukum dari hadist yang pertama, “Barang siapa yang mempunyai dua istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya miring”. Kandungan hadis tersebut menjelaskan bahwa jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi hak mereka, maka suami haram melakukan poligami. Jika ia hanya mampu memenuhi hak-hak isterinya yang seorang, maka ia haram menikahi isteri yang ke dua, begitupun seterusnya.
Al Mubarakfuri dalam Tuhfah al ahwadzi, berkata: “ ath-Thayibi menuturkan, “separuh pundaknya miring, sehingga dapat dilihat dengan jelas oleh orang-orang yang sedang berkumpul dipadang mahsyar. Itu merupakan tambahan siksaan baginya.” Hukum ini tidak hanya berlaku bagi orang yang memiliki dua orang isteri saja melainkan berlaku bagi para suami yang beristerikan tiga atau empat orang, jika suami tidak mampu bersikap adil.
Syamsyul Haq al Azim Abadi dalam ‘Aun al Ma’bud  berkata bahwa” hadist tersebut menjadi dalil bahwa seorang suami wajib menyamaratakan gilirannya (perlakuan) diantara para istrinya, dan haram baginya untuk condong kepada salah satu seorang dari mereka. Allah telah berfiirman Q.S al Nisa’: 129. “ ….karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai”[5]
Dalam kitab mukhtashar kitab al- Umm fi al Fiqh, Imam al Syafi’I berkata dalam hadist yang kedua, “ jika seseorang akan melakukan safar (perjalanan), sementara ia memiliki istri lebih dari satu, dan ia hendak keluar bersama salah seorang diantara mereka agar tidak terlalu berat dalam perjalanan, bila harus mengajak semuanya, dan tidak keluar  tanpa ditemani seorang istripun. Maka, hak para istri dalam hal ini adalah sama. Siapa saja yang undiannya keluar, maka suami berangkat bersama isterinya itu. Dan apabila telah kembali, maka dimulai lagi pembagian giliran baru tanpa memperhitungkan hari-hari bersama isteri yang menemaninya dalam perjalanan.[6]
Para ulama juga sepakat bahwa termasuk hak-hak para istri ialah keadilan diantara mereka dalam masalah pembagian, berdasarkan hadist shahih tentang pembagian Nabi diantara para istri beliau dan berdasarkan sabda Nabi SAW:
 إذا كان للرجل امرأتاان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وأحد وشقه مائل
Jika seseorang memiliki dua istri, lalu dia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, maka pada hari kiamat dia akan datang dalam keadaan salah satu sisinya miring”.
Mereka juga berbeda pendapat tentang tinggalnya suami ditempat gadis dan janda, apakah harus menghitung tinggalnya atau tidak, jika dia memiliki istri lagi:
1.      Malik, Syafi’I dan para pengikutnya berpendapat bahwa tinggal ditempat istri yang masih gadis selama tujuh hari, dan di tempat istri yang sudah janda selama tiga hari dan tidak menghitungnya dengan hari-hari yang dahulu dia menikah,  jika ia memiliki istri lagi.
2.      Abu Hanifah berpendapat bahwa, tinggal ditempat istri-istri tersebut secara sama, baik gadis atau janda dan menghitungnya dengan hari ketika dia tinggal di tempat istrinya, jika ia memiliki istri lagi[7]
Adapun syarat-syarat boleh melakukan pologami adalah:
1.      Mampu berbuat adil kepada semua istrinya, yang ditegaskan dalam Q.S an- Nisa: 3, “Kemudian jika kamu tidak mampu berlaku adil, maka nikahlah seorang saja. Demikian pula dalam Q.S An-Nisa: 129, “dan kamu sekali-kali tidak akan sanggup berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. Maksud kesanggupan dari ayat tersebut adalah, kesanggupan berhubungan dengan cinta, berhubungan dengan intim dan syahwat. Sedangkan Ibnu Qudamah berkata bahwa: “Setahu kami, tidak ada ulama yang berbeda pendapat tentang tidakwajibnya menyamakan seluruh istri dalam hal hubungan intim. Karena hubungan intim dilakukan berdasarkan syahwat dan kecenderungan keduanya tidak mungkin dikuasai oleh manusia, karena hatinya bisa saja lebih cenderung kepada salah seorang istrinya dari pada istrinya yang lain. Sementara, nafkah secara lahirnya seorang laki-laki wajib hukumnya menyamakan hak nafkah antara semua istrinya.
2.      Mampu menjaga diri untuk tidak terpedaya dengan istri-istrinya itu dan tidak meninggalkan hak-hak Allah karena keberadaan mereka.
3.      Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lahiriyah dan menjaga kehormatan mereka. Hal ini bertujuan, agar istri-istrinya terhindar dari kenistaan dan kerusakan.
4.      Memiliki kesanggupan untuk memberi nafkah kapada mereka.[8]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
     Dari penjelasan dua Hadist diatas mengenai keadilan terhadap istri-istri dalam berpoligami, dapat diambil pelajaran, bahwa berbuat adil terhadap istri-istri sangatlah penting, dimana untuk menciptakan suatu rumah tangga yang tentram, damai, dan penuh dengan keharmonisan dan keberkahan.
Para ulama sepakat dan pendapat mereka yang dikuatkan oleh hadist-hadist serta perbuatan Rasulullah SAW, bahwa yang dimaksud adil dalam poligami adalah adil dalam materi, seperti pemberian nafkah, tempat tinggal, pakaian, waktu bermalam (gilir), pengobatan dan segala yang berhubungan dengan pergaulan suami istri yang mungkin bisa diterapkan keadilannya.
Mengenai adil terhadap istri-istri dalam masalah cinta dan kasih sayang, Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa hal ini berada diluar kesanggupan manusia, sebab cinta itu adanya dalam genggaman Allah SWT yang mampu membolak baliknya menurut kehendak-Nya. Begitupula dengan hubungan seksual, terkadang suami bergairah dengan istri yang satu, tetapi tidak bergairah dengan istri lainnya.
Dalam hal ini, apabila tidak disengaja, ia tidak terkena hukum dosa karena berada diluar kemampuannyaa. Oleh karena itu, ia tidak dipaksa untuk berlaku adil. 
DAFTAR PUSTAKA

[9][1] Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Dzarimi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, September 2007), Hal 341
[10][2] Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul Barri (Jakarta: Pustaka Azam, 2008) Hal 714-715
[11][3] Ibid, hal 720-722
[12][4] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jeddah: Darul Kutub Al Islamiyah, 2010), Hal 163
[13][5] Muhammad Bi Kamal Khalid As-Syuyuthi, Kumpulan Hadist-Hadist Yang Di Sepakati 4 Madzhab,(Jakarta: Pustaka Azam, Juli 2006), Hal 261-262.
[14][6] Imam Syafi’i Abu Abadullah Muhammad Bin Idris, Muchtasar Kitab Al Umm Al Fiqh, (Jakarta: Pustaka Azam, 2005), Hal 441
[15][7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujatahid, ( Jakarta: Pustaka Azam, Mei 2007), Hal 111
[16][8] Bin Sayyid Salim Dan Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Lin Nisa’, (Jakarta Timur: Darul Bayan Al- Haditsah, 2007), Hal 727
[17][9] Fiqih Munakahat, Abdul Rahman, ( Jakarta: Kencana, 2010), Hal 136[1] Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Dzarimi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, September 2007), Hal 341
[2] Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul Barri (Jakarta: Pustaka Azam, 2008) Hal 714-715
[3] Ibid, hal 720-722
[4] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jeddah: Darul Kutub Al Islamiyah, 2010), Hal 163
[5] Muhammad Bi Kamal Khalid As-Syuyuthi, Kumpulan Hadist-Hadist Yang Di Sepakati 4 Madzhab,(Jakarta: Pustaka Azam, Juli 2006), Hal 261-262.
[6] Imam Syafi’i Abu Abadullah Muhammad Bin Idris, Muchtasar Kitab Al Umm Al Fiqh, (Jakarta: Pustaka Azam, 2005), Hal 441
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujatahid, ( Jakarta: Pustaka Azam, Mei 2007), Hal 111
[8] Bin Sayyid Salim Dan Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Lin Nisa’, (Jakarta Timur: Darul Bayan Al- Haditsah, 2007), Hal 727
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.