HUKUM
MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN DILIHAT DARI HUKUM ISLAM
A. PENDAHULUAN
Masalah menggugurkan kandungan (aborsi) selalu menjadi
masalah yang tak pernah usai bahkan semakin merajalela. Karena banyak
ditemukannya mayat-mayat bayi dalam kantung-kantung plastik yang dibuang dan
meningkatnya kematian remaja yang disebabkan karena pengguguran yang
sembarangan. Meski pengguguran kandungan (aborsi) dilarang oleh hukum, tetapi
kenyataannya terdapat 2,3 juta perempuan melakukan aborsi (Kompas, 3 Maret
2000). Masalahnya tiap perempuan mempunyai alasan tersendiri untuk melakukan
aborsi dan hukum pun terlihat tidak akomodatif terhadap alasan-alasan tersebut,
misalnya dalam masalah kehamilan paksa akibat perkosaan atau bentuk kekerasan
dan kegagalan KB. Larangan aborsi berakibat pada banyaknya terjadi aborsi tidak
aman (unsafe abortion), yang mengakibatkan kematian. Data WHO menyebutkan
15-50% kematian ibu disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman. Dan
20 juta pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan
70.000 perempuan meninggal dunia. Artinya 1 dari 8 ibu meninggal akibat aborsi
yang tidak aman[1].
WHO memperkirakan ada 4,2 juta aborsi dilakukan per
tahun, 750.000-1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500 orang diantaranya
berakhir dengan kematian (Wijono). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1995 : aborsi berkontribusi 11,1% terhadap angka kematian Ibu, sedangkan
menurut Rosenfield dan Fathalla (1990) sebesar 10% (Wijono, 2000)[2].
Kita semua mungkin tahu bahwasanya menggugurkan
kandungan itu dilarang oleh hukum, ada beberapa pasal dalam KUHP yang terkait
dengan masalah aborsi, yaitu pasal 229, 341, 342, 343, 346, 347, 348 dan 349
KUHP.
B. PEMBAHASAN
Dalam sebuah buku yang berjudul “fatwa-fatwa kontemporer
jilid II” karya DR. Yusuf
Qardhawi membahas tentang hukum menggugurkan kandungan hasil pemerkosaan, ada
seseorang yang mengajukan pertanyaan tentang masalah ini. Beliau adalah Dr.
Musthafa Siratisy seorang Ketua Muktamar Alami untuk pemeliharaan Hak-hak Asasi
Manusia di Bosnia Herzegovina. Beliau bertanya kepada Syekh Muhammad al-Ghazali
dan Syekh al-Qardhawi dimana kedua Syekh tersebut adalah juru dakwah kaum
muslimin.
Dr. Musthafa berkata, “Sejumlah saudara kaum muslim di
Republik Bosnia Herzegovina ketika mengetahui kedatangan Syekh Muhammad
al-Ghazali dan Syekh al-Qardhawi, mendorong beliau untuk mengajukan pertanyaan
yang menyakitkan dan membingungkan yang disampaikan secara malu-malu oleh lisan
para remaja putri yang diperkosa oleh tentara Serbia yang durhaka dan bengis
yang tidak memelihara hubungan kekerabatan dengan orang mukmin dan tidak pula
mengindahkan perjanjian, dan tidak menjaga kehormatan dan harkat manusia.
Akibat perilaku mereka yang penuh dosa itu maka banyak gadis muslimah yang
hamil sehingga menimbulkan perasaan sedih, takut, malu, serta merasa rendah dan
hina. Karena itulah mereka menanyakan kepada Syekh berdua yang pertanyaan
tersebut diantaranya adalah: Apakah yang harus mereka lakukan terhadap tindak
kriminalitas beserta akibatnya? Apakah syara’ memperbolehkan mereka menggugurkan
kandungan yang terpaksa mereka alami? Kalau kandungan ini dibiarkan hingga si
janin dilahirkan dalam keadaan hidup, maka bagaimana hukumnya? Dan sampai
dimana tanggung jawab si gadis yang diperkosa itu?
Fadhilatus-Syekh al-Ghazali menyerahkan kepada Syekh
al-Qardhawi untuk menjawab, maka beliau menjawabnya secara lisan dan direkam
agar dapat didengar oleh saudara-saudara khususnya remaja putri di Bosnia.
Beliau pandang lebih bermanfaat lagi jika ditulis agar
dapat disebarluaskan serta dijadikan acuan untuk peristiwa-peritiwa serupa.
Tiada daya (untuk menjauhi keburukan) dan tiada kekuatan (untuk melakukan ketaatan)
kecuali dengan pertolongan Allah.
Kita kaum muslimin telah dijadikan objek oleh
orang-orang yang rakus dan dijadikan sasaran bagi setiap pembidik dan kaum
wanita serta anak-anak perempuan kita menjadi daging yang “mubah” untuk
disantap oleh serigala-serigala lapar dan binatang-binatang buas itu tanpa
takut akibatnya atau pembalasannya nanti.
Beliau menegaskan bahwa saudara-saudara dan anak-anak
perempuan kita, yang telah disebutkan tidak menanggung dosa sama sekali
terhadap apa yang telah terjadi pada diri mereka, selama mereka sudah berusaha
menolak dan memeranginya, kemudian mereka dipaksa dibawah acungan senjata dan
dibawah tekanan kekuatan yang besar. Maka apakah yang dapat diperbuat oleh
wanita tawanan yang tidak punya kekuatan dihadapan para penawan atau pemenjara
yang bersenjata lengkap yang tidak takut kepada Sang Pencipta dan tidak menaruh
belas kasihan kepada makhluk? Allah sendiri telah menetralisasi dosa (yakni
tidak menganggap berdosa) dari orang yang terpaksa dalam masalah yang lebih
besar daripada zina, yaitu kekafiran dan mengucapkan kalimatul kufri. Firman-Nya:
“…kecuali orang
yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa)…” (an-Nahl:106)
Bahkan Al-Qur’an mengampuni dosa (tidak berdosa) orang
yang dalam keadaan darurat, meskipun ia masih punya sisa kemampuan lahiriah
untuk berusaha, hanya saja tekanan daruratnya lebih kuat. Allah berfirman
setelah menyebutkan macam-macam makanan yang diharamkan:
“…Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah:173)
Dan Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya
Allah menggugurkan dosa dari umatku atas suatu perbuatan yang dilakukannya
karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya.”[3]
Bahkan anak-anak dan saudara-saudara perempuan kita
mendapatkan pahala atas musibah yang menimpa mereka, apabila mereka tetap
berpegang teguh pada Islam yang karena keislamannyalah mereka ditimpa bala
bencana dan cobaan dan mengharapkan ridha Allah Azza wa Jalla dalam menghadapi
gangguan dan penderitaan tersebut. Rasulullah saw. bersabda:
“Tiada
seorang muslim yang menderita kelelahan, penyakit, kesusahan, gangguan, atau
kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri, melainkan Allah akan menghapus
dosa-dosanya dengan peritiwa-peristiwa itu.”[4]
Apabila seorang muslim mendapat pahala hanya karena tertusuk
duri, maka bagaimana lagi jika kehormatannya dirusak orang dan kemuliaannya
dikotori?
Karena itu Syekh al-Qardhawi menasihatkan kepada
pemuda-pemuda muslim agar mendekatkan diri kepada Allah dengan menikahi salah
seorang dari wanita-wanita tersebut, karena kasihan terhadap keadaan mereka
sekaligus mengobati luka hati mereka yang telah kehilangan sesuatu yang paling
berharga sebagai wanita terhormat dan suci, yaitu kegadisannya.
Adapun menggugurkan kandungan, maka telah dijelaskan
bahwa pada dasarnya hal itu terlarang, semenjak bertemunya sel sperma laki-laki
dan sel telur perempuan, yang dari keduanya muncul makhluk yang baru dan
menetap didalam rahim.
Maka makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia
hasil dari hubungan yang haram seperti zina. Dan Rasulullah saw. telah
memerintahkan wanita Ghamidiyah yang mengaku telah berbuat zina dan akan
dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu sampai melahirkan anaknya, kemudian
setelah itu ia disuruh menunggu sampai anaknya sudah tidak menyusu lagi, baru
setelah itu dijatuhi hukuman rajam.
Meskipun begitu ada sebagian fuqaha yang
memperbolehkan menggugurkan kandungan asalkan belum berumur empat puluh hari,
berdasarkan sebagian riwayat yang mengatakan bahwa peniupan ruh terhadap janin
itu terjadi pada waktu berusia empat puluh atau empat puluh dua hari.
Bahkan sebagian fuqaha ada yang memperbolehkan
menggugurkan kandungan sebelum berusia seratus dua puluh hari, berdasarkan
riwayat yang masyhur bahwa peniupan ruh terjadi pada waktu itu.
Tetapi pendapat yang beliau pandang kuat ialah apa
yang telah beliau sebutkan sebagai pendapat pertama diatas, meskipun dalam
keadaan udzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu diantara dua
pendapat terakhir tersebut. Apabila udzurnya semakin kuat, maka rukhshahnya
semakin jelas dan bila hal itu terjadi sebelum berusia empat puluh hari maka
yang demikian lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan).
Selain itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan
dari musuh yang kafir dan durhaka, yang melampaui batas dan pendosa, terhadap
wanita muslimah yang suci dan bersih, merupakan udzur yang kuat bagi si
muslimah dan keluarganya karena ia sangat benci terhadap janin hasil
pemerkosaan tersebut serta ingin terbebas daripadanya. Maka ini merupakan
rukhshah yang difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar
ukurannya.
Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fuqaha yang
sangat ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan kandungan
meskipun baru berusia satu hari. Bahkan ada pula yang mengharamkan usaha
pencegahan kehamilan, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan,
ataupun dari kedua-duanya dengan beralasan beberapa yang menanamkan ‘azl sebagai pembunuhan tersembunyi atau
terselubung. Maka tidaklah mengherankan jika mereka mengharamkan pengguguran
setelah terjadinya kehamilan.
Pendapat terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah
antara yang memberi kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang
ketat yang melarangnya.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa sel telur
wanita setelah dibuahi oleh sel sperma laki-laki telah menjadi manusia, maka
yang demikian hanyalah semacam majas (kiasan) dalam ungkapan, karena
kenyataannya ia adalah bakal manusia.
Memang benar bahwa wujud ini mengandung kehidupan,
tetapi kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat dan bertahap, dan sel sperma
serta sel telur itu sendiri sebelum bertemu sudah mengandung kehidupan, namun
yang demikian bukanlah kehidupan manusia yang telah diterapkan hukum padanya.
Karena itu rukhshah terikat dengan kondisi udzur yang
muktabar (dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli syara’, dokter dan
cendekiawan. Sedangkan yang kondisinya tidak demikian, maka tetaplah ia dalam hukum
asal, yaitu terlarang.
Maka bagi wanita muslimah yang mendapatkan cobaan
dengan musibah seperti ini hendaklah memelihara janin tersebut, sebab menurut
syara’ ia tidak menanggung dosa sebagaimana beliau sebutkan di awal, dan ia
tidak dipaksa untuk menggugurkannya. Dengan demikian, apabila janin tersebut
tetap dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka dia adalah
muslim, sebagaimana sabda Nabi saw:
“Tiap-tiap
anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah.”[5]
Yang dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam.
Menurut ketetapan fiqhiyah, bahwa seorang anak apabila
kedua orang tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang terbaik
agamanya. Ini bagi orang (anak) yang diketahui ayahnya, maka bagaimana dengan
anak yang tidak ada bapaknya? Sesungguhnya dia adalah anak muslim, tanpa
diragukan lagi.
Dalam hal ini, bagi masyarakat muslim sudah seharusnya
mengurus pemeliharaan dan nafkah anak itu serta memberinya pendidikan yang
baik, jangan menyerahkan beban itu kepada ibunya yang miskin dan yang telah
terkena cobaan. Demikian pula pemerintah dalam Islam, seharusnya bertanggung
jawab terhadap pemeliharaan ini melalui departemen atau badan sosial tertentu.
Dalam hadist sahih muttafaq ‘alaih, Rasulullah saw. bersabda:
“Masing-masing
kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai
pertanggungjawabannya.”[6]
C. KESIMPULAN
Dari permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwasanya
menggugurkan kandungan itu adalah perbuatan yang terlarang walaupun dari hasil
pemerkosaan, sebab biar bagaimanapun anak yang ada didalam rahim seorang wanita
itu tidak berdosa atas apa yang telah terjadi. Seperti firman Allah:
“Dan janganlah
kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi
rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa
besar.” (QS. al-Israa’:31)
Dari firman Allah tersebut, dapat disimpulkan
bahwasanya menggugurkan kandungan itu dilarang oleh agama. Sebab, anak itu
merupakan titipan dari Allah dan kewajiban seorang ibu adalah merawat serta
mendidiknya agar menjadi anak yang berbakti. Oleh karena itu, janganlah
membunuh darah daging kita sendiri, sebab itu merupakan dosa besar dan Allah
tidak menyukai hal tersebut.
D. DAFTAR PUSTAKA
Qardhawi, Yusuf DR, 1995, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, Gema Insani Press, Jakarta
[3] HR Ibnu Majah dalam
“ath-Thalaq”, juz 1, hlm. 659,hadist nomor 2045; disahkan Hakim dalam kitabnya,
juz 2,hlm. 198; disetujui oleh adz-Dzahabi; dan diriwayatkan oleh Baihaqi dalam
Sunan-nya, juz 7, hlm. 356
[4] HR Bukhari dalam “
al-Mardha” (dari kitab Shahih-nya, juz 10, hlm. 103, hadist nomor 5641 dan
5642)
[6] HR Bukhari dalam
“al-‘Itq”, juz 5, hlm. 181, hadist nomor 2558, dan dalam “an-Nikah”, juz 9,
hlm. 299, hadist nomor 5200