DOWNLOAD GRATIS EBOOK/BUKU (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
A. IDENTITAS BUKU
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
A. IDENTITAS BUKU
JUDUL BUKU :
PERADILAN AGAMA DALAM BINGKAI REFORMASI HUKUM DI INDONESIA
PENULIS :
Dr. Jaenal Aripin, MA.
CETAKAN :
KE-1
PENERBIT :
KENCANA
TAHUN PENERBIT :
2008
Pengarang buku ini adalah Dr. Jaenal Aripin,
MA. Beliau lahir di Cirebon, 16 Oktober 1972, menyelesaikan studi strata 1 dengan konsentrasi Perdata Pidana Islam dari
IAIN Sunan Ampel, Surabaya pada 1998. Dua tahun kemudian, belau meraih gelar
Doktor dengan konsentrasi pengkajian Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Saat ini, beliau aktif sebagai dosen tetap di UIN Syrif
Hidayatullah dan menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, jakarta dan Anggota Pengurus Bidang Penelitian Pengurus Pusat
Asosiasi Dosen Indonesia.
Di samping kesibukannya sebagai pengajar,
beliau juga merupakan seorang penulis aktif dan seorang peneliti handal dengan
sekitar 20 karya ilmiah berupa buku yang telah dipublikasiakn dan artikel
ilmiah yang dimuat di berbagai jurnal.
Buku ini diterbitkan oleh Kencana, Jakarta,
edisi pertama, tahun 2008
B. Pendahuluan
Buku ini berbicara tentang perkembangan
Peradilan Agama di Indonesia khusunya pada era Reformasi, yang pada saat itu
supremasi hukum sangat diidamkan oleh seluruh lapisan masyarakat, keadilan
hanya angan-angan semata bak daun yang jatuh dari sangkar pohonnya lalu ditiup
angin dan akhirnya pergi entah kemana. Kondisi masyarakat pada saati itu sangat
memperihatinkan dikarenakan negara indonesia baru merdeka sedangkan haluan dan
tujuan Indonesia belum bisa terselesaikan dan pada saat itu timbul pemerintahan
yang otoriter bertindak seenaknya saja. Buku ini ditulis dalam 6 (enam) bagian,
satu bagian sebagai pendahuluan, empat bagian isi/inti termasuk teori, data,
dan analisis, dan satu bagian lagi sebagai penutup.
Seperti halnya sebuah karya ilmiah, umumnya
selalu dimulai dengan pendahuluan. Meskipun tidak baku, akan tetapi
prisnsip-prinsip umum tentang elemen-elemen (ada yang menyebut dengan rukun)
yang terangkum dalam pendahuluan adalah mencakup tantang alasan mengapa
penelitian ini penting dilakukan, dalam istilah operasionalnya disebut dengan
latar belakang dan rumusan masalah. Pendahuluan juga memuat pernyataan tentang
objektif penelitian, yang mencakup tujuan dan maksud penelitian dilakukan.
Termasuk manfaat yang akan diperoleh. Hal lain yang tak kalah penting adalah
mengenai pendekatan yang digunakan, baik mencakup data maupun keilmuan.
Pendekatan inilah dalam operasionalnya yang akan memainkan peranan penting
sebagai alat/pisau analisis dalam melihat data-data yang diperoleh. Termasuk
juga unsur penting lain, yakni cara-cara atau metode yang dilakukan di dalam
mengumpulkan, memperoleh, seklaigus menganalisis data.
Pada bagian kedua, secara khusus diuraikan
tentang kerangka teoritis. Diawali dengan menjelaskan tentang reformasi yang
mencakup sejarah/latar belakang, tujuan dan lebih spesifik lagi adalah
reformasi hukum/konstitusi. Dalam operasionalnya, reformasi konstitusi adalah
amandemen UUD 1945, kemudian melahirkan perubahan terhadap beberpa undang-undang,
terutama menyangkut kekuasaan kehakiman dan peradilan agama. Sebagai grand
theory, dalam bab tersebut juga diuraikan mengenai teori pemisahan kekuasaan
negara (sepation of power), teori demokrasi dan negara hukum (rule of law),
serta teori independensi dan kebebasan lembaga peradilan. Sedangkan sebagai
middle range theory atau teori operasiona, diuraikan tentang teori tiga elemen
sistem hukum (three elements law system) serta teori penemuan (rechtfinding)
dan penafsir hukum.
Pada bagian ketiga dijelaskan tentang badan
peradilan dalam dinamika sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia. Ini penting
dibahas untuk melihat posisi dan keberadaan peradilan agama dalam sistem hukum
dan ketatanegaraan Indonesia sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Karena itu,
bahasa selain memuat pengertian dan latar belakng kekuasaan kehakiman,
pengertian kekuasaan kehakiman dalam tradisi islam, dan kekuasaan kehakiman
sebelum reformasi, juga dibahas tentang elemen-elemen kekuasaan kehakiman, baik
dalam tradisi islam maupun di Negara Hukum Indonesia, yang terdiri atas; Qadha,
Hisbah, dan Madzalim, serta Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman
tertinggi, kemudian Komisi Yudisial sebagai pengawal kode etik dan kemartaban
serta keluhuran hakim, juga Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal kosntitusi.
Selain itu, di samping peradilan agama yang dibahas secara khusus, juga dibahas
lembaga-lemabaga peradilan lainnya; seperti peradilan umum, peradilan tata
usaha negara, dan peradilan militer sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman.
Untuk bagian keempat
Sedangkan peradilan Agama dalam bingkai
Reformasi Indonesia yang merupakan puncak pembahasan dituangkan pada bagian
kelima sebagai penutup rangkaian pembahasana ini di bagian keenam dihadirkan
kesimpulan status dan kendudukan, kewenangan, hukum materil dan keadaan sumber
daya manusia, serta sebagai kritik dan rekomendasi untuk peradilan agama.
C. Isi Buku
Kehadiaran peradilan agama di Indonesia, telah
ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Meskipun dalam bentuknya yang sangat
sederhana dan penamaan/penyebutannya berbeda-beda. Hal ini mengingat, ia tidak
hanya berfungsi sebagai medan akhir
dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakat muslim, namun
sekaligus juga sebagai penjaga eksistensi dan keberlangsungan pelaksanaan hukum
islam di Indonesia, keberadaannya merupakan conditio sine qua non dan melekat
serta berbanding lurus dengan eksistensi masyarakat muslim itu sendiri.[1]
Walaupun faktor budaya masyarakat muslim lebih
kuat pengaruhnya terhadap keberadaan peradilan agama, namun tetap saja faktor
politik – hukum – tidak bisa dilepaskan dari dinamika sejarah panjang peradilan
agama. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri, mengingat keberadaannya di
Indonesia sebagai negara hukum, juga sedikit banyak akan mendapatkan pengaruh
proses dan dinamika politik yang terjadi. Tak terkecuali dinamika politik yang
terjadi pada medio 1990-an, tepatnya ketika pada tahun 1998 terjadi reformasi,
yakni beralihnya Orde Baru ke Era Reformasi. Sebagai bagian dari sistem hukum
dan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, maka peradilan agama sudah barang
tentu mendapat pengaruh dari dinamika politik tersebut.[2]
Pernyataan tersebut masih bersifat hipotesis,
karena itu masih memerlukan pembuktian, apakah benar dinamika politik masa
reformasi memberikan pengaruh signifikan terhadapa peradilan agama, atau justru
tidak memberikan pengaruh apa-apa.[3]
Bagian Pertama: PERADILAN AGAMA DAN TRANSISI
REFORMASI
Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia pada masa Orde Baru tersebut, menyadarkan dan menggugah semua elemen
bangsa untuk kembali kepada hakikat sebenernya dari bagsa/negara Indonesia,
sebagai negara yang berdasarkan atas hukum,[4]
yakni dihormatinya supemasi hukum dalam kehidupan masyarakt. Bentuk kesadaran
tersebut kemudian menimbulkan gerakan reformasi pada tahun 1998,[5]
ditandai dengan runtuhnya rezim kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah
kepemimpinan mantan Presiden Soeharto. Tujuan utama dari reformasi tersebut
adalah terbentuknya pemerintahan demokrasi Indonesia baru yang civil
society,[6]
untuk membenahi kekeliruan selama 32 tahun berkuasanya pemerintahan hegemoni
yang arogan di bawah bayang-bayang militerisme.
Salah satu reformasi hukum di bidang penegakan
hukum yang signifikan adalah mengacu kepada terbitnya ketetapan MPR Nomor
X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Menyelamtkan
dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.[7]
Atas dasar haluan negara tersebut, dilakukan pengkajian fungsi eksekutif,
legislatif dan eksekutif. Dengan melakukan amandemen terhadap Undang-undang
Dasar 1945 – selanjutnya disebut UUD 1945 – sebagai pedoman dan dasar utama
bagi konstitusi negara Republik Indonesia.
Setelah melewati perdebatan dan polemik yang
cukup panjang, akhirnya UUD 1945 DIAMANDEMEN. Hal penting yang dilakukan dalam
perubahan tersebut adalah menyangkut adanya pemisahan kekuasaan(separation of
power) dimana sebelumnya UUD 1945 menganut sistem pembagian kekuasaan (division
of power).[8]
Bagian Kedua: REFORMASI DAN TEORI-TEORI HUKUM
Reformasi adalah era perubahan atau penyusunan
kembali terhadap suatu konsep, strategi, dan kebijakan yang berkaitan dengan
berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[9]
Dan apabila di hubungkan dengan feformasi di bidang hukum dan peradilan, maka
dapat ditarik pengertian “melakukan suatu perubahan dengan penyusunan kembali
terhadap suatu konsep, strategi, atau kebijakan yang berkaitan dengan hukum dan
peradilan dengan berbagai aspeknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.[10]
Mengingat reformasi selalu dikaitkan dengan
persoalan hukum, maka reformasi sesungguhnya bisa diartikan sebagai sebuah
proses perubahan tatanan hukum, dalam hal ini adalah konstitusi untuk menuju
pada tatanan dan kehidupan hukum masyarakat yang lebih baik, sejahtera, adil,
dan makmur.[11]
Salah satu gagasan perubahan yang ketika itu
ditawarkan adalah usulan tentang sistem dan mekanisme cheks and balances di
dalam sistem politik dan ketatanegaraan. Usulan ini penting artinya karena
selama era dua orde sebelumnya dapat dikatakan bahwa cheks and balances tidak
ada. Dalam pembuatan UU misalnya, seluruhnya didominasi oleh eksekutif, baik
proses inisiatif maupun pengesahannya.
Di dalam ajaran montesquieu bahwa perlu adanya
pembagian kekuasaan pemerintahan agar tidak terjadi otoriter di dalam
pemerintahan, ajaran tersebut disebut dengan pemisahan kekuasaan yang menjamin
hak-hak asasi, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Walaupun begitu
tetap saja ada yang kurang di dalam teorinya tersebut, yaitu perlu adanya cheks
and balances di mana setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan
cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dengan adanya perimbangan yang saling
mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di
masing-masing organ yang bersifat independen.
Bagian Keempat: PENYATUATAPAN DAN TONGGAK AWAL
REFORMASI PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Proses pelaksanaan penyatuatapan di lingkungan
peradilan agama. Tidak semulus bada-badan peradilan lainnya. Meskipun pada
akhirnya, sejak tanggal 30 Juni 2004, menteri agama telah menyerahkan
organisasi, administrasi, dan finansial lingkungan peradilan agama kepada ketua
mahkamah agung. Namun, sebelum disatu atapkan, yakni tepatnya sejak lahirnya UU
No. 35 Tahun 1999 terjadi polemik; pro dan kontra di kalangan masyarakat
muslim. Tidak hanya antara masyarakat di luar dan di dalam struktur peradilan
agama, akan tetapi juga antar tokoh, ulama, dan intelektual muslim.
Pro dan kontra itu berawal, ketika UU No. 35
tahun 1999 dalam salah satu pasalnya, menyebutkan bahwa “pengalihan peradilan
umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, dilakukan dalam
jangka waktu 5 tahun. Sedangkan untuk peradilan agama, batas waktu peralihannya
tidak ditentukan. Tidak ditentukan batas waktu pengalihan untuk peradilan agama
tersebut, menimbulkan penafsiran yang berbeda, bisa diartikan pengalihan
dilakukan secepatnya, atau juga bisa selama-lamanya, dalam pengertian tidak
jadi di satuatapkan.
Selain itu, kedudukan hakim agama di
lingkungan peradilan agama, di samping sebagai penegak hukum, ia juga mempunyai
peran ganda sebagai ulama dan menjadi panutan masyarakat sekitarnya. Mengingat
pembinaan hakim sebagai ulama pada masatersebut dilakukan oleh Depatemen Agama,
maka akan menjadi lepas begitu saja setelah pindah ke Mahkamah Agung. Bahkan,
keterkaitan antara perkembangan peradilan agama dan peran perjuangan gigih yang
dilakukan ulama adalah mutlak tidak bisa dipisahkan, sehingga ketika terjadi
pengalihan, akan mengakibatkan terputusnya hubungan peradilan agama dengan
ulama, dan Departemen Agama.[12]
Bagian Keenam: PERSPEKTIF PERADILAN AGAMA DI
ERA REFORMASI
Peradilan agama di Indonesia, meskipun dalam
perjalanan sejarahnya tidak bisa dilepaskan dengan dinamika politik yang
terjadi di Indonesia, sehingga terkadang menimbulkan pasang surut akan
eksistensinya, akan tetapi ia tetap ada dan semakin kuat keberadaannya termasuk
di era reformasi (1998-2008). Kuat dan kokohnya peradilan agama tersebut, ternyata
lebih disebabkan karena faktor kultur/budaya masyarakat muslim di indonesia. Ia
ada terkait erat dan paralel dengan keberadaan masyarakat muslim indonesia.
Keberadaannya merupakan conditio sine quo non bagi penyelesaian sengketa yang
terjadi pada masyarakat muslim Indonesia.[13]
Atas dasar ini maka, penulis menyajikan sebuah
teori baru yakni cultural existensi theory, yakni: “kokohnya keberadaan
(existance) Peradilan Agama lebih disebabkan karena dorongan sosial dan budaya
(cultural)”. Dalam pengertian luas, secara kultural, peradilan agama merupakan
sui generis bagi umat islam indonesia. Ia ada (exist) karena terkait dan/atau
dipengaruhi oleh kultur/budaya masyarakat muslim indoenesia ada; patuh dan
taat, serta tunduk menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari,
sepanjang itu pula peradilan agama akan tetap ada (eksis), meskipun seandainya
pihak penguasa berusaha menghapuskan peradilan agama baik secara politis maupun
hukum melalui peraturan perundang-undangan, namun peradilan agama akan tetap
ada, yakni dalam bentuk quasi peradilan.[14]
D. Kelebihan dan kekurangannya.
Di dalam buku ini sangat mudah untuk memahami mengenai
peradilan agama di mulai dari semenjak kerajaan sampai era reformasi sekarang
ini.penyampaiannya yang sangat jelas di dalam perkalimat agar para pembaca
tidak mengsalah artikan
E. Penutup
Adapun kesimpulan awal yang dapat penulis tarik, berdasarkan
permasalahan yang telah dikemukakan adalah sebagai berikut:
Secara historis, tampak dipermukaan betapa nuansa politik memang
selalu menyertai sejarah Peradilan Agama.
Pada masa kerajaan Nusantara dan kerajaan Melayu, lembaga Peradilan
Agama
dapat eksis, karena didukung oleh kehendak politik penguasa/raja. Demikian pula
sebaliknya, pada masa kolonial, lembaga ini cenderung dimarginalkan karena
kepentingan politik hukum kolonial. Apa yang terjadi pada fase awal
kemerdekaan, juga menguatkan tesis tersebut. Karena tidak terbangunnya hubungan
yang simbiosis mutualistik antara Islam dan negara, maka sulit bagi
negara bersikap akomodatif terhadap kepentingan umat Islam.
Peradilan agama telah tumbuh dan melembaga di bumi
nusantara ini sejak agama Islam dianut
oleh penduduk
yang berada di wilayah ini berabadabad sebelum
kehadiran penjajah. Adapun fase-fase perkembangan
Peradilan Agama di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Peradilan Agama pada awal masuknya Islam hingga kerajaan-kerajaan Islam,
dimana terjadinya qadla Asy-Syiar (Peradilan Agama) di Indonesia sudah
terjadi pada masa-masa Tahkim, sedangkan lembaga Peradilan Agama terbentuk
dalam periode Tauliyah Ahlul Hadli Wal-Aqdi, lalu Tauliyah dari Imamah
yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of outhority.
2.
Pada
masa kolonial Belanda, peraturan resmi yang
mengatur eksistensi Peradilan Agama di bumi
nusantara ini adalah keputusan Raja Belanda No.24
tertanggal 19 januari 1882 dimuat dalam Stb 1882 No.1552 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, ini merupakan hasil dari teori reception in
complexu oleh Van Den Berg, kemudian teori ini
digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje dan
menggantikannya dengan teorireceptive. Pikiran Snouck Hurgronje tersebut
dikembangkan oleh Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933), dia memperkenalkan het
indisch adatrech (hokum adat
Indonesia).
3.
Setelah
kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan penetapan No.5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang
memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tertinggi dari Departemen
Kehakiman kepada Departemen Agama. Dalam rentang waktu 1957-1974 lahir PP dan
UU yakni
PP No.29 tahun 1957, PP No.45 tahun 1957,
UU No.19 tahun 1970
dan Penambahan kantor dan cabang kantor
peradilan agama, lalu dalam masa kurang lebih 15 tahun
disahkannya UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan lahir pula UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan di ikuti penyusunan
Kompilasi Hukum Islam.
4.
Pada
era reformasi, Peradilan Agama harus menundukkan diri kepada UU satu atap yaitu
UU No.5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan UU
No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga terdapat penambahan pasal
52a yaitu pengadillan agama memberikan itsbat kesaksian ru’yat hilal. Dalam
pembahasan RUU tentang perbank-an syari’ah yang kemudian ditetapkan menjadi UU
No.21 tahun 2008 telah terjadi hubungan kerja yang intens antara Mahkamah Agung,
Ditjen Badan Peradilan Agama dengan Departemen Agama dan Majelis Ulama
Indonesia.
Secara
de jure, peradilan agama sejak awal telah meletakkan dasar-dasar
konstitusional bagi pelembagaan hukum Islam. Kedudukannya yang demikian, secara
khusus tercantum dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal
itu, jelas disebutkan bahwa Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Kaidah
fundamental dalam pasal 29 ayat (1) itu dapat ditafsirkan dalam banyak arti, Diantaranya
ialah negara wajib menjalankan syariat semua agama yang berlaku di Indonesia,
kalau untuk menjalankan syariat itu memerlukan bantuan kekuasaan negara. Jika
dengan dasar-dasar yang begitu kuat, ternyata perkembangan pelembagaan hukum
Islam mengalami hambatan, maka tentulah ada variabel lain yang begitu kuat
mempengaruhinya. Sesuai dengan teori yang mendasari, faktor tersebut adalah
politik hukum negara. Indonesia butuh waktu 44 tahun untuk melihat perwujudan
nyata landasan yuridis itu, karena adanya momentum yang mendukung.
Daftar Pustaka
Aripin Jaenal, 2008, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia, Jakarta: Kencana.
AS. Hikam Muhammad, 1999, Demokrasi dan Civil
Society, Jakarta: LP3ES.
Hartono Sunaryati, 1991, Politik Hukum menuju Satu Sistem
Hukum Nasional, Bandung: Alumni,, cet. Ke-1.
Jaenal Aripin dan Amin Suma, Laporan Hasil
Penelitian.
Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan
Pembangunan dan Penyalahgunaan Aparatur Negara Republik Indonesia, 1999,
Himpunan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Tap MPR-RI Nomor X/MPR/1998 berkaitan
dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi Yudikatif dan eksekutif,
Jakarta, Juni.
Manan Bagir, 1995, kekuasaan kehkaiman Republik Indonesia, Bandung: Pustaka
Penerbit LPPM-UNISBA.
Mujahidin Ahmad, 2007 Peradilan Satu Atap di
ndonesia, Bandung: Refika Aditama.
Muladi, 2004, Tripartite Missions Program Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang 29 Januari.
Sitahaan Maruarar, 2007, “Konsolidasi Kekuasaan Kehakiman
RI Paska Amandemen UUD 1945”, DALAM Konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia
Kontemporer, (Bekasi: The Biografhy Institute.
Subakti Ramlan, 1998, Reformasi Kekuasaan
Kehakiman, Jakarta: Grasindo.
[1] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam
Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 2.
[2] Ibid.,
[3] Ibid.,
[4] Menurut Bagir Manan, “... menuntut
kehadiran kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah ajaran negara
berdasarkan atas hukum (de rechstaat), pemisahan kekuasaan (machtensheiding)
atau pembagian kekuasaan (mathteverdeling) di antara badan-badan penyelenggara
negara merupakan salah satu ciri umum negara berdasarkan atas hukum”. Bagir
Manan, kekuasaan kehkaiman Republik Indonesia, (Bandung: Pustaka Penerbit
LPPM-UNISBA, 1995), hlm.,5. Selain itu, M. Scheltema menyebutkan bahwa, setiap
negara berdasar atas hukum mepunyai 4 (empat) asas utama, yaitu; asas kepastian
hukum (hetrechtszeker-heidsbeginsel), asas persamaan (het
gelijke-heidsbeginsel), asas demokrasi (het democratischebeginsel), dan asas
bahwa pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadapa masyarakat (het
beginsal van de dienende overhead, government for the people). Bagir Manan.
Kekuasaan Kehakiman, hlm., 5.
[5] Muladi, Tripartite Missions Program
Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 29 Januari
2004, hlm., 4.
[6] Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil
Society, (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 3.
[7] Baca Kantor Menteri Negara Koordinator
Bidang Pengawasan Pembangunan dan Penyalahgunaan Aparatur Negara Republik
Indonesia, Himpunan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Tap MPR-RI Nomor X/MPR/1998
berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi Yudikatif dan
eksekutif, Jakarta, Juni 1999.
[8] Maruarar Sitahaan, “Konsolidasi Kekuasaan
Kehakiman RI Paska Amandemen UUD 1945”, DALAM Konstitusi dan ketatanegaraan
Indonesia Kontemporer, (Bekasi: The Biografhy Institute, 2007), hlm. 277
[9] Ramlan Subakti, Reformasi Kekuasaan
Kehakiman, (Jakarta: Grasindo, 1998), hlm.56
[10] Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di
ndonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 115
[11]Sunaryati Hartono, Politik Hukum menuju
Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), cet. Ke-1. Hlm 39
[12] Amin Suma dan Jaenal Aripin, Laporan Hasil
Penelitian, hlm. 64
[13] Jaenal Aripin, Op.,cit, Hlm. 484
[14] Ibid.,