‘The founding fathers and mothers’ Negara Indonesia
modern mengimpikan cita kenegaraan (staats-idee) Indonesia sebagai satu Negara
Hukum. Dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945, seperti yang tercantum dalam
Penjelasan Umumnya, istilah yang digunakan untuk menyebut konsep Negara Hukum
tersebut adalah ‘rechtsstaat’ yang
diperlawankan dengan ‘machtsstaat’ (Negara
Kekuasaan). Ketika UUD 1945 diganti dengan Konstitusi RIS pada tahun 1949, dan
juga UUDS pada tahun 1950, ide Negara Hukum itu lebih jelas lagi dirumuskan
secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) kedua konstitusi terakhir itu. Artinya,
gagasan Negara Hukum itu bersifat tetap dalam pemikiran konstitutionalisme Indonesia sejak
kemerdekaan.
Namun, dalam perjalanan waktu sejak
kemerdekaan pada tahun 1945 sampai dengan sekarang, perwujudan ide Negara Hukum
itu terbukti tidak mudah. Selama periode kepemimpinan Presiden Soekarno sampai
tahun 1966/1967, yang dianggap paling menentukan dalam dinamika kehidupan
kenegaraan Indonesia
bukanlah hukum, tetapi politik. Sementara itu, periode selanjutnya, yaitu pada
masa Orde Baru, yang dianggap paling menentukan adalah pertimbangan-pertimbangan
yang berkenaan dengan pembangunan ekonomi. Karena itu muncul istilah politik
sebagai panglima dan ekonomi sebagai panglima untuk membandingkan corak
paradigma kepemimpinan Negara selama kurun waktu awal kemerdekaan dan masa Orde
Lama serta di masa Orde Baru.
Sekarang, bangsa kita
memasuki era baru, yaitu era reformasi. Sudah tentu, paradigma kepemimpinan
nasional kita sudah seharusnya berubah dengan kembali mengedepankan hukum
sesuai dengan cita-cita Negara Hukum yang diimpikan oleh ‘the founding fathers and mothers’ Indonesia modern. Dengan perkataan
lain, inilah saat yang tepat bagi kita untuk mewujudkan cita-cita Negara Hukum
yang dalam istilah Jerman disebut dengan ‘rechtsstaat’
atau dalam istilah Inggeris disebut ‘the
rule of law’.
Ide Negara Hukum itu, selain terkait dengan
konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan
konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari
perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat
dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’
berarti norma, sedangkan ‘cratos’
adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan
erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan
tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey[3],
hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule
of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang
sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.
Dalam buku Plato berjudul “Nomoi”
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”[4],
jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama
dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di
Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu
“rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum
dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”[5].
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen
penting, yaitu:
1. Perlindungan hak
asasi manusia.
2. Pembagian
kekuasaan.
3. Pemerintahan
berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata
usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga
ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of
Law.
2. Equality before
the law.
3. Due Process of
Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas
pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai
ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”,
prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas
dan tidak memihak (independence and
impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak
diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap sebagai
ciri penting Negara Hukum menurut “The
International Commission of Jurists” itu adalah:
1. Negara harus
tunduk pada hukum.
2. Pemerintah
menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang
bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan antara Negara
hukum formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau Negara
hukum modern[6].
Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan
sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang
kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian
keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan
antara ‘rule of law’ dalam arti
formil yaitu dalam arti ‘organized public
power’, dan ‘rule of law’ dalam
arti materiel yaitu ‘the rule of just
law’.
Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud
secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri
dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula
dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku
dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian
negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum
tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga
dikembangikan istilah ‘the rule of just
law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian
keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang
bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk
menyebut konsepsi Negara hukum di zaman sekarang.
B. IDE
NEGARA KONSTITUSIONAL
(Constitutional State)
1.
Konstitusi dan
Konstitusionalisme:
Keseluruhan prinsip negara hukum tersebut di
atas, haruslah dirumuskan dalam konstitusi, baik dalam arti tertulis dalam satu
naskah Undang-Undang Dasar ataupun dalam arti tidak tertulis dalam satu naskah
seperti Kerajaan Inggeris yang meskipun tidak memiliki naskah UUD tetap disebut
sebagai ‘constitutional state’, ‘constitutional monarchy’. Aliran paham
konstitusional ini dalam sejarah pemikiran hukum tata negara biasa disebut
dengan konstitusionalisme yang di zaman sekarang ini dianggap sebagai satu
konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti dikatakan oleh C.J.
Friedrich, “constitutionalism is an
institutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental
action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan
(consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan
berkenaan dengan Negara. Organisasi Negara itu diperlukan oleh warga masyarakat
politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan
melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut Negara.[7]
Kata kuncinya adalah consensus atau ’general
agreement’. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi
kekuasaan Negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi.
Hal ini, misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat
manusia revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika pada
tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun di Indonesia pada tahun 1965
dan 1998.
Konsensus yang menjamin tegaknya
konstitutionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga
elemen kesepakatan, yaitu[8]:
1. Kesepakatan tentang
tujuan atau cita-cita bersama (the
general goals of society or general acceptance of the same philosophy of
government).
2. Kesepakatan tentang ‘the rule of law’ sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan Negara (the
basis of government).
3. Kesepakatan tentang
bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures’).
Kesepakatan pertama, yaitu berkenaan dengan
cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme
di suatu Negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya
paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama
warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau
kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan
dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan adalah perumusan tentang
tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah
kenegaraan atau ‘staatsidee’ (cita
negara) yang berfungsi sebagai ‘filosofische
grondslag’ dan ‘common platforms’ atau
“kalimatun sawa’” di antara sesama
warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Di Indonesia, dasar-dasar
filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang
berarti lima sila atau prinsip dasar.
Di samping itu, kesepakatan kedua, yaitu
basis pemerintahan berdasarkan aturan hukum dan konstitusi, juga sangat
prinsipil. Harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam
konteks penyelenggaraan Negara haruslah didasarkan atas ‘rule of the game’.
Istilah yang biasa digunakan untuk itu adalah ‘the rule of law’ yang dipelopori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana
Inggeris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi
jargon: “the rule of law, and not of man”
untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau
memimpin dalam suatu Negara, bukan manusia atau orang. Istilah “The Rule of Law” jelas berbeda dari
istilah “The Rule by Law”. Dalam
istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law)
digambarkan hanya sekedar bersifat ‘instrumentalis’
atau ‘alat’, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau
manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”.
Kesepakatan tentang ini sangat pentinf agar konstitusi itu sendiri dapat
dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus
didasarkan atas hukum. Tanpa ada consensus semacam itu, konstitusi tidak akan
berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang ‘mati’,
hanya bernilai semantic dan tidak berfungsi karena tidak difungsikan
sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga
adalah berkenaan dengan bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur yang
mengatur kekuasaannya, hubungan-hubungan antar organ Negara itu satu sama lain,
serta hubungan organ-organ Negara itu dengan warga negara. Dengan adanya
kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena
benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi
kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka
kehidupan bernegara yang berkonstitusi (constitutional
state). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang pada pokoknya dirumuskan dalam
dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu
yang cukup lama. Para perancang dan perumus
konstitusi tidak seharusnya membayangkan bahkan naskah konstitusi itu akan
sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang
yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang
Dasar memang sudah seharusnya tidak diubah semudah mengubah undang-undang.
Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan undang-undang dasar tidak boleh
menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat
diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemungkinan perubahan
seperti yang terjadi di masa Orde Baru.
Keseluruhan kesepakatan tersebut di atas,
pada intinya, menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Pada
pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern sebenarnya memang menyangkut
prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip ‘limited government’. Oleh karena itu, menurut William G. Andrews,
“Under constitutionalism, two types of
limitations impinge on government. ‘Power proscribe and procedures prescribed’”[9].
Kekuasaan melarang dan prosedur ditentukan. Konstitutionalisme dapat dikatakan
mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama,
hubungan antara pemerintahan dengan warga Negara; dan Kedua, hubungan antara lembaga
pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu,
biasanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting,
yaitu: (a) menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ Negara, (b) mengatur
hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan (c)
mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warganegara.
2.
Fungsi Konstitusi sebagai
Kepala Negara Simbolik:
Di samping itu, dapat
pula dirumuskan beberapa fungsi konstitusi yang sangat penting baik secara
akademis maupun dalam praktek. Seperti dikatakan oleh William G. Andrews [10]:
“The
constitution imposes restraints on government as a function of
constitutionalism; but it also legitimizes the power of the government. It is the documentary instrument for the
transfer of authority from the residual holders – the people under democracy,
the king under monarchy – to the organs of State power”.
Konstitusi di satu
pihak (a) menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme,
tetapi di pihak lain (b) memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan.
Konstitusi juga (c) berfungsi sebagai instrumen documenter untuk mengalihkan
kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau
Raja dalam sistem Monarki) kepada organ-organ kekuasaan Negara. Bahkan oleh
Thomas Paine dalam bukunya “Common Sense” [11],
dikatakan bahwa konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai “a national symbol”. Menurut
Tom Paine[12],
“It
may serve instead of the king in that ceremonial function of exemplifying the
unity and majesty of the nation. Or it may exist alongside the monarch,
embodying capacity that Constitutions are trundled about the country in shiny
aluminium railroad trains under armed guard and exhibited to all comers”.
Konstitusi dapat berfungsi sebagai pengganti
raja dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi yang bersifat ‘ceremonial’ dan fungsi pemersatu bangsa seperti yang biasanya
dikaitkan dengan fungsi kepala Negara. Karena itu, selain ketiga fungsi tersebut
di atas, fungsi konstitusi dapat pula ditambah dengan fungsi-fungsi lain (d)
sebagai ‘kepala negara simbolik’ dan
(e) sebagai kitab suci simbolik dari suatu ‘agama
civil’ atau ‘syari’at negara’ (civil
religion). Dalam fungsinya sebagai kepala Negara simbolik, Konstitusi
berfungsi sebagai: (i) sebagai simbol persatuan (symbol of unity), (ii) lambang identitas dan keagungan nasional
suatu bangsa (majesty of the nation),
dan/atau (iii) puncak atau pusat kekhidmatan upacara (center of ceremony). Tetapi, dalam fungsinya sebagai dokumen kitab
suci simbolik (symbolic civil religion),
Konstitusi berfungsi (i) sebagai dokumen pengendali (tool of political, social, and economic control), dan (ii) sebagai
dokumen perekayasaan dan bahkan pembaruan ke arah masa depan (tool of political, social and economic
engineering and reform).
Istilah ‘kepala
negara simbolik’ dipakai sejalan dengan pengertian ‘the Rule of Law’ yang menegaskan bahwa yang sesungguhnya memimpin
dalam suatu Negara, bukanlah orang melainkan hukum itu sendiri. Dengan
demikian, kepala Negara yang sesungguhnya adalah konstitusi, bukan pribadi
manusia yang kebetulan menduduki jabatan sebagai kepala Negara. Lagi pula,
pembedaan istilah kepala Negara dan kepala pemerintahan itu sendiri sudah
seharusnya dipahami sebagai sesuatu yang hanya relevan dalam lingkungan sistem
pemerintahan parlementer dengan latar belakang sejarah kerajaan (monarki).
Dalam monarki konstitusional yang menganut system parlementer, jelas dipisahkan
antara Raja atau Ratu sebagai kepala negara dan Perdana Menteri sebagai kepala
pemerintahan. Dalam sistem republik, seperti di Amerika Serikat, kedudukan Raja
itulah yang digantikan oleh konstitusi. Karena sistem republik, apalagi yang
menganut sistem pemerintahan presidential seperti di Indonesia, tidak perlu
dikembangkan adanya pengertian mengenai kedudukan kepala Negara, karena fungsi
kepala Negara itu sendiri secara simbolik terlembagakan dalam Undang-Undang
Dasar sebagai naskah konstitusi yang bersifat tertulis.
Dalam hubungan dengan
itulah maka, konstitusi sebagai kepala Negara simbolik itu memiliki
fungsi-fungsi sebagai simbol pemersatu (symbol
of unity), ungkapan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation) dan pusat upacara
kenegaraan (center of ceremony).
Sebagai dokumen yang mengungkapkan cita-cita kolektif seluruh bangsa yang
bersifat sangat umum, mencakup dan meliputi, maka konstitusi sangat mungkin
dijadikan pegangan bersama yang bersifat mempersatukan seluruh bangsa. Dengan
demikian, konstitusi juga dapat berfungsi sebagai ungkapan identitas seluruh
bangsa. Jika konstitusi disebut, ia menjadi sumber identitas kolektif, sama
seperti bendera kebangsaan. Terkait dengan itu, sebagai puncak atau pusat
upacara, konstitusi juga mempunyai arti yang penting dalam aneka kegiatan
upacara. Untuk menandai perubahan status seseorang ke dalam suatu jabatan
kenegaraan, maka ia diharuskan bersumpah setia kepada konstitusi. Untuk
menandai suatu wilayah tertentu masuk atau keluar dari territorial suatu
Negara, juga ditandai dengan konstitusi.
Sementara itu, dalam fungsinya sebagai
dokumen ‘civil religion’[13],
konstitusi dapat difungsikan sebagai sarana pengendalian atau sarana
perekayasaan dan pembaruan. Dalam praktek, memang dapat dikemukakan adanya dua
aliran pemikiran mengenai konstitusi, yaitu aliran pertama memfungsikan
konstitusi hanya sebagai dokumen yang memuat norma-norma yang hidup dalam
kenyataan. Kebanyakan konstitusi memang dimaksudkan untuk mendeskripsikan
kenyataan-kenyataan normative yang ada ketika konstitusi itu dirumuskan (to describe present reality). Tetapi, di
samping itu, banyak juga konstitusi yang bersifat ‘prospective’ dengan mengartikulasikan cita-cita atau
keinginan-keinginan ideal masyarakat yang dilayani. Banyak konstitusi
negara-negara modern yang juga merumuskan tujuan-tujuan social dan ekonomi yang
belum dapat diwujudkan atau dicapai dalam masyarakat menjadi materi muatan
konstitusi. Konstitusi di lingkungan Negara-negara yang menganut paham sosialis
atau dipengaruhi oleh aliran sosialisme, biasa memuat ketentuan mengenai hal
ini dalam rumusan konstitusi. Hal inilah yang saya sebut sebagai ‘economic constitution’ dan ‘social constitution’ dalam buku “Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi
dan Pelaksanaannya di Indonesia”[14].
Konstitusi-konstitusi jenis demikian sangat
berbeda dari konstitusi yang ditulis menurut tradisi paham demokrasi liberal
atau ‘libertarian constitution’.
Sebagai contoh, konstitusi Amerika Serikat tidak memuat sama sekali ketentuan
mengenai cita-cita ekonomi ataupun ketentuan mengenai system ekonomi dan
kegiatan ekonomi. Alasannya jelas, yaitu bahwa soal-soal yang berkenaan dengan
perekonomian tidaklah menyangkut urusan kenegaraan, melainkan termasuk ke dalam
wilayah urusan pasar yang mempunyai mekanismenya tersendiri sesuai dengan
prinsip ‘free market liberalism’ yang
dianggap sebagai pilar penting dalam system kapitalisme. Karena ekonomi adalah
urusan pasar, maka ketentuan mengenai hal itu tidak seharusnya dicantumkan ke
dalam naskah konstitusi. Demikian pula urusan orang kaya dan orang miskin
bukanlah termasuk persoalan Negara, dan karena itu tidak perlu diatur dalam
konstitusi. Pandangan demikian jelas sangat berbeda dari apa yang dianut dalam
system sosialisme yang mengembangkan pengertian ‘welfare state’. Dalam ‘welfare
state’ Negara bertanggungjawab untuk mengurusi orang miskin. Karena itulah,
UUD 1945 mengadopsikan perumusan Pasal 34 yang aslinya menentukan bahwa: “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara
oleh Negara”.
Dari uraian terakhir di atas, dapat dikatakan
bahwa konstitusi dapat pula difungsikan sebagai sarana control politik, social
dan/atau economi di masa sekarang, dan sebagai sarana perekayasaan politik,
social dan/atau ekonomi menuju masa depan. Dengan demikian, fungsi-fungsi
konstitusi dapat dirinci sebagai berikut:
1. Fungsi penentu dan
pembatas kekuasaan organ-organ negara.
2. Fungsi pengatur hubungan
kekuasaan antar organ-organ negara.
3. Fungsi pengatur hubungan
kekuasaan antar organ negara dengan warga negara.
4. Fungsi pemberi
legitimasi terhadap kekuasaan negara.
5. Fungsi penyalur atau
pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli kepada organ negara.
6. fungsi simbolik sebagai
pemersatu (symbol of unity).
7. fungsi simbolik sebagai
rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity
of nation).
8. fungsi simbolik sebagai
pusat upacara (center of ceremony).
9. fungsi sebagai sarana
pengendalian masyarakat, baik dalam arti sempit hanya di bidang politik maupun
dalam arti luas mencakup bidang social dan ekonomi.
10. fungsi sebagai sarana
perekayasaan dan pembaruan masyarakat, baik dalam arti sempit maupun dalam arti
luas.
11. dan, dalam sistem
pemerintahan presidential, konstitusi juga berfungsi sebagai kepala negara
dalam arti simbolik.
Dari kesebelas fungsi tersebut di atas, yang
perlu mendapat penekanan khusus ialah fungsi yang terakhir, yaitu fungsi
sebagai ‘kepala negara simbolik’. Sangat boleh jadi, banyak orang tidak
setuju dengan istilah ini, tetapi menurut saya, hal ini penting untuk membuat
orang mengerti bahwa dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia di bawah
Undang-Undang Dasar 1945, tidak perlu lagi dibedakan antara kedudukan Presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kedudukan sebagai kepala negara
yang sebenarnya adalah adalah pada konstitusi atau UUD, sedangkan Presiden
hanya bertindak sebagai kepala pemerintahan saja.
3.
Konstitusi dan Hukum Dasar:
Konstitusi juga
merupakan hukum dasar yang harus dijadikan pegangan bersama dalam rangka
penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tertulis
yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Tidak
semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar. Kerajaan
Inggeris biasa disebut sebagai negara konstitusional, tetapi tidak memiliki
satu naskah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis. Oleh sebab itu, di
samping karena adanya negara yang dikenal sebagai negara konstitusional tetapi
tidak memiliki konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma-norma yang hidup
dalam praktek penyelenggaraan negara juga diakui sebagai hukum dasar, dan
tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Karena itu,
Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma
hukum dasar yang tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan
dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke dalam pengertian
konstitusi atau hukum dasar (droit
constitusionnel) suatu negara.
Dalam penyusunan suatu
konstitusi tertulis, nilai-nilai dasar dan norma-norma dasar
yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan negara yang biasa dikenal
sebagai konvensi ketatanegaraan (constitutional
convention) turut
mempengaruhi perumusan suatu ide normatif ke dalam
naskah undang-undang
dasar. Oleh karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi
latar belakang filosofis, sosiologis, politis, ekonomis, dan historis perumusan juridis suatu
ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan cermat dan seksama. Dengan demikian gagasan yang terkandung dalam
rumusan pasal-pasal, ayat-ayat, dan bagian=bagian substantif undang-undang
dasar itu dapat benar-benar mengerti dengan sebaik-baiknya
ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Undang-Undang
Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh
mengerti, kita harus memahami konteks filosofis, sosio-historis, sosio-politis,
sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya.
Di samping itu, setiap kurun waktu dalam
sejarah, memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan
mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of
reference) dan medan pengalaman (field
of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses
pemahaman terhadap suatu ketentuan UUD dapat terus berkembang dalam praktek di
kemudian hari. Karena itu, penafsiran terhadap UUD di masa lalu, masa kini, dan
di masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga UUD tidak menjadi alat
kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah,
menyertai penyusunan dan perumusan naskah undang-undang dasar, diperlukan pula adanya Pokok-Pokok
Pemikiran konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal undang-undang dasar serta keterkaitannya secara langsung
atau tidak langsung terhadap semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
dan Pembukaan UUD 1945.
Undang-Undang Dasar Neagara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1999, 2000, 2001 sampai tahun 2002
merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia untuk memandu
kehidupan bernegara di
masa depan. Isinya mencakup dasar-dasar normatif yang berfungsi sebagai sarana
pengendali (tool of social and political
control) terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika
perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool of social and political reform)
serta sarana perekayaan (tool of social
and political engineering) ke arah cita-cita kolektif bangsa. Belajar dari
kekurangan sistem demokrasi politik di berbagai negara di dunia, yang
menjadikan UUD hanya sebagai konstitusi politik, maka UUD ini juga berisi
dasar-dasar pikiran mengenai demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Karena
itu, UUD ini dapat disebut sebagai konstitusi politik, konstitusi ekonomi dan
sekaligus konstitusi sosial yang mencerminkan cita-cita kolektif bangsa, baik
di bidang politik dan ekonomi maupun sosial-budaya, dengan tetap memelihara
tingkat abstraksi perumusannya sebagai cita hukum (rechtsidee).
Sebagai hukum dasar,
perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang
bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip
kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Pasal-pasal dan
ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya
sebagai hukum dasar, dengan kesadaran bahwa pengaturan yang bersifat rinci akan
ditentukan lebih lanjut dalam UU. Makin elastis suatu aturan, makin terbuka
kemungkinannya untuk menampung dinamika perkembangan zaman, sehingga UUD tidak
lekas ketinggalan zaman (verounderd).
Namun demikian, meskipun perumusan UUD ini bersifat garis besar, haruslah disadari
jangan sampai ketentuan yang diaturnya bermakna ganda atau dapat ditafsirkan
secara sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa.
Oleh karena itu, yang
terpenting adalah semangat dan kemauan politik (political will) para penyelenggara negara. Meskipun dirumuskan
dengan jelas bahwa Undang-Undang Dasar menganut asas kedaulatan rakyat atau
demokrasi, jika para penyelenggara negara tidak berjiwa demokrasi dan tidak
mempunyai tekad dan komitmen untuk mewujudkan demokrasi itu dalam kenyataan
atau hanya menjadikan demokrasi hanya sebagai retorika semata, maka pasal yang
jelas menentukan adanya demokrasi itu tidak akan terwujud dalam praktek.
Sebaliknya, meskipun perumusan Undang-Undang Dasar tidak sempurna, tetapi
semangat para penyelenggara negara bersih dan tulus dalam menjalankan
konstitusi, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, maka kekurangan
dalam perumusan pasal Undang-Undang Dasar tidak akan merintangi jalannya
penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya menuju terwujudnya cita-cita
bangsa berdasarkan kelima sila Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar.
C. RULE OF
LAW DALAM TRADISI ISLAM
1. Kepemimpinan
Personal
Ide negara hukum atau pun ‘rule of law’ seperti diuraikan di atas,
pada pokoknya sejalan dengan praktik yang berkembang dalam pengalaman sejarah
Islam berkenaan dengan tradisi kekuasaan. Dalam Islam, yang dipandang sebagai
panglima tertinggi, bukanlah orang per orang, melainkan sistem aturan
berdasarkan syari’at yang diwahyukan oleh Allah swt dan sunnah yang dicontohkan
oleh Rasulullah. Sejak zaman nabi Muhammad saw, Rasulullah selalu digambarkan
dan menampilkan diri sebagai ‘uswatun
hasanah’, sebagai contoh dan teladan dalam menjalankan segala perintah
Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya[15].
Konsepsi
Islam mengenai kepemimpinan jelas tergambar dalam konsepsi imamah. Dalam
pengertian sehari-hari untuk keperluan yang bersifat praktis, kata al-Imam biasa diidentikkan dengan
pengertian orang yang memimpin atau biasa juga disebut pemiimpin. Dalam pengertian
demikian pemimpin atau al-imam itu tidak lain adalah orang atau persona tokoh
yang menjalankan fungsi kepemimpinan dalam organisasi. Nabi Muhammad saw juga
menyatakan bahwa apabila tiga orang di antara kamu bepergian, maka hendaklah
satu di antara kamu diangkat menjadi pemimpin. Dalam hadits nabi yang lain juga
bahkan ditegaskan bahwa setiap orang adalah pemimpin (ro‘in) yang pada waktunya akan dimintai pertanggungjawaban oleh
Allah atas tugas kepemimpinan yang telah dilaksanakan masing-masing selama di
dunia (Kullumkum, wakullukum mas-ulun an
ro’iyatihi).
Setiap
orang dalam interaksi social satu sama lain diharuskan mengikatkan diri dalam
kelompok atau berorganisasi. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendirian.
Itulah gunanya Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk berpasangan laki-laki dan
perempuan, agar kita tidak hidup bersendirian. Bahkan, terlepas dari pasangan
pria-wanita itu, setiap orang dilahirkan memang cenderung untuk hidup
bermasyarakat, sehingga dalam interaksi social dalam masyarakat, setiap manusia
pasti berkelompok yang didalamnya diperlukan mekanisme pembagian tugas. Untuk
itulah diperlukan kesepakatan tentang diapa yang akan menjadi pimpinan
kelompok. Itulah kurang lebih yang dimaksud oleh nabi Muhammmad saw ketika
menyatakan bahwa apabila kamu bepergian, maka hendaklah seorang di antara kamu
diangkat atau tanpil menjadi pimpinan.
Konsepsi kepemimpinan yang
demikian itu dipertegaskan pula oleh predikat yang diberikan oleh Allah sendiri
kepada setiap pribadi manusia yang disebut-Nya sebagai ‘khalifatullah fil-ardh’
atau Khalifah Allah di atas muka bumi. Kata ‘khalifah’ itu sendiri berarti
‘pengganti’, sehingga perkataan ‘Khalifah Allah’ berarti pengganti Tuhan di
atas muka bumi. Artinya, setiap manusia dapat dipandang sebagai penguasa yang
menggantikan peran Tuhan dalam kehidupan di dunia ini. Manusia adalah penguasa
actual atas peri kehidupan semesta alam, di atas dan di dalam bumi, di lautan,
dan di udara atau diatas dirgantara. Manusia diciptakan oleh Allaw untuk
menjadi makhluk yang menguasai segenap potensi kehidupan.
Konsepsi
‘khalifatullah’ (Khalifah Allah)
tersebut tentu harus dibedakan dari pengertian ‘khalifaturrasul’ (Khalifah Rasul). Khalifah Rasul adalah konsepsi
tentang kepemimpinan umat yang menggantikan posisi Rasulullah sebagai pemimpin
jamaah sesudah nabi Muhammad meninggal dunia. Dengan demikian, apa yang biasa
dipahami sebagai konsep khilafah yang biasa dinisbatkan dengan pengertian
tradisi kepemmpinan Islam bukan penjabaran dari konsepsi “khalifatullah”,
melainkan dengan konsepsi “khaliturrasul”
ini. Pemimpin jamaah umat Islam dipandang sebagai pengganti nabi yang telah
wafat. Karena itulah, para sahabat generasi pertama yang menggantikan peran
kepemimpinan nabi Muhammad saw untuk memimpin kaum Muslimin biasa disebut
dengan “khalifaturrasul”.
Pada masa awal perkembangan
Islam, kepemimpinan generasi pertama itulah yang biasa disebut sebagai periode
‘khulafaurrasyidin’, yaitu di masa Khalifah Abubakar Shiddiq, Khalifah Umar ibn
Khattab, Khalifah Usman ibn Affan, dan Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Keempat
khalifah generasi pertama inilah yang disebut ‘khulafaurrasyidin’ yang
menggambarkan konsep ideal sistem kepemimpinan negara dalam Islam. Namun,
pengertian khalifah sebagai pemimpin itu tidaklah bersifat mutlak. Orang Islam
diharuskan tunduk dan taat kepada pemimpin hanya sepanjang mereka tunduk kepada
hukum syari’at dan dapat dijadikan contoh dalam ketaatan kepada Allah dan
kepada Rasulullah. Karena, kedudukan khalifah itu sendiri dalam kepemimpinan
hanya lah sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw. Yang pokok
untuk ditaati justru adalah syari’at yang diwahyukan oleh Allah, dan sunnah
yang dicontohkan oleh nabi Muhammad di masa hidupnya. Selama para khalifah itu
tunduk dan taat kepada keduanya, maka umat Islam duwajibkan tunduk dan taat
kepadanya, tetapi dalam hal-hal yang bersifat kemaksiatan, umat Islam tidak
diperbolehkan taat kepadanya (la tho’ata li makhlukin fi ma’shiyati al-kholiq).
Hal
lain yang sangat penting ialah keteladanan. Dalam Islam, setiap pemimpin sangat
ditekankan agar berperan sebagai contoh atau teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi sesama. Dalam
bidang ubudiyah, ada beberapa persyaratan yang diperlukan bagi seseorang untuk
diangkat menjadi imam, baik syarat-syarat yang berkaitan dengan spiritualitas
dan moralitas maupun kapasitas dan profesionalitas. Misalnya, untuk menjadi
imam sholat, ukuran pertama yang dipersyaratkan adalah kefasihan membaca
al-Quran dan bacaan-bacaan sholat. Kriteria keasihan itu lebih utama daripada
syarat senioritas usia yang juga dianggap sebagai criteria untuk dipercaya
menjadi imam sholat. Namun apabila orang yang lebih fasih bacaannya meskipun
usianya lebih muda, maka yang lebih fasih itu dianggap lebih memenuhi syarat
untuk dipilih.
Adab atau etika pemilihan
imam sholat itu tentu saja tidak dilakukan dengan persaingan atau perebutan
kedudukan. Dalam sholat, semua orang berhak menjadi imam, kecuali apabila
memang sudah ditentukan adanya imam yang bersifat tetap, seperti misalnya di
suatu jamaah atau di suatu masjid. Dalam keadaan biasa, semua orang dapat
menjadi imam. Akan tetapi, apabila kita tahu bahwa ada orang lain yang lebih
memenuhi syarat daripada kita, maka kita berkewajiban mendorong atau
mendahulukan yang bersangkutan untuk bertindak sebagai imam. Karena itu, dalam
tradisinya, setiap orang cenderung saling mendorong orang lain untuk menjadi
imam sholat berjamaah.
Sikap dan semangat untuk
saling mendorong orang lain menjadi imam tentulah berlaku dalam bidang
ubudiyah, bukan dalam bidang mu’amalah. Namun, moralitas di balik sikap untuk
tidak saling berebutan jabatan itu memang seharusnya tercermin juga dalam kehidupan
bermasyarakatan. Dengan demikian, sikap untuk saling berebut jabatan dan
apabila dengan melakukan apa saja dan dengan segala cara untuk menjadi
menduduki sesuatu jabatan dan untuk mempertahankan jabatan itu dengan segala
cara, bukanlah sikap yang baik di mata agama.
Dalam bidang mu’amalat, sikap
yang demikian itu tentu tidak sepenuhnya dapat dipraktikkan secara mutlak. Namun,
perlu dicatat juga bahwa dalam sholat berjamaah, Apabila ternyata di antara
jamaah dipandang tidak ada yang memenuhi syarat, dan kita tahu bahwa kita lebih
fasih bacaannya daripada yang lain, maka kita juga berkewajiban untuk tampil
menjadi imam. Tidak boleh dibiarkan ada sholat berjamaah tanpa imam atau tanpa
imam yang memenuhi syarat. Dalam kondisi yang terakhir inilah sangat mungkin
muncul adanya beberapa alternatif calon imam. Akan tetapi, bagi calon imam yang
mengerti agama dan memahami bacan-bacaan sholat dengan benar sudah tentu tahu
persis dan dapat membedakan siapa gerangan yang kualitas bacaannya lebih baik,
sehingga bagi yang berkualitas kurang, haruslah tahu diri dengan berkewajiban
untuk mendahulukan calon yang lebih memenuhi syarat.
Yang
sangat mungkin terjadi ialah bahwa di antara sesama jamaah tidak ada yang
saling mengenal akan kemampuan masing-masing orang untuk menjadi imam. Dalam
hal demikian, maka dengan semangat saling mendorong dan mendahulukan orang
lain, tentu dimungkinkan adanya mekanisme “kampanye” terbatas yang bersifat
terbuka. Dalam sholat berjamaah, “kampanye” dimaksud tentu dilakukan oleh orang
lain, yaitu semacam rekomendasi agar si A atau si B yang dipilih. Namun dalam
bidang mualamat, sistem kampanye dimaksud dapat saja dikembangkan secara
lebih rumit dan serius, semata-mata
untuk menjadi keterbukaan atau transparansi agar yang dipilih menjadi pemimpin
benar-benar orang yang memenuhi syarat dan sesuai dengan diharapkan oleh rakyat
atau jamaahnya.
Dengan demikian, tidak salah
bagi masyarakat modern sekarang ini untuk mengembangkan praktik pemilihan
pemimpin melalui pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan
rahasia seperti sekarang. Demikian pula pemilihan-pemilihan pejabat publik
melalui “fit-and-proper test” seperti
yang dipraktikkan dewasa ini juga dapat dibenarkan adanya. Hanya saja, roh atau
semangat pemilihan-pemilihan semacam itu haruslah benar-benar didasarkan atas
semangat saling mendorong dan mendahulukan orang-orang berkualitas dan yang
paling memenuhi syarat untuk menduduki jabatan yang tidak lain merupakan amanat
yang berisi tanggungjawab yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada
waktunya. Pendek kata, setiap jabatan adalah amanah yang berisi tanggungjawab
yang harus sudah seharusnya dipercayakan hanya kepada orang yang memenuhi
persyaratan, baik persyaratan spiritual dan moral, maupun persyaratan kapasitas
dan profesionalitas yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab
jabatan itu.
Dalam
menjalankan tugas jabatannya itu, seseorang wajib bekerja dengan sebaik-baiknya
atau itqon’ untuk mencapai tujuan
dibentuknya organisasi atau jabatan itu. Di samping itu, setiap orang yang
dipercaya menjadi pemimpin haruslah berperan sebagai contoh atau teladan (uswatun hasanah), baik sebagai pribadi
maupun sebagai pejabat atau institusi yang diberi amanat dalam jabatan itu.
2. Kepemimpinan
Sistem
Namun demikian, di samping
pengertian yang bersifat personal dan individual tersenut di atas, ajaran Islam
juga memberikan makna yang lain atas konsepsi pemimpin (al-imam) dan
kepemimpinan (imamah) itu. Pribadi pemimpin atau al-imam hanyalah contoh dan
teladan saja, bukan institusi pemimpin dan kepemimpinan yang sebenarnya. Jika
pribadi tokoh pemimpin atau pun pejabat itu dapat ditiru sebagai teladan, maka
tokoh yang bersangkutan pantas disebut sebagai al-imam, Akan tetapi, jika yang
bersangkutan tidak dapat dijadikan teladan atau bahkan dalam menjalankan
tugasnya ia melakukan hal-hal yang menyebabkan dirinya tidak lagi memenuhi
syarat sebagai pemimpin, maka jamaah diberi kesempatan bebas untuk memisahkan
diri dari barisan pemimpin yang batal itu.
Dalam jamaah sholat prinsip
yang demikian itu juga berlaku. Jika seorang imam batal wudhu dan para jamaah
tahu akan hal itu, atau sang imam diketahui salah dalam membaca al-Quran dan
bacaan-bacaan sholat lainnya, maka apabila imam tersebut sudah diingatkan oleh
jamaah akan kesalahannya itu sebagaimana mestinya tetapi tetap melanjutkan
kesalahannya, maka jamaah juga diperbolehkan dan bahkan diharuskan membentuk
barisan tersendiri. Anggota jamaah yang terdekat dan yang terdepan dapat
bertindak proaktif untuk tampil menjadi imam baru untuk meneruskan sholat
jamaah yang sedang berlangsung. Inilah yang biasa disebut sebagai ‘mufariq’ atau ‘mufaroqoh’ sebagai bentuk
pemisahan diri dari imam yang batal sholatnya.
Dengan perkataan lain, keberadaan
kepemimpinan personal itu sendiri diakui adanya, tetapi kepemimpinan personal
itu bukanlah penentu segala-galanya. Yang lebih menentukan adalah sistem aturan
yang berlaku mengikat untuk semua. Pada kedudukannya yang terpuncak, sistem
aturan yang dimaksud itu tidak lain adalah al-Quran sebagai wahyu dan
hadits-hadits nabi sebagai sunnah Rasul. Sedangkan kepemimpinan personal
hanyalah wayang yang bertindak sebagai teladan yang mencerminkan ketataan
kepada hukum-hukum yang berlaku berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah tersebut.
Oleh karena itu, secara simbolik yang juga biasa disebut sebagai pemimpin atau
al-Imam dalam Islam, justru adalah al-Quran sebagai sumber hokum tertinggi itu.
Hal ini dapat kita lihat
misalnya dalam pelbagai do’a yang diajarkan oleh nabi Muhammad atau yang tumbuh
dan berkembang dalam perkembangan Islam di kemudian hari bahwa al-Quran itulah
yang disebut sebagai al-Imam. Setiap orang Islam dituntut untuk meneguhkan
tekad “Aku ridho bahwa Allah lah Tuhanku, Islam lah agamaku, dan Muhammad lah
yang merupakan nabi dan Rasul bagiku, serta al-Quran lah imam atau pemimpin
bagiku” (Radhitu billahi Rabba, wa
bil-Islami diena, wabi Muhammadin nabiyya wa rasuula, wabil-Qurani imama).
Dari tekad demikian jelas lah bahwa al-Quran itu tiada lain adalah al-imam bagi
kita, sedangkan Muhammad merupakan Nabi dan Rasulullah sebagai ‘uswatun hasanah’ atau contoh dan teladan
bagi kaum yang beriman.
Secara
lebih tegas lagi, hal yang serupa juga dapat kita temukan dalam doa-doa yang
biasa dianjurkan kepada ummat Islam untuk dibaca pada setiap kali selesai
membaca atau mendengar al-Quran dibacakan. Doa dimaksud berbunyi, “Allahumma arhamna bil-quran, waj’alhu lana
imaman, wa nuuro, wa huda ,wa rahmah” (Ya Allah, rahmatilah kami dengan
al-Quran, dan jadikanlah al-Quran itu menjadi imam atau pemimpin, menjadi
cahaya, dan menjadi petunjuk, serta menjadi rahmat bagi kami). Kita mohon
kepada Allah agar menjadikan al-Quran itu sebagai imam, sebagai pemimpin yang
member petunjuk dan memberikan cahaya bagi kehidupan kita serta menjadi rahmat
bagi kita semua.
Dari
kedua hal itu, jelas bagi kita bahwa sesungguhnya, al-Quran itu lah yang harus
dipahami sebagai pemimpin bagi umat Islam. Sedangkan nabi Muhammad saw adalah ‘uswatun hasanah’, yang dapat dijadikan
teladan bagi kita dalam menaati ajaran-ajaran al-Quran itu. Dalam pengertian
yang demikian, al-Quran itu tidak lain merupakan perangkat sistem aturan dan
simbolisasi sistem nilai yang mengatur dan menjadi pedoman kehidupan bagi
orang-orang yang beriman. Pemimpin yang sebenarnya bagi segenap orang yang
beriman tidak lain adalah system aturan itu, bukan persona manusianya yang
menyandang gelar sebagai pemimpim, sebagai pejabat, sebagai ketua, sebagai
kepala, atau pun sebagai presiden dan sebutan-sebutan kepemimpinan lainnya.
Karena
itu, apa pun perintah yang datang dari al-Quran wajib ditaati, terlepas dari
siapa yang menyampaikan perintah itu. Sebaliknya, apa saja yang diperintahkan
oleh atasan kita atau pun oleh para pemimpin kita, berlaku mengikat dan wajib
ditaati hanya apabila perintah-perintah itu sejalan dengan perintah Allah dalam
al-Quran. Jika perintah atasan kita justru bertentangan dengan perintah
al-Quran, maka perintah demikian tidak wajib dan bahkan tidak boleh
dilaksanakan oleh bawahan. Dalam hal ini, pihak bawahan dilindungi oleh hukum
dari akibat ketidaktaatannya kepada perintah atasan yang melanggar hukum itu.
Misalnya, seorang bawahan tidak boleh dipecat oleh atasan hanya karena dia
melanggar perintah atasan, apabila ternyata perintah atasan itu justru
bertentangan dengan hukum. Ajaran Islam menegaskan tidak ada ketaatan dalam
kemaksiatan kepada Allah (la tho’ata li
makhluqin fi ma’siyati al-kholiq).
Pengertian
demikian ini sungguh sangat mirip dengan konsepsi modern yang tumbuh dalam
tradisi ‘common law’ tentang ‘rule of law’ ataupun dalam tradisi
‘civil law’ dengan istilah ‘rechtsstaat’ dari bahasa Jerman. Meskipun berbeda
arti dan latar belakang perkembangannya masing-masing, baik ‘rule of law’ maupun ‘rechtsstaat’ pada pokoknya sama-sama
merupakan konsep mengenai pemerintahan oleh hukum. Doktrin ‘rule of law’ ini secara kontras bahkan
biasa dipertegas dengan perkataan “the
rule of law, not of man”, yaitu bahwa pemerintahan itu adalah oleh hukum,
bukan oleh orang atau manusia. Dalam tradisi ‘civil law’, istilah lain yang biasa digunakan untuk pengertian yang
serupa adalah ‘rechtsstaat’ yang
berasal dari istilah bahasa Jerman dan Belanda. Konsep modern tentang Negara,
tidak lain adalah konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), bukan Negara Kekuasaan
(Machtsstaat). Kedua doktrin Negara Hukum dalam kedua tradisi hukum tersebut,
sebenarnya berkaitan erat dengan konsepsi klasik mengenai nomokrasi (nomocracy) yang berasal perkataan
‘nomos’ dan ‘kratien’ atau ‘cratos’.
Karena itu, banyak sarjana
yang mengembangkan pengertian bahwa konsepsi negara dalam tradisi Islam adalah
nomokrasi. Tahir Azhary, misalnya, lebih melihat konsepsi negara dalam Islam
sebagai nomokrasi daripada demokrasi yang dipandang banyak memiliki distorsi
dan kelemahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i. Jika dalam
demokrasi, yang dianggap berdaulat atau pemegang kekuasaan tertinggi adalah
rakyat (demos+cratos), maka dalam nomokrasi (nomos+cratos), yang berdaulat
adalah hukum, yaitu suatu perangkat sistem aturan yang didatangkan dari luar
kesadaran diri manusia itu sendiri. Dengan pandangan demikian, banyak kalangan
bahkan berpendapat bahwa Islam menentang demokrasi. Yang berdaulat dalam ajaran
Islam adalah Allah swt, bukan rakyat baik secara individualistis seperti dalam
paham liberalism-individualisme maupun secara kolektif seperti dalam ajaran
sosialisme-komunisme.
Dalam
ajaran Islam, yang berdaulat atau yang memegang kekuasaan tertinggi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah Allah swt yang dalam praktiknya
sehari-hari tercermin dalam ketentuan-ketentuan hukum Allah dalam al-Quran dan
Sunnah Rasul. Dengan perkataan lain, prinsip ke-Maha-Kuasaan Tuhan atau
Kedaulatan Tuhan dijelmakan secara konkrit dalam paham Kedaulatan Hukum atau
Negara Hukum. Pandangan demikian inilah yang banyak dianut di kalangan ulama dan
kaum intelektual mazhab Syi’ah, sehingga berkembang konsep yang dinamakan “wilayat al-faqih” yang tercermin dalam
kekuasaan kaum ulama, para ayatollah seperti dalam praktik di Republik Islam
Iran. Konsep “wilayat al-faqih” ini
dapat pula dijadikan sandaran untuk menyatakan bahwa Islam lebih mengutamakan
ajaran kedaulatan hukum daripada ajaran kedaulatan rakyat.
Bahkan,
pandangan demikian ini pulalah yang meyakinkan banyak sarjana Muslim sendiri
bahwa sesungguhnya ajaran Islam itu memang menolak gagasan demokrasi. Bahkan
ada yang menyatakan bahwa sistem demokrasi itu haram dan kafir hukumnya.
Demokrasi berasal dari filsafat barat yang jelas bertentangan dengan pandangan
Islam. Secara ekstrim, pengertian seperti ini tercermin, misalnya, dalam
pandangan para penganut paham dan penganjur ide ‘khilafah Islamiyah’ dalam pengertian pemerintahan global yang
dikaitkan dengan pengertian masa kekhalifahan dunia Islam di masa sepeninggal
nabi Muhammad saw pada abad 6-13M. Dalam masyarakat kita dewasa ini, tidak
sedikit orang yang menganut paham demikian. Bahkan dewasa ini terdapat
organisasi pergerakan yang sangat aktif mengusul ide kekhilafahan dalam
pengertiannya yang demikian ini.
D. ISLAM
DAN DEMOKRASI
Pertanyaan yang biasa
diajukan oleh banyak sarjana Muslim ialah apakah Islam memang mengenal konsep
mengenai negara yang bersifat khas? Apakah benar pandangan sebagian orang yang
menyatakan bahwa Islam menentang demokrasi?[16]
Beberapa sarjana Muslim seperti Nurcholish Madjid, Gus Dur, dan lain-lain,
misalnya, termasuk kaum intelektual yang biasa mengajukan tesis bahwa
sebenarnya Islam tidak memiliki sistem ajaran tersendiri mengenai bentuk negara
yang bersifat final. Karena itu, paham Negara Islam sebagai bentuk yang
tersendiri adalah utopia yang tidak berdasarkan doktrin maupun fakta empirik
dalam sejarah peradaban Islam sendiri. Bagi mereka ini, ajaran Islam jelas
mengandung prinsip-prinsip ajaran yang bersifat demokratis. Tetapi bagi
kelompok sarjana Muslim yang lain, konsep demokrasi itu dianggap berasal dari
barat dan karena itu harus ditolak tanpa diskusi.
Menurut pendapat saya, kita
harus memahami benar bahwa sebenarnya konsep demokrasi itu sendiri harus
dibedakan antara pengertiannya di zaman modern sekarang dengan perkembangan
pengertiannya yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejak dari zaman
Yunani kuno. Pada mulanya, di zaman Plato dan Aristoteles, istilah demokrasi
itu sendiri, bukanlah sesuatu gagasan yang dianggap ideal. Di zaman itu, istilah
demokrasi itu bahkan dipandang sebagai penyimpangan dari konsep negara yang
ideal. Yang dianggap ideal di zaman
Yunan kuno adalah plutokrasi, bukan demokrasi.
Di samping itu, Plato
sendiri menulis buku “Republics” dan
“Nomoi” (The Laws) yang berisi
impian-impiannya tentang negara ideal itu. Dari buku “Republics” inilah lahir
kemudian doktrin mengenai “The
philosophers King”, sedangkan dari buku “Nomoi” selanjutnya berkembang
doktrin mengenai nomokrasi dalam sejarah filsafat politik dan hukum. Ketika
itu, tidak ada pandangan yang mengagungkan ide demokrasi seperti yang
berkembang luas di zaman modern dewasa ini. Wacana demokrasi malah dihindari
karena dianggap sangat buruk.
Buruknya pengertian mengenai
demokrasi itu menyebabkan bahwa di masa-sama sesudahnya, istilah demokrasi juga
tidak pernah muncul dalam perbincangan mengenai konsep-konsep negara ideal
dalam sejarah. Sampai berkembangnya Islam di Timur Tengah pada abad ke-7 M,
istilah demokrasi itu juga belum dikenal dengan konotasi sebagai konsep yang
ideal. Bahkan, sampai abad ke 7 M itu, dalam sejarah politik umat manusia belum
dikenal adanya sistem pergantian kekuasaan tidak dengan berdasarkan hubungan
darah. Bahkan dalam konsep negara republik yang digambarkan oleh Plato dalam
bukunya “Republics”, yang memimpin
negara ideal itu tetap lah seorang Raja, yaitu Raja yang filosof atau Raja yang
memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dan kualitas pemikiran di atas
rakyatnya atau di atas warga masyarakatnya.
Di sepanjang sejarah sampai
ke masa nabi Muhammad memimpin komunitas Muslim di Madinah, tidak dikenal
adanya pemimpin yang tidak diangkat berdasarkan keturunan. Sejak usia 40 tahun,
Muhammad mendapatkan wahyu dari Allah dan mendapatkan kepercayaan warga untuk
memimpin jamaah kaum yang beriman dalam bermasyarakat dan berorganisasi. Dalam
kapasitas kepemimpinannya di tengah-tengah masyarakat kota Madinah setelah
peristiwa Isra’ dan Mi’raj, nabi Muhammad tidak ubahnya berfungsi ganda, di
satu pihak sebagai Nabi dan Rasul, tetapi pada saat yang sama ia juga menjadi
pemimpin ‘negara’ seperti dalam pengertian modern dewasa ini.
Nabi Muhammad saw lahir
menjadi nabi dan rasul serta menjadi pemimpin komunitas dan organisasi
masyarakatnya atau negara, bukan karena ia merupakan keturunan nabi atau rasul
sebelumnya seperti nabi Ismail, nabi Ishak, dan sebagainya. Muhammad juga bukan
merupakan keturunan Raja yang berkuasa sebelumnya. Ia adalah orang biasa yang
kemudian terpilih menjadi nabi dan rasul serta terpilih melalui kesuksesan
usaha dakwahnya sendiri menjadi pemimpin masyarakat kota Madinah. Kemudian,
kepemimpinannya terus berkembang karena jumlah jamaahnya terus meningkat, dan
jangkauan wilayah yang dikuasainya terus meluas ke kota-kota lain di luar kota Madinah.
Karena itu, dapat dikatakan, Muhammad lah yang lahir menjadi pemimpin pertama
organisasi kekuasaan “negara” yang tidak berdasarkan keturunan darah.
Karena itu, sesudah nabi
Muhammad saw wafat, timbul masalah mengenai proses pergantian kepemimpinan
pengganti beliau selanjutnya. Lagi pula, al-Quran dan hadits-hadits yang
ditinggalkan oleh nabi, sama sekali tidak memberikan pedoman teknis untuk
melakukan proses penggantian itu dengan mekanisme tertentu. Akhirnya para
sahabat nabi harus merumuskan dan menentukan sendiri mekanisme pergantian kepemimpinan
itu berdasarkan kesepakatan bersama. Pada tahap awal perkembangan sistem
politik yang dibangun secara empirik dalam praktik di masa khulafaurrasyidin,
mekanisme pergantian itupun berkembang mengikuti kebutuhan dan kesepakatan
bersama.
Pengangkatan atau pemilihan
Khalifah Abubakar Siddik jelas berbeda dari cara pemilihan atau pengangkatan
Khalifah Umar ibn Khattab. Demikian pula pada pergantian dari Khalifah Umar ke
Khalifah Usman ibn Affan, dan dari Usman ibn Affan ke Ali ibn Abi Thalib, jelas
berbeda-beda satu dengan yang lain. Mekanisme pergantian kepemimpinan pada
periode khalifaurrasyidin sama sekali belum berpola secara tetap. Namun, meski
belum berpola secara tetap, yang pasti ialah pergantian dari nabi ke Abubakar,
lalu ke Umar, kemudian ke Usman, ke Ali ibn Abi Thalib, dan terakhir ke
Khalifah Mu’awiyah ibn Abi Sofyan, tidaklah didasarkan atas prinsip keturunan.
Sistem keturunan baru terjadi lagi, sesudah kepemimpinan Mu’awiyah ibn Abi
Sofyan yang diteruskan oleh puteranya.
Inilah periode ideal sistem
politik baru yang diperkenalkan oleh kaum Muslimin dalam enam pola kepemimpinan
pada abad ke 6M. Di zaman Plato, konsep republik yang diidealkannya masih tetap
dipimpin oleh raja dengan keturunan-keturunannya berdasarkan prinsip hubungan
darah. Tetapi di masa nabi Muhammad dan para sahabat generasi pertama,
pergantian kepemimpinan tidak lagi didasarkan atas keturunan darah. Lalu
bagaimanakah proses peralihan kepemimpinan itu terjadi dalam praktik abad ke-6
itu?
Nabi Muhammad sendiri diakui
sebagai pemimpin oleh jamaahnya semata-mata hanya didasarkan atas adanya ‘social-trust’ yang timbul dari
pengalaman praktik kepemimpinan bermasyarakat. Warga masyarakat percaya
kepadanya sehingga ia disebut sebagai “al-amin”
jauh sejak Muhammad belum diangkat menjadi Rasul oleh Allah swt. Kepercayaan
itu tumbuh dan berkembang, tidak saja dari kalangan yang beriman, tetapi juga
dari kalangan yang tidak beriman. Ketika menjadi pemimpin di kota Madinah,
Muhammad tidak saja dipercaya sebagai pemimpin oleh kaum Muslimin, tetapi juga
oleh semua kalangan yang sama-sama mengikatkan diri dalam perjanjian bersama
Piagam Madinah.
Karena itu, dapat dikatakan
bahwa Muhammad adalah pemimpin pertama yang lahir dari praktik demokrasi dalam
sejarah umat manusia. Sesudah itu, adalah Abubakar Siddik yang kemudian
dibai’at oleh para sahabat yang dimotori oleh Umar ibn Khattab untuk bertindak
sebagai pemimpin pengganti nabi, atau disebut “khalifatu al-rasul” atau
pengganti rasul. Sistem “bai’at” itu
jika kita dalami pengertiannya, tidak lain merupakan mekanisme pemilihan umum
atau pemilihan demokratis seperti yang kita kenal di zaman modern dewasa ini.
Ketika Khalifah Abubakar Siddik wafat, maka ia digantikan oleh Umar ibn Khattab
yang dipilih secara musyawarah oleh “ahlul halli wal ‘aqdi” yang terdiri atas
beberapa orang sahabat. Para sahabat yang duduk dalam keanggotaan “ahlul halli
wal ‘aqdi” itu tidak ubahnya sebagai lembaga perwakilan seperti yang kita kenal
dewasa ini. Dari kedua pola pemilihan khalifah rasul, yaitu Khalifah Abubakar
Siddik dan Khalifah Umar ibn Khattab tersebut, kita dapat merumuskan adanya
sistem pemilihan langsung dan sistem pemilihan tidak langsung atau perwakilan
yang dipraktikkan di masa awal pertumbuhan Islam.
Selain itu, dalam praktik
kepemimpinan Rasulullah, dikenal pula adanya sistem permusyawaratan yang
digunakan nabi dalam setiap proses pengambilan keputusan mengenai urusan-urusan
publik. Di luar urusan wahyu dari Allah swt, nabi Muhammad dikenal tidak pernah
mengambil keputusan apa pun juga kecuali melalui musyawarah dengan sesama para
sahabat. Bahkan, untuk urusan-urusan yang penting dan menyangkut kepentingan
orang banyak dan masyarakat yang luas, Rasulullah selalu mengundang tokoh-tokoh
sahabat yang berasal dari kabilah, suku, atau pun kalangan-kalangan yang
bersangkutan untuk diajak bermusyawarah. Itu lah sebabnya maka dalam al-Quran
terdapat 2 (dua) ayat yang sangat penting mengenai prinsip musyawarah itu.
Dalam QS. dinyatakan,
“Wasyawirhum fil-amri” (Dan bermusyawarah lah kamu dalam urusan-urusan yang
kamu hadapi). Kemudian dalam QS ditegaskan pula, “Wa amruhum syuro bainahum”
(Dan dalam urusan-urusan mereka, mereka saling bermusyawarah satu sama lain).
Pada suatu hari, ketika jumlah umat Islam sudah bertambah banyak di kota
Madinah, dan untuk menjaga agar kepentingan perbelanjaan umat Islam dapat
diatasi sendiri oleh kaum Muslimin, maka oleh nabi diundanglah pertemuan di
masjid untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pasar. Salah satu
kesimpulan dan keputusan yang diambil oleh Rasulullah dari pertemuan itu adalah
keputusan untuk mendirikan pasar yang dikelola sendiri oleh umat Islam. Dengan
begitu, kaum Muslimin tidak akan tergantung kepada pasar yang dikendalikan oleh
orang Yahudi yang anti Islam ketika itu. Keputusan itu diambil melalui musyawarah
bersama dengan melibatkan wakil-wakil berbagai kelompok umat Islam, yang dapat
kita ibaratkan seakan-akan merupakan pembicaraan mengenai kebijakan legislasi
di lembaga perwakilan modern untuk memutuskan dibentuknya pasar dan kebijakan
ekonomi untuk kepentingan bersama.
Banyak sekali contoh-contoh
yang dapat dikemukakan mengenai praktik pengambilan keputusan dalam
urusan-urusan kehidupan bersama di masa nabi Muhammad, dan di masa
khulafaurrasyidin yang semuanya dilakukan dengan musyawarah. Artinya, dalam urusan
duniawi dan mu’amalat, nabi Muhammad tidak pernah membuat keputusan sendiri
tanpa musyawarah. Selain itu, dalam urusan-urusan duniawi itu, proses
pengambilan keputusan selalu melibatkan konstituen atau pun para pemangku
kepentingan (stake-holders) yang
terkait. Jika diperhatikan, sebenarnya, mekanisme pengambilan keputusan seperti
yang demikian ini jugalah yang dipraktikkan oleh sistem demokrasi modern dalam
mengambil keputusan politik untuk kepentingan bersama.
Mengapa permusyawaratan
dianggap sangat penting dalam sistem sosial Islam? Alasan konseptualnya jelas,
karena Islam sangat menekankan kedudukan setiap manusia sebagai pribadi yang
otonom, yang masing-masing orang per orang diberi predikat sebagai ‘khalifah’
Allah di atas muka bumi. Berbeda dari pengertian ‘khalifah rasul’, ‘khalifah
Allah’ adalah konsep tentang seluruh umat manusia yang dipandang sebagai
khalifah atau pengganti Tuhan untuk mengolah dan mengelola kehidupan di atas
muka bumi. Dengan status yang sama sebagai khalifah Tuhan, maka setiap manusia
bersifat otonom, berkesamaan dan bersifat egaliter. Oleh sebab itu, dalam
proses pengambilan keputusan untuk kepentingan yang sama, semua orang harus
diperlakukan sama (equal treatment),
tidak boleh ada diskriminasi atas dasar ras dan kesukuan. Bahkan, diskriminasi
juga dilarang atas dasar perbedaan jenis kelamin maupun perbedaan keyakinan
beragama.
Karena alasan demikian
itulah maka musyawarah menjadi sangat penting. Tidak ada keputusan untuk
kepentingan bersama yang dapat diambil tanpa adanya permusyawaratan. Dari
permusyawaratan itulah ragam nilai kebenaran dan aneka kepentingan serta
pandangan dapat diperbincangkan bersama untuk mencapai kesatuan pandangan
tentang sesuatu yang benar, baik dan tepat untuk diputuskan. Melalui
permusyawaratan semacam itu substansi kebenaran dan keadilan akan jauh mendapat
penghargaan di atas jumlah suara yang menjadi dasar pengambilan keputusan yang
bersifat procedural. Melalui proses musyawarah itu pula demokrasi substantive
dapat dibangun dan dikembangkan di atas demokrasi yang hanya bersifat
procedural. Pendek kata, sistem permusyawaratan yang ditekankan dalam tradisi
Islam itu justru menggambarkan konsep yang ideal tentang konsep demokrasi yang
sebenarnya sebagaimana dipahami dalam sistem modern sekarang ini. Demokrasi
yang berkualitas, tidak saja bersifat procedural (procedural democracy), tetapi juga harus bersifat substantive (substantive democracy).
Jika setiap orang
diperlakukan bersifat otonom dengan kedudukan yang sama sebagai subjek khalifah
Tuhan dalam kehidupan, maka pengertian kita tentang kekuasaan dapat dikaitkan
dengan pengertian kedaulatan rakyat atau kedaulatan setiap manusia dalam
mengolah dan mengelola kehidupan bersama. “All
men are created equal”, dan semuanya atas nama Tuhan mempunyai kedudukan
sebagai khalifatullah. Karena itu, prinsip ke-Maha-Kuasaan Tuhan dalam
praktiknya dapat terjelma dalam prinsip kedaulatan manusia, atau kedaulatan
rakyat. Artinya, pemahaman agama tentang kekuasaan tertinggi yang berasal dari
Allah swt tidak perlu dipertentangkan dengan pengertian kedaulatan rakyat atau
demokrasi. Tuhan Yang Maha Kuasa itu, dalam praktik konkritnya, justru terjelma
dalam paham kedaulatan rakyat. Karena itu, muncul adagium yang menyatakan
“Suara rakyat adalah suara Tuhan”. Pernyataan ini tidak boleh ditafsirkan
seolah-olah rakyat dipertuhankan atau rakyat diidentikkan dengan Tuhan.
Pernyataan itu haruslah dipahami dalam maknanya yang bersifat simbolik bahwa
suara rakyat itu merupakan penjelmaan konkrit dari suara Tuhan Yang Maha Berkuasa
atas manusia.
Tentu saja, apa yang
dipraktikkan oleh nabi Muhammad dan para sahabat di zamannya itu sama sekali
belum atau tidak disebut dengan istilah demokrasi seperti dewasa ini. Apalagi,
sampai ke zaman nabi Muhammad, istilah demokrasi itu sendiri pun belum berubah
dan berkembang menjadi istilah yang dipandang positif dan ideal. Istilah
demokrasi dalam pengertian yang ideal baru timbul dalam sejarah modern, sesudah
adanya pengalaman praktik selama berabad-abad dalam sejarah politik Islam
sampai abad ke-13M yang menggambarkan ide-ide dan prinsip-prisnip yang
dikemudian hari kita kenal dengan istilah demokrasi dengan memanfaatkan istilah
Yunani kuno yang dulunya pernah dihindari karena dianggap negatif.
Apa
yang kita pahami dewasa ini sebagai prinsip-prinsip demokrasi, sudah
dipraktikkan dalam sejarah Islam, bahkan dimulai sejak zaman nabi Muhammad
sendiri. Nabi Muhammad lah tampil menjadi pemimpin tidak berdasarkan keturunan
dan kemudian diteruskan kepemimpinannya oleh orang lain juga tidak berdasarkan
keturunan. Khalifah Abubakar Siddik lah yang dapat dipandang sebagai khalifah
atau pemimpin pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yaitu melalui
mekanisme bai’at yang dimotori oleh Umar ibn Khattab dan kemudian diikuti oleh
semua sahabat sepeninggal nabi Muhammad. Nabi Muhammad pula yang pertama
mempraktikkan sistem permusyawaratan berdasarkan sistem perwakilan antar suku
dan kabilah serta antar kalangan warga dalam mengambil keputusan-keputusan
penting menyangkut pelbagai kepentingan bersama.
Dari praktik-praktik empiris
yang demikian, tidak dapat tidak kita harus mengakui bahwa sebenarnya Islam lah
yang justru pada awalnya mempelopori dipraktikkannya ide-ide dan
prinsip-prinsip demokrasi yang dikenal di zaman modern dewasa ini. Orang Islam
yang menolak ide demokrasi dewasa ini jelas karena mereka memberi makna yang
salah kepada istilah demokrasi itu sendiri yang secara simbolik dianggap
mewakili atau mencerminkan pandangan yang berasal dari peradaban barat. Padahal
istilah demokrasi itu sendiri bukan berasal dari mana-mana. Dalam pengalaman
praktik di barat sendiri, yaitu di Yunani kuno, perkataan demokrasi itu justru
pada mulanya tidak dianggap positif dan ideal melainkan sangat negatif dan
buruk. Konsep demokrasi baru dipandang baik dan ideal karena ditemukannya
pelbagai ide dan prinsip dalam praktik di sepanjang sejarah umat manusia sejak
zaman awal perkembangan Islam yang kemudian dianggap tepat untuk disebut dengan
istilah demokrasi.
Karena itu, bagi orang
Islam. menolak ide demokrasi itu sebenarnya dapat diibaratkan sebagai orang
Arab yang menerjemahkan kata alcohol dalam kamus Arab modern dengan tanpa
menyadari bahwa asal kata ‘alcohol’ sendiri pada mulanya justru berasal dari
bahasa Arab sendiri. Tentang kata demokrasi, tentu harus diakui ia berasal dari
bahasa Yunani kuno, tetapi pemberian makna yang bersifat positif atas kata
demokrasi itu pada mulanya justru berasal dari praktik-praktik baru yang
dikembangkan oleh umat Islam sendiri sejak zaman nabi Muhammad dan periode
khulafaurrasyidin.
Lagi pula, dalam bahasa
pergaulan umat manusia di zaman sekarang, tidak banyak lagi bangsa (untuk tidak
menyebutnya tidak ada lagi orang atau bangsa) yang secara retorik tidak
mengklaim menganut paham demokrasi. Demokrasi dan bahkan hak asasi manusia
praktis sudah menjadi bahasa dunia, bahasa pergaulan dalam bernegara dan dalam
pergaulan antar negara. Karena itu, daripada menolak sesuatu yang sudah menjadi
milik bersama umat manusia, jauh lebih produktif bagi siapapun juga untuk ikut
serta berlomba-lomba memberikan makna yang tepat dan benar mengenai konsep
demokrasi menurut ukuran filosofi dan keyakinan-keyakinan kita masing-masing.
Dengan perkataan lain, tidak
salah bagi kaum Muslimin untuk berpendirian bahwa konsep demokrasi tidak
bertentangan dan bahkan sangat sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Malah dari uraian di atas kita juga dapat berkesimpulan bahwa Islam lah yang
justru pertama kali menumbuh-suburkan praktik ideal mengenai apa yang di kemudian
hari dinamakan orang dengan demokrasi. Karena itu, Islam itu sangat demokratis,
dan demokrasi itu sendiri dapat dianggap sangat Islamis. Dalam praktik dewasa
ini, Negara-negara besar anggota Organisasi Konferensi Islam juga sebagian
besar telah mengadopsikan ide-ide dan prinsip-prinsip demokrasi itu dalam
praktik sistem ketatanegaraan masing-masing. Negara-negara berpenduduk
mayoritas Islam seperti Indonesia, Turki, Pakistan, Mesir, dan bahkan Iran
dapat dipandang cukup berhasil dalam menerapkan sistem demokrasi itu dalam
praktik. Bahkan, dengan suksesnya sistem demokrasi yang dikembangkan di
Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia semakin membuktikan bahwa
Islam dan Demokrasi dapat berjalan beriringan satu dengan yang lain.
E.
BENTUK KHILAFAH DAN REPUBLIK
Khusus
mengenai bentuk negara, antara bentuk republik atau kerajaan, dapat pula kita menghubungkannya
dengan perdebatan yang tak kunjung tuntas mengenai konsep Negara Islam yang
biasa dinisbatkan dengan ide internasionalisme dan konsep khilafah. Seperti
sudah dijelaskan di atas, kita harus membedakan antara pengertian ‘khalifatullah’ dan ‘khalifaturrasul’. Khalifatullah adalah konsep tentang kedudukan
setiap manusia di mata Allah. Di mata Allah, manusia tidak lain adalah
hamba-Nya dan sekaligus khalifah-Nya. Sebagai objek kita adalah hamba Allah
yang wajib tunduk pasrah kepada Allah, sedangkan sebagai subjek kita adalah
khalifah pengolah dan pengelola alam semesta untuk kehidupan bersama.
Dari
konsepsi kekhalifahan manusia itu kita dapat mengembangkan gagasan-gagasan
berorganisasi yang kita nisbatkan sebagai sistem demokrasi. Sedangkan itu, dari
konsepsi mengenai kepemimpinan oleh sistem aturan atau sistem hukum, kita dapat
mengembangkan pengertian mengenai gagasan negara hukum atau nomokrasi. Sementara
itu, dari konsepsi mengenai ‘khalifatullah’
kita dapat mengembangkan konsep-konsep dasar tentang otonomi dan kebebasan
setiap manusia yang menjadi dasar filosofis bagi dikembangkannya sistem
demokrasi dalam tradisi Islam. Namun, dari konsepsi mengenai ‘khalifaturrasul’, kita justru dapat
menemukan pengertian sistem kepemimpinan model baru yang di zaman nabi sama
sekali belum ada contohnya dalam sejarah umat manusia.
Pemimpin
suatu kaum atau komunitas yang dalam pengertian modern yang berkembang semakin
kompleks dapat kita kaitkan dengan pengertian kepemimpinan negara. Pemimpin
negara itu dalam tradisi kekhalifahan dipahami sebagai pejabat pengganti
rasulullah dalam memimpin jamaah kaum Muslimin dalam berorganisasi negara. Jika
sebelum Islam, para pemimpin negara itu selalu diangkat berdasarkan keturunan,
maka sejak zaman nabi dan khulafaurrasyidin, pergantian kepemimpinan terjadi
tidak berdasarkan hubungan darah, melainkan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat rasional dan melalui proses pengambilan
keputusan yang bersifat demokratis melalui permusyawaratan substantif.
Karena itu, menurut pendapat saya,
bentuk kekhalifahan organisasi Negara di masa-masa awal pertumbuhan Islam,
khusus yang tercermin dalam lima khalifah pertama, tidak lain adalah bentuk
negara republik. Kelima khalifah pertama itu adalah (i) Abubakar Siddik, (ii)
Umar ibn Khattab, (iii) Usman ibn Affan, dan (iv) Ali ibn Abi Thalib, serta (v)
Mu’awiyah ibn Abi Sofyan. Meskipun yang biasa disebut sebagai khulafaurrasyidin
hanya empat saja, yaitu tidak termasuk Mu’awiyah ibn Abi Sofyan, tetapi
setidaknya pengangkatan Mu’awiyah menjadi khalifah sesudah Ali ibn Abi Thalib
juga tidak didasarkan atas hubungan keturunan dengan Ali ibn Abi Thalib.
Mu’awiyah sendiri dapat dianggap menyalahgunakan kekuasaan yang direbutnya dengan
penuh kelicikan dan dengan kembali menghidupkan tradisi kerajaan seperti yang
dipraktikkan di zaman jahiliyah, sehingga kepemimpinannya diteruskan secara
turun temurun oleh anak dan cucunya sendiri. Mu’awiyah sendiri ditetapkan
menjadi Khalifah penerus Khalifah Ali ibn Abi Thalib melalui kudeta berdarah
sebagai salah satu contoh pola suksesi atau pergantian kekuasaan yang sering
terjadi dalam semua tradisi dan dalam semua sistem.
Kudeta
itu sendiri sering terjadi dalam sejarah umat manusia dimana saja, baik dalam
sistem kerajaan maupun dalam sistem republik. Namun, sebelum zaman Islam,
kudeta hanya terjadi dalam sistem kerajaan. Raja yang satu ditumbangkan,
diganti dengan raja yang baru. Dari waktu ke waktu, dinasti demi dinasti datang
dan pergi sebagaimana digambarkan dalam buku Mukaddimah Ibnu Khaldun dan buku
Le Prince karya Nicolo Machiavelli.
Sebelum
Islam, dapat dikatakan bahwa praktik pergantian kekuasaan di mana-mana hanya
terjadi melalui cara turun temurun atau melalui perebutan kekuasaan (kudeta). Memang
benar dalam bukunya “Republics”,
Plato mengidealkan negara “res publica”
atau negara yang mencerminkan kekuasaan oleh rakyat, kekuasaan oleh public
seperti yang tercermin dalam istilah ‘republik’. Namun yang memimpin negara
dimaksud tetaplah seorang raja atau ratu. Hanya saja, yang diimpikan oleh Plato
untuk menjadi pemimpin yang ideal itu adalah seorang “Philofopher’s King”, yaitu seorang raja filosof. Karena itu, negara
yang ideal itu tetap saja berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh raja atau ratu.
Lagi
pula, impian Plato tentang “res publica”
itu barulah dalam tataran wacana filosofis. Dalam praktik sistem organisasi
bernegara di Athena, di Sparta, dan di tempat-tempat lain di dunia ketika itu,
tetap lah merupakan bangun organisasi yang berbentuk kerajaan dengan proses
pergantian kekuasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara
turun-temurun. Memang banyak terjadi pergantian kepemimpinan melalui perebutan
kekuasaan atau kudeta di sepanjang sejarah umat manusia. Fenomena kudeta itu
betapapun merupakan penyimpangan dari tradisi yang baku. Hal ini memang sering
terjadi dalam sejarah, tidak saja di lingkungan kerajaan tetapi juga di
lingkungan siste pemerintahan non-kerajaan. Dengan perkataan lain, konsepsi
tentang republik di zaman Yunani kuno itu seperti yang diimpikan oleh Plato itu
belum lah menjadi gambaran kenyataan ketika itu dan bahkan di masa-masa
sesudahnya.
Hanya
saja, dalam sistem pemerintahan kerajaan yang disebut oleh Plato dengan ‘res publica’ itu dibayangkan bahwa dalam
penyelenggaraan kekuasaan sehari-hari sudah dengan sendirinya raja harus
menyerap aspirasi rakyat banyak untuk kepentingan umum. Karena para raja,
bagaimanapun juga memang haruslah melayani kepentingan rakyat, bukan melayani
kepentingannya sendiri. Oleh sebab itu, yang ideal diangkat menjadi raja
menurut Plato haruslah mereka yang memenuhi kualifikasi sebagai filosof, yang
memiliki kecerdasan dan pemahaman yang luas dan mendalam mengenai
masalah-masalah kepentingan umum. Demonstrasi rakyat kota, perlawanan mereka,
dan bahkan kekuatan mereka dapat menumbangkan kekuasaan raja, meskipun dari
perlawanan itu akan muncul raja baru yang nantinya juga akan mewariskan tahta
yang dikuasainya kepada anak-cucunya sendiri untuk generasi berikutnya.
Dalam
kaitan itulah maka praktik yang terjadi pada awal perkembangan sejarah Islam,
mulai dari masa kepemimpinan nabi Muhammad sampai tampilnya Mu’awiyah ibn Abi
Sofyan menjadi Khalifah dinasti Ummaiyah pertama, sungguh sangat penting untuk
dicatat secara tersendiri. Tampilnya Muhammad menjadi pemimpin, di samping
sebagai nabi dan rasul tidak didasarkan atas keturunan, melainkan karena adanya
‘social trust’ dan ‘social support’ dari masyarakat. Karena
itu, bagi Montgomery Watt, kedudukan Muhammad ketika itu adalah nabi/rasul
(Prophet) dan sekaligus merupakan negarawan (statesman)[17].
Demikian pula tampilnya Abubakar Siddik menjadi Khalifah didasarkan atas “bai’at” atau konkritnya berdasarkan
pemilihan umum yang bersifat langsung dan terbuka yang dimotori oleh Umar ibn
Khattab.
Banyak
orang yang salah memahami konsepsi “bai’at”
itu yang sebenarnya. Dalam praktik, tokoh-tokoh pergerakan biasa menggunakan
istilah “bai’at” itu untuk mengambil
sumpah agar para pengikutnya tunduk dan taat kepada pimpinan yang membai’at.
Kebiasaan demikian ini tentu saja sangat salah. Bai’at itu sendiri yang benar
adalah seperti yang dilakukan Umar ibn Khattab ketika membai’at Abubakar Siddik
menjadi khalifah pengganti nabi. Sesudah Umar ibn Khattab menyatakan “bai’at”
nya maka para sahabat lainnya berbondong-bondong menyatakan dukungan juga
kepada Abubakar dan membai’atnya menjadi khalifah. Dengan perkataan lain,
bai’at kepemimpinan itu bukanlah tindakan atas kepada bawahan, melainkan
sebaliknya dari bawahan kepada atasan. Dengan bai’at itu lah rakyat menyatakan
dukungannya kepada khalifah, persis seperti pemungutan suara dengan mana rakyat
menentukan pilihannya untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin yang mereka
percayai.
Oleh
karena itu, sistem bai’at yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab kepada Abubakar
Siddik itu, menurut pendapat saya, dapat disebut sebagai cikal bakal sistem
pemilihan kepala negara yang pertama dalam sejarah umat manusia. Karena itu,
sistem khilafaturrasul yang dipraktikkan di zaman sepeninggal nabi Muhammad
tidak lain dan tidak bukan adalah sistem republik yang diimpikan Plato di zaman
Yunani kuno. Impian Plato tentang “res
publica” dituliskannya dalam buku “Republics”
belum dapat dipraktikkan di zamannya. Impiannya itu baru dipraktikkan setelah
masa nabi Muhammad menjadi pemimpin yang kemudian setelah meninggal dunia
digantikan oleh Khalifah Abubakar Siddik.
Sejak
Abubakar dipilih menjadi khalifah, 4 khalifah berikutnya juga ditabalkan
menjadi “amirul mu’minin” dengan cara
yang tidak bersifat turun temurun. Bersamaan dengan itu, seperti sudah
diuraikan di atas mengenai pandangan Islam mengenai tradisi demokrasi pada
bagian terdahulu, semua masalah yang menyangkut kepentingan umum selalu
diputuskan oleh para khalifah secara musyawarah dengan melibatkan pihak-pihak
yang terkait sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan. Hal demikian ini tidak
lain merupakan sistem demokrasi yang bersifat substantif dalam proses
pengambilan keputusan yang dipraktikkan dalam tradisi politik Islam sejak zaman
nabi.
Karena
itu, konsep Khilafah Islamiyah sebenarnya tidak lain merupakan konsep republik
seperti yang diimpikan Plato dan seperti yang pertama kali diterapkan dalam
praktik di zaman nabi Muhammmad dan masa khulafaurrasyidin. Dengan demikian,
sudah seharusnya perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai pengertian “Khilafah Islamiyah” yang bersifat global
seperti yang diimpikan oleh banyak kalangan segera diakhiri saja. Suatu
republik, jika berkembang maju dan kuat dapat saja meluas pengaruhnya ke
seluruh dunia. Misalnya republik Amerika Serikat yang ada sekarang sangat luas
pengaruh kekuasaannya di seluruh dunia. Jika ada satu-dua republik yang
mayoritas penduduknya adalah umat Islam, lalu berkembang sangat maju dan kuat,
baik secara militer, secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan, maka negara
Muslim dimaksud tidak sulit untuk berperan seperti satu kekhalifahan yang kuat
seperti di masa-masa lalu, yaitu kekhalifahan Islam antara abad ke-6 sampai
dengan abad ke-13, atau setidaknya seperti kekhalifahan Ottoman sampai abad
ke-19 dan sebelum Perang Dunia Pertama yang masih dikenal sangat kuat pengaruhnya
di dunia.
Tradisi-tradisi
yang tumbuh dan hidup dalam sejarah Islam dapat ditafsirkan tidak menolak
sistem republik. Bahkan tradisi Islam itu lah yang justru pertama kali
menerapkan prinsip-prinsip yang di kemudian hari kita kenal sebagai konsep republik
dan konsep demokrasi. Konsep republik yang diidealkan dan konsep demokrasi yang
dipandang buruk di masa Plato, justru dipraktikkan dengan baik di masa awal
perkembangan Islam, dan dari sana terus dikembangkan menjadi tradisi politik
modern sampai dengan sekarang.
F.
PIAGAM MADINAH, KONSTITUSI TERTULIS PERTAMA
Di samping adanya
prinsip-prinsip doktrin negara hukum (nomokrasi), prinsip-prinsip demokrasi
permusyawaratan, dan bentuk negara republik sebagaimana diuraikan di atas,
sejarah Islam juga memperkenalkan kepada dunia mengenai piagam perjanjian
bersama antar warga kota Madinah untuk hidup bersama dalam satu wadah negara
dalam bentuk naskah yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam pengertian modern
sekarang, Piagam Madinah ini identik dengan pengertian konstitusi tertulis,
yaitu sebagai naskah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia.
Banyak klaim di antara para
ahli mengenai naskah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia.
Bahkan kode sipil Hammurabi juga dinisbatkan oleh beberapa sarjana sebagaii
konstitusi tertulis pertama dalam sejarah. Akan tetapi, apabila dibaca dengan
perspektif modern dewasa ini tentang makna undang-undang dasar sebagai
konstitusi tertulis, maka naskah pertama yang berisi hasil-hasil kesepakatan bersama
antar warga masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya tandatangan bersama antar
tokoh-tokoh yang mewakili pelbagai kelompok yang beraneka ragam dalam
masyarakat, tidak lain adalah Piagam Madinah[18].
Piagam Madinah tersebut
ditandatangani bersama oleh 13 kepala suku dan kelompok-kelompok dalam
masyarakat bersama nabi Muhammad pada tahun 622M[19].
Ketiga belas kepala suku tersebut adalah (i) kaum Muhajirin atau orang Islam
yang berasal dari Mekkah, (ii) kaum Anshar atau orang Islam yang memang hidup
di kota Madinah, (iii) kaum Yahudi dari banu ‘Awf, (iv) kaum Yahudi dari banu
Sa’idah, (v) kaum Yahudi dari banu Hars, (vi) kaum Yahudi dari banu Jusyam,
(vii) kaum Yahudi dari banu al-Najjar, (viii) kaum Yahudi dari banu Amr ibn
‘Awf, (ix) kaum Yahudi dari banu al-Nabit, (x) kau Yahudi dari banu al-‘aws,
(xi) kaum Yahudi dari banu Sa’labah, (xii) suku Jafnah dari banu Sa’labah, dan
(xiii) suku banu Syuthaybah. Tercatat dalam sejarah, suku yang terakhir ini
pernah berkhianat dan kemudian kepala suku dihukum oleh rasulullah dengan
hukuman mati.
Prinsip ketaatan kepada
kesepakatan para pemimpin dalam bentuk piagam perjanjian bersama itu, dalam
Islam, sangat diberi tekanan. Dalam QS. Dinyatakan, “Athi’ullaha, wa
athi’urrasula, wa ulil-amri minkum”. Allah memerintahkan kepada orang-orang
yang beriman untuk menaati Allah, menaati Rasulullah, dan para pemimpin di
antara kamu. Salah satu bentuknya kumpulan kepemimpinan itu adalah perkumpulan
para tokoh yang mewakili kelompok dan golongan kaumnya masing-masing untuk
menandatanganni kesepakatan bersama untuk hidup bersama sebagai satu kesatuan
masyarakat di Madinah.
Semua kesepakatan yang
dibuat secara sukarela (an tarodhin)
diwajibkan oleh nabi agar ditaati oleh setiap umat Islam. Jika ada yang
melanggar, maka kepada yang bersalah dijatuhi hukuman sebagaimana mestinya.
Dalam sejarah, nabi Muhammad tercatat memang menjatuhkan hukum konkrit kepada
orang-orang yang menghianati perjanjian bersama itu. Dengan demikian, setiap
orang Islam, tidak hanya wajib tunduk dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
tetapi juga kepada setiap norma hukum yang lahir dari kesepakatan bersama, baik
dalam bentuk undang-undang dasar, undang-undang, peraturan daerah, ataupun
peraturan-peraturan pelaksanaannya (executive acts) maupun dalam bentuk kontrak-kontrak
perdata yang mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya. Semua ini jelas
merupakan gambaran prinsip negara hukum, prinsip negara konstitusional
(constitutional state), dan prinsip negara demokrasi berdasar atas hukum atau
negara konstitusional yang dikenal di zaman modern sekarang.
Karena itu, kepeloporan umat
Islam sejak masa Rasulullah meski dimulai dari bentuknya yang paling sederhana
dapat dicatat terdapat dalam pelbagai komponen sistem politik. Pertama, Islam
memulai sistem kepemimpinan masyarakat dan negara dari ‘social trust’ dan
‘social support’ kepada Muhammad sebagai orang yang dikenal sebagai “al-amin”
atau “yang terpercaya. Kedua, pola kepemimpinan Muhammad diteruskan dengan
proses pergantian kepemimpinan tidak lagi berdasarkan sistem keturunan seperti
sebelumnya. Ketiga, dalam penyelenggaraan kepentingan umum, para pemimpin umat
selalu membuat keputusan melalui proses permusyawaratan dan perwakilan
sebagamana mestinya. Keempat, dalam bentuknya yang sederhana, Islam juga lah
yang memulai tradisi pemilihan umum dengan sistem “bai’at” untuk menentukan
diangkatnya seorang kepala negara. Kelima, Dalam penyelenggaraan kepemimpinan,
dikenal adanya prinsip ‘la tho’ata li makhluqin fi ma’siyatil kholiq’ yang
menentukan bahwa yang harus dijadikan ukuran ketaatan tertinggi adalah sistem
aturan, bukan perintah atasan. Dengan pandangan demikian, Islam juga lah yang
mempelopori berlakunya prinsip ‘the rule of law, not of man’. Keenam, bentuk organisasi “kekhilafahan”
terutama selama periode “khulafaurrasyidin” mulai sejak terpilihnya Abubakar
Siddik sebagai Khalifah tidak lain merupakan cikal bakal praktik konkrit
mengenai ide pemerintahan republik sebagaimana yang sudah diimpikan oleh Plato
dalam bukunya “Republic” pada masa Yunani kuno.
G. CATATAN
AKHIR: REPUBLIK INDONESIA
Untuk menggambarkan
contoh pemikiran kenegaraan yang dipraktikkan di dunia Islam, kita dapat
menjadikan UUD 1945 salah satu bahan kajian mengenai pertautan hubungan antara
paham kenegaraan modern dengan pandangan ke-Islaman tentang kekuasaan negara.
UUD 1945 memuat kandungan prinsip yang sangat kaya, yang secara substantif
tidak dapat dilepaskan dari pengertian-pengertian yang berkembang di kalangan
umat Islam yang merupakan penduduk utama atau mayoritas negeri ini. Doktrin
ke-Maha-Kuasaan Tuhan, paham kedaulatan rakyat, ide negara hukum, konsep
kekhalifahan dan bentuk negara republik dan lain sebagainya dapat dipahami
dalam harmoni pengertian antara teori dan tradisi Islam dengan pandangan
kenegaraan modern di Indonesia.
Dalam perspektif
internal, ajaran kekuasaan tertinggi atau konsep kedaulatan yang dianut oleh
UUD 1945 mencakup ajaran (i) kedaulatan Tuhan, (ii) kedaulatan rakyat, dan
sekaligus (iii) kedaulatan hukum[20].
Ajaran kedaulatan Tuhan YME tercermin dalam pengakuan bangsa Indonesia dalam
alinea ketiga dan keempat Pembukaan UUD 1945 serta dalam ketentuan Pasal 29
ayat (1) UUD 1945. Pada Alinea 3 Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Sementara itu, pada
Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, ditegaskan pula bahwa ”..... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dari kedua alinea
itu, kita dapat mengetahui bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya kekuasaan
yang Maha Kuasa di atas manusia, yang atas berkat rahmat-Nya bangsa Indonesia
menyatakan kemerdekannya. Bersamaan dengan itu, pada alinea keempat ditegaskan
pula bahwa bangsa Indonesia menganut ajaran kedaulatan rakyat yaitu bahwa
susunan Negara Republik Indonesia yang dibentuk adalah susunan negara yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa beserta
prinsip-prinsip atau keempat sila lainnya dari Pancasila.
Paham kedaulatan
Tuhan itu ditegaskan lagi dalam rumusan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan, “Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) ini dapat
dikatakan merupakan penegasan saja dari rumusan sila pertama Pancasila
sebagaimana tertulis dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut di atas.
Bersamaan dengan itu, Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menegaskan pula
bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau
konstitusi dan sekaligus sebagai negara hukum. Pasal 1 ayat (2) menentukan, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar[21]. Sedangkan Pasal 1 ayat (3) berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Adanya ketiga prinsip ajaran kedaulatan
tersebut di atas dapat dibaca dalam satu nafas, sehingga – seperti dalam
tradisi politik Islam – pengertian kekuasaan tertinggi dalam Negara Republik
Indonesia pertama-tama harus dipahami berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya
saja, berbeda dari paham teokrasi, kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa itu secara
operasional dijelmakan dalam konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum
sebagaimana mestinya. Dengan keyakinan akan adanya Ke-Maha-Kuasaan Tuhan yang
mutlak, maka setiap manusia dipandang relatif dalam hubungan yang egaliter
antara satu sama lain. Dari pengertian yang demikian inilah dikembangkan
pengertian bahwa yang berdaulat dalam kegiatan bernegara adalah rakyat, bukan
penguasa.
Di pihak lain, ke-Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha
Esa itu juga dijelmakan dalam prinsip-prinsip hukum wajib ditaati berdasarkan
hukum yang berpuncak pada UUD 1945 sebagai konstitusi sumber hukum tertinggi.
Dengan demikian, terdapat segi tiga yang saling berhubungan erat satu sama
lain, yaitu prinsip Ke-Maha-Kuasaan Tuhan, Kedaulatan Rakyat atau demokrasi,
dan gagasan Negara Hukum atau prinsip negara konstitusional (constitutional state) yang memandang
hukum sebagai panglima dalam segala aktifitas bernegara. Pengertian yang
demikian itu jelas seiring dan sejalan dengan pengertian-pengertian yang
berkembang dalam teori dan praktik tradisi politik Islam sebagaimana diuraikan
di atas.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Andrews, William G., Constitutions and Constitutionalism, 3rd
edition, New Jersey:
van Nostrand Company, 1968.
Asshiddiqie, Jimly, Agenda Pembangunan Hukum di Abad Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka,
1996.
--------------, Gagasan kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
--------------, Islam dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Gema Insani Pers,
1995.
--------------, Islam dan Tegaknya Negara Hukum Kita, Al-Azhar, 1 Syawal
1429 H.
--------------, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,
Bandung:
Angkasa, 1996.
--------------, Pengantar Pemikiran Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, Jakarta: The Habibie
Center, 2001.
--------------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Jakarta: BIP-Gramedia,
2008.
--------------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Konpres dan Rajagrafindo, 2006,
2007, 2008, dan 2009.
--------------, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
Konpres, 2005, 2006, 2007.
--------------, The Constitutional Law of Indonesia: A Comprehensive
Overview, Sweet & Maxwell Asia, 2009.
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi tentang
Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Berki, R.N., The History of Political Thought: A Short Introduction, London: J.M.Dent and Sons,
1988.
Bogdanor, Vernon
(ed), Blackwell’s Encyclopaedia of Political Science, Blackwell, Oxford, 1987.
Bryce, J., Studies in History and
Jurisprudence, vol.1, Clarendon Press, Oxford,
1901.
De Tocqueville, Alexis, Democracy in America,
edited by Phillips Bradley, Vol.I, New
York: Vintage Books, edisi tahun 1956.
Dicey, A.V. An Introduction to the Study of the Law of the Constitution,
London: English
Language Book Society and Macmillan, 1971.
Friedrich, C.J., Man and His Government, McGraw-Hill, New
York, 1963.
Manan, Bagir, Pertumbuhan dan Perkembangan
Konstitusi Suatu Negara, CV. Mandar Maju, Bandung,
1995.
Matosoewignjo, Sri Soemantri, Prosedur dan
Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung,
1987.
McIlwain, Charles Howard, Constitutionalism: Ancient and Modern, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966.
Neumann, Franz, The Rule of Law: Political Theory and the Legal System
of Modern Society, Leamington Spa and Heidelberg,
1986.
Phillips, O. Hood , Constitutional and
Administrative Law, 7th ed., Sweet and Maxwell, London, 1987.
Plato, The Laws, Penguin Classics, 1986 (diterjemahkan dan dengan kata
pengantar oleh Trevor J. Saunders.
Soekanto, Soerjono, Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat, Jakarta: Academia, 1979.
Talib, Sayuti, Receptie A Contrario, Jakarta: Academia, 1977.
Thompson, Brian, Constitutional dan Administrative Law, 3rd
edition, London:
Blackstone Press, 1997.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,
Jakarta:
Ichtiar, 1962.
Watt, Montgomery, Muhammad: Prophet and Statesman, Oxford University
Press, 1964.
[1] Disampaikan sebagai
Keynote Speech dalam Seminar Indonesia-Maaysia yang diselenggarakan oleh
UIN/IAIN Padang, 7 Oktober 2010.
[2] Pendiri dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (2003-2008), mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan
Ketatanegaraan, guru besar Hukum
Tata Negara Universitas Indonesia, Penasihat KOMNASHAM, Ketua Dewan Penasihat
Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI), Ketua Dewan Pembina Ikatan
Sarjana Hukum Indonesia (ISHI), dan sebagainya.
[3] A.V. Dicey, An Introduction to the Study of
the Law of the Constitution, Macmillan, edisi tahun 1971.
[4] Lihat Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi
tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trevor J. Saunders.
[5] Untuk diskusi yang mendalam mengenai konsep
‘rule of law’ ini dapat dibaca karya Franz Neumann, The Rule of Law: Political
Theory and the Legal System of Modern Society, Leamington Spa and Heidelberg,
1986.
[6] Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9.
[7] William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya
Constitutions and Constitutionalism (3rd edition, 1968) menyatakan:
“The members of a political community have, bu definition, common interests
which they seek to promote or protect through the creation and use of the
compulsory political mechanisms we call the State”, Van Nostrand Company, New
Jersey, hal. 9.
[8] William G. Andrews, ibid., hal.12-13.
[9] Ibid, hal. 13.
[10] Ibid., hal. 23.
[11] Political Works, Belfords, Clark and Co.,
Chicago, 1879, hal. 33.
[12] William G. Andrews, Op.Cit., hal. 24.
[13] Istilah ini dikembangkan dari Stevenson dalam
‘Constitutional Faith’.
[14] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat
dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
[15] Jimly Asshiddiqie, Islam dan Tegaknya Negara
Hukum Kita, Khutbah Idulfitri di Al-Azhar Jakarta, 1 Syawal 1429H.
[19] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, edisi 2009, hal.85-86.
[20] Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan
Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru – van
Hoeve, Jakarta, 1994, hal.59-62.
[21] Pasal 1 ayat (2) ini diubah pada tahun 2001,
yaitu pada Perubahan Ketiga. Semula rumusannya berbunyi, “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Dengan perumusan yang baru, yaitu “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, yang berubah adalah (i) penyebutan
subjek MPR sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat dihilangkan,, dan (ii)
dasar konstitusional pelaksanaan kedaulatan rakyat itu ditegaskan secara
eksplisit. Dengan perubahan tersebut, terdapat tiga penegasan yang mendasar. Pertama,
bahwa prinsip kekuasaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah kekuasaan yang berasal dari rakyat sebagai sumber yang tertinggi,
sehingga kekuasaan itu harus diselenggarakan oleh rakyat itu sendiri dan untuk
ditujukan hanya kepentingan seluruh rakyat ang berdaulat itu sendiri pula.
Inilah yang dimaksud sebagai prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Bahkan, di kalangan negara-negara yang sedang berkembang, dimana
penyelenggaraan negaranya memerlukan tingkat partisipasi yang luas dari seluruh
rakyat, dapat pula dikatakan bahwa sistim demokrasi atau kedaulatan rakyat di
zaman modern harus diselenggarakan dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat, dan
bersama rakyat. Kedua, pelaksana atau pelaku kedaulatan rakyat itu tidak hanya
dilakukan oleh MPR seperti sebelumnya, tetapi oleh semua organ konstitusi. Ketiga,
penyelenggaraan atau pelaksanaan kedaulatan rakyat atau demokrasi harus
dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang dasar, yaitu UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari prinsip pertama dapat ditarik
kesimpulan bahwa MPR tidak lagi memegang kewenangan eksklusif sebagai satu-satunya
pelaku kedaulatan rakyat, sehingga dapat dipahami sebagai satu-satunya lembaga
negara yang tertinggi yang dapat mengklaim sebagai cermin kedaulatan seluruh
rakyat Indonesia.
Sedangkan dari prinsip kedua, dipastikan bahwa semua organ konstitusi, semua lembaga
negara, semua cabang kekuasaan, sama-sama menjalankan kekuasaan negara
berdasarkan undang-undang dasar. Prinsip terakhir inilah yang dalam teori
disebut sebagai prinsip negara konstitusional, “constitutional state” atau “constitutional
government”, yang tidak lain merupakan istilah lain dari pengertian “rechtsstaat” atau Negara Hukum menurut
istilah yang lazim dipakai di kalangan negara-negara Eropah Kontinental.