Mendesaknya Substansi UU Perlindungan Saksi
Oleh: R Valentina Sagala
Oleh: R Valentina Sagala
Rapat
paripurna DPR tanggal 14 Juni lalu akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban menjadi RUU Usul Inisiatif DPR. Dalam
tanggapannya, seluruh fraksi DPR memandang RUU ini memiliki peran strategis
dalam upaya penegakan hukum dan menciptakan pemerintahan yang bebas dari
korupsi. Namun, tetap harus dilihat bagaimana peran RUU ini dalam melindungi
perempuan dan anak.
Perlindungan
saksi sangat berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan (KTP). Seperti yang
tercantum dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (1993) yang
ditandatangani Pemerintah Indonesia,
kekhasan KTP di antaranya adalah mendasarkan diri pada perbedaan jenis kelamin
(gender based violence). Bentuk dan dampaknya pun pada fisik, psikis, seksual,
dan ekonomi.
Dalam
sistem hukum yang patriarkis, perempuan korban kekerasan justru menghadapi
persoalan, mulai dari isi peraturan perundangan yang bias jender dan tidak
mengakomodir pengalaman perempuan, budaya hukum yang menganggap pengalaman
korban sebagai mengada-ada atau aib, hingga aparat penegak hukum yang bias
jender sehingga cenderung tidak melindungi korban.
Sistem hukum
Sistem
hukum yang tidak memuat substansi penegakan hak perempuan akan memenderitakan
korban (victimize the victims). Inilah mengapa kebanyakan korban dan pelapor
enggan memproses kekerasan yang dialami atau disaksikannya. Akibatnya, selain
penegakan hukum tidak tercapai, penegakan hak korban atas keadilan juga mustahil
terwujud.
Banyak
pula kasus yang proses hukumnya terhenti di tengah jalan atau dicabut kembali
oleh korban. Kasus dugaan pelecehan seksual terhadap pekerja rumah tangga (PRT)
yang dilakukan suami penyanyi tenar Imaniar, beberapa lama setelah kasus dicium
media massa
sang PRT menghilang. Sulit membayangkan keamanan korban jika saat pelaporan
puluhan kamera menyorot ke arahnya dan dalam hitungan menit tersiar ke seluruh
penjuru Nusantara.
Perempuan
dan anak sebagai saksi (termasuk pelapor) rentan mengalami ancaman atau
tuntutan hukum atas kesaksian atau laporannya. Tahun 2002, misalnya, gerakan
perempuan mencatat perempuan korban pelecehan seksual di tempat kerja di Yogyakarta, setelah melapor ke kepolisian jadi tersangka
kasus penggelapan uang perusahaan.
Perempuan
dan anak juga butuh perlindungan ketika terkait dengan saksi dan rentan
ancaman. Oleh karenanya, perlindungan saksi juga harus mencakup orang yang
memiliki hubungan darah dengan saksi dalam garis lurus ke atas dan ke bawah
sampai derajat ketiga atau garis menyamping sampai derajat ketiga; pihak yang
mempunyai hubungan perkawinan atau yang sudah tidak mempunyai hubungan
perkawinan lagi; orang yang menjadi tanggungan saksi (dalam garis lurus ke atas
dan atau ke bawah sampai derajat ketiga, atau garis menyamping sampai derajat
ketiga); orang dalam pengampuan atau perwalian saksi; dan orang yang memiliki
hubungan emosional dekat dengan saksi.
Hingga
kini pengaturan perlindungan saksi masih terpisah-pisah sesuai persoalan. UU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, misalnya, mengatur perlindungan saksi
korban. Namun, perlindungan ini masih terbatas pada lingkup rumah tangga dan
saksi korban.
Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum cukup memberi perlindungan
terhadap saksi jika dibandingkan terhadap tersangka atau terdakwa. KUHAP lebih
melihat saksi sebagai bagian dari alat bukti dan belum mengatur saksi (terutama
korban) sebagai subyek yang perlu dilindungi dan dipulihkan hak-haknya.
Di
sinilah mendesaknya substansi UU Perlindungan Saksi bagi perempuan dan anak.
Saksi perempuan dan anak, dalam kaitannya dengan kekerasan, membutuhkan dan
berhak atas perlakuan khusus yang menjamin rasa aman, nyaman, dan bebas memberi
keterangan dalam tiap proses hukum.
Oleh
karena itu, UU Perlindungan Saksi yang segera dilahirkan semestinya menjamin:
pertama, hak-hak khusus bagi saksi perempuan korban kekerasan dan anak yang
sesuai dengan kondisinya berhak atas kemudahan dalam bersaksi, antara lain
mendapat ruangan khusus dan didampingi pendamping hukum, medis, dan
psiko-sosial selama pemberian keterangan di seluruh proses hukum.
Saksi
korban kekerasan seksual atau yang mendapat ancaman berhak atas perahasiaan
identitas, mendapat identitas baru, dan relokasi. Saksi yang tidak dapat hadir
ke persidangan karena berada di luar daerah/negeri atau karena berdasarkan
hasil pemeriksaan psikolog pendamping menyatakan proses peradilan akan membuat
korban trauma kembali atau membuat kondisi psikologisnya makin parah dapat
memberikan keterangan di bawah sumpah secara tertulis atau dengan menggunakan
media video di tempat saksi berdomisili.
Ia
juga berhak diperiksa tertutup dan sepihak atau menggunakan sarana khusus lain.
Kesaksian dengan cara ini disamakan nilainya dengan kesaksian di muka
persidangan.
Kedua,
perlindungan khusus bagi saksi dalam kasus trafiking serta kekerasan terhadap
perempuan dan anak di Indonesia
yang melibatkan pelaku WNA. Ketiga, saksi korban berhak atas pemulihan,
kompensasi, ganti kerugian, dan rehabilitasi. Serta keempat, pemerintah wajib
membiayai perlindungan saksi dari APBN, mendirikan Lembaga Perlindungan Saksi,
dan menjamin agar perempuan yang memiliki keahlian berkaitan dengan kekerasan
terhadap perempuan dan anak terlibat aktif di dalamnya.
Mau mendownload Undang-Undang/Peraturan Pemerintah, Klik disini.
Download File Pdf. KLIK DISINI.
Mau mendownload Undang-Undang/Peraturan Pemerintah, Klik disini.
Download File Pdf. KLIK DISINI.
0 Response to "MENDESAKNYA SUBSTANSI UU PERLIN DUNGAN SAKSI oleh R Valentina Sagala"
Post a Comment