#Baca Juga : PENGERTIAN FRANCHISE/WARALABA
SEJARAH DAN PENGERTIAN SENI BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
PENGERTIAN SUPRASTRUKTUR DAN INFRASTRUKTUR POLITIK
SEJARAH DAN PENGERTIAN SENI BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
PENGERTIAN SUPRASTRUKTUR DAN INFRASTRUKTUR POLITIK
JALAN SUNYI MEGADILI KEHORMATAN DEWAN
Kemelut bangsa ini seolah tak menemukan
kepastiannya entah kapan akan berakhir. Tak urung kemudian Tahun 2015
lekas sudah akan berlalur, tetapi harapan menjadi Indonesia lebih baik
masih berjalan ditempat peraduannya. Gelora akan “revolusi mental” yang
menjadi “wahyu” pemerintahan Jokowi-JK,, tampaknya menjadi “gagal”
dititik pengharapan.
Dan betapa peliknya “ujian” yang sedang
melanda rakyat dinegeri ini. Angka kemiskinan yang terus meningkat
secara drastis frekuensinya, tetapi kepada mereka yang diserahkan beban
dan amanah. Dia! wakil rakyat kita, tak henti-hentinya hanya menciptakan
kepiluan.
Nusantara hingga ke setiap pelosoknya
membutuhkan kesabaran berlanjut, terus menerus dalam menatap gelapnya
“awan perubahan”, karena dewan yang terhormat kendati nyata-nyata
tersaji di depan mata, telah melakukan “penghinaan” terhadap maruah
lembaganya. Toh hingga “jarum jam” tak lama lagi akan bertransformasi
ke-2016, masih saja bersikukuh “bertahan” di tahta kekuasaannya.
Pengadilan (non) etik
Sempat asa dari jutaan rakyat Indonesia,
untuk membuang jauh-jauh “wakil” yang pernah memupuskan harapannya itu.
Tetapi pada akhirnya asa yang sedemikian teguh, hanya membutuhkan,
lagi-lagi! kesabaran saja.
Sebab apa? Terhadap oknum “penghianat
amanah” itu. Kendati sudah menjadi rahasia umum atas “kesalahan” yang
dilakukannya. Berniat “merampas” harta kekayaan rakyat. Kepadanya, hanya
diseret dalam “pengadilan etik” yang tidak etis.
Semuanya sudah disaksikan oleh publik,
bahwa sekelumit fakta sudah terkuak kalau pada hakikatnya “pengadilan”
itu justru lebih hina dari pengadilan jalanan. Sebuah proses peradilan,
hadir hanya untuk melindungi kesalahan kerabatnya saja.
Aturan dan bukti yang sudah demikian
jelasnya kemudian dijungkirbalikan. Konon “kesalahan” pejabat dewan
terhormat itu tidak berdasar kalau dilaporkan oleh pihak yang berada
dalam lapangan kekuasaan pemerintahan. Spekulasi muncul dalam tipuan
kata, “bersilat lidah” kalau “separation of power” ala Montesqiueau mengilhami mereka yang berpikir di ranah “eror”,
bahwa pejabat eksekutif dilarang “melaporkan” kesalahan pejabat
legislatif yang sangat diangungkan itu. Padahal ini pernyataan “salah
alamat,” sebab yang dimaksud sebagai “separation of power” hanyalah indepensi pada tugas dan kewenangan masing-masing jabatan tersebut.
Lalu, pada fakta yang sudah tersaji itu
pula, lagi-lagi “dikambinghitamkan” sebagai bukti yang tidak pantas.
Sebab cara memperolehnya “undue process of law”. Sehingganya menjadi “tidak layak” bagi oknum bersangkutan disimpulkan telah melakukan pelanggaran “etik” atas jabatan mulianya.
Andaikata “pengadil” etik an sich, masih dalam nalar yang sehat, seyogianya “dasar argumentasi” demikian tidak perlu dipertimbangkan. Sebab “etic of conduct”
episentrumnya bukan pada metode “terbongkarnya” tindakan yang sungguh
“tidak pantas” itu. Cukuplah menguji “kebenaran” pada tindakannya yang
sudah menghancurkan moralitas atau kepercayaan publik yang telah
“dimandatkan” kepadanya.
Jalan Sunyi
Manakala kita mau “membongkar”
pengharapan ratusan juta rakyat Indonesia. Pada sesungguhnya mereka
tidak butuh “kondisi faktual” untuk menyaksikan secara terbuka oknum
atas “wakil” yang “dibencinya” di sidang secara terbuka.
Tanyalah mereka, dan jawabannya: pasti
hanya ingin hasil akhirnya saja. Hasil akhir yang “memantaskan” agar
“sang peghianat” dipisahkan dari lembaga mulianya. Hanya itu yang mereka
inginkan.
Maka dari itu, “etichs laws” tak
ada salahnya berjalan dalam lorong kesunyian. Tetapi syaratnya, “sang
pengadil” dituntut untuk “memalaikatkan” dirinya. Etik yang sedemikan
rupa dengan “keadaban,” dan “moral” hanyalah bisa dikendalikan oleh
pihak-pihak yang sudah menyatu dalam sunyi-nya perihal prinsip-prinsip
kebaikan. Sehingga, kondisi apapun yang datang menggoda kepadanya, Ia
akan tetap “istiqamah” untuk menolak segala bujuk rayu tersebut.
Lalu, adakah saat ini optimisme yang
masih tersisa untuk “sang pengadil” etik kehormatan, bagi kita semua?
Rasa-rasanya dalam situsi sekarang dengan gelimang hujatan, “caci-maki”
yang berseliwer disetiap lini jejaring sosial, hanyalah tanda-tanda
“pesimisme” saling beradu di sana-sini.
Tentu, tak ada jalan lain bagi “sang
pengadil” kehormatan dewan yang sangat kita muliakan itu, agar bisa
mengembalikan harapan dan rasa optimisme publik. Mereka haruslah berani
mengelola “kecaman” publik dalam medium introspeksi diri, kembali ke
jalam sunyinya, menemui “ethics laws” dalam dirinya sendiri.
Lalu, meneriaki “kejahatan” karena sungguh menghancurkan pancaran hakiki
dari “kebaikan” yang tersemat dalam jiwa dan akal sehatnya.
Mengadili kehormatan menjadi penting bagi
“Mahkamah Kehormatan Dewan”, melalui jalan sunyi yang dipilihnya,
segeralah “mengadaptasikan” tindak perbuatan tercela ke alam pikir dan
jiwa-jiwa kebaikan ke diri eternal-nya. Setelah itu, tersemburlah tutur
kata suci; “saudara telah terbukti bersalah berdasarkan pengamatan
dan hasil perenungan kami, mohon saudara menerima hukuman etik ini, agar
saudara dan lembaga yang pernah menjadikanmu “mulia” kembali menjadi
terhormat.”*
DOWNLOAD GRATIS EBOOK/BUKU (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
sumber refrensi :