KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA DAN MANDIRI

ADMIN


A.      Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Landasan hukum konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah Pasal 24 ayai 1 Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, yang menegaskan: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.[1]
Lebih lanjut diikuti oleh Undnag-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman sebagai payung hukum seluruh badan peradilan di Indonesia, pada pasal 1 ayat 1 kembali ditegaskan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar negara republik indonesia taun 1945, demi terselenggarakannya negara hukum republik indonesia.”[2]
Dari dua ketentuan dasar tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka mendapatkan landasan kuat untuk dilaksanakan dan di akui secara konstitusional. Karena tidak ada negara hukum tanpa adanya kekuasaaan kehakiman yang merdeka. Pada negara hukum yang demokratislah kekuasaan kehakiman yang merdeka akan dapat diwujudkan dan bukan hanya uraian kata-kata semu di dalam konstitusi.
Melihat sejarah kekuasaan kehakiman di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, Jimly Asshiddiqie menjelaskan,[3] bahwa di Indonesia kekuasaan kehakiman, sejak awal kemerdekaan sudah diniatkan sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan Presiden.[4] Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan tidak menganut paham pemisahan kekuasaan, terutama antara fungsi legislative dan eksekutif. Namun meskipun tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, cabang kekuasaan kehakiman sejak semula memang diperlakukan khusus sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dan tersendiri. Inilah salah satu ciri penting prinsip negara hukum yang hendak dibangun berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bagir Manan,[5] memberikan rumusan yang harus terkandung dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagai berikut:
1.       Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meiputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum. Kekuasaan-kekuasaan di luar kekuasaan memeriksa dan memutus perkara dan membuat ketetapan hukum, dimungkinkan dicampuri, seperti supervise dan pemeriksaan dari cabang-cabang kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman. Tetapi berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 (sudah dicabut), Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 yang telah diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 3 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, telah diletakkan dasar kemerdekaan kekuasaan kehakiman meliputi juga pengelolaan administrasi umum, kecuali terhadap hal-hal yang ditetapkan Undang-Undang Dasar atau sesuatu yang secara natuur merupakan pekerjaan pemerintahan, seperti pelaksanaan anggaran.
2.       Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat.
3.       Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak obejektif, jujur, dan tidak berpihak.
4.       Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum biasa atau luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri.
5.       Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman.
6.       Semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undang-undang.
Sehingga dari uraian tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstrayudisial, kecuali dalam hal-hal sebagimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945 setelah amandemen.[6]
Secara lebih luas tentang kekuasaan kehakiman tersebut di atas diuraikan oleh Bagir Manan,[7] bahwa kekuasaan kehakiman yang merdekabertalian erat dengan paham pembatasan kekuasaan yang baik yang bersumber pada ajaran pemisahan kekuasaan (pembagian) kekuasaan, paham negara berdasarkan hukum, atau demokrasi. Menurut pemisahan kekuasaan, pemisahan kekuasaan diperlakukan sebagai sarana membatasi kekuasaan untuk mencegah kesewenang-wenangan. Kekuasaan disatu tangan akan menimbulkan perbuatan sewenang-wenangan.[8] Dengan demikian pula penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum. Prinsip negara berdasarkan hukum, hanya akan berjalan apabila ada kekuasaan kehakiman yang merdeka. Demokrasi menghendaki kekuasaan kehakiman yang merdeka. Demokrasi menghendaki kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai instrumen netral menyelesaikan setiap perselisihan baik antar warga maupun antar warga dengan penguasa.
Membicarakan tentang pelaksanaan kemandirian kekuasaan kehakiman, perlu ada parameter yang jelas yang menjadi tolok ukur mandiri atau tidaknya lembaga peradilan tersebut dalam penelitian ini. Kemandirian kekuasaan kehakiman di sini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kemandirian lembaganya, kemandirian proses peradilannya dan kemandirian hakimnya sendiri. Secara lebih jelas dapat dilihat uraian tentang ketiga macam tipe kemandirian kekuasaan kehakiman sebagai berikut:[9]
1.       Kemandirian lembaga/institusi
Kemandirian dalam hal ini adalah kemandirian yang berkaitan dengan lembaga peradilannya itu sendiri. Parameter mandiri atau tidaknya suatu institusi peradilan dapat dilihat dari beberapa hal:
a.       Apakah lembaga peradilan tersebut mempunyai ketergantungan (saling mempengaruhi terhadap kemandiriannya dalam melaksanakn tugas) dengan lembaga lain ataukah tidak, misalnya dengan institusi kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan lembaga-lembaga lainnya. Kalau lembaga peradilan ternyata dapat dipengaruhi integritas dan kemandiriannya oleh lembaga lain tersebut, hal ini merupakan salah satu indikator bahwa lembaga peradilan tersebut tidak mandiri, atau setidak-tidaknya lembaga peradilan itu kurang mandiri.
b.      Apakah lembaga peradilan tersebut mempunyai hubungan hierarkhis ke atas secara formal, dimana lembaga atasannya tersebut dapat campur tangan dan mempengaruhi kebebasan atau kemandirian terhadap keberadaan lembaga peradilan tersebut. Akan tetapi perlu diperhatikan, sepanjang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti memberikan pengawasan kepada pengadilan di bawahnya, maka hubungan hierarkhis antara lembaga atasan dengan bawahan dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dipersoalkan di sini. Yang jadi masalah kalau sampai pengadilan atasan sampai melakukan campur tangan dalam proses peradilan secara tidak sah di luar hal-hal yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
2.       Kemandirian Proses Peradilan
Kemandirian proses peradilan di sini terutama di mulai dari proses pemeriksaan perkara, pembuktian sampai pada putusan yang dijatuhkannya. Parameter mandiri atau tidaknya suatu proses peradilan ditandai dengan ada atau tidaknya campur tangan dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang dengan berbagai upaya mempengaruhi jalannya proses peradilan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian adanya intervensi tersebut apakah dapat mempengaruhi proses peradilan ataukah tidak. kalau ternyata berpengaruh, berarti proses peradilannya tidak atau kurang mandiri. Sebaliknya kalau adanya campur tangan tersebut ternyata tidak berpengaruh, berarti proses peradilannya dapat dikatakan mandiri.
3.       Kemandirian Seorang Hakim
Kemandirian hakim di sini dibedakan, karena hakim secara fungsional merupakan tenaga inti penegakan hukum dalam menyelenggarakan proses peradilan. Parameter mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan ketahanan hakimdalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur tangan pihak lain dalam proses peradilan. Kalau para hakim terpengaruh oleh campur tangan dari pihak-pihak lain dalam menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya, berarti hakim tersebut kurang atau tidka mandiri.


BAB III
KESIMPULAN
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat. Jaminannya tersebut harus dituangkan dalam konstitusi agar dasar hukumnya pasti tanpa ada pelemahan kekuasaan kehakiman sedikitpun.
Di dalam pelaksanaannya juga, seorang hakim harus melihat dari sudut pandang yang berbeda dalam putusannya, sehingga keadilan tidak memihak kepada orang-orang yang kuat saja dan yang lemah terus saja tertindas.
Maka ada 3 hal yang menjadi tolak ukur bagi seorang hakim yang merdeka dalam tugasnya :
1.       Kemandirian lembaga/institusi;
2.       Kemandirian proses peradilan;
3.       Kemandirian seorang hakim.


Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly.  2007,  Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: Uii Press.
Montesquieu, dalam Clarence Moris, 1979, The great Legal Philosopker, Universitas of pensylvania press.
Pompe Sebastian, 2005, The Indonesian Supreme Court; A Study of Institusional Collapse, Cornal University Ithaca, New York.
Undang-Undang dasar 1945 setelah amandemen.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

DOWNLOAD GRATIS EBOOK/BUKU (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)


[1] Lihat Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang dasa 1945 setelah amandemen.
[2] Lihat lebih lanjut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
[3] Jilmy Asshiddiqie, Pokok-PokokHukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 511-512. Baca juga Disertasi, Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court; A Study of Institusional Collapse, Cornal University Ithaca, New York, 2005, hlm. 11.
[4] Lihat penjelasan Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum Amandemen.
[5] Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman yang Mandiri, Jakarta: Mimbar Hukum Nomor 43 Tahun X Alhikmah, 1999, hlm. 29-30
[6] Ibid..., hlm. 30-31.
[7] Ibid.
[8] Montesquieu, dalam Clarence Moris, The great Legal Philosopker, Universitas of pensylvania press, 1979, hlm. 169.
[9] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: Uii Press, 2005. Hlm. 52-54.


                    #PENGERTIAN HUKUM PERJANJIAN DAN CONTOHNYA
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.