>>>Baca juga Kumpulan Judul Skripsi Perdata
>>>Baca Juga Cerita Unik
A. Arti Sejarah
Timbulnya Khawarij, Syi’ah dan Murjiah
1.
Pengertian
Secara etimologi, kata Khawarij berasal dari bahasa Arab yaitu kharaja
yang berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Sedangkan menurut
terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi
Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap
keputusan Ali yang menerima arbitrase, dalam perang Siffin pada tahun 37
H/648M, dengan kubu Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khalifah.[1]
Syi’ah berasal dari kata Arab Syi’ah
yang secara etimologis berarti pengikut, kelompok, golongan dan pendukung.
Sedangkan secara terminologis, Syi’ah berarti orang atau kelompok yang
mengangkat kepemimpinan Ali dan Keluarganya.[2]
Mereka itu anatara lain adalah : Jabir ibnu Abdillah, Huzaifah ibnul Yaman, Abu
Dzar al Ghiffari dan lainnya.
Nama Murjiah diambil dari kata irja
atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, pengharapan. Kata arja’a
juga mengandung arti harapan, yakni memberikan harapan kepada pelaku dosa besar
untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.[3]
2.
Sejarah Timbulnya
Khawarij, Syi’ah dan Murjiah
Aliran-aliran ini lahir bersamaan
dengan lahirnya Syi’ah yakni pada masa Ali bin Abi Thalib r.a. Orang-orang
Khawarij dulunya adalah pendukung Ali, meskipun demikian Syi’ah datang lebih
dahulu dari pemikiran Khawarij. Timbulnya aliran ini adalah akibat dari
peristiwa tahkim (arbitrase), Khawarij menghukum para peserta tahkim sebagai
orang-orang yang telah menjadi kafir.[4]
Pada mulanya kelompok Khawarij
memandang Ali bin Abi Thalib dan pasukannya berada di pihak yang benar karena
merupakan khalifah yang sah dan telah dibai’at oleh ummat Islam, sementara
Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
Dalam peperangan Siffin tersebut pihak
Muawiyah sudah terdesak, menyadari hal itu maka pihak Muawiyah minta untuk
berdamai, namun pihak Ali juga menyadari bahwa ajakan damai tersebut adalah
strategi licik Muawiyah akan tetapi karena desakan sebagian pengikutnya
terutama ahli qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-tamimi
dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar selaku
komandan pasukan untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali
bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai
delegasi untuk tahkim, namun
orang Khawarij menolaknya dan mengusulkan Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan
dapat memutuskan perkara berdasarkan kitabullah. Tetapi keputusan tahkim bahwa
Ali diturunkan dari khalifah dan Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali
sehingga orang Khawarij sangat kecewa dengan keputusan tersebut, maka mereka
membelot dengan mengatakan, ” Mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada
hukum selain hukum yang ada disisi Allah.” Imam Ali menjawab, ” Itu adalah
ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.” pada saat itulah
mereka keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.[5]
Aliran Murjiah muncul sebagai reaksi
atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap
orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran
Khawarij.
Aliran ini menangguhkan penilaian
terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan,
karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang
melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.[6]
B.
Pemikiran Khawarij, Syi’ah dan
Murjiah
1.
Khawarij
Secara umum ajaran-ajaran pokok
Khawarij adalah orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir, orang-orang
yang terlibat pada perang Jamal (perang antara Aisyah, Thalhah dan Zubair
dengan Ali bin Abi Thalib) dan para pelaku tahkim (termasuk yang menerima dan
membenarkannya) dihukumkan kafir dan khalifah harus dipilih langsung oleh
rakyat.
Begitu
pula dengan doktrin-doktrin pokok yang ditanamkan antara lain:
·
Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh
ummat Islam.
·
Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab, setiap
orang muslim berhak menjadi khalifah bila memenuhi syarat.
·
seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
·
Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim
sehingga harus dibunuh.
·
Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan
mereka bila tidak maka ia wajib di bunuh.
·
Adanya wa’ad dan wa’id.
·
Amar makruf nahi munkar.
·
Memalingkan ayat-ayat Al-qur’an yang mutasyabihat.
·
Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan
Dari doktrin di atas dapat kita simpulkan bahwa doktrin kaum
Khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori yaitu :
a.
Doktrin politik, dimana membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kenegaraan
khususnya tentang kepala negara atau khalifah.
b.
Doktrin teologi, dimana membicarakan tentang dosa besar. Doktrin teologi
Khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas dari doktrin sentralnya
yaitu doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipengaruhi oleh sisi budaya
mereka yang juga radikal serta asal usul mereka yang berasal dari masyarakat
badawi dan pengembara padang pasir yang tandus.
c.
Doktrin sosial, dimana doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok
Khawarij.
2. Syi’ah
Sementara kaum Syi’ah mempunyai 5 (lima
) prinsip utama dalam pemikirannya yaitu : Al Tauhid (ke Esaan Tuhan), Al ‘adl
(keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Imamah (Kepemimpinan) dan Ma’ad (Kiamat).[7]
1) Al Tauhid
Kaum Syi’ah, khususnya aliran Istna
Asyariyyah yang dipelopori Hisyam bin al Hakam memandang bahwa eksistensi Allah
dapat dijelaskan melalui keberadaan manusia beserta sifat yang ada dalam diri
manusia itu, pandangan ini dikenal dengan paham al Tajsim dan Tasybih ( meng
antromorfis kan Allah ), namun pada generasi berikutnya paham tersebut
ditinggalkan dan menganut paham al Tanzih wa al Tajrid yaitu me Maha suci-kan
dan me Maha abstrakkan Allah, paham dari generasi ini dipelopori al Syeikh al
Mufid.[10] Paham yang pertama yaitu al Tajsim wa Tasybih digunakan kaum Syi’ah
untuk menentang kaum Mu’tazilah yang menentang dan menolak teori imamah versi
Syi’ah, namun akhirnya atas prakarsa Bani Buwaihi, kedua kaum ini dipersatukan
dengan menganut paham kedua yaitu al Tanzih dan al Tajrid.
Berbeda dengan aliran Istna Asyariyyah,
aliran Ismailiyyah, filsafat ketuhanannya berlandaskan pada prinsip bahwa akal
manusia tidak mampu mempersepsi zat ilahi, zat ini mempunyai sifat-sifat dan
sifat-sifat itu hanya dituangkan pada akal pertama yang diciptakan Allah. Artinya
kita hanya mengetahui al aql al-mubtada’ (akal yang dicipta) tetapi tidak bisa
mengetahui al Bari al Mubdi (pencipta yaitu Allah). Dalam teori emanasi (al Faid wa al
Sudur), kaum ini menjelaskan bahwa bermula dari akal beremanasi al Nafs al
kulliyyah (jiwa universal), dari jiwa itu beremanasilah materi ini. Dari
persatuan akal, jiwa materi, waktu dan ruang beremanasilah gerakan segala falak
dan alam. Begitu
pun dengan wahyu, bahwa ia tidak terputus karena wahyu merupakan pancaran dari
al Natiq kepada al Was-yu dan para imam.
Mengenai masalah yang berhubungan
dengan ketuhanan, kaum Zaidiyah pada awalnya lebih dekat kepada kaum salaf,
walaupun imam mereka berguru pada washil bin Atha’. Mereka berpandangan bahwa Allah SWT
adalah sesuatu yang tidak seperti sesuatu yang lain, tidak serupa dengan segala
sesuatu yang ada. Ia Maha mengetahui, Maha kuasa, karena sifat Maha mengetahui
dan Maha Kuasa bukanlah ia juga bukan selain ia
2) Al Adl
Al Adl maksudnya adalah bahwa Allah
tidak berbuat dzalim kepada seseorang dan tidak melakukan sesuatu yang buruk
menurut akal sehat. Akal yang mengatakan bahwa buruk bagi Allah itu mustahil
maka kaum Syi’ah menetapkan sifat Al adl hanya pantas dipunyai atau bagi Allah
sedangkan Syara’ hanya memperkuat dan memberi tanda-tandanya saja, bahkan akal
tanpa bantuan syara’ tidak dapat menentukan baik buruk.
3)
Nubuwwah
Kaum Syi’ah meyakini bahwa semua Nabi yang disebutkan dalam
Al Qur’an adalah utusan Allah dan hamba-hambaNya yang mulia. Mereka ditugaskan
untuk mengajak manusia kepada yang Al Haq atau Allah. Nabi Muhammad SAW adalah
Nabi terakhir dan pemimpin para rasul. Hal terpenting dalam keyakinan mereka
tentang kenabian adalah permasalahan ‘Ishamah (ma’shum). Mereka meyakini
tentang kesempurnaan sifat-sifat Nabi. Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi adalah mukjizat, begitupun juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan
kenabian dan al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad dan kitab suci umat Islam.
4) Imamah
Mengenai masalah ini, kaum Syi’ah
berpandangan bahwa imamah bukanlah masalah kemaslahatan umum, melainkan
merupakan suatu rukun agama dan pokok agama Islam yang tidak boleh dilalaikan
oleh Nabi atau diserahkan oleh rakyat, artinya rakyat tidak mempunyai hak untuk
memberikan pertimbangan dan menunjuk seorang imam melainkan hanya Nabi yang
berkewajiban menunjuk imam yang akan memimpin rakyat sepeninggal beliau. Dan
setiap imam wajib pula menunjuk imam yang akan menggantikannya. Kaum Syi’ah
berpandangan bahwa dalam agama Islam tidak ada sesuatu yang lebih penting dari
pada masalah penunjukan imam, apabila imam tersebut telah menunjuk penggantinya
maka ia akan dapat meninggal dunia dengan perasaan lega dan tidak merasa kuatir
atas kepentingan rakyat.
Oleh karena Nabi mempunyai kewajiban
untuk menunjuk imam yang akan mengurus kepentingan kaum muslimin sesudah beliau
wafat, maka beliau telah melaksanakan kewajiban itu yaitu telah menunjuk Ali,
dan penunjukannya dilakukan dengan nash yang jelas bukan secara sindiran. Peristiwa ini terjadi di suatu
tempat yang disebut ghadir kham. Sabda Nabi yang dimaksud berbunyi : “ Ali
adalah teman bagi orang yang saya menjadi temannya. Ya Allah tolonglah siapa
yang menolongnya, dan musuhilah siapa yang memusuhi, menangkanlah siapa yang
memenangkannya, dan kalahkanlah siapa yang megalahkannya. Jadikanlah kebenaran
itu besertanya selama-lamanya semoga aku telah menyampaikan apa yang wajib
kusampaikan”
Bahwa imamah itu adalah khusus untuk Ali dan anak cucunya
dari isterinya yaitu Fatimah. Mereka adalah ahlulbait, dan pohon rindang yang
beroleh berkah, yang karenanya Allah senang kepada seluruh manusia. Orang
selain mereka tidak berhak untuk menduduki jabatan imamah itu sampai Allah
mewarisi bumi ini dan semua orang yang berada diatasnya. Dan selain itu, mereka
itu adalah ma’shum yakni terhindar dari perbuatan dosa dan tidak pernah salah
ataupun lupa.
5) Ma’ad
Dalam pandangan kaum Syi’ah, Ma’ad yang
dimaksud setara dengan doktrin Raj’ah yaitu keyakinan akan dihidupkannya
kembali sejumlah hamba Allah yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang
paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT di muka bumi
bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.
Keyakinan
itu didasarkan pada al Qur’an surat al Mukmin ayat 11:
“Mereka menjawab, Ya Tuhan kami, Engkau
telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali pula, lalu
kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adalah suatu jalan bagi kami untuk keluar”.
3. Murjiah
Faham aliran Murjiah bisa diketahui
dari makna yang terkandung dalam “Murjiah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak
pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang
yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan
berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau
memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa
sesuai dengan dosanya. Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang
yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna.
Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap
keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh
orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka
“berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan
mukmin.
Berdasarkan itu, maka inti faham
Murjiah adalah Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak
mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”,
ia mukmin sekalipun melakukan dosa. Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman
adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman
seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.
Faham ini menurut al-Asy’ari identik dengan faham golongan
moderat. Faham yang sama juga diberikan oleh al-Baghdadi ketika ia menerangkan
bahwa ada tiga macam iman:[8]
a.
Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam
neraka, yaitu mengakui Tuhan, Kitab, Rasul-rasul, kadar baik dan buruk serta
sifat-sifat Tuhan
b. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan
nama fasik dari seseorang serta yang melepaskannya dari neraka, yaitu
mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
c.
Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga
tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan yang wajib serta sunnah dan menjauhi
segala dosa.
C.
Perkembangan aliran Khawarij, Syi’ah
dan Murjiah
1.
Khawarij
Semakin lama kelompok yang memisahkan diri ke Harura semakin
membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah
mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa
yang terletak di tepi barat sungai Tigris. Ali berusaha berunding dengan mereka
tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi
meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur
setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan
mencapai 4000 orang di bawah pimpinan Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula Ali
tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia
mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak
mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah Abdullah ibn
Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi.
Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan
mereka. Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya
bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian
memenuhi anjuran Ali, ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung
serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang
tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang
dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka
mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itulah kelompok Khawarij yang
terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. Ali sendiri kemudian
menjadi korban dibunuh oleh Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota
keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini,
walaupun dari segi fisik Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di
situ, telah mengakibatkan Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara
tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang
menguras Ali untuk menghadapinya. Mu’awiyah pun, yang setelah Ali wafat
menjabat kedudukan Amirul Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan arif),
selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas
habis Khawarij.[9]
Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij
terpecah menjadi beberapa kelompok, Para sejarawan berbeda pendapat tentang
jumlah kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak
kurang dari dua puluh kelompok, sebagian ushûl dan yang lain furû’. Yang termasuk ushul menurut Abu
Hasan Al-Asy’ary adalah : Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdiyah dan ash-Shufriyah.
Sementara menurut Syahrastani yang masuk ushûl adalah al-Muhakkimah al-Ula,
al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-‘Ajaridah, ats-TsaAlibah,
al-Ibadhiyah dan ash-Shufriyah. Yang termasuk furu’ banyak sekali, tidak
relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di antaranya adalah
al-‘Athawiyah, al-Fadikiyah dan al-‘Ajaridah.
Harun Nasution mengidentifikasikan beberapa indikasi aliran
yang dapat dikategorikan sebagai aliran Khawarij, yaitu:
1.
Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang
tersebut Islam
2.
Islam yang benar adalah Islam yang mereka fahami dan amalkan sedangkan Islam
yang difami oleh kelompok lainya tidak benar
3.
Orang-orang Islam yang tersesat dan kafir perlu dibawa kembali ke Islam yang benar
yaitu Islam yang mereka fahami
4.
Pemerintah dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka diangap sesat
5.
mereka bersifat fanatik dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan
untuk mencapai tujuan mereka.
2.
Syi’ah
Setiap mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi
mazhab tersebut. Dengan bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru
yang berbeda dengan dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya.
Sebagai contoh, satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang
ditentukan oleh pembawa Syari’at sebagai penerus keberlangsungan dakwah
Rasulullah SAW. Ini adalah sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh
mazhabnya. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para
pemeluknya dalam menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai
penerusnya. Dengan demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari
mazhab itu. Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan
Islam mengalami realita tersebut di atas.
Mazhab Syi’ah pun tidak terkecualikan dari realita ini. Pada
masa hidupnya Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husein tidak terjadi perpecahan
dalam tubuh mazhab Syi’ah. Setelah Imam Husein syahid, mayoritas pengikut
Syi’ah menjadikan Imam Ali As-Sajjad sebagai imam keempat dan kelompok
minoritas yang dikenal dengan sebutan “Kaisaniyah” menjadikan putra ketiga Imam
Ali yang bernama Muhammad bin Hanafiah sebagai imam keempat dan mereka meyakini
bahwa ia adalah Imam Mahdi yang ghaib di gunung Ridhawi. Di akhir zaman ia akan
muncul kembali.
Ahlus Sunnah juga mempercayai bahawa Imam Mahdi adalah iman
yang ghaib, tetapi tidak semua yang mempercayainya. Konsep imam yang ghaib ini
hanya dipercayai oleh kalangan ahli tasawuf dan para pengikut mereka sahaja,
tidak dibawa kepada orang awam. Ahli-ahli tasawuf ini mendasarkan kepercayaan
mereka itu kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Konsep imam ghaib Ahlus Sunnah ini
nyata jauh berbeda daripada konsep imam ghaib bagi golongan Syi’ah, yang secara
jelas menyatakan bahwa siapa yang tidak mempercayai keghaiban imam mereka,
dihukumkan kufur. Ini
jelas diambil dari maksud zahir hadis yang diriwayatkan oleh mereka. Maknanya,
mempercayai Imam Mahdi sebagai ghaib adalah merupakan salah satu cabang rukun
iman yang wajib diketahui, diyakini dan disampaikan bagi sekalian pengikut
mazhab Syi’ah.
Setelah Imam Sajjad syahid, mayoritas
pengikut Syi’ah mengakui Imam Baqir, putranya sebagai imam Syi’ah dan kelompok
minoritas meyakini Zaid, putranya yang lain sebagai penggantinya. Kelompok ini
akhirnya dikenal dengan nama Syi’ah Zaidiyah.
Semua kelompok dan aliran cabang di
atas telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali tiga aliran yang hingga
sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga aliran Syi’ah
tersebut adalah Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Zaidiyah:[10]
1.Syiah Itsna Asyariyyah :
Kaum Syiah aliran ini mendominasi Iran
dan menjadi mayoritas pada masyarakat Syiah di Irak, Azerbeijan, Bahrain dan
pada masyarakat Muslim Lebanon.[24] Aliran ini meyakini bahwa silsilah Imam
berlanjut dari keturunan Imam yang ke empat yaitu Zainal Al Abidin Al Sajjad
kepada puteranya Muhammad Al Baqir sebagai Imam ke lima dan Ja’far Al Shadiq
yang merupakan Imam ke enam sampai kepada Imam ke dua belas yaitu Muhammad Al
Muntazar ( Al Mahdi ), yang dipercaya oleh aliran ini diberikan Tuhan sebuah
kehidupan panjang sampai akhir dunia tetapi berada dalam alam ghaib. Imam Mahdi tetap menjadi pemimpin di
dunia yang tersembunyi dan dapat muncul atau memperlihatkan diri kepada
orang-orang yang memiliki kondisi spiritual tertentu. Dan akan muncul secara
terbuka sebelum akhir waktu, yaitu ketika ketidak adilan dan penindasan telah
menyeluruh dan akan membangun kembali keadilan dan perdamaian di muka bumi
serta akan mempersiapkan dan mengkondisikan kedatangan Isa dari surga.
Selain dari pada itu kaum Syiah aliran
ini mempercayai ke dua belas Imam tersebut sebagai pemberi petunjuk yang
menggantikan Rasulullah Muhammad sebagai pemimpin umat dalam maslah-masalah
agama dan kemasyarakatan. Skema
Imam dua belas adalah sebagai berikut :
1. Ali Ibn Abi Thalib
2. Al Hasan
3. Muhammad Al Baqir
4. Ja’far Al Shadiq
5. Musa Al Kazhim
6. Ali Al Ridha
7. Muhammad Al Jawwad
8. Ali Al Hadi
9. Al Hasan Al Askari
10. Muhammad Al Muntazar (Al Mahdi )
11. Zaid Al Husein
12. Al Zain Al Abidin Ismail
2.
Syiah Ismailliyah :
Aliran ini memisahkan dari mayoritas kaum Syiah karena
perdebatan disekitar identitas Imam ketujuh. Seperti diketahui bahwa menurut
keyakinan kaum Syiah , Imam ke enam, Ja’far Al Shadiq telah memilih puteranya ,
Ismail berdasarkan ilham dari Tuhan menjadi Imam ketujuh. Akan tetapi, Ismail
meninggal dunia ketika bapaknya masih hidup. Berikutnya Imam Al Kazim dipilih
sebagai Imam ke tujuh, tetapi sejumlah orang di dalam masyarakat Syiah menolak untuk
menerima penganugerahan itu dan tetap berpandangan bahwa Ismail yang dikenal
dengan sebutan Muhammad al Maktum adalah Imam ke tujuh bagi mereka, sehingga
mereka dinamakan aliran Ismailliyah.
Selama beberapa waktu , Imam-imam
mereka tidak muncul secara terbuka sampai tiba-tiba pada abad ke 10, penganut
aliran ini , di Tunisia menyatakan diri sebagai penguasa dan memperluas
kekuasaannya sampai ke Mesir dan hampir ke seluruh Negara Afrika Utara dan
Suriah. Dan bahkan mereka mampu mendirikan kekhalifahan Fatimiyyah yang
menyaingi dan menantang kekhalifahan Sunni Abbasiyyah yang ber ibukota di
Baghdad.Kekhalifahan Fatimiyyah menjadikan Kairo sebagai ibu kota dan membangun
kota itu sehingga menjadi pusat ilmu dan seni, yaitu dengan telah didirikan
Universitas Al Azhar dan sekarang menjadi institusi pendidikan paling penting
bagi umat Islam dunia.Walaupun jumlah mereka jelas lebih kecil disbanding
dengan pengikut Itsna Asyariyah tapi sumbangannya sangat besar dalam
keseluruhan sejarah Islam secara intelektual, seni dan politik sehingga mereka
telah mengambil tempat yang sangat penting dalam spectrum Islam.
3.
Syiah Zaidiyyah :
Syiah Zaidiyyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Husein bin
Ali bin Abi Thalib. Aliran kelompok Syiah ini menginginkan bahwa yang berhak menjadi
khalifah setelah Husein bin Ali adalah puteranya yaitu Zaid bin Husein. Dalam
masalah Imamah mereka menyatakan bahwa Imam tidaklah ditentukan oleh Nabi SAW,
siapa orangnya tetapi hanya sifat-sifatnya. Tegasnya Nabi SAW tidak menyatakan
bahwa Ali lah yang akan menjadi imam setelah beliau wafat, namun Nabi hanya
menyebut sifat-sifat imam yang akan menggantikan beliau, Ali ditetapkan sebagai
imam , karena sifat itu terdapat dalam diri Ali, sifat-sifat yang dimaksud
adalah Takwa, berilmu, kemurahan hati, dan keberanian, sedangkan untuk imam
sesudah Ali ditambah sifat keturunan Fatimah.
Aliran Syiah Zaidiyyah pada abad ke 10
memiliki banyak pengikut di Persia dan Arab bagian timur tapi berangsur-angsur
mereka mereka pindah ke Yaman, yang akhirnya mereka mengisi setengah dari
jumlah penduduk negara tersebut dan menjadi penguasa selama ribuan tahun sampai
pada 1962.
Aliran Syiah ini mempunyai pendiria
bahwa siapa saja yang taat beragama, berilmu pengetahuan akan dapat
mempertahankan negara dan memelihara perdamaian keamanan maka siapa saja yang
mempunyai kualifikasi tersebut dapat diangkat menjadi imam dan memimpin,
sehingga dapat dikatakan bahwa Syiah Zaidiyyah ini lebih moderat dibanding
dengan Syiah Ismailiyyah. Walaupun jumlah pengikut aliran ini hanya beberapa
juta, namun sejarah penyebarannya selalu terkait dengan aktivitas dan institusi
politik, hal ini lah yang menyebabkan aliran Syiah ini berkuasa selama ribuan
tahun.
3. Murjiah
Kaum Murjiah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun,
pada umumnya Aliran Murjiah terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan
moderat” dan “golongan ekstrim”. Golongan Murjiah moderat berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi
akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan
Murjiah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibn Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam
yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah
menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang
menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati,
tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap
merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
Ada beberapa kelompok Murjiah lainnya yang ekstrim yaitu:[11]
1.
Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Salat bukan
merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam
arti mengetahu Tuhan.
2.
Yunusiah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan meksiat atau
perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam man, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan
jahat yang dkerjakan tidaklah merugikan orang yan bersangkutan.
Jadi dapat kita sampaikan bahwa aliran
Khawarij adalah salah satu dari tiga aliran awal dalam pemikiran Islam yang
muncul pada saat terjadinya pertentangan politik (imamah) antara pengikut
Mu’awiyah dan pengikut Ali, yang kemudian berujung dengan digelarnya upaya
perdamaian (Majlis Tahkim). Yang
dipertentangkan itu adalah tentang siapakah yang berhak menggantikan khalifah
setelah khalifah Utsman bin Affan meninggal. Dua aliran lainnya adalah aliran
Murjiah dan Syi’ah. Aliran Syi’ah adalah gerakan politik dan pemikiran yang
setia terhadap Ali bin Abi Thalib, yang memiliki pandangan teologis bahwa ”yang
berhak menggantikan kursi kekhalifahan setelah Rasul wafat adalah Ali bin Abi
Thalib beserta keturunannya”. Sedangkan, aliran Murj’iah adalah gerakan
pemikiran dan politik yang memiliki sikap dan pandangan yang moderat. Yang
dimaksud kemoderatan di sini adalah bahwa mereka tidak memihak kepada kelompok
Ali maupun Muawiyah, sehingga tidak memutuskan siapa yang ”benar” dan ”salah”,
semuanya diserahkan kepada keputusan Allah. Adapun aliran Khawarij adalah
gerakan pemikiran dan politik yang menentang adanya majlis tahkim termasuk
semua hasil yang diputuskannya.
Mereka menganggap, bahwa orang-orang
yang mengikuti bahkan menyepakati hasil majlis tahkim itu telah menyimpamg dari
ajaran Islam (dosa besar), dan bahkan dihukumkan kafir. Sebenarnya, para
pengikut Khawarij adalah pengikut setia Ali bin Abi thalib. ”Mereka keluar”
(Khawarij) dari barisan Ali, karena persoalan majlis tahkim itu. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa kemunculan aliran Khawarij dengan segala gerakan, sikap, dan pandangannya
menjadi tanda atau indikasi kemunculan radikalisme pemikiran dalam Islam yang
diakibatkan oleh faktor politik, fanatisme, dan pemahaman yang literal terhadap
ajaran Islam.
Jika dihubungkan dengan pemikiran Islam dewasa ini, maka
ciri-ciri radikalisme, ternyata telah muncul dan berkembang disebagian umat
Islam, dengan indikasi:
Pertama;
dalam memahami ajaran Islam (Alquran dan As-Sunnah) berdasarkan kepentingan
kelompok atau golongannya. Sehingga, simbol-simbol agama dijadikan sebagai
’alat politik’ untuk mendapatkan dukungan dan simpati masyarakat. Tidak menutup
kemungkinan pula, akibat dari pemahaman yang liberal, mementingkan kelompoknya
sendiri, dan sikap-sikap yang radikal itu, menyebabkan mereka menjadi kelompok
Muslim yang marjinal (eksklusif), dan bahkan bisa memunculkan aliran-aliran
sesat.
Kedua;
faktor ”Barat”. Kemunculan radikalisme dalam pemikiran Islam pada masa modern
dan kontemporer sekarang ini tidak lepas dari faktor ”Barat” pada umumnya.
Faktor inilah yang ikut mendorong bagi upaya-upaya pembaharuan di kalangan kaum
muslimin, yang pada gilirannya muncul dalam bentuk ”modernisme” dan
”reformisme”. Bagi kaum reformis dan modernis, bahwa untuk mengangkat kaum
muslimin dari kemunduran dan keterbelakangan, dalam segi-segi tertentu, perlu
dilakukan adopsi pemikiran dan kelembagaan Barat. Namun sebaliknya, bagi kaum
radikal dan ekstrim, justru Barat menjadi faktor kemunduran umat Islam. Bagi
mereka, Barat tidak hanya menjajah wilayah muslim (dar-al-Islam), tetapi juga
telah merusak dan menghancurkan sistem nilai, budaya, sosial, ekonomi, dan
intelektualitas Islam. Mana mungkin mengikuti kaum Barat yang secara keimanan
dan moral telah mengalami kebobrokan.
[2] K.H. Siradjuddin Abbas, I`tiqad Ahlussunnah Wal Jannah, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah Baru, 2010, hal. 93.