PENGERTIAN WARIS MAWALI/ WARIS PENGGANTI

ADMIN
>>>Baca Juga Cerita Unik
WARIS MAWALI (WARIS PENGGANTI)

a.        Latarbelakang
Realitas hukum di Indonesia, termasuk hukum waris berada dalam bagian ”pluralisme hukum”[1]. Hukum pada dasarnya adalah sarana untuk  menemukan dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Masyarakat diberikan kebebasan untuk menentukan dan mempertimbangkan keadilan yang menurutnya mampu untuk mengubah kepribadian dalam masyarakat itu sendiri.
Memang secara normatif, hukum yang mengatur tentang pola hidup bermasyarakat telah tersusun rapi dalam al-Qur’an maupun Al-Hadits. Akan tetapi, semua itu sebagian besar hanya terobsesi di kalangan budaya Arab ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dalam mengaplikasikannya. Seperti halnya di Indonesia yang memiliki kemajemukan atau yang kita kenal sebagai negara pluralis yang mana di dalamnya berbagai macam norma-norma adat yang telah dilaksanakan cukup lama, sehingga menimbulkan sedikit gesekan dalam Islam. Salah satunya adalah masalah kewarisan yang memang telah diatur secara sistematis. Hanya dalam permasalahnnya, apakah hal itu menjadi relevan dan memenuhi rasa keadilan ketika diterapkan di Indonesia? mungkin ini yang menjadi pertanyaan mendasar dalam penyusunan makalah ini.

b.        Rumusan Masalah
1.      Apa analisis fiqh tentang ahli waris pengganti?
2.      Bagaimana KHI mengatur ahli waris pengganti dalam kewarisan?
3.      Apa saja problematika yang terjadi pada ahli waris pengganti dalam praktik di pengadilan dan praktik di masyarakat?



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Analisis Fiqh tentang Ahli Waris Pengganti
Al-Quran dan Al-Hadits merupakan sumber rujukan dalam persoalan fiqh. Termasuk kewarisan merupakan bagian yang tidak lepas di dalamnya. Hukum kewarisan sering diartikan dengan pemberian harta warisan kepada sanak keluarga yang berhak menerima warisan sebagaimana yang telah diatur atau sesuai ketentuan hukum syara’[2]. Bagian-bagian hukum kewarisan meliputi pewaris, ahli waris, harta warisan dan mekanisme pembagiannya kepada ahli waris berdasarkan ketentuan Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Sebagian fuqaha’ terutama para fuqaha’ mazhab, memahami hukum kewarisan merupakan hukum yang sudah final, rigid dan pasti. Sehingga tidak memungkinkan lagi dalam penafsiran dan pentakwilannya, selain yang telah tertulis secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits[3]. Pandangan ini menjadi dalil di masyarakat muslim bahwa hukum kewarisan yang telah dijelaskan dalam Al-Quran adalah qath’iy. Sehingga tidak menerima adanya pergantian tempat ahli waris, apalagi perubahan dan penafsiran lain. Apalagi kitab-kitab fiqh klasik yang kita kenal dengan sebutan kitab kuning tidak memberikan ruangan dalam penjelasan problem ini.
Paradigma para fuqaha’ klasik tentang fiqh waris yang tekstual ini secara real berbanding terbalik dengan masyarakat muslim di zaman ini, terutama bagi mereka yang sangat kental dengan hukum adat. Bila diteliti lebih jauh, banyak persoalan yang terjadi di masyarakat yang memang membutuhkan tafsiran baru dan ijtihad, sehingga hukum kewarisan dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Hadirnya para pemikir-pemikir muslim seperti Ibnu Katsir, Imam Thabraniy, Imam Qurtubi, Muhammad Abduh, Sayyid Sabiq, Fazlur Rahman, Yusuf Al-Qaradhawiy dan pemikir-pemikir lainnya telah memberikan kontribusi yang menyegarkan khususnya buat masyarakat dalam persoalan hukum kewarisan.[4]
Para pemikir-pemikir ini memberikan tafsiran baru tentang kewarisan diantaranya mengenai “pergantian tempat ahli waris”. Para pemikir kontemporer ini cenderung memberikan hak waris kepada cucu walaupun ayahnya telah meninggal dunia. Persoalan ini adalah persoalan ijtihadiyah, dan ternyata fiqh kewarisan yang dibangun oleh ulama klasik juga menyimpan problem yang harus diselesaikan dalam konteks kekinian. Rujukan utama dalam hal ini terdapat dalam al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 11, yang berbunyi:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$#
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.

Ayat ini yang menjadi landasan bahwa cucu memperoleh harata warisan dari kakek. Imam Qurtuby memaknai kata “awlad” bukan hanya untuk anak laki-laki, akan tetapi untuk makna keturunan selanjutnya[5]. Lebih jauh lagi, beliau memaknainya bukan saja anak laki-laki, tetapi juga termasuk anak perempuan. Beliau memaknai surat An-Nisa’ ayat 11 “Allah mewajibkan kamu tentang awlad (anak-anak kamu), buat seorang anak laki-laki (adalah) seperti bahagian dua anak perempuan. Pandangan beliau ini bersumber dari Ibnu Abbas terhadap makna “awlad” di dalam surat An-Nisa’ ayat 11.[6]
Al-Maraghy, Sayyid Sabiq dan Yusuf Al-Qaradhawy juga tidak menolak dengan diadakannya  lembaga pergantian tempat ahli waris. Mereka sependapat dengan Imam Qurtuby dalam menafsirkan ayat diatas.[7] Para ulama ini memandang bahwa pergantian ahli waris merupakan suatu ijtihad yang sesuai dengan keadaan zaman sekarang ini, sehingga memungkinkan kepada cucu untuk menggantikan bapaknya yang telah meninggal terlebih dahulu dan mendapatkan warisan dan kakeknya. Apalagi jika posisi cucu tersebut dalam keadaan miskin sehingga mestinya mendapatkan hak waris karena ini adalah salah satu bentuk keadilan dalam kewarisan islam.[8]
Di Indonesia, pemikiran tentang konsep ini dibicarakan oleh Hazairin. Landasannya adalah surat An-Nisa’ ayat  33 yang berbunyi:
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%Ÿ2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© ÇÌÌÈ  
Artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

Hazairin menerangkan bahwa kandungan ayat ini adalah bahwa Allah mengadakan mawali  untuk si fulan dari harta peninggalan orang tua dan keluarga dekat serta pihak alladzina ‘aqodat aymaanukum, dan berikanlah kepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya. Fulan dianggap sebagai ahli waris karena diiringi kata walidain dan aqrobun yang menjadi pewaris. Jika yang menjadi pewaris adalah orang tua (ayah-ibu), maka ahli waris adalah anak dan atau mawali anak. Jika anak itu masih hidup tentulah mereka yang mengambil warisan tersebut sesuai ayat 11 surat An-Nisa’. Sebaliknya jika anak tidak ada lagi, maka cucu merupakan mawali dari kakek, sehingga ia dapat menempatkan posisi ayah  untuk menerima harta warisan dari kakeknya yang meninggal dunia[9].

B.       Ahli waris pengganti menurut KHI
Pada dasarnya kitab-kitab klasik yang menjelaskan tentang fiqh kewarisan tidak menjelaskan secara eksplisit tentang konsep ahli waris pengganti. Akan tetapi fiqh telah dahulu menjelaskan bahwa ketika pewaris meninggal dunia, maka anak dan keturunan yang berhak mendapatkan warisan. Namun istilah yang digunakan bukan “ahli waris pengganti” akan tetapi istilah “tanzil”. Meskipun istilah ini mengandung hakikat makna ahli waris pengganti akan tetapi makna tersebut tidak sempurna karena yang berhak sebagai ahli waris pengganti hanyalah keturunan laki-laki, yang meninggal lebih dahulu dari pewaris. Dengan kata lain, hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki (ibnu ibnin dan bintu bintin) yang dapat menerima warisan dari kakeknya, dan itupun bagian yang telah ditentukan secara pasti, baik ashabul furudh maupun ashabah. Maka dengan konsep seperti ini, Kompilasi Hukum Islam mengakomodasi adanya institusi pergantian tempat ahli waris dengan beberapa perubahan dan pembaruan. Dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang lengkapnya adalah:
a.       Ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173
b.      Bagian ahli waris tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti[10].
Ketentuan pasal 185 KHI, dipertagas lagi dalam buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama tentang asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti adalah:
a.       Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang disebut dalam Pasal 174 KHI
b.      Ahli waris pengganti (plaatservulling) adalah ahli waris yang diatur berdasarkan Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam pasal 147 KHI. Diantara keturunan dari anak laki-laki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan nenek, yaitu bibi dan keturunannya. (paman walaupun keturunan dari kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti, karena paman sebagai ahli waris langsung yang disebut dalam pasal 174 KHI).

Ketentuan dari pasal  185 (1) dapat kita pahami bahwa yang menjadi ahli waris adalah keturunan dari anak laki-laki dan keturunan anak perempuan. Hal ini bertolakbelakang dengan konsep fiqh waris klasik yang tidak membenarkan keturunan perempuan menjadi ahli waris pengganti (konsep tanzil), bahkan cucu laki-laki tidak mendapatkan warisan yang ketika itu terdapat anak laki-laki sehingga statusnya terhijab. Problem inilah yang menjadi landasan pikiran para perumus KHI terutama pasal 185.
Di dalam buku “Kedudukan Wanita dalam Hukum Kewarisan” karya M. Yahya Harahap dijelaskan bahwa:
“Barangkali dasar pemikiran yang dijadikan pertimbangan bagi perumus KHI dalam merumuskan pasal 185 adalah bertitik tolak pada alasan sosial ekonomi. Pada satu sisi, pasal ini mengaitkan dengan alasan monopolistik atas harta warisan serta alasan kepatutan dan alasan kemanusiaan pada sisi lain. Bukankah pada umumnya, anak yatim lebih sengsara dibandingkan dengan saudara ayah atau saudara ibunya. Pada saat kakek atau nenek meninggal dunia, saudara ayah atau saudara ibu lebih mapan ekonominya, sedangkan mereka sebagai anak yatim, hidup terlantar. Pantaskah dan manusiawikah, menyingkirkan mereka untuk mewarisi harta kakek/nenek sebagai pengganti ayah atau ibunya. Bukankah dalam hal ini saudara-saudara mendiang ayah/ibunya memonopoli harta warisan kakek/nenek, meskipun keadaan sosial ekonomi mereka sudah mapan”.[11]
Adapun dalam Pasal 185 (2), disini menyimpan problematika porsi ahli waris  pengganti, karena kalau ditinjau dalam pembagiannya menurut ketentuan nash, maka yang terjadi adalah bagian ahli waris pengganti (cucu) lebih besar daripada pewaris yang masih hidup. Maka hal ini akan mengakibatkan ahli waris mendapatkan bagian lebih sedikit dibanding ahli waris pengganti. Oleh karena itu dalam pasal 185 ini dijelaskan bahwa bagian seorang ahli waris pengganti itu tidak boleh melebihi ahli waris yang sederajat.[12]
Problematika diatas yang digunakan untuk menguji ketentuan pasal 185 KHI dalam terapan di Pengadilan Agama. Olehnya seorang hakim harus mampu melakukan sebuah langkah baru dalam menerapkan pasal 185 KHI, sehingga melahirkan kesetaraan dan keadilan. Alur pikiran KHI, terutama dalam pergantian ahli waris adalah; harta benda dalam keluarga memang disedikan sebagai dasar material keluarga dan keturunannya yang masih hidup, dan anak-anaknya dapat menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris terhadap benda kakeknya.[13]

C.      Problematika Ahli waris pengganti dalam Praktik Pengadilan dan Masyarakat
a.       Praktik Pengadilan
Pergantian ahli waris (plaatsvervulling) di Indonesia berakar dari hukum adat, dan kemudian diperkuat dengan Hukum Perdata Belanda (BW) dan dipraktikkan oleh sejumlah pengadilan Hindia Belanda. Dalam realitas ini memperkuat secara formal dan non formal adanya lembaga pergantian ahli waris.[14]
Di lingkurangan Peradilan Agama, penerapan pergantian ahli waris baru dimulai sejak lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991. Sebelumnya penerapan ini tidak ada, karena yang digunakan adalah merujuk pada kitab-kitab fiqh klasik yang mana tidak memberikan ruang gerak pada konsep ahli waris pengganti. KHI memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pergantian tempat ahli waris ini. Namun kenyataannya dalam praktik pengadilan Agama masih banyak ditemukan kendala-kendala penafsiran Pasal 185 KHI, seperti contoh putusan Pengadilan Agama di Selong Kab. Lombok Timur No. 111/pdt/G/1997/PA.SEL, tanggal 26 Agustus 1997 M, bertepatan dengan 22 Rabiul Akhir 1418 H.[15]
Putusan tingkat pertama ini menetapkan ahli waris pengganti yang terdiri: cucu perempuan dari anak perempuan (1/18 bagian) dan cucu laki-laki dari anak perempuan (1/18 bagian). Putusan PA Selong ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Mataram dengan nomor putusan No. 04/Pdt-G/1998/PTA.MTR, tanggal 28 Maret 1998 bertepatan dengan tanggal 29 Zulqo’dah 1418 H. PTA Mataram beralasan bahwa ahli waris pengganti yang ditetapkan oleh PA Selong termasuk dalam kategori dzawil arham, sehingga tidak berhak mendapat warisan melalui ahli waris pengganti.[16]
Keputusan PTA Mataram akhirnya juga dibatalkan oleh Mahkamar Agung RI No. 354.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober 1999. Dalam putusannya itu bahwa putusan judex factie  PTA telah salah menerapkan hukum, sehingga Mahkamah Agung langsung mengambil alih masalah tersebut. MA menetapkan ahli waris pengganti seperti keputusan putusan PA Selong. Kaidah hukum yang dapat dipetik adalah: (1) khusus harta warisan yang terjadi pada tahun 1998, dapat diterapkan KHI, karena gugutan masalah harta warisan tersebut diajukan ke pengadilan Agama pada tahun 1997, setelah berlakunya KHI; (2) menurut KHI pasal 185, ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris dapat digantikan oleh anaknya yang disebut ahli waris pengganti, yang bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat yang diganti dalam perkara ini.[17]
Dari gambaran diatas nyatalah bahwa dalam penerapan Pasal 185 KHI harus memerlukan keseriusan hakim dalam mempertimbangkan putusannya. Sehingga dari itu dapat mewujudkan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. Hal yang sama juga dipastikan terjadi pada lingkungan PA di seluruh Indonesia.

b.      Praktik Masyarakat
Masyarakat kita dalam permasalahan ahli waris pengganti masih terdapat perbedaan konseptual, khususnya di Aceh yang realitas kehidupannya masih kental dengan esensi hukum islam.[18] Secara konseptual, ulama Aceh menolak dengan adanya ahli waris pengganti karena ketentuannya tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Kendati demikian ulama Aceh tidak pernah menutup pintu terhadap penafsiran baru terhadap hukum islam. Maka atas dasar ini dalam praktik masyarakat Aceh masih banyak ditemukan ahli waris yang memberikan sedikit atau sebagian harta mereka untuk anak yatim yang ditinggalkan orang tuanya.
Dalam hukum adat Aceh dikenal istilah patah titi atau putoh tutu dalam hukum kewarisan[19]. Maksudnya adalah jika seorang ayah meninggal dahulu, maka cucu tidak mendapatkan warisan dari kakeknya bila kakek meninggal dunia. Maka hak waris seorang cucu akan terhijab oleh saudara laki-laki atau perempuan  si anak yang meninggal dunia. Pandangan ini dikenal dengan patah titi atau putoh tutu. Dalam konsep ini, sang ayah berlaku sebagai titi atau jembatan penghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang ayah meninggal dunia maka terputuslah hubungan penyebab kewarisan antara kakek dan cucu.
Selain itu dalam aturan adat aceh, sang Ulama yang menjadi saksi dalam pembagian harta warisan tersebut akan mendapatkan sedikit bagian yang dikenal dengan istilah hak reheung (hak menanti dan menyaksikan). Namun pemberian yang diberikan kepada anak yatim (cucu) dan ulama ini, bukanlah disebut warisan, akan tetapi hibah. Umumnya jumlahnya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta warisan.[20]
Praktik hukum kewarisan ini jelas terdapat pandangan berbeda dalam konsep hukumnya. Olehnya, dibutuhkan penjernihan dalam hal ini. Sehingga tidak menimbulkan “penyembunyian hukum” dan pemberian hak waris kepada mereka yang tidak diatur dalam hukum. Akibat dari dominasi pandangan ulama ini yang menganut paham patah titi atau putoh tutu, maka sedikit sekali persengketaan yang menyangkut masalah ahli waris pengganti di Pengadilan Agama, karena kebanyakan masalah tersebut diselesaikan dengan jalur hukum adat dan agama dengan mengumpulkan orang tua, ulama dan karib kerabat.
Memang, penyelesaian sengketa kewarisan melalui jalur adat dan agama jauh lebih baik, namun harus ada kepastian bahwa cucu mendapatkan hak dan jaminan perlindungan dari hukum dari harta warisan kakeknya. Olehnya hal ini seharusnya mendapat pengakuan yang mengikat dari hukum tertulis di Pengadilan Agama. Sehingga menumbuhkan kesadaran bahwa hukum kewarisan islam itu membawa keadilan, jaminan dan perlindungan serta pemastian keberlangsungan hidup di generasi mendatang.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari paparan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Pada awalnya masyarakat muslim memahami bahwa hukum kewarisan yang dijelaskan dalam al-Qur’an adalah qhat’iy. Sehingga tidak menerima adanya pergantian tempat ahli waris, apalagi perubahan dan penafsiran lain.
2.      Para pemikir-pemikir muslim seperti Ibnu Katsir, Imam Thabraniy, Imam Qurtubi, Muhammad Abduh, Sayyid Sabiq, Fazlur Rahman, Yusuf Al-Qaradhawiy dan pemikir-pemikir lainnya telah memberikan kontribusi yang menyegarkan khususnya buat masyarakat dalam persoalan hukum kewarisan, yaitu adanya penafsiran baru dengan diadakannya “ahli waris pengganti”.
3.      Berdasarkan paradigma diatas pula, KHI mengakomodasi adanya institusi pergantian tempat ahli waris dengan beberapa perubahan dan pembaruan, sehingga terbentuklah Pasal 185 KHI.
4.      Pengadilan Agama Dalam menerapkan Pasal 185 KHI harus memerlukan keseriusan hakim dalam mempertimbangkan putusannya. Sehingga dari itu dapat mewujudkan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
5.      Diskusi dan sosialisasi terhadap konsep pergantian tempat ahli waris harus terus menerus dilakukan kepada masyarakat agar menumbuhkan kesadaran bahwa hukum kewarisan islam itu membawa keadilan, jaminan dan perlindungan serta pemastian keberlangsungan hidup di generasi mendatang.



DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal. Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Wanita Dalam Hukum Kewarisan, Majalah Mimbar Hukum No. 10, Tahun 1996.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, Jakarta: Tinta Mas, 1961.
Hoballah, Hisyam. Understanding Islamic Law; From Classical Contemporary, Oxfor UK: Altamira Press, 2006.
Ihromi. Pluralisme System Hukum, Jakarta: UI Press, 1987.
Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al-Hikmah Dan Ditbinbapera, 1998.
Maraghy, Imam Al-. Tafsir Al-Maraghy, Cairo: Maktabah Al-Islamiyah, 1982.
Musa, Muhammad Yusuf. Ahkam At-Tirkah Fil Islam, Kairo: Dar Al-Ma’rifat, 1978.
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012.
Qaradhawy, Yusuf Al, Kumpulan Ijtihad Kontemporer, Jakarta: Firdaus, 1990.
Qurtuby, Imam. Tafsir al-Qurtuby, Beirut: Dar Al-Fikr Al-‘Araby, 2006.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 2006.
Shobuny, Muhammad Ali Ash-. Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (terj.), Bandung: Diponegoro, 1988.
Soepomo,. System Hukum Di Indoenesia, Pradnya Paramita, 1972.
Tosa, A. Halim. Praktik Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Gayo, Banda Aceh: Puslit IAIN Ar-Raniry, 1996.






[1] Ihromi, Pluralisme System Hukum, (Jakarta: UI Press, 1987), hal. 16.; Soepomo, System Hukum Di Indoenesia , (Pradnya Paramita, 1972), hal. 23.
[2] Muhammad Yusuf Musa, Ahkam At-Tirkah Fil Islam, (Kairo: Dar Al-Ma’rifat, 1978), hlm. 12.
[3] Muhammad Ali Ash-Shobuny, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (terj.), (Bandung: Diponegoro,, 1988), hlm. 17.
[4] Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law; From Classical Contemporary, (Oxfor UK: Altamira Press, 2006), hlm. 56.
[5] Imam Qurtuby, Tafsir al-Qurtuby, (Beirut: Dar Al-Fikr Al-‘Araby, 2006), hlm. 412
[6] Ibid., hlm. 421-422
[7] Imam Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy, (Cairo: Maktabah Al-Islamiyah, 1982), hlm. 367; Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2006), hlm. 599; Yusuf Al-Qaradhawy, Kumpulan Ijtihad Kontemporer, (Jakarta: Firdaus, 1990), hlm. 213
[8] Yusuf Al-Qaradhawy, Kumpulan IJtihad Kontemporer, hal. 214
[9] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, (Jakarta: Tinta Mas, 1961), hlm. 28
[10] Kompilasi Hukum Islam, (Yayasan Al-Hikmah Dan Ditbinbapera, 1998), hlm. 65
[11] M. Yahya Harahap, Kedudukan Wanita Dalam Hukum Kewarisan, Majalah Mimbar Hukum No. 10, Tahun 1996, hlm. 24.
[12] Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), hlm. 251-254.
[13] Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, hlm. 43.
[14] Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, hlm. 255.
[15] Ibid, hlm. 257
[16] Ibid, hlm. 258
[17] Ibid,.
[18] Syahrizal Abbas, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, (Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003), hlm. 78.
[19] A. Halim Tosa, Praktik Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Gayo, (Banda Aceh: Puslit IAIN Ar-Raniry, 1996), hlm. 25
[20] Syahrizal Abbas, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, hlm. 119.
DOWNLOAD FILE>Klik Disini (google drive)
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.