GLOBALISASI DAN PORNOGRAFI
Era
globalisasi dicirikan adanya kemajuan luar biasa di bidang
komunikasi dan telekomunikasi. Kemajuan di bidang tersebut
telah menghapuskan jarak antar negara dan wilayah. Pada
era ini semakin sulit untuk
membendung arus informasi yang datang dari luar itu. Pengaruh
globalisasi terhadap proses penyebaran
pornografi dapat di lakukan
oleh media elektronik yakni yang disebut
internet. Internet merupakan suatu jaringan (network) komunikasi digital yang sampai saat kini menghubungkan lebih dari 25.000 (dua puluh lima ribu) jaringan dari hampir seluruh negara di dunia.11 Perkembangan internet ini memang luar bisa. Pada tahun 1998 diperkirakan lebih dari 100 (seratus)
juta orang yang con- nect ke internet dan jumlah ini meningkat 2
(dua) kali pada tahun 1999. Di Indonesia
pertama kali terhubung internet tahun 1993 pada tahun berikutnya telah mempunyai 32 (tiga
puluh dua) network (jaringan) yang terhubung ke internet.12 Tahun 1995 terdapat 8.000 pelanggan yang tersebar di 12 (dua belas) kota besar, dan sampai
tahun 2000 diperkirakan melonjak hampir 3 x lipat jumlah
pelanggannya. Hal ini mengingat
bahwa internet berkaitan dengan jasa telekomunikasi. Sampai
tahun 1995 saluran telekomunikasi (telepon) telah terpasang 2,7 juta dan
diperkirakan sampai tahun 2000 terpasang sekitar 3-5 juta sambungan seluruh
Indonesia.13 Jaringan ini dapat dipergunakan untuk
berbagai kepentingan seperti bisnis/perdagangan elektronik (e-comerce) dan sebagainya.
Penggunaan jaringan internet ini terjadi antara lain
bila seseorang melakukan komunikasi melalui
E-Mail (Electronic Mail=surat elektronik). E-
mail merupakan internet tool atau sarana
komunikasi yang paling
murah dan cepat sehingga
dapat mengalahkan jenis komunikasi lainnya seperti telepon, telex, facsimile. Di samping e-mail terdapat internet tool lainnya seperti
Telnet
(Remote login),
namun untuk menggunakan telnet ini, pengguna
internet harus mempunyai program
sejenis WWW, WAIS atau software lainnya yang sejenis.
Melalui Telnet seseorang dapat berhubungan dengan banyak komputer di tempat
lain dan secara interaktif dapat mencari berbagai data, file, software dan informasi lainnya. Internet tool
lainnya seperti www (world wide web) dimana
seseorang penguna internet dapat
mengambil software dari komputer lain,
demikian pula ia dapat
mengirim software ke komputer lain dengan www sebagai sarana tranfer file, atau data. www
didesain untuk memudahkan pengguna melakukan transfer file
dan juga untuk memperkaya tampilan isi
(content). Dengan internet ini sese- orang dipandu
memasuki dunia maya (Cyber space). Pengguna tinggal membuka komputer (yang memiliki fasilitas internet) maka sederet menu akan segera ter- pampang.
Ada E-mail (komunikasi
melalui surat elektronik), Chat (Chatt- ing)(ngobrol), Gopher (situs web ilmu pengetahuan) dan www (world wide web).
Dunia maya (Cyber space) ini akan menyediakan apa saja layaknya suatu “kota” berbagai macam data dan informasi, seperti layanan jasa semacam kantor, kantor berita, kantor pos, perpustakaan, tempat rekreasi, ilmu pengetahuan dan sarana sosial lainnya. Eksesnya tentu ada, home page di internet menyajikan pula menu berupa pornografi. Dengan demikian pornografi dapat tersebar luas ke seluruh dunia tanpa hambatan. Seseorang dapat mengakses home page dan menonton sepuasnya dengan bebas tanpa ada gangguan. Tayangan Cyberporn ini melibatkan beberapa pihak yaitu pengguna, penyedia jasa (provider) ataupun pemilik home page pornografi. Istilah Cyberporn merupakan “julukan” bagi “peredaran” pornografi lewat internet ini. Terdapat beberapa pemasok/home page pornografi di internet seperti, Playboy, Penthouse, dan BBS (Bulletin Board System). Mereka memperdagangkan situs web gambar-gambar porno. Setiap pemakai yang mengakses kesana akan dicatat identitasnya dan kemudian dikirim tagihan lewat provider- nya.
Berkaitan
dengan arus pornografi yang tidak terkendali ini, timbul pertanyaan, apakah hukum (pidana) yang mengatur
pornografi sudah menjangkaunya? Selama ini belum pernah terdengar tindakan
aparat penegak hukum terhadap
pelaku tindak pidana pornografi di tempat-tempat warnet (warung internet). Meskipun diakui bahwa mereka yang datang ke warnet belum tentu membuka home page pornografi. Meskipun demikian
internet potensial sebagai media
menyebar pornografi.
RELEVANSI PORNOGRAFI SEBAGAI TINDAK PIDANA
Relevansi dalam hal ini dimaknai
sebagai masih perlunya pornografi dijadikan sebagai
tindak pidana. Suatu
perbuatan ditetapkan sebagai perbuatan
yang diancam pidana disebut kriminalisasi. Terdapat beberapa
kriteria perlunya suatu perbuatan
di kriminalisasikan antara lain:14 (1) Penggunaan hukum pidana harus
memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat
adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; (2) Perbuatan yang diusahakan
untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau
spiritual) bagi warga masyarakat; (3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (cost and benefit principle); (4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan- badan hukum
yaitu jangan sampai
ada kemampuan beban
tugas (overbelasting).
Dalam kriminalisasi perbuatan pornografi terdapat persoalan yang mendasar. Persoalan mendasar berkaitan dengan kriteria apakah untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana? Persoalan ini menjadi tidak mudah, mengingat pornografi terkadang dianggap sebagai “kejahatan ringan”, dan bersifat
“pribadi”. Oleh karena itu, dianggap sebagai “victimless crime” (kejahatan tanpa korban)
karena korban menghendaki
sendiri kejahatan tersebut. Namun apabila dikaji secara mendalam berkaitan dengan kerugian dan korban yang “jatuh” akibat pornografi ini tampak luar biasa. Mengingat kejahatan ini dapat meruntuhkan moralitas
suatu bangsa. Arti penting moralitas bangsa ini berkaitan dengan kelangsungan pembangunan terutama generasi muda bangsa. Generasi muda Indonesia
tidak boleh tercemar polusi pornografi ini, yang dapat menimbulkan ekses terhadap kejahatan
kesusilaan lainnya seperti perkosaan, percabulan, perdagangan wanita,
perdagangan anak-anak, perilaku seksual yang menyimpang
dan sebagainya. Di samping
itu pornografi dilarang oleh norma agama dan norma
kesusilaan di masyarakat. Oleh karena itu perbuatan
tersebut dipandang sebagai
perbuatan yang tercela
dan bersifat asusila.
Peran hukum pidana
sebagai penguatan moralitas agaknya sesuai dengan pendapat Patrick Devlin, bahwa hukum pidana dapat dikatakan merupakan
hukum yang menegaskan kembali bentuk kelakuan “amoral” di masyarakat yang diangkat
menjadi tindak pidana. Dengan kata lain hukum pidana didasarkan pada prinsip-prinsip moral (that the criminal law as we know it is
based upon moral
principle).15 Prinsip
penegakan moralitas ini menjadi basis
suatu perbuatan dipandang tercela di masyarakat
sehingga dapat menjadi dasar pengenaan sanksi pidana
terhadap pelaku. Hal
ini sebagaimana dikatakan oleh Van Bemmelen
bahwa pada umumnya harus dipandang sebagai kejahatan adalah segala
sesuatu yang bersifat
merusak dan tidak susila.16 Namun bersifat
asusilapun tidak cukup sebagaimana dikatakan Herbert L Packer bahwa “only
conduct generally considered immoral should be
treated as criminal” bahwa “…im- moral an insufficient condition.. harm to other
to include risk
of damage to interest of others”.17
Oleh karena perbuatan pornografi
merupakan bentuk perbutan yang dilarang oleh norma
agama, kesopanan, kesusilaan masyarakat maka perbuatan pornografi tersebut merupakan perbuatan yang
tercela, sehingga secara substansial layak dinyatakan sebagai
perbuatan kriminal.
Pemahaman bahwa perbuatan pornografi merupakan “victimless crime” (kejahatan tanpa korban), senyatanya masih perlu ditera ulang. Sesungguhnya
dalam perbuatan pornografi terdapat korban. Unsur
korban dalam jenis kejahatan ini terutama terhadap
generasi muda. Akibat tergerus moralitasnya, mereka dapat tumbuh menjadi
bangsa yang “bobrok”.
Kondisi ini jelas
mem- perngaruhi pembangunan secara keseluruhan. Alasan pornografi tetap
dikri- minalisasikan bahkan (diperluas) adalah bahwa pornografi dapat merusak sendi-
sendi kehidupan bangsa. Pornografi dapat
“menyerang” moralitas anak-anak muda, sehingga perilaku
seksualnya dapat tanpa
kendali. Efek pornografi dapat menimbulkan tindak pidana
perkosaan, percabulan, perselingkuhan dan seba- gainya. Unsur
kerugian dapat berujud
materiil maupun spritual Menurut Kong- gres PBB ke 7 No. Kode A/CONF/121/C.2/L.14 disusul
dengan resolusi Mu- PBB No. 40/34 tertanggal 29 Nopember
1985 tentang “Declaration of Basic Principles of Justice
for Victim of Crime and Abuse of Power” (Deklarasi Prinsip- Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan) menegaskan
yang dimaksud korban kejahatan adalah orang-orang baik individu maupun kolektif yang menderita
kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang
melanggar hukum pidana yang
berlaku di suatu negara termasuk peraturan
yang melarang penyalahgunakan kekuasaan. Sementara itu, pengertian “kerugian” (harm) termasuk kerugian pisik maupun mental (physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (eco- nomic loss), atau perusakan substansial dari hak asasi
mereka (substansial im- pairment of their fundamental rights).18
Apabila dihubungkan dengan “cyber crime”
(tindak pidana di mayantara)
yang bersifat “Cyber Pollution”, maka polusi pornografi yang
dapat menimbulkan kerusakan moralitas bangsa,
merupakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Oleh karena itu menurut
hemat penulis, pornografi hendaknya tidak semata-mata dipandang sebagai persoalan pribadi.
Sementara itu, seberapa jauh komitmen suatu negara untuk memberantas pornografi tergantung pada politik hukum dan kondisi negara yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Konggres PBB Ke V tahun 1975 di Geneva, Swiss bahwa dikriminalisasikan atau tidak pornografi atau kejahatan di bidang kesusilaan ini di hubungkan dengan kuat dan lemahnya hubungan antara moral dan hukum ( law and moral standrad) di negara yang bersangkutan. Indonesia merupakan negara yang bersifat religius, yakni moral menjadi hal yang dijunjung tinggi. Oleh karena itu hal-hal yang bersifat pornografi maupun pornoaksi tetap menjadi persoalan yang banyak mengundang perhatian dan kecaman di masyarakat. Oleh sebab itu tidak benar kiranya apabila pornografi dianggap sebagai urusan “pribadi” semata.
Sementara itu, seberapa jauh komitmen suatu negara untuk memberantas pornografi tergantung pada politik hukum dan kondisi negara yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Konggres PBB Ke V tahun 1975 di Geneva, Swiss bahwa dikriminalisasikan atau tidak pornografi atau kejahatan di bidang kesusilaan ini di hubungkan dengan kuat dan lemahnya hubungan antara moral dan hukum ( law and moral standrad) di negara yang bersangkutan. Indonesia merupakan negara yang bersifat religius, yakni moral menjadi hal yang dijunjung tinggi. Oleh karena itu hal-hal yang bersifat pornografi maupun pornoaksi tetap menjadi persoalan yang banyak mengundang perhatian dan kecaman di masyarakat. Oleh sebab itu tidak benar kiranya apabila pornografi dianggap sebagai urusan “pribadi” semata.
>>>Baca juga Kumpulan Judul Skripsi Perdata
11 Asril Sitompul, 2001, Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace), Bandung: Citra Adtya Bakti, hal vii.
12 Ibid, hal viii
13 Majalah Gatra, Nomor 3 Tahun II Tanggal 2 Desember 1999, hal. 8.
14 Sudarto, 1986, Hukum dan HukumPidana, Bandung: Alumni, hal 44-48,
15 Clarkson C.V.M. and H.M. Keating, 1994, Criminal, Law Text and Material, London: Sweet & Maxwell, hal.8
16 Roeslan Saleh, 1988, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hal 86.
17 Herbert L Packer, 1969, The Limit of Criminal Sanction,, California: Stanford University Press, hal 264, 266
18 Barda Nawawi Arief, 1997, Perlindungan Korban Dalam Proses Peradilan Pidana, Makalah Seminar Nasional “Perlindungan Korban Dalam Proses Peradilan Pidana” diselenggarakan oleh FH UMS Surakarta, hal. 2.
14 Sudarto, 1986, Hukum dan HukumPidana, Bandung: Alumni, hal 44-48,
15 Clarkson C.V.M. and H.M. Keating, 1994, Criminal, Law Text and Material, London: Sweet & Maxwell, hal.8
16 Roeslan Saleh, 1988, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hal 86.
17 Herbert L Packer, 1969, The Limit of Criminal Sanction,, California: Stanford University Press, hal 264, 266
18 Barda Nawawi Arief, 1997, Perlindungan Korban Dalam Proses Peradilan Pidana, Makalah Seminar Nasional “Perlindungan Korban Dalam Proses Peradilan Pidana” diselenggarakan oleh FH UMS Surakarta, hal. 2.