Download File Pdf <Klikdisini>
KAJIAN
DESKRIPTIF ANALISIS TENTANG HAKIKAT ILMU HUKUM
DIKAJI
DARI ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AXIOLOGI
ILMU
Oleh:
Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.1
1. Pendahuluan
Apabila dikaji secara intern, detail dan terperinci maka ilmu
hukum merupakan salah satu dari suatu bidang hukum. Tegasnya, jikalau
dijabarkan lebih jauh pada hakiatnya ilmu hukum tidaklah identik dengan hukum
oleh karena untuk menjadi hukum bukan harus selalu lahir dari proses
pengembangan ilmu hukum. Dengan lain perkataan yang sederhana dapatlah
diasumsikan bahwa setiap ilmu hukum itu akan berubah menjadi hukum apabila
melalui proses keadilan masyarakat.
Dalam perkembangannya, apabila ditinjau dari optik konsep ilmu
maka secara konseptual ilmu hukum identik dengan ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi
jikalau konsep ilmu dalam ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas dan
berbeda dengan konsep umum pada ilmu-ilmu alam maka ilmu hukum menjadi suatu
ilmu yang khas dan khusus oleh karena penerapan metode ilmu-ilmu alam dalam
ilmu hukum menjadikan ilmu hukum dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial.
Selain dari aspek tersebut dalam bangun yang lain maka kerap kali ilmu hukum
dikategorikan ke dalam ilmu humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Aspek ini
terjadi oleh karena ilmu hukum bersifat manusiawi dimana sifat kemanusiaan dari
ilmu hukum terlihat dari metode penemuan hukum. Tegasnya, sifat konkrit dan
individual mengakibatkan metode penemuan hukum mengarah pada manusia. Apabila
ditelusuri mengenai latar belakang penempatan ilmu hukum ke dalam humaniora
oleh karena dari aspek ini ilmu hukum tidak lepas dan berkolerasi dari agama.
Menurut pandangan yahudi misalnya, Taurat dianggap sebagai hukum. Begitu pula
halnya dalam agama Islam maka Al-qur’an adalah salah satu sumber hukum. Dengan
demikian maka pemahaman terhadap kitab suci sebagai sumber hukum dilakukan
suatu penafsiran. Maka oleh karena itu sejak timbulnya negara bangsa,
menimbulkan peraturan di mana dalam ilmu hukum metode penafsiran tetap
dipergunakan seperti dalam hukum yang berdasarkan agama.
Dengan titik tolak demikian akan menimbulkan pertanyaan
fundamental yakni apakah ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu ataukah
tidak? Terhadap aspek ini dapat dilihat dari 2 (dua) titik pandang. Pertama,
di satu pihak menurut aliran positivistik maka ilmua hukum harus
__________________________________
1 Doktor Ilmu
Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Penulis Buku Ilmu Hukum dan Kini Wakil
Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur
dipisahkan
hubungan antara hukum dengan moral sehingga ilmu hukum itu bukanlah ilmu oleh
karena hanya sosiologi hukum empirik dan teori hukum empirik dalam arti sempit
sebagai ilmu. Sedangkan yang lainnya ternmasuk keahlian hukum terdidik (rechtsgeleerdheid) . Kedua,
di lain pihak menurut aliran normatif maka hendaknya dipisahkan antara korelasi
hukum dan moral sehingga tiap teori hukum dalam arti luas dapat menjadi ilmu.
Aspek ini lebih rinci dan lugas ditegaskan oleh J.J.H. Bruiggink dengan redaksional
sebagai berikut:
“Hanya sosiologi hukum empirik dan
teori hukum empirik dalam arti sempit yang dapat disebut ilmu berdasarkan
kretarium positivistik. Kegiatan sosiologi hukum kontemplatif, dogmatika hukum
(atau ilmu hukum dalam arti sempit). Teori hukum kontemplatif dalam arti sempit
dan filsafat hukum harus dipandang sebagai bukan ilmu hukum, melainkan sebagai “rechtsgeleerdheid”
(Keahlian hukum terdidik atau kemahiran hukum terdidik), setidak-tidaknya
demikian menurut pandangan positvistik. enurut pandangan normatif, tiap teori
hukum (dalam arti luas) dapat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan bagi ilmu,
sehingga tiap cabang teori hukum (dalam arti luas) dapat menyandang gelar “ilmu”.2
Dengan mengacu kepada aliran normatif maka ilmu hukum dapat
diklasifikasikan sebagai ilmu. Oleh karena ilmu hukum adalah dalam ruang
lingkup ilmu maka dalam perkembangan ternyata timbul 2 (dua) kecenderungan ilmu
hukum, yaitu:
a.
Kecenderungan pertama ilmu hukum
ternyata terbagi dalam bidang yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri seperti
adanya pembidangan Ilmu Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, dan
lain-lain. Konsekuensi pembagian yang demikian mempunyai kecenderungan
seolah-olah masing-masing berdiri sendiri. Dengan demikian kecenderungan ini
membentuk ilmu hokum ke dalam ilmu yang bersifat normatif, empiris dan sosiologi.
Lazimnya dengan dimensi demikian ini membawa pengaruh terkadang para penganut
ketiga bidang ilmu hukum tersebut saling menafikan antara satu dengan lainnya.
b.
Kecenderungan kedua menimbulkan
prediksi ternyata ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lain sehingga
menimbulkan wajah dimana ilmu hukum merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri
dan unik. Aspek ini nampak terlihat ada pandangan yang menganalogikan ilmu
hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi hukum.
Oleh karena itu, secara konkret dengan kecenderungan demikian
mengakibatkan Ilmu Hukum menjadi disintegrasi. Padahal pada dewasa ini
seharusnya ilmu hukum harus bersifat Integratif adalah suatu kebutuhan yang
nampaknya merupakan keharusan ditinjau dari aspek ontologis,
___________________________________
2J.J.H. Bruggink, (alih bahasa: Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum,
Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 185 dan 187
epistemologis
dan axiologis, Anasir ini parallel dengan pendapat Sugijanto Darmadi bahwa:
“Adanya ilmu hukum yang bersifat
integratif merupakan suatu kebutuhan. Kita dapat melihat adanya kelemahan dalam
metode normatif, metode empiris maupun metode filosofi. Kita juga dapat melihat
adanya kelemahan antara ilmu hukum yang murni teoritis semata-mata atau ilmu
hokum yang terapan semata-mata. Jadi adanya kecenderungan tersebut
mengakibatkan aanya disintegrasi dalam ilmu hukum secara ontologis,
epistemologis mapun axiologis”.3
Oleh karena ilmu hukum hendaknya bersifat integratif maka dari
aspek ontologi, ilmu hukum pada hakikatnya akan menjawab apakah titik
tolak kajian subtansial dari ilmu hukum. Sedangkan dari aspek epistemologi ilmu
hukum akan menjawab bagaimana mendapatkan kebenaran dengan melalui metode ilmu
hukum dan axiologi akhirnya akan menjawab kegunaan dari ilmu hukum itu sendiri.
Maka dengan latar belakang demikian dan kolerasi antara ontologi, epistemologi
dan axiologi tersebut artikel ini akan mengkaji lebih intens, detail dan
terperinci bagaimana ilmu hukum dikaji dari aspek ontologi ilmu, epistemologi
ilmu dan dikaji dari aspek axiologi ilmu.
II. Pembahasan Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek
Ontologi, Epistemologi dan Axiologi Ilmu
1.
Dari Aspek
Ontologi Ilmu
Pada dasarnya, menurut Jujun
S. Suriasumantri Filsafat Ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang
ingin menjawab bebrapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti :
“obyek apa yang ditelaah ilmu ?
bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut ? bagaimana hubungan antara
obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan
mengindera) yang membuahkan pengetahuan ?4
Konkritnya, bidang telaah sebagaimana konteks diatas merupakan
bidang Ontologi Ilmu. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan
dengan Ilmu Hukum maka bidang Ontologi Ilmu Hukum pada hakikatnya akan menjawab
pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum.
Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya menurut pandangan
doktrina seperti E. Ultercht, Van
Apeldoorn, Prof. Van Kant, Kusunadi Pudjosewoyo
dan lain-lain maka pada dasarnya Hukum merupakan sebuah
_________________________________
3 Sugijanto Darmadi,
Kedudukan Ilmu Hukum Dalam Ilmu dan
Filsafat, sebuah Eksplorasi Awal Menuju Ilmu Hukum yang
Intregalistik Dan Otonomi, Penerbit: CV.
Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 58
4 Jujun S. Suriamantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar, Penerbit : Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta. 1996, hlm. 33
aturan yang
harus ditaati oleh anggota masyarakat dan pelanggaran terhadapnya akan mendapat
sanksi.
Oleh
karena itu, menurut Penulis dengan titik tolak teoritik sebagaimana pandangan
doktrina dan aspek praktek pada dunia peradilan maka secara Universal ada 3
(tiga) aspek yang dipelajari dari Ilmu Hukum, yaitu :
a).
Nilai-nilai hukum seperti ketertiban, keadilan, kepastian hukum dan lain-lain.
Apabila
aspek ini dijabarkan secara singkat dapatlah diasumsikan bahwa “ nilai-nilai
hukum “ ini merupakan bidang kajian Filsafat Hukum yang abstrak/teoritis.
b).
Kaidah-kaidah hukum berupa kaidah tertulis ataupun tidak tertulis, kaidah
bersifat abstrak maupun konkret.
Pada dasar “
kaidah-kaidah hukum “ ini dikaji oleh bidang yang disebut ilmu tentang kaidah
(Normwissenschaft).
c). Perilaku hukum atau kenyataan/peristiwa hukum.
Singkatnya,
konteks ini dikaji oleh Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Logika Hukum,
Psikologi Hukum dan Sejarah Hukum yang menjembatani aspek abstrak/teoritis
seperti : Rechts Filosofie, Rechts
theorie dan Rechts Dogmatiek
dengan aspek imperis/nyata yang merupakan kajian Recht en Rechtspratijkheid.
Dengan 3 (tiga) bidang dari Ilmu Hukum tersebut menimbulkan
pertanyaan tentang apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum
melalui Optik Ontologi Ilmu.
Ternyata
dari Optik Ontologi maka kajian substansial Ilmu Hukum terletak pada “Kaidah-kaidah
Hukum“. Tegasnya, Ilmu Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dari kaidah
Hukum. Tetapi dalam korelasi demikian ini persoalannya timbul dalam posisi dan
situasi kaidah hukum yang bagaimana menjadi perhatian dari Ilmu Hukum. Seperti
diuraikan konteks diatas maka Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum mempelajari
perilaku hukum sebagai kenyataan hukum (Taatschachen
Wissenchaft). Kedua bidang Ilmu Hukum ini yaitu sosiologi Hukum dan
Antropologi Hukum tidak dapat melepaskan diri dari adanya kriteria bahwa
perilaku atau kenyataan itu bersifat normative. Ciri kaidah hukum nampak dengan
adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi menjadikan bahwa suatu
hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh kewibawaan tertentu sedangkan
sanksi menjadikan suatu hal yang akan menjadi kaidah hukum itu bila dilanggar
menimbulkan adanya sanksi. Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, Ilmu
Hukum dengan senirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Sedangkan
perbedaan antara satu kajian dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas
atau derajat diantara ketiga hal itu. Acapkali yang dipentingkan adalah bidang
perilaku, terhadap nilai atau kaidah seperti Sosiologi Hukum dan Antropologi
Hukum misalnya lebih menekankan
pengkajian perilaku hukum. Akan tetapi yang perlu menjadi titik tolak bidang
kajian Ilmu Hukum adalah Kaidah Hukum yang berhubungan dengan nilai dan
perilaku. Kaidah Hukum dapat ditentukan dalam dunia nyata sebagai hukum yang
hidup berupa perilaku hukum dan terbentuk karena interaksi sesama manusia
sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris.
Pada
dasarnya, menurut J.J.H. Bruggink5 perintah
perilaku, yang mewujudkan isi kaidah itu dapat menampilkan diri dalam berbagai
wajah/sosok. Penggolongan yang paling umum adalah :
a.
Perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu ;
b.
Larangan (Verbod) adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu ;
c.
Pembebasan (Vrijstelling, dispensasi) adalah pembolehan (Verlof) khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum
diharuskan ; dan
d.
Izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan khusus untuk melakukan
sesuatu yang secara umum dilarang.
Selain dari spek tersebut diatas maka kaidah hukum
dapat juga
ditentukan dalam
hukum yang tercatat/terdokumentasikan seperti : hasil-hasil penelitian Hukum
adat, penilaian ahli hukum, pandangan doktrina tentang hukum, pandangan
filosofi seorang filsuf dan lain sebagainya.
Begitu
pula kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis seperti : UU,
Yurisprudensi, Keputusn Pemerintah Pusat/Daerah dan lain sebagainya. Kaidah
hukum dapat pula ditemukan dalam kitab-kitab suci, ada kemungkinan hukum yang
tercatat/tertulis berasal dari kenyataan hukum, tetapi pembentukannya bersifat
rasional. Pembentuknya (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lain-lain) mempunyai
kepentingan tertentu atau mempunyai pandangan tertentu yang cukup berperanan
dalam terbentuknya hukum tersebut. Adanya kepentingan/pandangan tertentu turut
dipertimbangkan mengakibatkan fakta empiris akan menjadai hukum setelah diolah
secara rasional. Dalam pembentukan hukum yang terbentuk tidak berasal
semata-mata dari kebiasaan tetapi timbul berdasarkan suatu pertimbangan dari pihak
berwibawa sehingga anggota masyarakat patuh. Hukum yang hidup (living Law)
tidak bisa lepas dari pertimbangan pihak yang berwibawa. Pihak yang berwibawa
sudah tentu mempertimbangkan perkara sesuai dengan kebiasaan yang sudah
membiasa, serta sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Dengan
demikian ditinjau dari deskripsi diatas dapatlah ditarik 2 (dua) asumsi dasar,
yaitu : Pertama, bahwasanya kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum
tertulis dan tercatat. Kedua, bahwasanya pembentukan hukum
yang hidup tidak lepas dari legitimasi kewibawaan
__________________________________
5J.J.H. Bruggink,
Refleksi Tentang ....., Op-Cit, hlm 100
yang
mengakibatkan adanya pertimbangan nilai, maka dapat disimpulkan bahwa kaidah
hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga berupa hal
rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja dengan fakta empiris yang
alamiah dan fisik serta dapat diserap dengan panca indera. Hukum bersangkutan
dengan manusia yang secara utuh bersosok monodualistis antara jiwa dan badan,
individu dan masyarakat. Kaidah hukum berintikan keadilan. Adil dan tidak adil
merupakan pendapat mengenai nilai secara pribadi. Kaidah hukum bersangkutan
dengan martabat manusia (human dignity),
bagaimana manusia terlindungi dari kesewenang-wenangan, bebas dari rasa takut
dan lain-lain dan ini merupakan aspek personal dari hukum. Sedangkan terhadap
pernyataan bahwa kaidah hukum berlaku bagi siapapun dan kapanpun, pedoman bagi
anggota masyarakat bertingkah laku, dan untuk memperhatikan kaidah hukum
tersebut dibentuklah pranata hukum dan lembaga hukum, adalah merupakan aspek
sosial dari kaidah hukum.
Aspek personal dan aspek sosial dari kaidah hukum itu
sepertinya saling bertentangan satu sama lainnya seperti tidak saling
mendukung. Usaha-usaha untuk mempertemukan antara keduanya dapat disebut usaha
kultural. Tegasnya bahwa proses pembentukan dan penerapan kaidah hukum dimana
hubungan timbal balik aspek personal dan aspek sosial merupakan proses
berbudaya sehingga proses integrasi antara pribadi masyarakat dan kebudayaan
merupakan inti diatur dari kaidah hukum yang secara substansial titik tolak
kajian dari Ilmu Hukum.
Demikian deskripsi bagaimana ilmu hukum dikaji dari aspek
Ontologi Ilmu.
2. Dari Aspek
Epistemologi Ilmu
Bagaimanakah Ilmu Hukum apabila dikaji dari aspek Epistemologi
Ilmu? Akan tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu kiranya dibahas
selintas pengertian “Epistemologi” ini. Ditinjau aspek etimologi maka
epistologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata
episteme dan logos, Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai untuk
menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Sehingga secara mudah epistemologi
dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Selanjutnya, menurut A.M.W.
Pranarka menyebutkan, bahwa menurut:
“Webster Third New International
Dictionary mengartikan epitemologi sebagai “the study of methol and grounds of
knowledge, especially with reference to its limits and validity”. Pada tempat
yang sama secara singkat dikemukakan bahwa Runnes didalam “The theory of
knowledge”. Dalam pada itu Runnes didalam Dictionary
of Philosophy memberikan
keterangan bahwa epistemology merupakan the bronch of
philosophy which investigates the origin, structure methode an validity of
knowledge”.6
Selain itu secara terminologis, maka Epistemologi dikenal
dengan istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan
menjadi “Erkentnistheorie”. Di dalam bahasa Belanda dikenal istilah “Kennisteer”
ataupun “Kenttheorien”.
Dari apa yang diuraikan diatas maka ditinjau melalui aspek Ilmu
Hukum secara etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu
Hukum.
Pada dasarnya, apabila ilmu hukum sebagai ilmu maka bertujuan
mencari kebenaran. Menurut Theori Korespodensi kebenaran merupakan
persesuaian, antara pengetahuan dan obyeknya. Sehingga dengan demikian pengetahuan
terletak dalam dimensi mentalitas manusia, sedangkan
obyek dalam dunia nyata. Untuk menyatakan adanya hubungan inilah timbul
pendapat antara faham empiris dan rasionalisme. Menurut empirisme pengetahuan
adalah segenap pengalaman manusia, sedangkan menurut faham rasionalisme maka
akallah/ratiolah yang dapat mengetahui obyek. Akan tetapi, terhadap hakekat
hukum tidak selalu berdasarkan empirisme/rasionalisme saja oleh karena gejala
hukum bukan saja berupa pengalaman manusia saja seperti perilaku hukum akan
tetapi diluar pengalaman manusia seperti nilai-nilai hukum. Theori Kebenaran
korespodensi dan pramatiklah yang dapat dicapai ilmu hukum. Maka untuk itu guna
mencari keadilan yang benar digunakanlah sebuah metode. Oleh karena itu,
sebagai pengaruh adanya kebenaran empirisme dan rasionalisme maka secara
tradisional dibedakan dua metode ilmu yakin metode deduksi dan metode
induksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya timbul metode yang berusaha
menggabungkan deduksi dan induksi, yaitu metode logiko – hipotetiko
– verifikasi yang berdasarkan pandangan Karl R. Popper muncul theori faksifikasi.
Dalam metode ini maka suatu masalah berusaha dipecahkan oleh pelbagai disiplin
baik yang termasuk deduktif atau induktif. Istilah “ Logiko – hipotetiko “
menempatkan kaidah hukum sebagai hal mentah yang perlu dimasukkan ke dalam
proses “Verifikasi” cenderung menjadi justifikasi/pembenaran. Dengan
mengadakan verifikasi, maka sebab itu menurut Popper bukan verifikasi yang
menjadi kretarium demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah faksifikasi
yakni kemampuan untuk menyangkal kesalahan. Dengan demikian Popper mengganti
verifikasi bersifat induktif dengan falsifikasi deduktif.
Konkretnya, metode ilmu Hukum ditentukan oleh aspek Ontologis
dan Axiologis dari hukum. Konsep mengenai metode dan ilmu sifatnya universal.
Artinya, untuk bidang apa saja atau untuk jenis ilmu manapun
_____________________________________
6 A.M.W. Pranarka,
Epistemologi Dasar Suatu Pengantar,
Penerbit : Yayasan
Praklamasi, Centre For Strategic and
International Studies Jakarta, 1987, hlm 1
adalah
sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tidak dapat dihindarkan.
Sebab itu hakikat hukum dan fungsinya dalam praktek tak bisa dihindari pengaruh
dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Sebagaimana telah diuraikan dari aspek Ontologi maka fokus
utama titik kajian substansial Ilmu Hukum adalah kaidah hukum. Tegasnya,
eksistensi hukum ditentukan adanya kaidah hukum. Mungkin kaidah hukum mempunyai
nilai/perilaku, tetapi nilai/perilaku itu dapat saja bukan hukum. Ciri pokok
dari nilai dan perilaku sebagai hukum ialah sifat normatifnya. Sudah tentu
kaidah hukum berisi nilai-nilai dan perilaku manusia. Konkretnya, hukum itu
merupakan jalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Nilai merupakan
turunan dari ide dan perilaku merupakan turunan realitas/fakta. Apabila kita
mencita-citakan suatu ilmu tentang hukum/ilmu hukum maka penentuan metode Ilmu
Hukum harus ditentukan prinsip intergralistis atau berjalinan kesatuan antara
kaidah, nilai dan perilaku. Pada kaidah hukum tersirat antara nilai dan
perilaku sehingga fokus sentral atau fundamental metode Ilmu Hukum adalah
analisis atas kaidah. Sedangkan analisis nilai dan perilaku hanya bahan kajian
sampingan dari analisis kaidah. Maka oleh karena itu secara ideal dalam Ilmu
Hukum dari visi epistemologis mempergunakan metode
logika-hipotetiko-verifikasi.
3. Dari Aspek Axiologi
Ilmu
Menurut Jujun S Suriasumantri maka ditinjau dari aspek axiologi
membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
“Untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/referisonal ?”6
Konkritnya, dari aspek tersebut Axiologi Ilmu Hukum akan
berkoleratif terhadap kegunaan dari Ilmu Hukum itu sendiri. Sebagaimana
diketahui bersama bahwasanya Ilmu Hukum bersifat dinamis dalam artian mempunyai
pengaruh dan fungsih yang khas dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain.
Apabila dijabarkan secara intens, detail dan terperinci maka
peran/pengaruh Ilmu Hukum tersebut dari aspek Axiologi Ilmu adalah sebagai
berikut :
Pertama, dalam proses pembentukan hukum Ilmu
Hukum melalui hasil-hasil penelitian, kajian teroritik dari para doktrina
sebagai bahan masukan yang penting dalam rangka menjadi masukan untuk menyusun
RUU (Rancangan Undang-Undang) sehingga
____________________________________
6 Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah ....., Loc. Cit.
diharapkan
nantinya Undang-Undang yang diterapkan dapat berfungsi maksimal karena telah
memenuhi analisis, filosofis, yuridis dan sosiologis;
Kedua, dalam praktek hukum lazim pada proses
peradilan oleh hakim, jaksa/Penuntut Umum, Penasehat
Hukum dipergunakan pendapat para doktrina untuk menyusun putusan, tuntutan dan
pembelaan. Dari aspek ini merupakan perpaduan antara dunia teori dan dunia
praktek;
Ketiga, Ilmu hukum
juga dapat berpengaruh untuk pendidikan hukum baik yang bersifat
formal dan informal serta untuk jangka panjang akan berpengaruh kepada mutu
pendidikan hukum dan lulusannya dan;
Keempat, Bahwa dengan pesat dan majunya Ilmu
Hukum akan menarik, memacu dan berpengaruh kepada perkembangan bidang-bidang
lainnya diluar hukum. Peranan Ilmu Hukum disini nampak kepada bidang-bidang
yang memerlukan suatu kejelasan dan pengaturan dimana suatu sistem hukum
berusaha mengatur bidang yang bersifat progresif dan interventif;
Sedangkan
fungsi Ilmu Hukum dari aspek Axiologi Ilmu nampak dalam: Pertama, Bahwa Ilmu hukum
berusaha mensistemasi bahan-bahan hukum
yang
terpisah-pisah secara komprehensif dalam suatu buku hukum seperti: Kondefikasi,
Unifikasi dan lain-lain;
Kedua, Bahwa adanya fungsi Ilmu Hukum yang
mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan dan diperlukan oleh bidang-bidang
lain serta sehingga sebagai pencerahan guna mengatasi kesulitan dan kebuntuan
yang meluas dalam dunia hukum khususnya terhadap Ilmu Hukum yang bersifat
legalitas;
III. Konklusi
Dikaji dari
perspektif Ontologi Ilmu
Hukum maka Ilmu
Hukum
menetapkan
kajian substansial kepada kaidah-kaidah hukum tertulis ataupun tidak tertulis
maupun kaidah bersifat abstrak ataupun kontrit sedangkan dari aspek
Epistemologi Ilmu maka Ilmu Hukum menetapkan kajian fundamental kepada aspek
kebenaran dengan theori Kebenaran (The
Correspondence Theory of Truth) dan
Theori Kebenaran Pragmatik (The Pragmatic
Theory of Truth) serta dengan metode
Logika – hipotetika – verifikasi dan ditinjau dari aspek Axiologi Ilmu maka
Ilmu Hukum mempunyai 4 (empat) pengaruh pendidikan hukum dan untuk
bidang-bidang lainnya serta mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu fungsi sismatisasi
fungsi pertimbangan dan pencerahan terhadap kebekuan yang melanda dunia hukum.
Oleh karena demikian maka disarankan Ilmu Hukum harus bersifat integratif Pasca
globalisasi oleh karena apabila tidak bersifat integratif akan mengakibatkan
adanya disintegrasi dalam Ilmu Hukum secara Ontologis,
Epistemologis
maupun Axiologis dan untuk mencegah adanya disintegrasi dalam Ilmu Hukum maka
perlu ditumbuhkembangkan iklim Integritas dalam diri para ahli teoritik dan
praktik.