PENGERTIAN FATWA
Al-fatwa secara bahasa berarti
petuah, penasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum; jamak:
fatawa.
Sedangkan dalam istilah Ilmu
Ushul Fiqh, Fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih
sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminita fatwa dalam suatu
kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminita fatwa tesebut bisa
bersifat pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Pihak yang memberi fatwa
dalam istilah Ushul Fiqh disebut Mufti dan pihak yang meminita fatwa disebut
al-mustafti (Ensiklopedi Hukum Islam).
Terkadang terjadi kerancuan
dalam membedakan antara fatwa dengan ijtihad. Ijtihad menurut Al-Amidi dan
An-Nabhani adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum
syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan
usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan. Ifta hanya dilakukan ketika ada
kejadian secara nyata, lalu ulama ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya.
Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan dengan ijtihad.
Seorang mustafti bisa saja
mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti mengenai hukum suatu permasalahan
yang dihadapinya. Apabila mufti menjawabnya dengan perkataan, hukum masalah ini
halal atau haram, tanpa disertai dalil-dalilnya secara terperinci, maka itulah
fatwa. Fatwa dapat berbentuk perkataan ataupun tulisan.
Sebelum memberikan jawaban
atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup
empat hal, yaitu :
1) Apa hukum atas masalah yang
dimaksud.
2) Apakah dalilnya
3) Apa wajh dalalah-nya.
4) Apa saja
jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud.
Berdasarkan hal itu, sebagian
ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti itu harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab,
empat proses tersebut di atas, menuntut kemampuan orang yang ahli ijtihad, di
samping tentu saja dia adalah seorang muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan
memliki pemikiran yang jernih. Namun as-Syaukani tidak mensyaratkan seorang
mufti itu harus mujtahid, yang penting dia ahli di dalam agama Islam.
Seorang mufti juga harus
memperhatikan beberapa keadaan, seperti : mengetahui secara persis kasus yang
dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi mustafti dan masyarakat
lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya
sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan.
Seorang mufti tidak boleh
berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar’i, meskipun fatwanya
itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan
pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau analisis perbandingan dan
pengambilan dalil terkuat.
Demikianlah kedudukan fatwa
dalam jurisprudensi Islam. Walhasil, setiap fatwa yang bertentangan dengan
nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah yang qath’i adalah fatwa yang batil, tidak
sah dan termasuk kebohongan atas nama Allah terhadap umat.
Di Indonesia, lembaga yang
berhak mengeluarkan fatwa adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI ini di
Indonesia membawahi semua kegiatan keagamaan, khususnya agama Islam.
# Baca juga Pedoman Pembagian Waris