Pengertian dan Macam-macam Istishab - EDUKASI

ADMIN

Kata Istishab secara etimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’ala yang bermakna استمرارالصحبة kalau kata  الصحبة   diartikan dengan teman atau sahabat dan استمرار diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai[1]. Sedangkan menurut isthilah:“Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut
Dan Istishab juga diartikan oleh Hasby Ash-Shiddiqy dengan:
“Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang                             mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.”
 Dari pengertian yang lain juga disebutkan, istishab berasal dari bahasa Arab ialah: pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama` (ahli) ushul fiqih Istishab menurut istilah adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.  Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Menurut Asy Syatibi, istishab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
 Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1.    Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2.    Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
    
Oleh sebab itu apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau pengelolan yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dalil Syara’ yang meng-Itlak-kan hukumnya, maka hukumnya boleh sesuai kaidah[2] . “Pangkal sesuatu adalah kebolehan”
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para Mujatahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya.
[3]Ulama Ushul Fiqh berkata “sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa” .
Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak ada dalil yang mengubahnya .Ini adalah teori dalam pengembalian yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka. 

B.PEMBAHAGIAN AL-ISTISHAB
Lanjutan dari pada pengertian al-istishab tadi, kita akan lihat pula kepada pembahagiannya. Al-istishab mengikut klasifikasinya dapat dibahagikan kepada lima bahagian yaitu[4]:
1. Istishab Al-Ibahah Al-Ashliyyah
Al-istishab bahagian ini membawa maksud pada asalnya sesuatu itu adalah harus ketika tiada dalil yang menyalahinya apabila perkara itu memberi manfaat dan haram apabila sesuatu perkara itu mendatangkan kemudharatan.
Antara dalil yang menunjukkan bahawa hukum asal yaitu harus pada perkara-perkara yang membawa manfaat ialah sebagaimana allah berfirman yg sekira2 artinya:“Dialah (Allah) yang menjadikan untuk kamu segala yang ada di bumi”.
Dan sebagaimana pula pada firman allah yang lain:“Dan ia memudahkan untuk (faedah dan kegunaaan) kamu, segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, (sebagai rahmat pemberian) daripadanya; Sesungguhnya semuanya itu mengandungi tanda-tanda (yang membuktikan kemurahan dan kekuasaanNya) bagi kaum yang memikirkannya dengan teliti ”.
Jadi dari  kedua arti ayat tersebut,dapat difahami bahwa segala yang ada di bumi adalah untuk manusia dan ia diharuskan untuk mereka. Sekiranya perkara tersebut diharamkan ke atas mereka, tentunya Allah tidak menjadikannya untuk manusia.
Selain itu, antara dalil yang menunjukkan bahwa asal pada perkara yang memudharatkan dan tidak dijelaskan oleh syara’ hukum yang tertentu mengenainya adalah haram seperti hadis yang bahwa Rasulullah bersabda: “ Tidak mudharat dan tidak memudharatkan ”.
Melalui hadis ini, dapat difahami bahawa hadis ini merupakan larangan kepada setiap perkara yang membawa kemudharatan samaada jiwa mahupun orang lain kerana setiap yang membawa kemudharatan maka hukumnya adalah haram.

2. Istishab Al-Bara’ah Al-Ashliyah 
Al-Istishab bahagian ini membawa maksud berterusan ataupun berkekalan.Al-Istishab ini juga didefinisikan sebagai pada asalnya seseorang adalah terlepas daripada bebanan dan kewajipan syara’ sehinggalah terdapat dalil atau bukti yang menunjukkan untuk memikul tanggungjawab tersebut. Misalnya ialah lelaki dan wanita tidak ditaklifkan untuk memikul tanggungjawab sebagai suami isteri selagi mereka belum diakad dengan perkahwinan yang sah.
Di antara contoh lain juga ialah jika seseorang mendakwa Muhammad berhutang kepadanya sebanyak RM100 dan tidak mengemukakan bukti sedangkan Muhammad tidak mengakui dakwaan tersebut,maka tertuduh iaitu Muhammad terlepas daripada hutang itu kerana asalnya dia terlepas daripada sebarang bebanan atau tanggungjawab sehingga terdapat dalil menunjukkan sebaliknya[5].

3. Istishab hukum
Al-Istishab ini bermaksud hukum itu tetap dengan sifat asalnya, iaitu asal ketetapan syara’ pada sesuatu hukum sama ada ia harus atau haram sehingga terdapat dalil yang menunjukkan hukum yang sebaliknya.
Antara contohnya ialah air pada asalnya adalah bersih dan dihukum bersih dan suci kecuali terdapat tanda-tanda yang menunjukkan air tersebut dikotori najis seperti berubah bau, warna atau pun rasa.
Contoh lain ialah asal semua makanan di bumi adalah halal tetapi apabila datang ayat al-Quran yang menegahnya dan mengecualikannya maka terdapat makanan yang halal dan haram untuk dimakan.
Contoh al-istishab ini juga ialah sifat suci adalah berkekalan kerana sifat suci apabila thabit, maka diharuskan untuk mengerjakan sembahyang dan hukum suci tersebut terus kekal sehinggalah thabit sebaliknya iaitu berlaku salah satu daripada perkara-perkara yang membatalkan wudu’.

4. Istishab Al Wasf  
Al-Istishab ini membawa maksud sesuatu ketetapan hukum berlaku menurutsyara’ dan akal tentang thabitnya dan berkekalannya. Erti kata lain, al-istishabdalam pembahagian yang ke-empat ini diakui ada kaitannya dengan syara’ dan akal.
Antara contohnya ialah hukum halalnya perhubungan lelaki dengan perempuan adalah disebabkan perkahwinan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan haramnya perhubungan mereka seperti melalui perceraian atau punfasakh.
Contoh lain bagi al-istishab ini ialah punya hak milik apabila terdapat sebab yang mewujudkan demikian, maka ia thabit sehinggalah terdapat perkara yang menghilangkannya iaitu apabila thabit milik sesuatu bagi seseorang dengan mana-mana sebabnya seperti jual beli atau pusaka, maka milik itu berterusan walaupun beberapa lama tempohnya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan ternafinyakerana sebab yang baru timbul.
  
C. KEHUJJAHAN ISTISHAB
Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ke-Hujjah-an Istishab ketika tidak ada dalil Syara’yang menjelaskannya,antara lain[6] :
1.      Menurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam) Istishab tidak dapat di jadikan dalil,karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.Demikian pula untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan masa yang akan datang,harus berdasarka dalil.
          4
2. Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah, khususnya Muta’akhirin Istishab bisa dijadikan Hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang,tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.

3.  Ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishab bisa dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk menetapkan hukum yang telah ada selama belum ada dalil yang mengubahnya.Alasan mereka adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara qath’I maupun Zhanni,maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus,karena diduga keras belum ada perubahanya.




1Jumantoro Totok Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah,2005 hal 145
2Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung :  CV Pustaka Setia,cet-1 1999 hal 162
3Jumantoro Totok Kamus Ilmu Ushul Fikih hlm 146,Amzah,2005

4Djazuli Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005 hal 143

5Djazuli Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005 hal 144
6Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung :  CV Pustaka Setia,cet-1 1999 hal 165

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.