Riba berarti menetapkan bunga atau
melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu
dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna : ziyadah
(tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh
dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. [1]
Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam. Riba dalam pandangan agama.
Riba
menurut beberapa pendapat Ulama , yaitu:
1.
Menurut Abdurrahman
al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran
tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat
salah satunya.
2.
Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba
ialah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uang), karena pengunduran janji pembayaran
oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan
3.
Menurut Al-jurjani Riba
adalah kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau tambahan, yang
disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat aqad atau transaksi.
B. Dasar Hukum
Pelarangan Riba
ß,ysôJt ª!$# (#4qt/Ìh9$# Î/öãur ÏM»s%y¢Á9$# 3 ª!$#ur w =Åsã ¨@ä. A$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ
Artinya “ Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. QS Al-Baqarah : 276.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ
Artinya “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. QS Al-Baqarah : 278.
Dan
di antara hadits yang terkait dengan riba adalah : [2]
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : آكِلَ
الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَكَاتِبَهُ ، وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ
Artinya “Dari Jabir r.a Rasulullah SAW
telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya dan dua
saksinya. HR. Muslim.
Hikmah
Dilarang Riba
- Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, tetapi hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat membawa kerusakan baik individu maupun masyarakat.
- Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang di peroleh si pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya. Keuntungannya diperoleh dengan cara memeras tenaga orang lain yang pada dasarnya lebih lemah dari padanya.
- Riba dapat menyebabkan krisis akhlak dan rohani. Orang yang meribakan uang atau barang akan kehilangan rasa sosialnya, egois.
- Riba dapat menimbulkan kemalasan bekerja, hidup dari mengambil harta orang lain yang lemah. Cukup duduk di atas meja, orang lain yang memeras keringatnya.
- Riba dapat mengakibatkan kehancuran, banyak orang-orang yang kehilangan harta benda dan akhirnya menjadi fakir miskin.
C. Bunga Bank dan Riba
Bunga
bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank yang
memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan kepada
pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga (tambahan) tetap
sebesar beberapa persen, seperti lima atau sepuluh persen.
Dengan kata lain bunga
bank adalah sebuah system yang diterapkan oleh bank-bank konvensional
(non Islam) sebagai suatu lembaga keuangan yangmana fungsi utamanya menghimpun
dana untuk kemudian disalurkan kepada yang memerlukan dana (pendanaan), baik
perorangan maupun badan usaha, yang berguna untuk investasi produktif dan
lain-lain.[3]
Bunga bank ini termasuk
riba, sehingga bunga bank juga diharamkan dalam ajaran Islam. Bedanya riba
dengan bunga/rente (bank) yakni riba adalah untuk pinjaman yang bersifat
konsumtif, sedangkan bunga/rente (bank) adalah untuk pinjaman yang bersifat
produktif. Namun demikian, pada hakikatnya baik riba, bunga/rente atau
semacamnya sama saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam.
Maka dari itu solusinya
adalah dengan mendirikan bank Islam. Yaitu sebuah lembaga keuangan yang dalam
menjalankan operasionalnya menurut atau berdasarkan syari’at dan hukum Islam.
Sudah barang tentu bank Islam tidak memakai system bunga, sebagaimana yang
digunakan bank konvensional. Sebab system atau cara seperti itu dilarang
oleh Islam.
D. Dampak Riba Terhadap Ekonomi
Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba
membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah sehingga persediaan jasa dan
barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk
menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan adanya sekian jumlah
pengangguran.
Adapun dampak
riba pada ekonomi itu antara lain;
a. Menyebabkan eksploitasi (
pemerasan ) oleh si kaya terhadap si miskin
b. Uang modal besar yang
dikuasai oleh the hoves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif
seperti pertanian, perkebunan, industri dll, tetapi modal besar itu justru
disalurkan dalam perkreditan bunga yang belum produktif.
c. Bisa menyebabkan
kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa menyebabkan keretakan rumah tangga,
jika si peminjam itu tidak bisa mengembalikan pinjaman dan bunganya.
Oleh karena itu melihat bahaya besar atau dampak
negatif dari praktek riba , maka Nabi Muhamad Saw membuat perjanjian dengan
kelompok yahudi yang tinggal di Jaziratul Arab bahwa mereka tidak
dibenarkan menjalankan praktek riba, dan
islam pun dengan tegas melarang riba.
Islam dalam memperkeras
persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik
dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk
mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam
tafsirnya sebagai berikut:
a. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya
tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham,
misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta
orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat
besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi: "Bahwa kehormatan harta
manusia, sama dengan kehormatan darahnya.”(Abu Nua'irn dalam
Hilyah).[4]
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
b. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia
dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui
riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia
akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia
tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat.
Iran satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus
persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan
pembangunan. (Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima,
dipandang dari segi perekonomian).
Riba dalam Konteks
Kekinian
Dengan perkembangan zaman dan disertai pula dengan perkembangan transaksi
keuangan dalam dunia modern ini, tampaknya ada perbedaan penafsiran tentang riba,
hal ini dapat di ketahui dengan adanya sistem bunga di beberapa institusi
bahkan pribadi seseorang yang melakukan transaksi hutang piutang atau pinjaman
Diantara pandangan-pandangan tentang riba ada yang menyatakan bahwa yang
termasuk adalah suatu tambahan yang berlipat ganda ‘أضعا فا مضاعفة’ sehingga melahirkan pemahaman bahwa
adanya tambahan yang tidak berlipat ganda, dalam artian tidak terlalu banyak
[seperti bunga yang persennya kecil untuk pinjaman] bukanlah termasuk riba.
Namun adapula yang menyatakan bahwa segala bentuk tambahan atas poko pinjaman ‘الزيادة الإستعلالية’ adalah riba.
Dengan adanya pandangan tersebut maka perlu dipertegas bagaimanakah riba
menurut ekonomi syariah.
[3] Muhammad W. Ghofur Memahami Bunga
dan Riba Ala Muslim Indonesia, (Biruni Press, Sleman:
2008), hal. 31-32