PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sebagian ulama menyatakan bahwa
membaca kalimat shadaqallahul azhim (dan benarlah Allah Yang Maha Agung)
setelah tilawah, membaca, atau dibacakan ayat Al Quran adalah bid’ah yang tidak
ada dasarnya dari Al Quran dan As Sunnah. Hal ini diikuti oleh para pemuda yang semangat
dengan agama Islam, namun belum memahami ilmu secara luas hingga mudah mengecap seseorang yang mengamalkan
bacaan tersebut sebagai ahli bid’ah. kita ini hidup di tengah masyarakat muslim
yang sangat heterogen. Baik dari sisi aqidah maupun dari sudut pandang syariat.
Ada begitu banyak paham yang berkembang, mulai dari yang paling tasamuh
(memudahkan) hingga yang paling mutasyaddid (ketat). Dan ada juga yang punya kecenderungan
wasathiyah (pertengahan).
Semua itu memang tidak bisa kita
hindari, apalagi diperangi. Karena masing-masing kecenderungan itu lahir dari
berbagai latar belakang yang berbeda. Bahkan filosofi metode istinbath hukum
juga ikut berpengaruh, selain juga mazhab, dan pola ushul fiqih.
Sebagusnya lisan kita sebagai
penuntut ilmu jangan mudah mengeluarkan
kata-kata bid’ah atau haram, terhadap permasalahan yang kakikatnya kita belum
tahu. Tahan dahulu Urusan bid’ah atau haramnya suatu perkara dalam Islam. Sebab bila asal bunyi dalam
memberikan hukum dari suatu permasalahan, bagi pelakunya diancam neraka oleh
Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam. Masih bagus jika mereka mengatakan
bahwasanya Masalah tersebut para ulama
berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada pula yang melarang, Dengan demikian
berarti kita telah jujur dalam ilmu dan permasalahan, dan amanah dalam
penyampaian.
Termasuk dalam hal membaca shadaqallahul azhim setelah membaca ayat. Dalam perkara ini ada pihak yang membid’ahkan. Alasannya sederhana, karena tidak ada dalil dalam hal itu dilakukan oleh Rasulullah SAW., dan para sahabat. Namun apakah benar masalah ini hanya satu pendapat yakni bid’ah? Ternyata tidak. Justru banyak Imam yang mempraktekkannya diberbagai zaman dan madzhab
1.2 Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang yang dipaparkan
di atas maka bisa ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
Adab Membaca Al Quran yang Baik dan Benar?
2. Bagaimana
Fatwa Membaca Shadaqallahul Adzim
menurut Imam Al-Ghazali?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui adab-adab dalam membaca Al Quran.
2. Untuk
menegetahui hukum dalam membaca shadaqallahul Adzim.
1.4
Metode Penelitian
Setiap penelitian memerlukan metode
dan teknik pengumpulan data tertentu sesuai dengan masalah yang diteliti.
Penelitian adalah sarana yang digunakan oleh manusia untuk memperkuat dan
membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan demi kepentingan masyarakat luas.
1.4.1. Jenis Penelitian
Penulisan proposal ini
dikategorikan dalam penelitian kepustakaan (Library research ), yaitu sebuah
penelitian yang menitik beratkan pada usaha mengumpulkan data dan informasi
dengan bantuan segala material yang terdapat dalam perpustakaan maupun di luar
perpustakaan.
1.4.2. Metode Pengambilan Data
Dalam penelitian ini merupakan
Kualitatif dengan menggunakan pendekatan kepustakaan ( Library research ), maka
semua kegiatan penelitian ini dipusatkan pada kajian terhadap data dan
buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan ini. Dalam penulisan ini penulis
menggunakan dua sumber data, yaitu :
a. Bahan
Utama ( Primer)
Sumber utama dari Imam Al Ghazali (
kitab Ihya Uluumud Din ),
b. Bahan
Pendukung ( Sekunder )
Adapun sumber data pendukung diperoleh dengan cara membaca dan menelaah buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam kajian ini. Seperti buku-buku yang membahas atau menyinggung tentang Ijtihad dan Fatwa-fatwa Islam.
PEMBAHASAN
A. ADAB DALAM MEMBACA AL QURAN.
Jika Al Qur’an dipandang sebagai mukjizat Nabi SAW., yang paling besar dan abadi, serta pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, maka sudah seharusnya cara membaca Al Qur’an diatur sedemikian rupa, sehingga pembaca mendapat berkah-Nya, baik berkah yang bersifat hissi maupun yang bersifat maknawi. Karena itu, Sayyid Mukhtar bin Abu Syadi dalam kitabnya Hilyatu thalibul Qur’an ( adabul mu’allim wa al- muta’allim fi halaqati tahfidzil Qur’an alkarim ) [1]beberapa adab atau tata krama membaca Al Qur’an, yaitu:
1. Dianjurkan untuk
banyak membaca
Al Qur’an
2. Dianjurkan berwhudu sebelum membaca Al Quran.
3. Memilih tempat untuk membaca Al Qur’an.
4. Seyogyanya menghadap kiblat seperti ketika
mengerjakan sholat, serta berpakaian yang sopan, bersih dan suci, kalau perlu
menggunakan minyak wangi agar menambah ketenangan dan kesenangan dalam mambaca
Al Qur’an, sehingga tidak merasa cepat bosan karenanya.
5. bersiwak sebelum membaca Al Qur’an.
6. Ber- ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an.
7. Membaca Al Qur’an dengan menghadirkan niat dalam hati.
8. Mengulang-ulang ayat-ayat adzab.
9. Menangis ketika membaca Al Qur’an.
10. Memperindah suara bacaan Al Qur’an.
11. Mengutamakan membaca dengan melihat mushaf Al Quran.
12. Tidak memutus bacaan Al Qur’an yang disebabkan oleh
sesuatu yang lain.
13. Membaca Al Qur’an sesuai urutan mushaf.
14. Menyimak bacaan Al Qur’an dan tidak sibuk sendiri.
15. Bersujud ketika membaca ayat sajadah.
16. Dimakruhkan menjadikan Al Qur’an sebagai alat mencari
nafkah.
17. Dimakruhkan mengucapkan “ Aku telah lupa akan ayat ini
”.
18. Menyelisihi pendapat-pendapat yang menyatakan
sampainya pahala bacaan Al Qur’an kepada mayit.
19. Sebaik-baik kaum muslimin adalah orang yang mempelajari
alQur’an dan mengajarkannya.
B. HUKUM BACAAN SHADAQALLAHUL ADZIM
Sebagian
kalangan ada yang memandang bahwa bila setelah membaca Al Quran Al Karim kita
mengucapkan lafadz shadaqallahul azhim adalah hukumnya bid’ah. Sebab dalam
pandangan mereka, hal seperti itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam. Bagi mereka, karena tidak ada contoh dari beliau,
maka hukumnya menjadi terlarang . Dan begitu seterusnya kaidah yang mereka
pakai dalam semua bentuk dan praktek ibadah. Termasuk menambahkan jumlah rakaat
pada shalat malam juga bid’ah. Karena
dalam pandangan mereka, Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah
menambahkan jumlah rakaat shalat malam lebih dari 11 rakaat. Maka apabila ada orang yang menambahkan, dia dianggap telah melanggar sunnah Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam dan jadilah dia ahli bid’ah. Karena shalat malam
yang 11 rakaat itu dianggapnya seperti ketentuan shalat wajib yang lima waktu, di mana jumlah rakaatnya sudah ditetapkan.
Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Harus tepat seperti itu, atau kalau tidak, maka bid’ah hukumnya.
Di sisi lain, ada kalangan lain yang tidak memandang bahwa hal itu bid’ah. Karena dalam pandangan mereka, meski tidak ada riwayat yang secara khusus menunjukkan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam mengucapkan lafadz itu selepas membaca Quran, namun tetap ada dalil yang bersifat umum tentang anjuran mengucapkan lafadz itu.
Misalnya, ayat Quran berikut ini:
قل صدق الله فا تبعوا ملة ابر هيم حنيفا وما كان من المشركين
Katakanlah:
Benarlah (apa yang difirmankan) Allah. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus,
dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang musyrik.
(QS.
Ali Imrah: 95)
وتمت كلمت ربك صدقا وعدلا لا مبد ل لكلمته
وهو السميع العليم
“Dan telah sempurna firman Tuhanmu ( Al
Quran ) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman Nya.dan dia
Maha mendengar, Maha mengetahui”.
( Q.S Al An’am: 115 )
Makna ayat pertama diatas ada yang mengatakan bukanlah maksud
dari bacaan lapaz dalam pembahasan ini dan bukanlah tuntunan setiap akhir
membaca ayat Al-Quran.[2]
Kesimpulan pada ayat yang kedua
menyatakan bahwa dalam ayat tersebut Tuhan menjelaskan suatu mukjizat yang
paling besar, yaitu al Quran, yang menunjuk kepada kerasulan Muhammad SAW.,
Mukjizat ini lebih kuat dari yang mereka ( kafir ) minta.[3]
Ayat ayat ini tegas memerintahkan kita untuk mengucapkan lafadz itu, sehingga tidak pada tempatnya untuk melarang para pembaca Al Quran untuk mengucapkannya.
Di antara para ulama yang mendukung pengucapan lafadz shadaqallahuladzhiem selepas membaca ayat Al Quran adalah Al Imam Ghazali dalam kitab beliau bernama Ihya Uluumud Din yang tertulis sebagai berikut:
Dan hendaklah ia membaca Qul ‘audzu Birabbinnas dan surat Al-Fatihah. Dan ketika salam hendaklah membaca:
صدق الله تعا لى وبلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم الهم انفعنا به وبارك لنا فيه الحمد لله رب العا لمين واستغفرالله الحي القيوم
“ Allah Ta’ala Maha benar dan Rasulullah SAW., telah menyampaikan ( kerisalahan ). Wahai Allah, berilah kami manfaat dengannya ( bacaan Al Quran ), berkahilah kami padanya, segala puji bagi Allah dan saya mohon ampun kepada Allah yang Maha hidup lagi Maha berdiri sendiri.”[4]
Selain dari pada itu, pendapat yang sama dari Al Imam Al Qurthubi. Beliau menuliskan dalam kitab tafsir fenomenalnya, Al Jami li Ahkamil Quran bahwa Al Imam At Tirmidzi mengatakan tentang adab membaca Al Quran. Salah satunya adalah pada saat selesai membaca Al Quran, dianjurkan untuk mengucapakan lafadz shadaqallahul azhim atau lafadz lainnya yang semakna.
Pada
jilid 1 halaman 27 disebutkan bahwa di antara bentuk penghormatan kita kepada
Al Quran adalah membenarkan firman Allah Subhanahu wa Taala dan mempersaksikan
kebenaranya dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Misalnya ucapan berikut
ini: shaqadallahul azhim wa ballagha rasululluhul karim, artinya: Maha benar
Allah yang Maha Agung dan Rasul-Nya yang mulia telah menyampaikannya.
Maka dari pendapat upara Ulama diatas, sangat tidak baik bagi orang-orang yang memvonis suatu perbuatan yang tidak ada dalam Al Quran adalah bid’ah? Apakah mesti diulang-ulang peringatan tentang sikap tergesa-gesa mengelurkan ketetapan hukum fiqih sebelum menguatkan kebenarannya. Terakhir Allah Ta’ala berfirman:
ولا تقولوا لما تصف السنتكم الكذب هذا حلل و هذا حرم لتفترو على الله الكذب ان الذين يفترون على الله الكذب لايفلحون
Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta ” Ini halal dan Ini haram ” untuk
mengadakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang Yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.
(QS. An Nahl: 116).
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. setelah memaparkan perselisihan pendapat mengenai bacaan shadaqallahhul azhim setelah tilawah Al Quran, memberikan nasihat bagi kita agar senantiasa toleran dalam menyikapi persoalan-persoalan khilafiyah semacam ini.
2. Kalau kita melihat dari pendapat-pendapat yang ada di atas, jelas sekali bahwa ada kalangan yang membid’ahkan dan ada juga yang tidak membid’ahkan. Bahkan termasuk para ulama mazhab sekalipun, mereka tidak mengatakan bahwa shalat seseorang menjadi batal lantaran di dalam shalat membaca lafadz semacam itu.
3. Maka setidaknya kita jadi tahu, bahwa memang masalah ini masalah khilafiyah umat. Tidak ada nash yang secara tegas melarangnya, tapi juga tidak ada nash yang secara khusus memerintahkannya. Maka tidak tepat rasanya bila kita menjadi saling bermusuhan untuk urusan yang tidak ada nash yang tegas dan khusus.
4. Barangkali akan jauh lebih bermanfaat
bila kita saling bertoleransi dengan sesama muslim, ketimbang kita harus
menyakiti dan saling menjelekkan dengan saudara kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
Hasbi Ash Shiddiqy, Pedoman Shalat ( Semarang: Pustaka Rizki,2001)
Asjmuni
Abdurrahman, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 1( Jakarta: Suara
Muhammadiyah 2003 ).
Muhammad
Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al Quranul Majid An-Nur ( Semarang: Pustaka Rizki
Putra 2000 ).
Sayyid
Mukhtar Abu Syadi, Adab-adab Halaqah Al-quran ( Solo: Aqwam 2016 ).
Moh Zuhri, Karya
Imam al Ghazali, Kitab Ihya Uluumud Din
jilid II ( Semarang: Asy Syifa 1990 ).
[1] Sayyid Mukhtar bin Abu Syadi, terjemah
Adab-adab Halaqah Quran ( Solo: Aqwam Media Profetika, 2016 ) hlm.
[2] Asjmuni Abdurrahman, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 1( Jakarta:
Suara Muhammadiyah 2003 ) hlm 16
[3] Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al Quranul Majid An-Nur,(
Semarang: Pustaka Rizki Putra 2000 ) hlm 1298
[4] Moh Zuhri, Karya Imam Al
Ghazali, Ihya Ulumuddin jilid II ( Semarang: Asy Syifa 1990 ) hlm 270