Toleransi Antar Umat Beragama
A. Latar Belakang
Manusia
merupakan makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial. Sebagai
makhluk sosial manusia diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu/manusia
lain dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam
masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang
berbeda dengannya salah satunya adalah perbedaan kepercayaan/agama.
Dalam
rangka menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap
saling menghormati dan menghargai. Sehingga, gesekan-gesekan yang dapat
menimbulkan pertikaian dapat dihindari. Selain itu, masyarakat juga dituntut
untuk saling menjaga hak dan kewajiban diantara satu sama lain.
Dalam
konteks toleransi antar beragama, islam memiliki konsep yang sangat jelas.
“Tidak ada paksaan dalam agama”. “bagimu Agamamu, bagiku agamaku” merupakan
contoh popular dari toleransi dalam islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat
lain yang tersebar dalam surat dan juga sejumlah hadits serta praktik toleransi
dalam sejarah islam. Fakta-fakta historis itu menunjukan bahwa masalah
toleransi dalm islam bukanlah konsep asing.
Menurut
agama islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga alam
semesta, binatang, serta lingkungan hidup. Dengan cakupan toleransi yang luas
maka toleransi antar umat beragama dalam islam merupakan perhatian yang penting
dan serius. Karena tolerasi beragama menyangkut keyakinan manusia yang sangat
sensitive dan mudah menimbulkan konflik. Oleh karena itu, makalah berikut ini
akan mengulas pandangan islam terhadap toleransi dalam beragama
Dalam
menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan yang
akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan agama
atau ras. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat maka
diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati, sehingga tidak terjadi
gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian.
Dalam
pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya" Sehigga kita
sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan
kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung
tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.
B. Arti dan Makna Toleransi
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti kata Toleransi berarti sifat
toleran. Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai bersifat atau bersikap
tenggang rasa (menghargai, membolehkan)
pendirian (pendapat atau keyakinan) yang berbeda atau bertentangan dengan diri
sendiri.
Toleransi
merupakan kata serapan dari bahasa inggris “tolerance” berarti sabar dan
kelapang dada , adapun kata kerja transitifnya yaitu tolerate yang berarti
sabar menghadapi atau melihat dan tahan terhadap sesuatu, sementara kata
sifatnya adalah toleray yang bersikap toleran, sabar terhadap sesuatu.
Sedangkan menurut Abdul Malik Salman, kata tolerance berasal dari bahasa latin
yang berarti berusaha tetap bertahan hidup tinggal atau berinteraksi dengan
sesuatu yang sebenarnya tidak disukai.
Dalam
bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan kata toleransi
adalah samanah atau tasamuh, maka kata ini berkembang dan mempunyai arti sikap
lapang dada atau terbuka dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari
kepribadian yang mulia. Dengan demikian, makna kata tasamuh memiliki keutamaan,
karena melambangkan sikap pada kemuliaan diri dan keikhlasan.
Oleh
karena itu, toleransi dalam konteks social budaya dan agama adalah sikap dan
perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang
berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.
Contohnya adalah toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu
masyarakat mengizinkan keberadaan agama lainnya.
Pada sila
pertama dalam Pancasila disebutkan bahwa bertaqwa kepada tuhan menurut agama
dan kepercayaan masing-masing merupakan hal yang mutlak. Karena semua agama
menghargai manusia, oleh karena itu semua umat beragama juga harus saling
menghargai. Sehingga terbina kerukunan hidup antar umat beragama.
Toleransi merupkan sikap terbuka dan
mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna
kulit, bahasa, adat istiadat, budaya, bahasa serta agama atau yang lebih
popular dengan sebutan inklusivisme, pluralism, dan multikulturalisme. Hal ini
sejalar dengan firman Allah SWT yang artinya “hai manusia sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Alllah maha mengetahui dan maha
pengenal.”
Seluruh
manusia berada didalam lingkaran “sunnatullah” ayat ini mengindikasi bahwa
Allah SWT menciptakan adanya perbedaan dan penting untuk menghadapi dan
menerima perbedaan-perbedaan itu termasuk dalam hal teologis. Toleransi antar
umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu kajian penting yang ada
dalam sistem teologi islam.
Islam
adalah agama yang sempurna dan memiliki sejumlah syarat yang sangat menjujung
tinggi sikap toleransi. Firman Allah SWT :
Artinya Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.
Al-Baqarah : 256)
Seruan
ayat tersebut sebatas hanya ditunjukkan untuk orang-orang kafir. Jadi, kaum
muslimin tidak boleh memaksakan kehendak orang lain (selain islam) untuk masuk
kedalam agama islam. Sebab orang kafir dalam hal ini diberikan hak oleh Allah
SWT untuk memilih beriman kepada islam dan berhak pula untuk tidak
mengimaninya.
Toleransi
dalam beragama islam bukan berarti boleh atau bebas menganut agamu tertentu
atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya
aturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai
bentuk system dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk
menjalankan keyakinan agama
masing-masing.
Sikap
penerimaan dan pengakuan terhadap yang lain sebagai ajaran toleransi yang
ditawarkan islam, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits maupun ayat
Al-qur’an cukup rasional dan praktis. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan
(aqidah) dan ibadah, tidak bisa disamakan dan dicampur adukkan, yang berarti
bahwa keyakinan islam kepada Allah SWT tidak sama dengan keyakinan para
penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka, dan juga tatacara ibadahnya
walaupun demikian, islam tetap melarang para penganutnya mencela tuhan-tuhan
dalam agama manapun. Oleh karena itu, kata tasamuh atau toleransi dalam islam
bukan sesuatu yang asing, tetapi sudah melekat sebagai ajaran inti islam untuk
diimplementasikan dalam kehidupan sejak agama islam itu lahir. Dalam konteks
inilah hadits yang diriwayatkan oleh Al- bukhori
Yang
artinya : agama yang paling dicintai oleh Allah adalah yang lurus yang penuh
toleransi, yaitu agama islam.
·
Memahami setiap perbedaan.
·
Sikap saling tolong menolong antar sesama umat yang tidak
membedakan suku, agama, budaya maupun ras.
·
Rasa saling menghormati serta menghargai antar sesama umat
manusia.
·
Memperbaiki tempat-tempat umum
·
Kerja bakti membersihkan jalan desa
·
Membantu korban kecelakaan lalu-lintas.
·
Menolong orang yang terkena musibah atau bencana alam
Jadi, bentuk kerjasama ini harus
kita praktekkan dalam kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan serta tidak
menyinggung keyakinan pemeluk agama lain. melalui toleransi diharapkan terwujud
ketertiban, ketenangan dan keaktifan dalam menjalankan ibadah menurut agama dan
kepercayaan masing-masing..
Pandangan ini muncul
dilatarbelakangi oleh semakin meruncingnya hubungan antar umat beragama di Indonesia.
Penyebab munculnya ketegangan antar umat beragama tersebut antara lain:
·
Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya
sendiri dan agama pihak lain.
·
Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama
dan toleransi dalam kehidupan masyarakat.
·
Sifat dari setiap agama, yang mengandung misi dakwah
dan tugas dakwah.
·
Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah
perbedaan pendapat.
·
Para pemeluk agama tidak mampu mengontrol diri, sehingga
tidak menghormati bahkan memandang randah agama lain.
·
Kecurigaan terhadap pihak lain, baik antar umat
beragama, intern umat beragama, atau antara umat beragama dengan
pemerintah.
Pluralitas agama hanya dapat dicapai seandainya masing-masing kelompok bersikap lapang dada satu sama lain. Sikap lapang dada dalam kehidupan beragama akan memiliki makna bagi kemajuan dan kehidupan masyarakat plural, apabila ia diwujudkan dalam:
- Sikap saling mempercayai atas itikad baik golongan agama lain.
- Sikap saling menghormati hak orang lain yang menganut ajaran agamanya.
- Sikap saling menahan diri terhadap ajaran, keyakinan dan kebiasan kelompok agama lain yang berbeda, yang mungkin berlawanan dengan ajaran, keyakinan dan kebiasaan sendiri.
Contoh Toleransi Umat Beragama dalam Kehidupan Nyata
Toleransi antarumat beragama antara pemeluk Agama Islam dan Kristen di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan dan Masjid Al Hikmah, Serengan, Kota Solo, Jateng. yang tercipta sejak dahulu.
"Dua bangunan tersebut berdampingan serta memiliki alamat yang sama, yaitu di Jalan Gatot Subroto Nomor 222, Solo,"
Namun Perbedaan keyakinan tidak menyurutkan semangat pemeluk Kristen dan Islam setempat untuk saling menjaga kerukunan, menghormati dan mengembangkan sikap toleransi. Bangunan Masjid Al Hikmah didirikan pada tahun 1947 sedangkan GKJ Joyodingratan didirikan 10 tahun sebelumnya atau sekitar 1937. namun Toleransi antarumat beragama telah tercipta sejak lama disini.
Misalnya saat pelaksanaan Idul Fitri yang jatuh pada Minggu. Pengelola gereja
langsung menelepon pengurus masjid untuk menanyakan soal kepastian perayaan
Idul Fitri. Kemudian pengurus gereja merubah jadwal ibadah paginya pada Minggu
menjadi siang hari, agar tidak mengganggu umat Islam yang sedang menjalankan
shalat Idul Fitri.
Contoh lainnya adalah pengurus masjid selalu membolehkan halaman Masjid untuk parkir kendaraan bagi umat kristiani GKJ Joyoningratan saat ibadah Paskah maupun Natal.
Hal tersebut merupakan contoh kecil
toleransi antarumat beragama yang hingga saat ini terus dipelihara. Baik pihak
gereja maupun Pihak masjid, saling menghargai dan memberikan kesempatan untuk
menjalankan ibadah dengan khusyuk dan lancar bagi masih-masing pemeluknya.
seandainya terdapat oknum tertentu yang akan mengusik kerukunan antar umat
beragama di tempat tersebut, baik pihak masjid maupaun gereja akan
bergabung untuk mencegahnya.
1.
Toleransi Antar Umat Beragama
Toleransi
antar umat beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup
bersama masyarakat yang menganut agama lain dengan memiliki kebebasan untuk
menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan
dan tekanan baik untuk beribadah maupun tidak beribadah dari satu pihak ke pihak lain. Sebagai implementasinya
dalam praktik kehidupan social dapat dimulai dari sikap kebersamaan antara
penganut keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap
toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertentangga baik dengan
tetangga yang seiman dengan kita maupun tidak. Sikap toleransi itu
direfleksikan dengan cara saling menghormati saling memuliakan dan saling
tolong-menolong.
Tolerasi
hak dan kewajiban dalam umat beragama telah tertanam dalam nilai-nilai yang ada
pada pancasila. Indonesia adalah Negara majemuk yang terdiri dari berbagai
macam etnis dan agama, tanpa adanya sikap saling menghormati antara hak dan
kewajiban maka akan dapat muncul berbagai macam gesekan-gesekan antar umat
beragama.
2.
Penegasan Tidak Ada Toleransi Akidah
Mengenai
sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda. Al-Qur’an telah menegaskan lewat
salah satu suratnya yaitu surat al kafirun ayat 1-6. Ayat ini menegaskan, bahwa semua manusia menganut agama tunggal
merupakan keniscayaan. Sebaliknya, tidak nmungkin manusia menganut beberapa
agama dalam waktu yang sama atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara
simultan. Oleh sebab itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang
teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak. Sedangkan orang kafir pada
ajaran ketuhanan yang ditetapkan sendiri.
Dalam
memahami toleransi, umat islam tidak boleh salah kaprah. Toleransi terhadap
non-muslim hanya boleh dalam aspek muamalah , tetapi tidak dalam hal aqidah dan
ibadah. Islam mengakui adanya perbedaan tetapi tidak boleh dipaksakan agar sama
sesuatu yang jelas berbeda.
Dalam
sejarah islam, nabi Muhammad SAW merupakan teladan yang baik dalam implementasi
toleransi beragama dengan merangkul semua etnis dan apapun warna kulit dan
kebangsaannya. Kenersamaan merupakan salah satu prinsip yang diutamakan,
terkait dengan karakter modernisasi dalam islam. Dimana Allah SWT berkeinginan
mewujudkan masyarakat islam yang moderat sebagaimana firman Allah.
Artinya
: dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam) umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul
menjadi saksi atas perbuatan kamu.
3.
Manfaat Toleransi Beragama
a.
Menghindari perpecahan
Bersikap toleran merupakan solusi
agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama, sikap bertoleran harus
menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi
social.
b. Memperkokoh tali silahturahmi
Salah satu wujud dari toleransi
hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali silahturahmi antar umat
beragama dan menjaga hubungan yang baik. Merajut hubungan damai antar penganut
agama hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak saling menghargai pihak
lain. Mengembangkan sikap toleran beragama, bahwa setiap penganut agama boleh
menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan.
D. Upaya Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama
Menciptakan kerukunan umat beragama baik di tingkat daerah, provinsi, maupun pemerintah merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah lainnya. Mulai dari tanggung jawab mengenai ketentraman, keamanan, dan ketertiban termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama bahkan menertibkan rumah ibadah.
Dalam hal ini untuk menciptakan
kerukunan umat beragama dapat dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut:
1.
Saling tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat
beragama
2.
Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
3.
Melaksanakan ibadah sesuai agamanya
4.
Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun
peraturan Negara atau Pemerintah.
Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama merupakan indikasi dari konsep trilogi kerukunan. Seperti dalam pembahasan sebelumnya upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan hidup umat beragama, tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu. Karena hal ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) yang telah diberikan kebebasan untuk memilih baik yang berkaitan dengan kepercayaan, maupun diluar konteks yang berkaitan dengan hal itu.
Kerukunan antar umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara, apabila masing-masing umat beragama dapat mematuhi aturan-aturan yang diajarkan oleh agamanya masing-masing serta mematuhi peraturan yang telah disahkan Negara atau sebuah instansi pemerintahan. Umat beragama tidak diperkenankan untuk membuat aturan-aturan pribadi atau kelompok, yang berakibat pada timbulnya konflik atau perpecahan diantara umat beragama yang diakibatkan karena adanya kepentingan ataupun misi secara pribadi dan golongan.
Selain itu, agar kerukunan hidup
umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara, perlu memperhatikan
upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan secara mantap dalam bentuk. :
1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat
beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah.
2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional, dalam
bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun
dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap
toleransi.
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif, dalam
rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama,
yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern umat beragama dan antar
umat beragama.
4.
Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya
nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia, yang
fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip
berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan
adanya sikap keteladanan.
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang
implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai ketuhanan,
agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nila-nilai sosial kemasyarakatan
maupun sosial keagamaan.
6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama
dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain,
sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu.
7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam
kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang
dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.
Dalam upaya memantapkan kerukunan itu, hal serius yang harus diperhatikan adalah fungsi pemuka agama, tokoh masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini pemuka agama, tokoh masyarakat adalah figur yang dapat diteladani dan dapat membimbing, sehingga apa yang diperbuat mereka akan dipercayai dan diikuti secara taat. Selain itu mereka sangat berperan dalam membina umat beragama dengan pengetahuan dan wawasannya dalam pengetahuan agama.
Kemudian pemerintah juga berperan dan bertanggung jawab demi terwujud dan terbinanya kerukunan hidup umat beragama. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas umat beragama di Indonesia belum berfungsi seperti seharusnya, yang diajarkan oleh agama masing-masing. Sehingga ada kemungkinan timbul konflik di antara umat beragama. Oleh karena itu dalam hal ini, ”pemerintah sebagai pelayan, mediator atau fasilitator merupakan salah satu elemen yang dapat menentukan kualitas atau persoalan umat beragama tersebut. Pada prinsipnya, umat beragama perlu dibina melalui pelayanan aparat pemerintah yang memiliki peran dan fungsi strategis dalam menentukan kualitas kehidupan umat beragama, melalui kebijakannya.
Untuk menjaga dan meningkatkan
kerukunan hidup umat beragama dan keutuhan bangsa, perlu dilakukan upaya-upaya:
1.
Meningkatkan efektifitas fungsi lembaga-lembaga kearifan
lokal dan keagamaan masyarakat;
2.
Meningkatkan wawasan keagamaan masyarakat;
3.
Menggalakkan kerjasama sosial kemanusiaan lintas agama,
budaya, etnis dan profesi
4.
Memperkaya wawasan dan pengalaman tentang kerukunan melalui
program kurikuler di lingkungan lembaga pendidikan.
E.
Potret Hidup Keagamaan di Indonesia
Potret kehidupan beragama di Indonesia belakangan di berbagai media kurang mengembirakan. Pasalnya, agama yang seharusnya menciptkan dan membina kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan justru terjebak dalam politik identitas dan semangat primordialisme. Tentu saja di sini bukan bermaksud memojokkan agama dan memunculkan sikap pesimis terhadapnya melainkan membangkitkan kesadaran bersama betapa agama bias berdampak sangat negatif sekali dalam kehidupan bersama apabila tidak dipahami dan dihayati dengan tepat dan baik.
Sebaliknya juga, kita yakin bahwa
agama bisa memberikan sumbangan sangat besar bagi kehidupan manusia apabila
dipahami dan dihayati secara benar dan baik. Bertitik tolak dari pengalaman
yang kurang memuaskan pada masa lalu, kita perbaiki bersama sikap dalam
beragama, sehingga agama semakin memainkan peran yang didambakan setiap insan
pertiwi yakni sebagai penabur kesejukan, kedamaian, kebahagiaan, kesejahteraan
dan pemberdayaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
1.
Kerukunan Antar Umat
Beragama di Indonesia
Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.
Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan
dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari
kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena
memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa
untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu
pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan
pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama
terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang
fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu
menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan
yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak
tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan.
Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai
muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya
mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup
diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai
lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain,
maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai
satu sama lain.
2. Kendala-Kendala
1. Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam
komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya
sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P.
Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung
(indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang
sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan
masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi,
karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu
sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian
membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing
pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan
sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa
pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.
2. Kepentingan
Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor
penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat
beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara
faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun
dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun,
dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja
muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan
memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan
“bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di
negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di
negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi
darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya.
Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak
mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita
seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3. SikapFanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif
juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan
berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal
dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan
tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan
situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah
satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika
orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang
non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis
karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya,
juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak
bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak
pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang
berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam
agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis,
misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang
percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk
masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan
gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling
mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka
timbullah sikapfanatisme yang berlebihan.
Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga
faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap
maupun berkepanjangan.
3. Solusi Menciptakan Kerukunan Hidup Beragama
1. Dialog Antar Pemeluk
Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan
kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan,
konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam
beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian
disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup
bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang
disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim
disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari
“sejarah politik” (political history). Penerapan sejarah sosial dalam
perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan
dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di
luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian
dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai
(peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
2. Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita
untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama,
saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan
seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan
dialog.
Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita
bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita
sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi.
Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh
pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun
berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa
masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah
politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan
penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama,
dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak
memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk
mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian
diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama
masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada
gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada
sebagai lawan.