KUMPULAN BIOKRAFI TOKOH ISLAM YANG SANGAT TERKENAL

ADMIN

1. IMAM NAWAWI (631-676 H)
Nama dan Nasabnya
Beliau adalah Al Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Hussain bin Jumu’ah bin Hizam Al Hizamy An Nawawi Asy Syafi’i.
Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa daerah Hauran termasuk wilayah Damaskus Syiria.
Sifat – sifatnya
Beliau adalah tauladan dalam kezuhudan, wara’, dan memerintah pada yang ma’ruf dan melarang pada yang mungkar.
Pertumbuhannya
Ayahandanya mendidik, mengajarnya, dan menumbuhkan kecintaan kepada ilmu sejak usia dini. Beliau mengkhatamkan Al Qur’an sebelum baligh. Ketika Nawa tempat kelahirannya tidak mencukupi kebutuhannya akan ilmu, maka ayahandanya membawanya ke Damaskus untuk menuntut ilmu, waktu itu beliau berusia 19 tahun. Dalam waktu empat setengah bulan beliau hafal Tanbih oleh Syairazi, dan dalam waktu kurang dari setahun hafal Rubu’ Ibadat dari kitab muhadzdzab.
Setiap hari beliau menelaah 12 pelajaran, yaitu dua pelajaran dalam Al Wasith, satu pelajaran dalam Muhadzdzab, satu pelajaran dalam Jamu’ baina shahihain, satu pelajaran dalam Shahih Muslim, satu pelajaran dalam Luma’ oleh Ibnu Jinny, satu pelajaran dalam Ishlahul Manthiq, satu pelajaran dalam tashrif, satu pelajaran dalam Ushul Fiqh, satu pelajaran dalam Asma’ Rijal, dan satu pelajaran dalam Ushuluddin.
Guru – guru
Di antara guru – gurunya dalam ilmu fiqh dan ushulnya adalah Ishaq bin Ahmad bin Utsman Al Maghriby, Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad Al Maqdisy, Sallar bin Hasan Al Irbily, Umar bin Indar At Taflisy, Abdurrahman bin Ibrahim Al Fazary.
Adapun guru – gurunya dalam bidang hadits adalah Abdurrahman bin Salim Al Anbary, Abdul Aziz bin Muhammad Al Anshory, Khalid bin Yusuf An Nabilisy, Ibrahim bin Isa Al Murady, Ismail bin Ishaq At Tanukhy, dan Abdurrahman bin Umar Al Maqdisy.
Adapun guru – gurunya dalam bidang Nahwu dan Lughah adalah Ahmad bin Salim Al Mishry dan Izzuddin Al Maliky.
Murid – muridnya
Di antara murid muridnya adalah Sulaiman bin Hilal Al Ja’fary, Ahmad bin Farrah Al Isybily, Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah, Ali bin Ibrahim Ibnul Aththar, Syamsuddin bin Naqib, Syamsuddin bin Ja’wan dan yang lainnya.
Pujian para ulama kepadanya
Ibnul Aththar berkata,
“Guru kami An Nawawi disamping selalu bermujahadah, wara’, muraqabah, dan mensucikan jiwanya, beliau adalah seorang yang hafidz terhadap hadits, bidang – bidangnya, rijalnya, dan ma’rifat shahih dan dha’ifnya, beliau juga seorang imam dalam madzhab fiqh.”
Quthbuddin Al Yuniny berkata,
“Beliau adalah teladan zamannya dalam ilmu, wara’, ibadah, dan zuhud.”
Syamsuddin bin Fakhruddin Al Hanbaly,
“Beliau adalah seorang imam yang menonjol, hafidz yang mutqin, sangat wara’ dan zuhud.”
Aqidahnya
Al Imam An Nawawi terpengaruh dengan pikiran Asy ‘ariyyah sebagaimana nampak dalam Syarh Shahih Muslim dalam mentakwil hadits – hadits tentang sifat – sifat Allah. Hal ini memiliki sebab – sebab yang banyak di antaranya ;
1. Terpengaruh dengan pensyarah Shahih Muslim yang sebelumnya seperti Qadhi Iyadh, Maziry, dan yang lainnya, karena beliau banyak menukil dari mereka ketika mensyarah Shahih Muslim.
2. Beliau belum sempat secara penuh mengoreksi dan mentahqiq tulisan – tulisannya, tetapi beliau tidak mengikuti semua pemikiran Asy’ariyyah bahkan menyelisihi mereka dalam banyak masalah.
3. Beliau tidak banyak mendalami masalah Asma’ wa Sifat, sehingga banyak terpengaruh dengan pemikiran Aay’ariyyah yang berkembang pesat di zamannya.
Di antara keadaan – keadaannya
Ibnul Aththar berkata,
“Guru kami An Nawawi menceritakan kepadaku bahwa beliau tidak pernah sama sekali menyia – nyiakan waktu , tidak di waktu malam atau di waktu siang bahkan sampai di jalan beliau terus dalam menelaah dan manghafal.”
Rasyid bin Mu’aliim berkata,
“Syaikh Muhyiddin An Nawawi sangat jarang masuk kamar kecil, sangat sedikit makan dan minumya, sangat takut mendapat penyakit yang menghalangi kesibukannya, sangat menghindari buah – buahan dan mentimun karena takut membasahkan jasadnya dan membawa tidur, beliau sehari semalam makan sekali dan minum seteguk air di waktu sahur.”
Kitab-kitabnya
Di antara tulisan – tulisannya dalam bidang hadits adalah Syarah Shahih Muslim, Al Adzkar, Arba’in, Syarah Shahih Bukhary, Syarah Sunan Abu Dawud, dan Riyadhus Shalihin.
Diantara tulisan – tulisannya dalam bidang ilmu Al Qur’an adalah At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an.
Wafat
Al Imam An Nawawi wafat di Nawa pada 24 Rajab tahun 676 H dalam usia 45 tahun dan dikuburkan di Nawa. semoga Allah meridhoinya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.
Sumber: Tadzkiratul Huffadzoleh Adz Dzahaby 4 / 1470 – 1473 dan Bidayah wan Nihayah oleh Ibnu Katsir 13/230 – 231.
    

2. Abdul Qadir Al Jailani (471-561 H)

Biografi Syaikh Abdul Qadir Al Jailani termuat dalam kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Tetapi, buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Beliau adalah seorang ulama besar sehingga suatu kewajaran jika sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjungnya dan mencintainya. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau berada di atas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini merupakan suatu kekeliruan. Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul yang derajatnya tidak akan pernah bisa dilampaui di sisi Allah oleh manusia siapapun.
Ada juga sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah (perantara) dalam do’a mereka. Berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaraannya. Ini juga merupakan kesesatan.
Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara tidak ada syari’atnya dan ini sangat diharamkan. Apalagi kalau ada yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Allah melarang makhluknya berdo’a kepada selainNya. Allah berfirman, yang artinya:
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al Jin:18)
Kelahirannya
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang ‘alim di Baghdad yang lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga Kailan. Sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.
Pendidikannya
Pada usia yang masih muda beliau telah merantau ke Baghdad dan meninggalkan tanah kelahirannya. Di sana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthath, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Mukharrimi sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Pemahamannya
Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau. Beliau adalah seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah mengikuti jalan Para Pendahulu Islam Yang Sholeh. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak pula orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda dengan jalan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan lainnya.
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, “Dia (Allah) di arah atas, berada di atas ‘ArsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. “Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits, lalu berkata, “Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ (Allah berada di atas ‘ArsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain, -seperti Allah dihati atau dimana-mana, ini adalah keyakinan batil-). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arsy.
Dakwahnya
Suatu ketika Abu Sa’ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil di sebuah daerah yang bernama Babul Azaj dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Syaikh Abdul Qadir. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memeberikan nasehat kepada orang-orang yang ada di sana, sampai beliau meninggal dunia di daerah tersebut.
Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasihat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah ini tidak kuat menampungnya. Maka diadakan perluasan.
Imam Adz Dzahabi dalam menyebutkan biografi Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, menukilkan perkataan Syaikh sebagai berikut, “Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Ibnu Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.
Wafatnya
Beliau Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.
Pendapat Para Ulama tentang Beliau
Ketika ditanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al jailani, Ibnu Qudamah menjawab, “Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian kepada kami. Kadang beliau mengutus putra beliau Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Terkadang beliau juga mengirimkan makanan buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”
Ibnu Rajab di antaranya mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syaikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tenteram untuk meriwayatkan apa yang ada di dalamnya, kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari kitab selain ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak terbatas. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja’far al Adfawi telah menyebutkan bahwa Asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.”
Ibnu Rajab juga berkata, “Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. “
Imam Adz Dzahabi mengatakan, “intinya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang-orang beriman). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”
Imam Adz Dzahabi juga berkata, “Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi.

3.    Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah (wafat 656 H)

Nama seberanya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah tonggak bagi madrasah itu. Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 mil.
Pertumbuhan Dan Thalabul Ilminya
Ia belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.
Beliau amat cakap dalam hal ilmu melampaui teman-temannya, masyhur di segenap penjuru dunia dan amat dalam pengetahuannya tentang madzhab-madzhab Salaf.
Pada akhirnya beliau benar-benar bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H.
Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya. Oleh karenanya beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan dan tepat. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim amat mencintainya, sampai-sampai beliau mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim yang menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.
Sebagai hasil dari mulazamahnya (bergurunya secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah, beliau dapat mengambil banyak faedah besar, diantaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang telah difahami oleh as-Salafus ash-Shalih, membuang apa-apa yang berselisih dengan keduanya, serta memperbaharui segala petunjuk ad-Din yang pernah dipalajarinya secara benar dan membersihkannya dari segenap bid’ah yang diada-adakan oleh kaum Ahlul Bid’ah berupa manhaj-manhaj kotor sebagai cetusan dari hawa-hawa nafsu mereka yang sudah mulai berkembang sejak abad-abad sebelumnya, yakni: Abad kemunduran, abad jumud dan taqlid buta.
Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam fiqrah Islamiyah.
Ibnul Qayyim rahimahullah telah berjuang untuk mencari ilmu serta bermulazamah bersama para Ulama supaya dapat memperoleh ilmu mereka dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam.
Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap Ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai Hadits, makna hadits, pemahaman serta Istinbath-Istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya.
Semuanya itu menunjukkan bahwa beliau rahimahullah amat teguh berpegang pada prinsip, yakni bahwa “Baiknya” perkara kaum Muslimin tidak akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab as-Salafus ash-Shalih yang telah mereguk ushuluddin dan syari’ah dari sumbernya yang jernih yaitu Kitabullah al-‘Aziz serta sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam asy-syarifah.
Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad serta menjauhi taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan petunjuk al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para shahabat serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya) dan A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).
Dengan kemerdekaan fikrah dan gaya bahasa yang logis, beliau tetapkan bahwa setiap apa yang dibawa oleh Syari’ah Islam, pasti sejalan dengan akal dan bertujuan bagi kebaikan serta kebahagiaan manusia di dunia maupun di akhirat.
Beliau rahimahullah benar-benar menyibukkan diri dengan ilmu dan telah benar-benar mahir dalam berbagai disiplin ilmu, namun demikian beliau tetap terus banyak mencari ilmu, siang maupun malam dan terus banyak berdo’a.
Sasarannya
Sesungguhnya Hadaf (sasaran) dari Ulama Faqih ini adalah hadaf yang agung. Beliau telah susun semua buku-bukunya pada abad ke-tujuh Hijriyah, suatu masa dimana kegiatan musuh-musuh Islam dan orang-orang dengki begitu gencarnya. Kegiatan yang telah dimulai sejak abad ketiga Hijriyah ketika jengkal demi jengkal dunia mulai dikuasai Isalam, ketika panji-panji Islam telah berkibar di semua sudut bumi dan ketika berbagai bangsa telah banyak masuk Islam; sebahagiannya karena iman, tetapi sebahagiannya lagi terdiri dari orang-orang dengki yang menyimpan dendam kesumat dan bertujuan menghancurkan (dari dalam pent.) dinul Hanif (agama lurus). Orang-orang semacam ini sengaja melancarkan syubhat (pengkaburan)-nya terhadap hadits-hadits Nabawiyah Syarif dan terhadap ayat-ayat al-Qur’anul Karim.
Mereka banyak membuat penafsiran, ta’wil-ta’wil, tahrif, serta pemutarbalikan makna dengan maksud menyebarluaskan kekaburan, bid’ah dan khurafat di tengah kaum Mu’minin.
Maka adalah satu keharusan bagi para A’immatul Fiqhi serta para ulama yang memiliki semangat pembelaan terhadap ad-Din, untuk bertekad memerangi musuh-musuh Islam beserta gang-nya dari kalangan kaum pendengki, dengan cara meluruskan penafsiran secara shahih terhadap ketentuan-ketentuan hukum syari’ah, dengan berpegang kepada Kitabullah wa sunnatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk pengamalan dari Firman Allah Ta’ala: “Dan Kami turunkan Al Qur’an kepadamu, agar kamu menerangkan kepada Umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44).
Juga firman Allah Ta’ala, “Dan apa-apa yang dibawa Ar Rasul kepadamu maka ambillah ia, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7).
Murid-Muridnya
Ibnul Qayyim benar-benar telah menyediakan dirinya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah dan melayani dialog. Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi murid beliau. Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya ialah: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah, al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i dan lain-lain.
Aqidah Dan Manhajnya
Adalah Aqidah Ibnul Qayyim begitu jernih, tanpa ternodai oleh sedikit kotoran apapun, itulah sebabnya, ketika beliau hendak membuktikan kebenaran wujudnya Allah Ta’ala, beliau ikuti manhaj al-Qur’anul Karim sebagai manhaj fitrah, manhaj perasaan yang salim dan sebagai cara pandang yang benar. Beliau –rahimahullah- sama sekali tidak mau mempergunakan teori-teori kaum filosof.
Ibnul Qayiim rahimahullah mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam seluruhnya –baik alam bawah maupun- alam atas dengan segala bagian-bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu memberikan kesaksian tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang Pemiliknya. Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah berarti mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi; adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan dengan adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya tidak mampu melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu dipertanyakan.”
Hadirnya Imam Ibnul Qayyim benar-benar tepat ketika zaman sedang dilanda krisis internal berupa kegoncangan dan kekacauan (pemikiran Umat Islam–Pent.) di samping adanya kekacauan dari luar yang mengancam hancurnya Daulah Islamiyah. Maka wajarlah jika anda lihat Ibnul Qayyim waktu itu memerintahkan untuk membuang perpecahan sejauh-jauhnya dan menyerukan agar umat berpegang kepada Kitabullah Ta’ala serta Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Manhaj serta hadaf Ibnul Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada sumber-sumber dinul Islam yang suci dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang suka mempermainkan agama.
Oleh sebab itulah beliau rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang telah mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama waratsatun nabi (pewaris nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pada itu, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan dinar atau dirham, tetapi beliau mewariskan ilmu. Berkenaan dengan inilah, Sa’id meriwayatkan dari Qatadah tentang firman Allah Ta’ala,
“Dan orang-orang yang diberi ilmu (itu) melihat bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb mu itulah yang haq.” (Saba’:6).
Qotadah mengatakan, “Mereka (orang-orang yang diberi ilmu) itu ialah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Di samping itu, Ibnul Qayyim juga mengumandangkan bathilnya madzhab taqlid.
Kendatipun beliau adalah pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering keluar dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian tentang perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur.
Mengenai pernyataan beberapa orang bahwa Ibnul Qayyim telah dikuasai taqlid terhadap imam madzhab yang empat, maka kita memberi jawaban sebagai berikut, Sesungguhnya Ibnul Qayyim rahimahullah amat terlalu jauh dari sikap taqlid. Betapa sering beliau menyelisihi madzhab Hanabilah dalam banyak hal, sebaliknya betapa sering beliau bersepakat dengan berbagai pendapat dari madzhab-madzhab yang bermacam-macam dalam berbagai persoalan lainnya.
Memang, prinsip beliau adalah ijtihad dan membuang sikap taqlid. Beliau rahimahullah senantiasa berjalan bersama al-Haq di mana pun berada, ittijah (cara pandang)-nya dalam hal tasyari’ adalah al-Qur’an, sunnah serta amalan-amalan para sahabat, dibarengi dengan ketetapannya dalam berpendapat manakala melakukan suatu penelitian dan manakala sedang berargumentasi.
Di antara da’wahnya yang paling menonjol adalah da’wah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya dalam masalah fiqih ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk atas adanya sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum pernah terjadi.
Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli (menyandarkan persoalan cabang pada yang asli), al-Mashalih al-Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan al-‘Urf (kebiasaan yang telah diakui baik).
Ujian Yang Dihadapi
Adalah wajar jika orang ‘Alim ini, seorang yang berada di luar garis taqlid turun temurun dan menjadi penentang segenap bid’ah yang telah mengakar, mengalami tantangan seperti banyak dihadapi oleh orang-orang semisalnya, menghadapi suara-suara sumbang terhadap pendapat-pendapat barunya.
Orang-orang pun terbagi menjadi dua kubu: Kubu yang fanatik kepadanya dan kubu lainnya kontra. Oleh karena itu, beliau rahimahullah menghadapi berbagai jenis siksaan. Beliau seringkali mengalami gangguan. Pernah dipenjara bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah secara terpisah-pisah di penjara al-Qal’ah dan baru dibebaskan setelah Ibnu Taimiyah wafat.
Hal itu disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para wali. Akibatnya beliau disekap, dihinakan dan diarak berkeliling di atas seekor onta sambil didera dengan cambuk.
Pada saat di penjara, beliau menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an, tadabbur dan tafakkur. Sebagai hasilnya, Allah membukakan banyak kebaikan dan ilmu pengetahuan baginya. Di samping ujian di atas, ada pula tantangan yang dihadapi dari para qadhi karena beliau berfatwa tentang bolehnya perlombaan pacuan kuda asalkan tanpa taruhan. Sungguhpun demikian Ibnul Qayyim rahimahullah tetap konsisten (teguh) menghadapi semua tantangan itu dan akhirnya menang. Hal demikian disebabkan karena kekuatan iman, tekad serta kesabaran beliau. Semoga Allah melimpahkan pahala atasnya, mengampuninya dan mengampuni kedua orang tuanya serta segenap kaum muslimin.
Pujian Ulama Terhadapnya
Sungguh Ibnul Qayyim rahimahullah teramat mendapatkan kasih sayang dari guru-guru maupun muridnya. Beliau adalah orang yang teramat dekat dengan hati manusia, amat dikenal, sangat cinta pada kebaikan dan senang pada nasehat. Siapa pun yang mengenalnya tentu ia akan mengenangnya sepanjang masa dan akan menyatakan kata-kata pujian bagi beliau. Para Ulama pun telah memberikan kesaksian akan keilmuan, kewara’an, ketinggian martabat serta keluasan wawasannya.
Ibnu Hajar pernah berkata mengenai pribadi beliau, “Dia adalah seorang yang berjiwa pemberani, luas pengetahuannya, faham akan perbedaan pendapat dan madzhab-madzhab salaf.”
Di sisi lain, Ibnu Katsir mengatakan, “Beliau seorang yang bacaan Al-Qur’an serta akhlaqnya bagus, banyak kasih sayangnya, tidak iri, dengki, menyakiti atau mencaci seseorang. Cara shalatnya panjang sekali, beliau panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga banyak di antara para sahabatnya yang terkadang mencelanya, namun beliau rahimahullah tetap tidak bergeming.”
Ibnu Katsir berkata lagi, “Beliau rahimahullah lebih didominasi oleh kebaikan dan akhlaq shalihah. Jika telah usai shalat Shubuh, beliau masih akan tetap duduk di tempatnya untuk dzikrullah hingga sinar matahari pagi makin meninggi. Beliau pernah mengatakan, ‘Inilah acara rutin pagi buatku, jika aku tidak mengerjakannya nicaya kekuatanku akan runtuh.’ Beliau juga pernah mengatakan, ‘Dengan kesabaran dan perasaan tanpa beban, maka akan didapat kedudukan imamah dalam hal din (agama).’”
Ibnu Rajab pernah menukil dari adz-Dzahabi dalam kitabnya al-Mukhtashar, bahwa adz-Dzahabi mengatakan, “Beliau mendalami masalah hadits dan matan-matannya serta melakukan penelitian terhadap rijalul hadits (para perawi hadits). Beliau juga sibuk mendalami masalah fiqih dengan ketetapan-ketetapannya yang baik, mendalami nahwu dan masalah-masalah Ushul.”
Tsaqafahnya
Ibnul Qayyim rahimahullah merupakan seorang peneliti ulung yang ‘Alim dan bersungguh-sungguh. Beliau mengambil semua ilmu dan mengunyah segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya pada masa itu di negeri Syam dan Mesir.
Beliau telah menyusun kitab-kitab fiqih, kitab-kitab ushul, serta kitab-kitab sirah dan tarikh. Jumlah tulisan-tulisannya tiada terhitung banyaknya, dan diatas semua itu, keseluruhan kitab-kitabnya memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Oleh karenanyalah Ibnul Qayyim pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah yang agung.
Karya-Karyanya
Beliau rahimahullah memang benar-benar merupakan kamus berjalan, terkenal sebagai orang yang mempunyai prinsip dan beliau ingin agar prinsipnya itu dapat tersebarluaskan. Beliau bekerja keras demi pembelaannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Buku-buku karangannya banyak sekali, baik yang berukuran besar maupun berukuran kecil. Beliau telah menulis banyak hal dengan tulisan tangannya yang indah. Beliau mampu menguasai kitab-kitab salaf maupun khalaf, sementara orang lain hanya mampun menguasai sepersepuluhnya. Beliau teramat senang mengumpulkan berbagai kitab. Oleh sebab itu Imam ibnul Qayyim terhitung sebagai orang yang telah mewariskan banyak kitab-kitab berbobot dalam pelbagai cabang ilmu bagi perpustakaan-perpustakaan Islam dengan gaya bahasanya yang khas; ilmiah lagi meyakinkan dan sekaligus mengandung kedalaman pemikirannya dilengkapi dengan gaya bahasa nan menarik.
Beberapa Karyanya
1. Tahdzib Sunan Abi Daud,
2. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin,
3. Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban,
4. Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan,
5. Bada I’ul Fawa’id,
6. Amtsalul Qur’an,
7. Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina wajhan,
8. Bayan ad-Dalil ’ala istighna’il Musabaqah ‘an at-Tahlil,
9. At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an,
10. At-Tahrir fi maa yahillu wa yahrum minal haris,
11. Safrul Hijratain wa babus Sa’adatain,
12. Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
13. Aqdu Muhkamil Ahya’ baina al-Kalimit Thayyib wal Amais Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’
14. Syarhu Asma’il Kitabil Aziz,
15. Zaadul Ma’ad fi Hadyi Kairul Ibad,
16. Zaadul Musafirin ila Manazil as-Su’ada’ fi Hadyi Khatamil Anbiya’
17. Jala’ul Afham fi dzkris shalati ‘ala khairil Am,.
18. Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyah wal Mu’aththilah,
19. Asy-Syafiyatul Kafiyah fil Intishar lil firqatin Najiyah,
20. Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz bainal Mardud wal Maqbul,
21. Hadi al-Arwah ila biladil Arrah,
22. Nuz-hatul Musytaqin wa raudlatul Muhibbin,
23. al-Jawabul Kafi Li man sa`ala ’anid Dawa`is Syafi,
24. Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,
25. Miftah daris Sa’adah,
26. Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah,
27. Raf’ul Yadain fish Shalah,
28. Nikahul Muharram,
29. Kitab tafdlil Makkah ‘Ala al-Madinah,
30. Fadl-lul Ilmi,
31. ‘Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin,
32. al-Kaba’ir,
33. Hukmu Tarikis Shalah,
34. Al-Kalimut Thayyib,
35. Al-Fathul Muqaddas,
36. At-Tuhfatul Makkiyyah,
37. Syarhul Asma il Husna,
38. Al-Masa`il ath-Tharablusiyyah,
39. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkami Ahlil Jahim,
40. Al-Farqu bainal Khullah wal Mahabbah wa Munadhorotul Khalil li qaumihi,
41. Ath-Thuruqul Hikamiyyah, dan masih banyak lagi kitab-kitab serta karya-karya besar beliau yang digemari oleh berbagai pihak.
Wafatnya
Ibnul-Qoyyim meninggal dunia pada waktu isya’ tanggal 13 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami’ Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami’ Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.
Sumber: 
1. Al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir,
2. Muqaddimah Zaadil Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Tahqiq: Syu’ab wa Abdul Qadir al-Arna`uth,
3. Muqaddimah I’lamil Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin; Thaha Abdur Ra’uf Sa’d,
4. Al-Badrut Thali’ Bi Mahasini ma Ba’dal Qarnis Sabi’ karya Imam asy-Syaukani,
5. Syadzaratudz dzahab karya Ibn Imad,
6. Ad-Durar al-Kaminah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani,
7. Dzail Thabaqat al-Hanabilah karya Ibn Rajab Al Hanbali,
8. Al Wafi bil Wafiyat li Ash Shafadi,
9. Bughyatul Wu’at karya Suyuthi,
10. Jala’ul ‘Ainain fi Muhakamah al-Ahmadin karya al-Alusi

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، خالق الخلق أجمعين، ومقسم الأرزاق بين العباد من مسلمين وكافرين، وجاعل الفوز في الآخرة للموحدين المؤمنين.
والصلاة والسلام على المبعوث لجميع الثقلين، وإلى العرب والأعجمين، جعل شريعته مهيمنة على جميع شرائع الأولين، ودينه ناسخًا لجميع أديان المرسلين، من اتبع هديه وسنته أعزه الله وأعلى ذكره، ومن حاد عن أمره، وجانب هديه كتب عليه الصغار والذله … أما بعد:
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, Pencipta seluruh makhluk, Yang membagikan rezki kepada segenap hamba-Nya, baik kaum muslimin maupun kaum kafir, dan Dia-lah yang menjadikan kesuksesan di akhirat bagi para muwahhidin mu`minin.
Shalawat dan Salam kepada Rasul yang diutus kepada bangsa jin dan manusia semuanya, kepada bangsa ‘Arab dan non Arab. Allah telah menjadikan syari’at beliau sebagai batu ujian bagi segenap syari’at sebelumnya, agama beliau sebagai penghapus seluruh agama para rasul sebelum. Barangsiapa yang mengikuti bimbingan dan sunnah beliau, maka akan Allah muliakan dia dan dan Allah tinggikan kedudukannya. Dan barangsiapa menentang perintah beliau, menjauhi bimbingan beliau maka Allah tetapkan atasnya kehinaan dan kerendahan.
Amma ba’d,
Huruf-huruf dan kata-kata ini aku torehkan pertama kali ketika aku berada di atas pesawat dalam perjalanan pulangku dari negeri Indonesia tatkala melewati Bandara Abu Dhabi Emirat Arab. Perjalanan tersebut memakan waktu tujuh jam di udara, kami menempuh jarak sekitar kurang lebih 7.000 km. Yaitu setelah aku turut serta dalam Daurah Ilmiyyah ke-4 di Ma’had Al-Anshar Yogyakarta (Jogja) Indonesia. Turut serta pula dalam acara tersebut saudaraku Asy-Syaikh DR. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahim Al-Bukhari, profesor hadits di Fakultas Hadits Syarif Universitas Islam dan saudaraku Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh-Zhafiri, yang sekarang sedang menempuh program doktoral di Universitas Islam Madinah.
Selama waktu yang panjang dalam perjalanan, yang aku habiskan untuk membaca dan menulis, terbayang dalam pikiran dan benakku terhadap semua yang aku saksikan dan aku dengar semenjak safarku hingga kembaliku. Maka sebagian darinya aku tuliskan, dalam rangka memberikan dorongan kepada ikhwah Indonesia atas aktivitas yang mereka lakukan selama ini berupa dakwah dan semangat menyebarkan ilmu dan sunnah. Sekaligus sebagai dorongan bagi saudara-saudaraku para masyaikh dan para thullabul ‘ilmi untuk membantu mereka dan mengunjungi mereka. Serta dalam rangka menampakkan kebaikan yang telah aku saksikan, berupa semangat yang besar dalam menuntut ilmu dan mengikuti as-sunnah, yang itu membuat senang hati seorang mukmin di satu sisi, dan membangkitkan semangat bagi para penuntut ilmu dan para da’i sunnah di sisi lain. Disamping juga dalam rangka menjelaskan sikap yang wajib atas seorang muslim terkait fenomena-fenomena kemungkaran yang menyelisihi syari’at Allah Yang Maha Bijaksana.
Saya memohon kepada Allah agar mengaruniakan kepada kita kekokohan di atas Islam dan di atas Sunnah, melindungi kita dari kejelekan fitnah baik yang tampak maupun tidak, serta menjadikan urusan kaum muslimin di setiap tempat menjadi baik.
Kaum muslimin pada hari ini di setiap tempat — kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku dan jumlah mereka sedikit – berada dalam kondisi yang menyedihkan, yang sebenarnya mereka sangat membutuhkan pemimpin yang adil dan membimbing (mereka), takut kepada Allah dalam urusan kaum muslimin, serta sangat semangat membela Islam dan Syari’at-Nya.
والله المستعان ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم.
Ditulis oleh hamba yang faqir (sangat butuh) kepada Rabbnya
‘Abdullah bin Shalfiq Al-Qasimi Azh-Zhafiri
Awal mula ditulis di antara langit dan bumi, antara Jakarta dan Abu Dhabi
Sore hari Ahad, bertepatan dengan 9/8/1429 H
Muqaddimah
Kisah indah ini bermula dari telepon para ikhwah salafiyyin di Indonesia, meminta kepadaku untuk hadir dalam Daurah Ilmiah ke-4 yang mereka adakan, pada tahun ini (1429 H), yaitu pada awal Sya’ban selama 8 hari. Setelah bermusyawarah aku pun beristikharah kepada Allah. Akhirnya aku putuskan untuk berangkat.
Aku memilih untuk mengajarkan Kitabul ‘Ilmi dari kita Shahih Al-Bukhari, dan Kitabus Sunnah dari kita Sunan Abi Dawud. Kedua kitab tersebut, termasuk kitab yang aku baca (pelajari) di hadapan para masyaikh kami yang mulia ketika mereka ikut andil pada Daurah Ilmiah pertama yang diadakan di daerah Hafrul Bathin, Masjid Jami’ Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallah ‘anhuma. Daurah tersebut dilaksanakan pada awal bulan Rabi’uts Tsani tahun 1422 H. Kitabus Sunnah aku membaca (mempelajari)nya di hadapan Fadlilah Syaikhina Al-Muhaddits Mufti, Alim, dan Ahli Hadits di bagian selatan Kerajaan Saudi Arabia Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah rahmatan wasi’an. Sedangkan Kitabul ‘Ilmi baca (pelajari) di hadapan Fadhilatu Syaikhina ‘Ubaid bin ‘Abdillah Al-Jabiri hafizhahullah.
Aku memulai perjalanan ilmiah ini pada hari Sabtu awal Sya’ban dari bandara Kuwait, yang aku telah memesan tiket perjalan dari sana. Kemudian transit ke bandara Abu Dhabi, lalu langsung ke bandara Jakarta, Indonesia. Perjalanan ini berlangsung selama tujuh 7 jam. Lalu menuju bandara Yogjakarta (Jogja) yang merupakan akhir perjalanan. Tiba pada malam Senin, tanggal 3 Sya’ban 1429 H. Dalam perjalanan ini aku ditemani oleh Al-Akh Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh-Zhafiri hafizhahullah.
Sejak malam itu dimulailah sejumlah pelajaran dan muhadharah, terkhusus oleh Al-Akh Asy-Syaikh Khalid. Pelajaran dan muhadharah berlangsung hingga hari Sabtu, tanggal 8 Sya’ban 1429 H, yang dibagi antara kami bertiga : Asy-Syaikh DR. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahim Al-Bukhari, n Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh-Zhafiri, dan aku sebagai penulis baris-baris ini (yakni Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhafiri).
Di sela-sela daurah tersebut, kami bertemu dengan saudara-saudara kita fillah dari para ikhwah Ahlus Sunnah, duduk bersama mereka, melihat mereka, dan mengetahui berita mereka yang mendinginkan dada orang yang beriman, membangkitkan harapan kepada Allah bahwasa Dia-lah penolong agama-Nya dan yang memenangkan sunnah Nabi-Nya meskipun para pembuat tipu daya dan makar dari kalangan para syaithan -baik syaithan manusia maupun jin- dan dari kalangan orang-orang kafir dan komunis, serta juga para ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu.
Pembahasanku pada baris-baris ini terbagi dalam lima pembahasan, yaitu:
1. Tentang ikhwah (asatidzah) Ahlus Sunnah Salafiyyin panitia penyelenggara daurah dan para pengampu dakwah di sana.
2. Tentang Daurah Ilmiah
Keduanya merupakan tujuan utama dari perjalanan.
3. Tentang risalah-risalah yang selesai dibacakan selama perjalanan, serta faidah-faidah ilmiah yang terdapat di dalamnya tambahan tambahan keterangan yang penting.
4. Tentang kondisi negeri tersebut, dan berbagai kenikmatan yang Allah berikan padanya berupa pemandangan yang indah dan tanda-tanda kebesaran-Nya yang menakjubkan.
5. Tentang apa yang aku lihat di sela-sela perjalanan ini berupa maksiat, penyimpangan, penentangan terhadap Allah, dan terang-terangan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, serta apa yang menjadi kewajiban bagi kaum muslimin, baik raykat maupun pemerintahnya, dalam menghadapi berbagai permasalahan tersebut.
Dengan memohon kepada Allah agar memberikan kekokohan kepada kita di atas Islam dan As-Sunnah, serta menjadikan kita sebagai pemberi petunjuk yang mendapatkan hidayah.
Pertama :
Para Ikhwah (Asatidzah) Ahlus Sunnah As-Salafiyyin
Panitia Daurah Ilmiah dan Pengampu Dakwah Salafiyyah
di Negeri Indonesia
Sungguh kami telah berjumpa – sesampainya kami di negeri Islam ini (negeri Indonesia)- dengan saudara-saudara kami, Ahlus Sunnah As-Salafiyyin. Kami saksikan kebenaran dalam berpegang kepada As-Sunnah kejujuran dalam beragama, istiqamah di atas manhaj salafi, serta semangat dalam thalabul ilmi dan berdakwah di jalan Allah, kami menilainya demikian – dan kami tidak bermaksud memberikan tazkiyyah di hadapan Allah untuk seorang pun – .
Sebagian di antara mereka ada yang pernah belajar di hadapan para masyaikh dan para ‘ulama kita, seperti Asy-Syakh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahumallah, atau seperti Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahumallah. Sebagian yang lain adalah para alumnus Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Universitas Islam) Madinah, dan sebagian yang lain, yang masih belum mendapat kesempatan seperti ini, tetap bersemangat untuk menseriusi kitab-kitab dan kaset-kaset para masyaikh tersebut, baik para ‘ulama maupun para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah.
Lebih dari sekadar berguru, aku telah mengetahui pada mereka seringnya mereka berziarah dan bermusyawarah dengan para ‘ulama. Paling seringnya adalah bermusyawarah dengan Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhali – hafizhahullah – yang beliau ini memiliki peran besar dalam menyatukan kalimat dan barisan mereka.
Sungguh itu merupakan di antara bukti-bukti dalam mengetahui jalan beragama seseorang, apakah dia berjalan di atas sunnah atau di atas sesuatu yang menyelisihinya. Ruh-ruh itu adalah tentara yang berbaris, ruh-ruh yang saling cocok akan bisa bersatu, dan ruh-ruh yang saling bertentangan akan berselisih. Para ‘ulama salaf dahulu memandang bahwa bergaulnya seseorang dengan ahlus sunnah, mencintainya, dan bersemangat dalam mengambil ilmu darinya serta bermusyawarah dengannya sebagai tanda bagi manhaj seseorang.
Lebih dari itu, mereka (para ‘ulama salaf) memiliki pengetahuan tentang manhaj-manhaj baru, kelompok-kelompok hizbiyyah, waspada darinya, dan mentahdzirnya.
Ini merupakan prinsip yang sangat penting bagi seorang muslim, terutama bagi kalangan penuntut ilmu atau para da’i di jalan Allah, yaitu hendaknya ia mengetahui kejelekan dan para pengusungnya agar ia waspada darinya. Sungguh Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallah ‘anhuma berkata:
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي
Dahulu orang-orang bertanya tentang kebaikan, namun aku bertanya tentang kejelekan karena khawatir (kejelekan tersebut) akan menimpaku.”
Sungguh benar ucapan sang penyair:
عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لّكِـْن لِتَوَقِّــّّيهِ
وَمَنْ لاَ يَعْرِفِ الشَّرَّ مِنَ الْخَيْرِ يَقَعْ فِيهِ
Aku mempelajari kejelekan bukan untuk melakukannya, akan tetapi untuk aku menghindarinya
Barangsiapa yang tidak bisa membedakan kejelekan dari kebaikan maka ia akan terjatuh ke dalamnya
Demikianlah yang aku saksikan pada diri mereka. Itu merupakan di antara hasil tarbiyah para ‘ulama rabbani. Sesungguhnya ‘ulama rabbani adalah ‘ulama yang mentarbiyah murid-muridnya dengan tarbiyah salafiyyah, yang dengannya terbedakan dengan seluruh manusia. Maka ‘ulama rabbani tersebut mengumpulkan antara penanaman prinsip syari’at dan aqidah, dengan peringatan terhadap kejelekan dan bid’ah serta para pelakunya.
Inilah keistimewaan para ‘ulama yang telah disebutkan di atas. Dan hal ini demi Allah merupakan bentuk nasehat bagi seluruh kaum muslimin dan para penuntut ilmu. Adapun sikap mengambil satu sisi dan mengabaikan sisi lainnya, maka cara yang demikian ini yang akan membuat si murid berbuat yang berlebihan pada satu kesempatan, atau berbuat menyepelekan pada kesempatan yang lain, dan akan menjadikannya tidak berjalan dia pondasi ilmiah manhajiyyah. Cara demikian membuat banyak kalangan muda berada dalam alam pikiran yang kacau. Tidak mampu membedakan mana yang Ahlus Sunnah dan mana yang Ahlul Bid’ah, di samping berada dalam aqidah yang lemah. Ia bingung dalam memberikan loyalitasnya, sehingga tidak mengetahui siapa yang layak diberi loyalitas dan siapa yang harus dimusuhi. Tidak mengetahui siapa yang harus ia cintai dan siapa yang harus ia benci. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi berseberangan dengan kewajiban-kewajiban imaniyyah, yaitu mencintai ahlus sunnah dan membenci ahlul bid’ah. Yang demikian kami saksikan pada sebagian murid-murid para masyaikh yang tidak mau memperhatikan sikap waspada terhadap kebid’ahan dan para pengusungnya, hizbiyyah dan berbagai simbolnya. Mereka tidak memberikan perhatian sama sekali, yang menyebabkan timbulnya di tengah-tengah mereka orang-orang yang seperti itu. Bahkan durhaka dan meninggalkan jalan para masyaikh (guru) mereka.
Aku katakan :
Sungguh aku telah menyaksikan pada para ikhwah tersebut (yakni para asatidzah penyelenggara/panitia Daurah Ilmiyyah Nasional) adanya adab-adab yang tinggi, akhlak-akhlak yang mulia, jiwa-jiwa yang baik, kepeduliaan yang tinggi, ta’awun yang kuat sesama mereka dalam rangka menyebarkan sunnah dan tauhid, serta manhaj salafi di tengah-tengah negeri tersebut yang telah banyak didominasi oleh kalangan Asy’ariyyah dan Shufiyyah, bahkan kelompok-kelompok hizbiyyah.
Sungguh tidak berlebihan bila aku katakan, bahwa apa yang aku saksikan adalah sesuatu yang tidak ada bandingannya. Aku belum pernah melihat yang seperti itu. Belum pernah aku menyaksikan jumlah yang begitu besar, mendatangi Daurah Umum yang diterjemahkan, jumlah mereka lebih dari 10.000 orang. Atau jumlah besar mereka yang hadir pada pelajaran Daurah Khusus (khusus untuk para asatidzah dan para duat) yang mendekati 500 orang. Mereka datang dari berbagai penjuru dan kepulauan negeri Indonesia dengan membawa semangat untuk menyebarkan sunnah dan mencari ilmu. Bahkan aku diberi tahu bahwa di sana masih ada lagi sejumlah para penuntut ilmu yang juga berkeinginan menghadiri Daurah Khusus, namun karena tempat yang tidak mencukupi untuk menampung jumlah mereka yang besar, maka panitia membatasi dengan sebagiannya saja.
Mereka (para asatidzah penyelenggara/panitia) telah mengadakan daurah-daurah tersebut dengan swadaya mereka sendiri, di tengah-tengah segala kekurangan. Namun mereka tidak mau menerima sumbangan dana bersyarat dari sebagian organisasi/yayasan yang memiliki tujuan yang samar dan tanzhim hizbi, yang tidaklah tanzhim tersebut hadir pada suatu negeri atau suatu dakwah kecuali pasti akan memecah belah dakwah tersebut dan menimbulkan permusuhan dan saling benci sesama pelaku dakwah. Walahaula wala Quwwata illa billah.
Upaya saling bekerjasama dan bantu membantu yang membuahkan hasil ini, dan cara yang sukses ini, tidak lain merupakan buah dari tarbiyah para ulama dan senantiasa berhubungan dengan mereka. Hal itu membuahkan dalam diri mereka kesinambungan dalam berusaha di atas sikap pertengahan dan lapang, serta hanifiyyah (kelurusan) yang jelas.
Sungguh orang-orang seperti mereka adalah orang-orang yang berhak mendapatkan bantuan, pertolongan, dan kerjasama dalam menjalankan dakwah mereka untuk menyebarkan tauhid dan Sunnah serta manhaj salafi di tengah-tengah negeri yang penduduknya telah didominasi oleh aqidah Asy’ariyyah dan tarekat Shufiyyah, bahkan kelompok-kelompok hizbiyyah dan takfiry, serta aliran-aliran dan agama-agama yang bermacam-macam.
Semoga Allah memberikan sebaik-baik balasan kepada para ikhwah pengampu dakwah dan Daurah Ilmiah ini. Dan semoga Allah memperbesar pahala atas perkara yang mereka jalankan, berupa pelaksanaan amanat ini dan menyebarkan risalah ini.
Di antara para ikhwah (asatidzah) tersebut yang aku jumpai adalah Al-Ustadz Luqman Ba’abduh, Al-Ustadz Abal Mundzir, Al-Ustadz ‘Askari, Al-Ustadz Hannan Bahannan, Al-Ustadz Qamar Su’aidi, Al-Ustadz Usamah Faishal Mahri, Al-Ustadz ‘Abdush Shamad Bawazir, Al-Ustadz Ahmad Khadim, Al-Ustadz Ruwaifi’, Al-Ustadz ‘Abdul Mu’thi, Al-Ustadz ‘Abdul Bar, Al-Ustadz Ja’far Shalih, dan selain mereka yang tidak aku ingat nama-namanya. Sebagaiman pula aku tidak lupa dengan salah seorang pemuda bernama Muhammad Fuad yang telah melakukan penerjemahan banyak kitab-kitab salafiyyah dari bahasa ‘Arab ke dalam bahasa Indonesia.
Sebagai tambahan keterangan, bahwasanya ia (Muhammad Fuad) dulunya adalah Cina kafir, kemudian masuk Islam dan benarlah Islamnya. Kemudian Allah memberikan karunia kepadanya berupa mengenal manhaj salafi dan aqidah sunni. Allah memberikan manfaat melalui dirinya kepada Islam dan kaum muslimin. Maha Suci Allah yang telah mengeluarkan yang hidup dari yang mati. Mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya. Ia memberikan hidayah ke ash-shirath al-mustaqim bagi siapa yang ia kehendaki. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
Di antara perkara yang membuatku terkejut adalah ketika aku melihatnya sebagai penerjemah – dan aku bersyukur kepada Allah atas hal ini- kitabku Sallu As-Suyuf wa Al-Asinnah ‘ala Ahli Al-Ahwa’ wa Ad’iyyah As-Sunnah yang mendapatkan pendahuluan dari Syaikh kami, Doktor Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, seorang ‘ulama yang memiliki perjuangan yang penuh berkah dalam membela rekan-rekan dan murid-muridnya, serta anak-anak didiknya dari kalangan Ahlus Sunnah di setiap tempat. Segala puji bagi Allah yang dengan-Nya sempurnalah setiap amal shalih. Dan aku memohon kepada-Nya agar memberikan rizqi kepada kita berupa keikhlasan dalam berucap dan beramal, menjadikan kita beramal dalam ketaatan-Nya dan membela agama dan sunnah Nabi-Nya, dan agar Dia menjadikan hal ini semua termasuk dalam timbangan amal-amal kebaikan, baik yang berupa kitab-kitab, pengantar, penerjemahan, maupun penerbitan, pada hari yang sudah tidak lagi bermanfaat lagi harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.
Kedua :
Daurah Ilmiah Asatidzah Di Yogyakarta (Jogja)
Daurah Ilmiah tahunan yang diselenggarakan oleh ikhwah salafiyyin di Indonesia, tepatnya di kota Yogyakarta (Jogja), termasuk daurah-daurah yang dengannya Allah memberikan manfaat kepada kaum. Daurah tersebut berhasil menghidupkan kembali di tengah-tengah para thullabul ‘ilmi (penuntut ilmu) kebiasaan para as-salafush shalih melakukan rihlah (perjalanan) untuk menuntut ilmu, semangat mempelajari ilmu, dan berakhlak dengan akhlak para ahli ilmu.
Daurah ini dihadiri oleh para thullabul ‘ilmi (penuntut ilmu) dari seluruh penjuru Indonesia dan kepulauan-kepulauannya yang banyak. Sebagian mereka datang dengan naik kapal melewati lautan dan pulau-pulau. Sebagian yang lain dengan mengendarai pesawat terbang. Sebagian yang lain dengan mobil-mobil dan kereta api. Mereka menempuh jarak yang mencapai ribuan kilo meter. Mereka harus melewati gunung-gunung, lembah, dan sungai-sungai.
Yang aku saksikan pada mereka perilaku yang baik, semangat untuk menerapkan sunnah pada penampilan mereka dan shalat mereka, serta semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu.
Aku melihat mereka dalam keadaan masjid sudah penuh sesak oleh mereka. Mereka berkumpul di sekitar meja pengajar. Hampir-hampir tidak ada tempat kosong di antara mereka. Jumlah mereka mencapai 500 orang!!
Pemandangan yang seperti ini akan membuat pandangan mata menjadi sejuk, jiwa menjadi bahagia, harapan kepada Allah semakin kuat, dan harapan mendapakan pertolongan dari-Nya bagi para muwahhidin. Allah pasti akan memenangkan agama-Nya walaupun orang-orang musyrik, kafir, dan munafik membencinya, dan meskipun mereka mengupayakan berbagai makar untuk menyerang Islam dan para pemeluknya, berusaha sungguh-sungguh untuk menyesatkan dan menghalangi mereka dari agama mereka yang benar dengan berbagai macam makar dan tipu daya, maka sesungguhnya Allah akan menggagalkan tipu daya dan makar mereka.
وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللهُ، وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ (30) [الأنفال/30 ]
Mereka melakukan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. [Al-Anfal : 30]
Meskipun mereka berusaha dengan keras untuk merubah fitrah kaum muslimin, menanamkan fitnah sesama mereka, dan memasukkan bid’ah dan khurafat kepada mereka, serta menenggelamkan mereka dengan berbagai bentuk syahwat, maka sesungguhnya Allah Yang akan memadamkan itu semua. Dia yang akan menjadikan tipu daya mereka kembali kepada leher-leher mereka. Dia akan mengeluarkan dari keturunan kaum muslimin orang yang mengibarkan bendera as-sunnah, mendakwahkan Islam yang benar dan bersih dari kotoran syirik dan bid’ah, berakhlak dengan Islam dan pondasi-pondasinya yang agung. Maha Benar Allah, Dzat Yang Maha Mulia dan Maha Hikmah ketika Ia berfirman:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (8) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (9) [الصف/8، 9]
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya”. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa hidayah (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal shalih) agar Dia memenangkannya (agama tersebut) di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci. [Ash-Shaf : 8-9]
Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan anugerah (barakah) dalam keikutsertaan kami dalam daurah ini, yaitu dengan menjelaskan Kitabul ‘Ilmi dari kitab Shahih Al-Bukhari secara lengkap, demikian pula dengan menjelaskan awal Kitabus-Sunnah dari kitab Sunan Abi Daud. Kedua kitab ini di antara kitab pegangan yang diajarkan dalam Daurah Ilmiyyah pertama di Masjid Jami’ Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallah ‘anhuma, Hafrul Bathin, sebagaimana telah lalu.
Sedangkan saudaraku, Asy-Syaikh DR ‘Abdullah bin ‘Abdurrahim Al-Bukhari ikut andil dengan mengajarkan manzhumah Al-Baiquniyyah dan Kitabun-Nikah dari kitab Manhajus Salikin karya Al-‘Allamah As-Sa’di. Sebagaimana pula saudaraku Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh-Zhafiri mengajarkan Kitab Fafhul Rabbil Bariyyah bi Talkhis Al-Hamawiyyah.
Ditambah lagi dengan penyampaian pelajaran yang sukses, disampaikan di sejumlah muhadharah yang dilaksanakan di Masjid Jami’ lain di wilayah yang sama (yang beliau maksud adalah Daurah Umum di Masjid Agung Bantul – Yogyakarta) yang jarak tempuhnya dari pusat pengadaan Daurah Ilmiah Asatidzah adalah sekitar 45 menit.
Penyampaian muhadharah tersebut (Daurah Umum) dilakukan secara bergantian antara kami bertiga. Sebagaimana pula aku dan Asy-Syaikh Khalid menyampaikan dua kali muhadharah ketika kami kembali ke Jakarta. Tema muhadharah yang aku sampaikan adalah berkaitan dengan hak Allah atas para hamba, yaitu tauhid, serta penjelasan buahnya ketika di dunia dan di akhirat dan penjelasan bahwasanya buah tersebut hanya akan terwujud bagi merkea yang mengikuti petunjuk Nabi dan menerapkan sunnah beliau, baik dalam ibadah maupun dalam aqidah. Sebagaimana pula Allah telah memberikan taufik dengan aku bisa menyampaikan khutbah Jum’at dengan tema ini pula. Teriring do’a memohon kepada Allah untuk seluruh kalangan agar diberi keikhlasan dan diterima amalannya.
Daurah Ilmiah terlaksana selama satu pekan. Masa-masa daurah tersebut menjadi waktu yang paling indah, karena kami menghabiskannya dalam suasana keilmuan bersama para ikhwah yang memiliki semangat tinggi. Semangatmu menjadi pendorong untuk menyampaikan, membahas, serta mendiskusikan berbagai masalah ilmiyyah.
Waktu-waktu pelajaran mayoritasnya pada siang hari dan seusai shalat berjama’ah :
- setelah shalat Shubuh selama dua jam,
- jam 09.30 pagi hingga menjelang Zhuhur,
- setelah shalat Zhuhur,
- setelah shalat ‘Ashar,
- setelah shalat ‘Isya’ dua jam.
Adapun waktu setelah Maghrib adalah waktu istirahat untuk para pelajar dan menyantap makan malam.
Pada kesempatan ini, aku ingin memberikan dorongan kepada para masyayikh dan para thullabul ‘ilmi (penuntut ilmu) untuk berta’awun bersama para ikhwah tersebut yang telah membukakan bagi kita pintu yang lebar untuk mengajar dan menyebarkan ilmu, sunnah, tauhid, dan berbagai muhadharah di hadapan jumlah hadirin yang begitu besar. Allah Yang memberikan taufik dan petunjuk kepada jalan yang lurus.
Ketiga :
Beberapa Risalah yang Selesai Dibaca Selama Perjalanan
Beserta Faidah-Faidah Ilmiah
atau Penambahan Catatan Kaki yang Penting
Karena perjalanan antara Jakarta dan Abu Dhabi yang sangat jauh, yaitu membutuh waktu perjalanan selama tujuh jam (pesawat), maka aku menghabiskannya untuk membaca dan menulis. Di antara risalah yang tertuang adalah risalah yang berjudul Al-Maqalat Asy-Syar’iyyah (Makalah-makalah Ilmiah) karya rekan kami Asy-Syaikh ‘Abdullah Al-Bukhari dengan pendahuluan dari dua orang syaikh yang mulia, yaitu Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah dan Asy-Syaikh Zaid bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah.
Risalah tersebut terkumpul dalam tiga jilid, beliau memberikannya kepadaku sebagai hadiah pada daurah kali ini. Beliau menulis dalam risalah tersebut sejumlah pembahasan yang bagus. Asy-Syaikh An-Najmi menyatakan tentang pembahasan tersebut : “Pembahasan-pembahasan ini dalam pandanganku adalah untaian permata dan cahaya putih. Penulis telah mendapatkan taufik dalam memilih dan dalam menyampaikannya.” Beliau juga berkata : “Penulis (Asy-Syaikh ‘Abdullah Al-Bukhari) telah mengumpulkan perbahasan-pembahasan yang membangunkan akal-akal yang tidur dan hati-hati yang lalai.”
Diantara apa yang telah aku baca dari pembahasan dan makalah ini adalah tulisan tentang pembelaan yang benar tentang seorang tokoh pembawa dan pembela bendera as-sunnah, yaitu Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali. Pada awal pembahasan membicarakan masalah keutamaan para ‘ulama dan penjelasan tentang sebagian hak mereka yang harus ditunaikan oleh umat ini terhadap para ‘ulama. Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-Bukhari) membahas tentang Asy-Syaikh A-Mujahid Al-‘Allamah Al-Muhaddits Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan pembelaannya terhadap as-sunnah, serta pujian-pujian para ulama atasnya. Di antaranya beliau menyebutkan pujian dari dua orang ‘ulama besar, yaitu Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani dan Asy-Syaikh Al-Faqih Al-Ushuli Al-Mufassir Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin – semoga Allah merahmati keduanya-.
Ketika telah selesai membaca risalah yang indah dan pembahasan yang bagus ini, aku memberikan tambahan terhadap pembahasan tersebut dalam bentuk catatan kaki. Aku katakan padanya :
Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah. Wa ba’d : Ini adalah makalah yang baik, ditulis oleh saudara kami Asy-Syaikh ‘Abdullah Al-Bukhari tentang pembelaan terhadap Asy-Syaikh Al-Allamah Al-Mujahid Rabi’ Al-Madkhali. Risalah ini mencapai puncak keindahan. Hanya saja penulis tidak menampilkan sikap-sikap syaikh kami (Asy-Syakh Rabi’) yang bisa dirasakan dalam memberikan nasehat kepada pihak lain dan kesabaran beliau menghadapi mereka, hingga tampak dari mereka sikap rujuk. Apabila ternyata tetap tidak mau rujuk, maka beliau pun membantahnya. Hal ini sebagaimana terjadi terhadap ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq, Salman Al-‘Audah, Abul Hasan Al-Ma’ribi, dan selain mereka.
Demikian pula dengan sikap beliau terhadap para salafiyyin di seluruh tempat. Musyawarah-musyawarah dan nasehat yang beliau berikan. Berapa banyak didapatkan dari musyawarah, nasehat, dan arahan penghancuran kebatilan dan bid’ah-bid’ah, tampaknya As-Sunnah dan orang-orang yang berpegang dengannya, serta kemenangan kaum muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir.
Sebagaimana terjadi pada kaum muslimin di salah satu kepulauan Indonesia, ketika kaum Nashrani dengan tiba-tiba menyerang kaum muslimin di kepulauan tersebut, yaitu pada hari raya ‘Idul fitri. Kaum nashrani menyerang kaum muslimin dengan serentak. Mereka berhasil membunuh sejumlah besar kaum muslimin. Sehingga tidak ada yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesia kecuali berkumpul dan bersepakat untuk memerangi mereka. Mereka menyeberangi lautan dengan kapal untuk menuju kepulauan tersebut dengan jumlah mencapai 5000 orang. Mayoritas mereka adalah salafiyyin. Kemudian mereka menyerang kaum nashara dan berhasil membunuh dari mereka sejumlah ribuan orang di medan tempur yang berlangsung selama berbulan-bulan. Hasil dari upaya ini (jihad melawan orang-orang nashara-pen) memberikan hasil berupa pelajaran bagi kalangan nashrani, yang dengannya mulialah kaum muslimin dan menjadi hinalah orang-orang kafir. Semua usaha ini (melawan kaum nashara-pen) mayoritasnya adalah karena mengikuti dan arahan dari Asy-Syaikh Al-Mujahid Rabi’ Al-Madkhali dan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil Al-Wadi’i, ketika pemerintah dalam keadaan tidak merespon untuk melakukan perbaikan keadaan.
Yang seperti ini, demi Allah, adalah jihad yang hakiki, yaitu untuk menegakkan kalimat Allah dan membela kaum muslimin. Adapun perang yang dilakukan oleh ahlul bid’ah dan kalangan takfiri, Al-Qaeda (Usamah) bin Laden dan (Aiman) Azh-Zhawahiri, yang mereka menamakannya sebagau jihad, pada hakekatnya adalah kejahatan terhadap Islam dan kaum muslimin serta memberikan peluang kepada kaum kafir untuk mencekik leher kaum muslimin dan merampas wilayah mereka. Mayoritas perang mereka – yaitu kalangan takfiri dan Al-Qaeda – semenjak awalnya dan masih terus berlanjut, adalah untuk menyerang kaum muslimin, sebagaimana telah terjadi di Afghanistan, penyerangan mereka terhadap Ahlus Sunnah dan pembunuhan yang mereka lancarkan terhadap Asy-Syaikh Jamilurrahman As-Salafi –rahimahullah-.
Sebagaimana pula yang terjadi di Aljazair. Mereka membunuhi kaum muslimin, mengeluarkannya dari masyarakat muslimin, dan mengkafirkannya. Itu semua dengan arahan dari orang-orang yang disebutkan sebagai dai-dai kebangkitan.
Sebagaimana pula terjadi di Iraq, mereka menumpahkan darah, berbuat lancang terhadap orang-orang yang tidak berdosa, masuk ke dalam masjid-masjid dan membunuh orang-orang yang shalat. Itu semua mereka lakukan atas nama jihad!! Inilah klaim mereka!!
Bahkan sebagaimana terjadi pada negeri kami, yaitu Kerajaan Saudi Arabia, negeri tahuid dan sunnah. Terjadi berbagai pengeboman dan pembunuhan orang-orang yang tidak bersalah, dilakukan oleh Al-Qaeda dan para pengekornya dari kalangan takfiri dan Quthbiyyin, atau dari kalangan orang-orang yang mendapatkan tarbiyah dari pendidikan Jama’ah Tabligh.
Aku katakan : betapa banyak Allah telah menghancurkan melalui beliau – yaitu Asy-Syaikh Rabi’ – upaya pembunuhan terhadap kaum muslimin dan orang-orang yang mendapatkan jaminan keamanan. Juga tindakan menumpahkan darah. Sebagaimana terjadi di Aljazair, ketika pembunuhan telah merajalela di antara mereka. Asy-Syaikh Rabi’ hafizahullah dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah memberikan nasehat kepada mereka.
Demikian pula dengan sikap beliau terhadap penduduk Iraq, serta arahan yang beliau sampaikan, yang kemudian berhasil menjaga dakwah dan keamanan mereka, serta kehormatan dan agamanya. Beliau juga memberikan dorongan untuk mencari ilmu, penuh hikmah, dan kesabaran. Serta sikap/peran beliau yang lain.”
Catatan kaki ini aku tulis sebagai tambahan untuk apa yang telah ditulis oleh saudara kami Asy-Syaikh ‘Abdullah Al-Bukhari, semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepadanya. Tidak diragukan lagi bahwa Syaikhuna (Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali) memiliki sejumlah sikap/peran besar yang seharusnya untuk kita menampilkannya, agar umat mengetahui siapa sebenarnya ‘ulama kita. Betapa banyak melalui mereka Allah menjaga agama dan as-sunnah. Betapa banyak fitnah dan kejelekan yang Allah padamkan melalui mereka. Betapa banyak musibah dan bencana yang menimpa kaum muslimin Allah redakan melalui mereka. Yang demikian karena mereka bertolak dari ilmu, hikmah, dan nasehat yang jujur bagi kaum muslimin.
Peristiwa Perang Teluk pertama belumlah jauh dari kita. Para ‘ulama –di bawah pimpinan Al-Imam Al-‘Alim Al-‘Allamah A-Muhaddits Al-Mujahid ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz- memberikan fatwa bolehnya meminta bantuan kepada kekuatan asing dalam melawan pasukan komunis (pasukan Iraq, di bawah pimpinan Shaddam Husain-pen).
Fatwa agung itu telah menjaga pertahanan Islam dan pemeluknya di saat para da’i-da’i ‘pencerahan’ dan ‘penyemangat’, seperti Salman Al-‘Audah dan Safar Al-Hawali, berfatwa dengan penolakan fatwa para ‘ulama tersebut dan berlepas diri darinya – demikian yang mereka yakini!!
Aku katakan : Inilah Al-Mujahid Al-‘Alim As-Salafi yang sangat cemburu terhadap Islam, As-Sunnah dan Manhaj As-Salafi, yaitu Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhali. Sangat disayangkan ada di sana di antara anak-anak dari keturunan kita dan orang-orang yang tumbuh di negeri tauhid dan sunnah, dan terkadang dari kalangan yang dianggap berilmu dan da’i, yang umat diuji dengan keberadannya. Barangsiapa yang mengenali keutamaan beliau (Asy-Syaikh Rabi’), membaca karya-karyanya, serta mengambil nasehat dan arahan-arahannya, maka dia akan menolak dan waspada dari orang-orang semacam itu.
Demikianlah keadaannya. Hal ini telah terjadi dan aku saksikan sendiri di negeri Indonesia. Salah satu pelajar Indonesia yang hadir di daurah mengabarkan kepadaku bahwasanya pada beberapa hari sebelumnya ia ditemui oleh salah satu wakil Universitas Islam (Madinah) untuk menguji para pelajar yang ingin mendaftar di universitas tersebut. “Penguji tersebut menanyaiku tentang Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhali, maka aku jawab sesuai dengan pengetahuanku tentang beliau.”, kata pelajar tersebut. Kemudian ia melanjutkan, “Ternyata hasil dari wawancara ini adalah namaku tidak masuk dalam daftar orang-orang yang diterima di unversitas Islam Madinah.”
Kami, demi Allah, sangat menyayangkan munculnya orang-orang seperti ini dari pihak Universitas Islam. Padahal dengannya Allah telah memberikan manfaat kepada Islam dan kaum muslimin. Jika Allah berkehendak, maka universitas tersebut akan senantiasa menjadi sebagai menara tauhid dan sunnah. Bagaimana tidak, sebenarnya universitas ini berdiri di atas ilmu yang benar bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah, serta aqidah As-Salaf ash-Shalih. Berdiri di tangan para ulama rabbani dan kawakan, baik dalam urusan pengaturan maupun pengajaran, seperti Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy-Syaikh, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz, Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Al-Jinki Asy-Syinqithi, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan selain mereka.
Aku memohon kepada Allah agar menetapkan universitas Islam Madinah tersebut dalam kondisi mulia untuk Islam dan kaum muslimin, Sunnah dan tauhid, serta menjauhkannya dari tangan-tangan ahlul ahwa dan hizbiyyin.
Keempat:
Alam Negeri Indonesia, Nikmat-nikmat yang Allah Karuniakan Berupa Pemandangan yang Indah, dan Keajaiban-keajaiban Lainnya
Diantara yang kami saksikan di negeri ini adalah berbagai pemandangan alam yang sangat indah. Yang sangat menakjubkan adalah bagaimana Allah menciptakan dan menghiasinya, berupa berbagai keajaiban-keajaiban, gunung-gunung tinggi yang hijau, hutan yang luas dipenuhi dengan berbagai macam pohon dan bunga, tanah yang dihampari dengan pemandangan yang hijau, ada yang berupa lahan pertanian yang berbuah dan ada yang pemandangan alam yang cantik, sungai-sungai banyak mengalir, hawa yang lembut dan nyaman, awan seperti gunung yang menggumpal di udara bak ombak di lautan, di mana kami bisa melihatnya di bawah kami – yaitu di dalam pesawat – dalam pemandangan yang mengagumkan, ciptaan Allah Yang Maha Hikmah lagi Maha Mulia. Tidak lama kemudian kita akan mengatakan Laa ilaaha illallah, aku beriman kepada Sang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Maha Hikmah dan Maha Mulia. Betapa agungnya ciptaan Allah dan betapa lemahnya manusia yang lemah ini dan sombong kepada Allah. Maha Benar Allah ketika berfirman:
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ (7) فِي أَيِّ صُورَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ (8) كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ (9) [الإنفطار/6-10]

Wahai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabbmu yang Maha Pemurah? Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. Bukan Hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan. (QS. Al-Infithar:6-9)
Dan Allah I berfirman: 

أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (20) فَجَعَلْنَاهُ فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (21) إِلَى قَدَرٍ مَعْلُومٍ (22) فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ (23) وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ (24) [المرسلات/20-24]
Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan air tersebut dalam tempat yang kokoh (rahim), sampai waktu yang ditentukan, Lalu Kami tentukan (bentuknya), Maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. (QS. Al-Mursalat:20-24)
Sungguh orang akan bertanya-tanya : Apakah hikmah dari (kenyataan) bahwasanya negeri kita (Saudi ‘Arabia) mayoritasnya adalah tanah yang tandus, padang pasir yang gersang dan terlihat putih. Sedikit sekali daerah-daerah yang hijau, kecuali pada sebagian wilayah dan sebagian tempat. Padahal negeri kita adalah tempat turunnya wahyu, Al-Haraiman (Makkah dan Madinah), tempat diutusnya risalah, tempat singgahnya hati-hati kaum muslimin, dan syari’at Islam berdiri tegak, bendera tauhid dan as-sunnah berkibar di angkasanya, sedangkan penguasanya – segala puji bagi Allah – bangga dengan Islam dan as-sunnah. Ilmu juga berdiri tegak. Ulama-ulama rabbani banyak jumlahnya, meskipun amat disayangkan adanya kedurhakaan dari sebagian anak-anak keturunan kami. mereka telah menggantikan yang baik dengan yang buruk. Mereka meninggalkan (manhaj) yang mereka dahulu ditarbiyah di atasnya. Mereka memilih bergabung dengan hizbiyyah yang berporos pada pikiran manusia, dan jama’ah-jama’ah yang muhdatsah bid’ah yang muncul dari negeri-negeri yang tidak berbuat untuk mencapai kebaikan baginya. Mereka menyelundup kepada kita dalam kemasan sebagai bentuk kesemangatan untuk Islam dan cemburu kepada syari’at, sebagaimana diselundupkannya racun dalam madu …?!!
Namun yang kita katakan adalah bahwasanya Rabb kita memiliki hikmah yang tinggi, hujjah yang membungkam. Dia ‘Azza wa Jalla pemilik hak mencipta, memerintah, dan menguasai. Ia mengatur kerajaan-Nya dalam ketelitian yang puncak berdasar hikmah dan keadilan serta rahmat. Ia membuat yang ini miskin dan membuat kaya yang lain, menghinakan yang ini dan memuliakan yang lain. Ia menjadikan yang ini hijau dan berbunga. Menjadikan yang itu putih dan gersang. Ia adalah Rabb kita Yang Maha terpuji atas segala sesuatu baik di dunia maupun di akhirat.
Semoga Allah menyimpankan untuk kita kenikmatan-kenikmatan tersebut, dan yang lebih baik dari itu di negeri yang tidak akan musnah kenikmatannya. Di negeri tersebut terdapat berbagai kenikmatan belum pernah terlihat oleh mata keindahannya, belum pernah didengar oleh telinga, tidak pula pernah terbetik dalam hati manusia.
Betapapun indahnya negeri itu (Indonesia), namun sesungguh hidup di tempat turunnya wahyu dan dua tanah haram, di bawah naungan hukum syari’at Islam, sehingga seorang muslim bisa beribadah kepada Allah dengan aman dan tenang, jauh dari tempat-tempat fitnah dan syahwat, adalah lebih baik ratusan kali daripada itu semua.
Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar menghidupkan kita di atas Islam dan as-sunnah, dan agar mematikan kita di atas keimanan dan as-sunnah. Sebagaimana pula kita memohon kepada-Nya agar menjaga bendera tauhid dan sunnah senantiasa dalam keadaan berkibar. Dan agar menjaga negeri ini dengan syari’at yang cemerlang. Dan agar memenangkan kita di atas musuh-musuh kita dari orang-orang kafir dan komunis, serta atas ahlul ahwa dan bid’ah. Dan agar menolak untuk kita berbagai tipu daya para penipu, orang-orang munafik, orang-orang zhalim, dan orang-orang yang menentang.
(Sumber:http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=360996&diarsipkan di http://www.rabee.net/almadani/andonisia.zip. Dikirimkan oleh al akh Abu Amr melalui email

5.      ABU DARDA
Uwaimir bin Malik al-Khazraji yang lebih dikenal dengan nama Abu Darda bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Setelah itu, dia menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yang paling istimewa di dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar, sesudah itu patung tersebut diberinya pakaian baru dari sutera yang megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya.
Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu Darda masuk ke rumah dan bersiap hendak pergi ke tokonya. Tiba-tiba jalan di Yastrib menjadi ramai, penuh sesak dengan para pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari peperangan Badar. Di muka sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang Quraisy. Abu Darda mendekati keramaian dan bertemu dengan seorang pemuda suku Khazraj. Abu Darda menanyakan kepadanya keberdaan Abdullah bin Rawahah. Pemuda Khazraj tersebut menjawab dengan hati-hati pertanyaan Abu Darda, karena dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda dengan Abdullah bin Rawahah. Mereka tadinya adalah dua orang teman akrab di masa jahily. Setelah Islam datang, Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam, sedangkan Abu Darda tetap dalam kemusyrikan. Tetapi, hal itu tidak menyebabkan hubungan persahabatan keduanya menjadi putus. Karena, Abdullah berjanji akan mengunjungi Abu Darda sewaktu-waktu untuk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia kasihan kepada Abu Darda, karena umurnya dihapiskan dalam kemusyrikan.
Abu Darda tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila di atas kursi, sibuk jual beli dan mengatur para pelayan. Sementara itu, Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu Darda. Sampai di sana dia melihat Ummu Darda di halaman rumahnya.
“Assalamu’alaiki, ya amatallah,” (Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah) kata Abdullah memberi salam.
“Wa’alaikassalam, ya akha Abi Darda’”(Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda), jawab Ummu Darda.
“Ke mana Abu Darda?” tanya Abdullah.
“Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang,” jawab Ummu Darda.
“Bolehkah saya masuk?” tanya Abdullah.
“Dengan segala senang hati, silakan!” jawab Ummu Darda.
Ummu Darda melapangkan jalan bagi Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu, lalu dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya, “Ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!” Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah.
Ummu Darda masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah terperanjatnya dia, ketika dilihatnya petung telah hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Ummu Darda meratap menampar-nampar kedua pipinya seraya berkata, “Engkau celakan saya, hai Ibnu Rawahah.” Tidak berapa lama kemudian Abu Darda pulang dari toko. Ia mendapati istrinya sedang duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut kelihatan jelas di wajahnya.
“Mengapa engkau menangis?” tanya Abu Darda.
“Teman Anda, Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri,” jawab Ummu Darda.
Abu Darda menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah berkeping-keping, maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari Abdullah. Tetapi, setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi. Kemudian katanya, “Seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Maka, ditinggalkannya patung yang menyesatkan itu, lalu dia pergi mencari Abdullah bin Rawahah. Bersama-sama dengan Abdullah, dia pergi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. dan menyatakan masuk agama Allah di hadapan beliau. Sejak detik pertama Abu Darda iman dengan Allah dan Rasul-Nya, dia iman dengan sebenar-benar iman. Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu, kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam telah memperoleh pengertian yang mendalam tentang agama Allah ini, hafal Alquran, senantiasa beribadat, dan takwa yang selalu mereka tanamkan dalam dirinya di sisi Allah. Karena itu, dia bertekad hendak mengejar ketinggalannya dengan sungguh-sunggu sekalipun dia berpayah-payah siang dan malam, hingga tersusul orang-orang yang telah berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada ibadat dan memutuskan hubungannya dengan dunia; mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan; mempelajari Alquran dengan tekun dan menghafal ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya terganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majlis-majlis ilmu, maka ditinggalkannya perusahaanya tanpa ragu-ragu dan tanpa menyesal.
Berkenaan dengan sikapnya yang tegas itu, orang pernah bertanya kepadanya. Maka, dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah, saya menjadi seorang pedagang. Maka, setelah masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput salat berjamaah, kemudian saya berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.” Kemudian, saya menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak mengatakan, Allah Ta’ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak menganggu saya untuk dzikrullah (berzikir).”
Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekadar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang di antaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda. Kata yang lain, “Tidak perlu!” Tetapi, orang yang seorang itu menolak saran orang yang tidak setuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda, “Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda Anda?”
Jawab Abu Darda, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa. Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?”
Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar mengangkat Abu Darda menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda, “Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Alquran dan sunah Rasulullah kepada mereka serta menegakkan salat bersama-sama dengan mereka.” Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda tersebut. Lalu, Abu Darda berangkat ke Damsyiq. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka, dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka.
Katanya, “Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku seagama; tetangga senegeri; dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyenangi saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah Taala, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan banyak-banyak, tetapi tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai oleh kalian. Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebntar, harta yang mereka tumpuk habis kikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan.
Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum ‘Ad itu dengan harga dua dirham?”
Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya, dijawabnya; jika dia bertemu dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada padanya.
Pada suatu ketika dia melihat sekelompok orang mengeroyok seorang laki-laki. Laki-laki itu babak belur dipukuli dan dicaci-maki mereka. Abu Darda datang menghampiri, lalu bertanya, “Apa yang telah terjadi?
Jawab mereka, “Orang ini jatuh ke dalam dosa besar.”
Kata Abu Darda, “Seandainya dia jatuh ke dalam sumur, tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”
Jawab mereka, “Tentu!”
Kata Abu Darda, “Karena itu, janganlah kalian caci maki dia, dan jangan pula kalian pukuli. Tetapi, berilah dia pengajaran dan sadarkan dia. Bersyukurlah kalian kepada Allah yang senantiasa memaafkan kalian dari dosanya.”
Tanya mereka, “Apakah Anda tidak membencinya?”
Jawab Abu Darda, “Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, dia adalah saudara saya.” Orang itu menangis dan tobat dari kesalahannya.
Kali yang lain seorang pemuda mendatangi Abu Darda dan berkata kepadanya, “Wahai sahabat Rasulullah! Ajarilah saya!”
Jawab Abu Darda, “Hai anakku! Ingatlah kepada Allah di waktu kamu bahagia. Maka Allah akan mengingatmu di waktu kamu sengsara.
Hai anakku! Jadilah kamu pengajar atau menjadi pelajar atau menjadi pendengar. Dan, janganlah sekali-kali menjadi yang keempat (yaitu orang bodoh), karena yang keempat pasti celaka. Hai anakku! Jadikanlah masjid menjadi tempat tinggalmu, karena aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. bersabda, “Setiap masjid adalah tempat tinggal orang yang bertakwa. Allah Subhanahu wa ta’ala menjanjikan bagi orang yang menjadikan masjid sebagai tempat tinggalnya, kesenangan, kelapangan rahmat, dan lewat di jalan yang diridai Allah Taala.”
Abu Darda pernah pula melihat sekelompok pemuda duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ngobrol sambil melihat orang-orang yang lalu lintas. Abu Darda mengahmpiri mereka dan berkata kepadanya, “Hai anak-anakku! Tempat yang paling baik bagi orang muslim adalah rumahnya. Di sana dia dapat memelihara diri dan pandangannya. Jauhilah duduk-duduk di pinggir jalan dan di pasar-pasar, karena hal itu menghabiskan waktu dengan percuma.
Ketika Abu Darda tinggal di Damsyiq, Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan melamar anak gadis Abu Darda, yaitu Darda, untuk putranya, Yazid. Abu Darda menolak lamaran Muawiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda, dengan Yazid (putra Gubernur). Bahkan, Darda dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak orang kebanyakan. Abu Darda menyukai agama dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda, dan berbisik-bisik sesama mereka, “Anak gadis Abu Darda dilamar oleh Yazid bin Muawiyah, tetapi lamarannya ditolak. Kemudian Abu Darda mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan.”
Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda,”Mengapa Anda bertindak seperti itu.”
Jawab Abu Darda, “Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab Abu Darda, “Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda ketika itu?”
Pada suatu waktu ketika Abu Darda berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi sahabat itu di rumahnya malam hari. Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu Darda, ternyata pintu itu tidak dikunci dan rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu Darda mendengar suara Khalifah, Abu Darda berdiri mengucapkan selamat datang dan menyilakan Khalifah Umar untuk duduk. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan penting, padahal kegelapan menyelubungi keduanya, sehingga masing-masing tidak melihat kawannya berbicara. Khalifah Umar meraba-raba bantal alas duduk Abu Darda, kiranya sebuah pelana kuda. Dirabanya pula kasur tempat tidur Abu Darda, kiranya berisi pasir belaka. Dirabanya pula selimut, kiranya pakaian-pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim dingin.
Kata Khalifah Umar, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukan Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan Anda?”
Jawab Abu Darda, “Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadis yang disampaikan Rasulullah kepada kita?”
Tanya Umar, “Hadis apa gerangan?”
Jawab Abu Darda, “Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya dan seadanya).”
Jawab Khalifah Umar, “Ya, saya ingat!” Kata Abu Darda, “Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?”
Khalifah Umar menangis, Abu Darda pun menangis pula. Akhirnya, mereka berdua bertangis-tangisan sampai waktu subuh.
Abu Darda menjadi guru selama tinggal di Damsyiq. Dia memberi pengajaran kepada penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan kitab (Alquran) dan hikmah kepada mereka sampai dia meninggal.
Tatkala Abu Darda hampir meninggal, para sahabatnya datang berkunjung.
Mereka bertanya, “Sakit apa yang Anda rasakan?”
Jawab Abu Darda, “Dosa-dosaku!”
Tanya, “Apa yang Anda inginkan?”
Jawab, “Ampunan Tuhanku.”
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, “Ulangkanlah kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.”
Abu Darda senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir. Setelah Abu Darda pergi menemui Tuhannya, Auf bin Malik al-Asyja’iy bermimpi. Dia melihat dalam mimpinya sebuah padang rumput yang luas menghijau. Maka, mengambanglah bau harum semerbak dan muncul suatu bayangan berupa sebuah kubah besar dari kulit. Sekitar kubah berbaring hewan ternak yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Dia bertanya, “Milik siapa ini?”
Jawab, “Milik Abdur Rahman bin Auf.”
Abdur Rahman muncul dari dalam kubah. Dia berkata kepada Auf bin Malik, “Hai, Ibnu Malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Alquran. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu.”
Tanya Auf bin Malik, “Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?
Jawab, “Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan mudah dan lapang dada.”
Sumber: kitab Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya

6.    Abu Musa Asy’ari (wafat 44 H)

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Qais. Beliau sempat ikut hijrah ke Abessina, kemudian datang ke Madinah setelah perang Khaibar. Khalifah Usman bin Affan mengangkatnya sebagai penguasa di Koufah.Beliau ini termasuk arbitrator dalam peristiwa arbitrasi Shiffin.
Salah seorang sahabat Rasulullah yang telah beliau do’akan dengan permohonan kepada Allah ampunan dan agar dihari kiamat dimasukkan kedalam tempat yang mulia adalah Abu Musa Al-Asy’ariy, sebagaimana do’a Rasulullah : ”Allahumaghfir li-’Abdillah bin Qais zanbahu, wa adkhilhu yauma al-qiyamati madkhalan kariimaa”.

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Qais bin Sulaim bin Hadhar bin Harb bin bin Aamir, dan terus sampai nasabnya pada Asy’ari bin Adad. Nabimemanggilnya dengan “Abdullah bin Qais” seperti dalam hadist yang diriwayatkan dari Abi Musa Ra, bahwa Rasulullah mengatakan kepadanya: ”ya Abdullah bin Qais, inginkah kamu aku ajarkan satu kalimat dari perbendaharaan surga? yaitu (la hawla wala quwwata illa billah)”. Dan juga pada hadist do’a Rasulullah yang telah disebutkan diatas tadi. Sedangkan julukan “Abu Musa” diambil dari nama salah salah satu anaknya.
Awal Masuk Islam Dan Kehidupannya Bersama Rasulullah.
Sebelum bertemu dengan Rasulullah di Mekkah ada kebimbangan pada dirinya untuk mencari rezeki dan bekerja dipasar-pasar dan musim-musim yang ada di Mekkah, tetapi dengan kebimbangan inilah salah satu sebab masuknya ia ke dalam Islam, yaitu tatkala ia meninggalkan tanah leluhurnya Yaman, menuju Mekkah dan mendengar bahwa di negeri ini ada seorang Rasul yang mengajak dan menghimbau kepada tauhid dan kepada Allah dengan sesuatu yang bisa diterima akal serta dengan akhlak yang mulia.
Maka ia berkenalan dengan Nabi Muhammad dan lalu masuk Islam dengan aktif mengikuti pelajaran- pelajaran dari beliau menambah hidayah dan keyakinan. Ia masuk Islam diawal masa kenabian dan termasuk dalam golongan “Assabiquuna ila-l-Islam”, dengan dalil hijrahnya ia bersama-sama para muhajirin ke Habasyah setelah adanya tekanan dan kekerasan serta siksaan yang yang dilakukan orang – orang musyrik terhadap mereka. Kemudian selang beberapa waktu ia kembali ke negeri asalnya menyampaikan kalimat Allah , sehingga banyak dari kaumnya yang masuk Islam.
Dan pada waktu ia mendengar bahwa Rasulullah hijrah ke Madinah menemui Rasulullah untuk bergabung bersama membangun suatu masyarakat baru yang Islami dan daulah Islamiyah. Rasulullah menyebut kaum yang dipimpin Abu Musa ini dengan nama “Al-Asy’ariyiin”. Mulai dari hari itu ia terus berpartisipasi dan berkecimpung bersama para mu’min dan muslimin menjadi sahabat dan murid Nabi dalam mengemban risalah Tuhan hingga akhir hayatnya.
Abu Musa dalam masa hidup setelah Islamnya memiliki sifat-sifat mulia. Ia adalah seorang pejuang yang gagah berani dan pemanah yang tangguh bila dihadapkan pada hal-hal yang darurat. Dan ia juga seorang faqih bijaksana yang memiliki otak briliant yang mampu dalam memecahkan beberapa macam problema serta memberikan cahaya penerang dalam masalah fatwa-fatwa dan pengadilan, sehingga ia disebut sebagai salah satu dari empat hakim ummat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Sya’biy,” Qodhotu hazihi al-ummah arba’atun : Umar, Ali, Zaid bin Tsabit wa Abu Musa”.
Dalam medan jihad, Abullah bin Qais memiliki rasa tanggung jawab yang besar dengan berlomba-lomba dalam kemulian ia berani menaruhkan nyawanya, sehingga ia digelari oleh Rasulullah sebagai “pemimpin prajurit-prajurit berkuda” sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Na’im bin Yahya At-Tamimiy, bahwa Rasulullah pernah bersabda,” Saidu al-fawarisi, Abu Musa”.
Beliau pun telah mengikuti beberapa peperangan bersama Rasulullah dalam menghadapi orang-orang musyrik, diantaranya perang Tabuk. Dan setelah perang ini Nabi mengutusnya ke Yaman sebagai da’i dan mu’allim serta wali, juga diutus untuk mengajarkan Al-Quran bersama Mu’az bin Jabal pada daerah yang berbeda, namun jaraknya tidak jauh sehingga antara keduanya tetap terjalin hubungan komunikasi.
Hal ini dilakukan Rasulullah ketika datang kepadanya utusan raja Hamir dari Yaman (Sepertinya Himyar; Aman). lalu beliau memilih dari sahabat-sahabatnya yang dapat dipercaya dan memiliki pengetahuan agama yang matang, maka diutuslah mereka berdua, Malik bin ‘Ubadah dan beberapa sahabat lainnya. Ini merupakan suatu perhatian yang besar dari Rasulullahterhadap ahli Yaman.
Ibnu Hajar Al-’Asqolany mengatakan bahwa diutusnya Abu Musa ke Yaman dikarenakan kepintaran dan pemahamannya yang dalam terhadap Islam. Pada tahun ke 10 hijriyah, Abu Musa kembali dari Yaman menemui Nabi Muhammad untuk melaksanakan haji, yang disebut dengan haji wada’ (haji perpisahan). Rasulullah telah memberikan wewenang kepadanya untuk memberikan fatwa hingga wafatnya beliau bahkan hingga masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiallahu ‘an huma. Ini semua ini menunjukkan akan kedalaman ilmu pengetahuannya dan ketaatannya kepada khalifah.
Ketika Rasulullah meninggal, yaitu bertepatan setelah tiga hari dibunuhnya “Al-Kazzaab” ‘Abhalah ibnu Ka’ab Al-’Anasiy, seorang dukun yang mengaku sebagai nabi di Yaman. Hal ini merupakan cobaan yang besar bagi Abu Musa yang ketika itu berada di sana, setelah pulangnya dari haji wada’.
Kehidupan Abu Musa Setelah Wafatnya Nabi.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ra ia ditetapkan untuk menjadi wali di Yaman. Dan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab Ra, Abu Musa telah berhasil mengatur administrasi wilayah Bashrah, juga berhasil didalam memimpi pasukan militernya. Merupakan suatu rahmat yang besar dari Allah terhadapnya dengan pertolongan-pertolongan-Nya kepada tangannya, sehingga ia mampu menaklukkan beberapa kota dan negeri, dan telah dimenangkan Allah dalam memerangi pemimpin-pemimpin “daulah Al-Farisiyah” dengan kecerdikkan dan ketajaman pemikirannya.
Pada akhir tahun 23 hijrah Amirul mu’minin Umar bin Khattab Ra meninggal terbunuh sebagai syahid, dan Abu Musa ketiak itu sedang berada di Bashrah mengajar dan berjuang menyampaikan dakwah kepada Allah , namun walaupun demikian beliau telah mengetahuinya melalui ru’yah yang merupakan karamah yang telah Allah berikan kepadanya, sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad di Tabaqoot dengan sanadnya dari Abu musa (lih. Hayatu As- Shohabah juz; 3 hal; 666).
Setelah dibaiatnya khalifah ‘Utsman Ra, beliau menbetapkan Abi Musa sebagai wali di Bashrah selama enam tahun, setelah lepas dari amanat ini banyak sekali cobaan-cobaan fitnah dan tantangan yang ia hadapi dalam menyampaikan syariat dan risalah Ilahi hingga masa kekhalifahan Ali Ra dan berakhir pada akhir hayatnya yaitu pada masa pemerintahan Mu’awiyah.
Budi Pekerti Dan Sifat-Sifatnya Yang Mulia
Beberapa kelebihan budi pekerti dan sipat-sipatnya yang mulia yang ada pada diri Abu Musa sudah diakui oleh Rasulullah sendiri hingga beliau mendo’akannya dan mengajarkan kepadanya perbendaharaan surga. Ini semua jelas karena budi pekerti dan sifat-sifatnya yang mulia, mulai masa hidupnya bersama , dengan para khulafa ar-rasyidiin hingga wafatnya.
Beliau amat terkenal dengan kedalamannya terhadap ilmu agama, seorang ahli ibadah yang wara, memiliki sipat pemalu, ahli zuhud di dunia, kuat dalam pendirian dan sifat-sifat mulia yang lain yang disandangnya. Az-Zahabiy mengatakan, ”Abu Musa adalah seorang qori yang memiliki sura yang indah dan seorang terkemuka di Bashrah didalam membaca dan memahami Al-Quran.”
Disamping sebagai seorang yang memiliki ‘izzah yang besar dalam menuntut ilmu, baik dari Rasulullah maupun dari sahabat-sahabat, beliau juga mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya itu kepada orang lain, mengamalkan sabda Rasulullah ,” Khairukum man ta’allama Al-Qurana wa ‘allamahu” (H.R. Bukhari).
Dengan segala kemampuannya beliau mengajarkan Al-Quran dan memberikan penjelasan kepada ummat di setiap daerah yang didatanginya, dibantu dengan bacaan dan suaranya yang indah ketika membaca Al-Quran, dapat menarik perhatian masyarakat sekitarnya hingga berkumpul mengelilinginya. Dikarenakan banyaknya penuntut ilmu yang hadir, maka ia membagi mereka menjadi beberapa kelompok halaqah pengajian ilmu pengetahuan agama, seperti yang pernah ia lakukan di mesjid Bashrah. Abu Musa juga memiliki perhatian yang besar dalam pengajian sunnah dan riwayat-riwayatnya, serta sangat berpegang teguh terhadap sunnah Nabi , sebagaimana ia telah sampaikan nasehat kepada anak-anak dan keluarganya ketika ajal mendatanginya.
Wafatnya
Para ulama berbeda pendapat terhadap tahun wafatnya Abu musa Ra. Kebanyakan dari perkataan mereka, tidak lebih dari tahun empat puluhan dari tahun hijrah, diantaranya pendapat Ibnu Al-Atsir mengatakan, ”Abu Musa meninggal di Kufah, dan dikatakan di Mekkah pada tahun 42 hijrah, dan dikatakan pada tahun 44 hijrah, pada waktu itu beliau berumur 63 tahun.” Sebagaimana Az-Zahaby juga membenarkan bahwa beliau wafat pada bulan zulhijjah tahun 44 hijrah, Allahu A’lam.
Sebelum wafatnya beliau masih sempat memberikan peringatan dan nasehat buat anak-anak dan keluarganya agar selalu beriltizam terhadap sunnah Nabi . Dan merupakan suatu kemuliaan dari Allah terhadap keluarganya dengan menjadikan banyak dari anak-anak, cucu-cucu sampai pada keturunan-keturunannya menjadi ulama, qodhi dan perawi hadist, yang merupakan berkah dari do’a Rasulullah yang diterimanya dan berkah keikhlasannya.
Demikianlah perjalanan dari kehidupan seorang sahabat Rasulullah yang ahli ibadat, wara, mujahid dan faqih, semoga kita semua dapat mengambil ibrah dari semua itu dan semoga Allah memberi hidayah kepada kita dalam melangkah tuk mencapai ridho-Nya serta mewafatkan kita dalam keadaan Iman dan Islam. Amin. “Rabbana-ghfir lana wa li-ikhwanina allaziina sabaquuna bil-iimaan wala taj’al fi- quluubina ghillan lil-laziina a-manu Rabbana innaka Raufu-r- Rahiim.
Referensi:
1. Rijaalu hawla ar-Rasul; oleh Khalid Muhammad Khalid.
2. Hilyatu al-Awliya; oleh Al-hafidz Abu Na’im.
3. Abu Musa Al-Asy’ariy (shohabah al-’alim, al-mujahid); oleh Abdul Hamid Mahmud Thohaziy

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.