TUJUH RATUS PERAK
Hari ini hari senin. Kepalaku
masih saja terasa pening. Dan itu berarti aku harus istirahat dari kerjaku. Dua
hari yang lalu aku terjatuh saat bermain bola dengan kawan2 kompleks di lapangan
tanggung. Meski kurang layak disebut lapangan bola, tempat itu cukup ramai bila
tiba sore hari selepas ashar.
Saat itu, perhatianku terus saja
tertuju pada anak kecil di sudut lapangan yang ikut Hanyut menonton
pertandingan bola. Sesekali dia diusik orang sebelahnya untuk sedikit menepi.
Bahkan ada anak kira-kira sebaya dengannya dengan tubuh agak gemuk dan dari
pakaiannya ...
sepertinya anak orang kaya,
mendorong anak kecil kurus itu seakan2 mengusirnya. Kenapa yah ? .....
Dan hari ini ... karena aku tidak
masuk kerja, kuniatkan untuk berjalan ke luar rumah sekedar menyegarkan pikiran
yang sumpek di kamar setelah istirahat dua hari. Cuaca sepertinya tidak mendukung
niatku. Gerimis pun turun dan belum berhenti sejak subuh tadi. Dinginnya pun
masih terasa di pagi buta seperti ini. Dan setelah mengganti gamis dan sarungku
yang kupakai shalat subuh dengan kaos dan sweater dingin, mulailah kulangkahkan
kakiku yang sedikit lemas keluar rumah.
Dingin sekali ..., mataharipun
belum menampakkan sorotannya. Dengan payung yang melindungiku dari gerimis,
Ingin rasanya kubatalkan niatku. Tapi begitu pandanganku tertuju pada maling
kecil yang berlari melintasi halamanku, spontan saja aku teriak "Hey ...
jangan lari !!!".
Tunggu .... apa tadi aku menyebut
maling kecil ?, ah
setidaknya anggapan itulah yang
tiba-tiba muncul dalam benakku di pagi buta gerimis dan sepi ini ditingkah
bocah kecil yang berlari seperti dikejar setan. Sambil menghilangkan
prasangkaku, kuhampiri dia yang juga berhenti dan melangkah mendekatiku.
Rupanya dia anak kecil sore itu.
Kutanya ada apa dengannya. Dia pun menjawab tidak ada apa-apa. Ia hanya
menjalankan kegiatan rutinnya. Namanya Muhammad ichsan, orang-orang biasa memanggilnya
ceking, mungkin karena tubuhnya yang kecil. Subuh selepas Shalat ia harus
segera ke toko Mang Jaja untuk mengambil koran. Dijualnya dengan taruhan untung
rugi yang menantang, dan sorenya harus kembali untuk menyetor hasil jualan
korannya pada mang Jaja. Malam hari, ia harus ke pasar malam untuk menyemir
sepatu orang-orang yang mampir makan di warung2 kecil. Dan setelah pasar malam
sepi, dikumpulkannya plastik minuman dan kardus bekas untuk dikumpul dan
dijual. Begitu setiap harinya.
Meski agak kurang enak, kutanya
juga pendapatannya seharian. Sambil sedikit malu ia menjawab "wah, gak
pernah kepikiran bang. seringnya sih rugi ... jualan koran sering gak habis,
yah terpaksa duit hasil nyemir nambal setoran mang Jaja. Biasa sih sehari bisa
nabung empat atau lima ratus perak bang, kalau warung nasi banyak pembeli
(maksudnya biar bisa nyemir banyak) bisa tujuh ratus deh bang, Lumayan bang
bisa buat makan adik dan ibu". Saat itu aku tidak habis pikir, tujuh ratus
perak untuk makan tiga orang ?, aku saja untuk sekali makan di warung nasi bisa
enam sampai sepuluh ribu.
Rupanya adiknya juga diajak
jualan koran dan nyemir sepatu, ibunya jualan kerupuk dirumah sementara ia
sudah tidak punya ayah.
Begitu berartinya baginya uang
recehan seratus dua ratus perak yang tanpa itu bisa mengurangi jatah makan ibu
dan adiknya. Sementara sebagian kita kadang menganggap remeh recehan kecil yang
menjadi karunia besar bagi orang lain. Hari ini mereka bisa makan nasi dengan
sepotong ikan asin bertiga, yang besok mungkin tidak bisa dinikmati karena setoran
mang Jaja harus dibayar.
Siang ini barangkali si Ceking,
ibu dan adiknya bisa sedikit kenyang, yang malam nanti mungkin harus tidur kelaparan
karena duit makan kurang dua-tiga ratus perak.
Tanpa sadar, aku dan Muhammad
ichsan masih berdiri di depan rumahku. Matahari sudah mulai sedikit terang.
Dengan segan-segan, muhammad ichsan mendekat untuk numpang berteduh di payungku.
"Aduh, maaf bang ... saya harus cepat. Kalau tidak, jatah koran saya
sedikit bang."
Sambil tersenyum, kuajak dia
mampir ke rumahku. Kamipun sarapan bersama, dan berbincang-bincang lebih lama.
Kuberi juga ia uang sekedarnya agar ia bisa sedikit istirahat beberapa hari ini
dari kerja kerasnya. Dan setelah ia pamit, aku pun termenung. Termenung tentang
permainan uang yang tanpa tanggung oleh pejabat tinggi, tentang kekikiran
orang-orang yang sok dermawan, dan tentang kerja keras orang-orang macam si
Ceking, eh, Muhammad ichsan untuk tujuh ratus perak demi makan keluarganya.
Satu minggu setelah itu, selepas
bermain bola di lapangan tanggung, ku dapati di depan rumahku amplop usang
berisi uang dan selembar surat dengan tulisan yang agak susah aku baca.
"Terima kasih bang, uangnya
saya kembalikan. Ibu sudah bisa bekerja lagi. Maaf kalua uangnya bukan untuk
makan, tapi buat beli obat ibu yang seharusnya baru terbeli satu dua bulan lagi.
Salam dari ibu dan adik saya ...."
Mau mendownload Undang-Undang/Peraturan Pemerintah, Klik disini.
DOWNLOAD GRATIS EBOOK/BUKU (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
Mau mendownload Undang-Undang/Peraturan Pemerintah, Klik disini.
DOWNLOAD GRATIS EBOOK/BUKU (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)