DOWNLOAD GRATIS EBOOK/BUKU (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
CARA MENDAPATKAN UANG DI INTERNET (Klik Disini)
KUMPULAN SKRIPSI H.PERDATA (Klik Disini) , H.TATA NEGARA (Klik Disini)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Kedudukan Hukum Waris
dalam Hukum Islam dan di Indonesia
Hukum waris Islam sebagai bagian dari syari’at islam dan
lebih khusus lagi sebagai bagian dari aspek muamalah sub hukum perdata, tidak
dipisahkan dengan aspek-aspek lain dari ajaran Islam.[1]
Hukum waris mendapatkan kedudukan yang sangat penting dalam agama Islam.
Alqur’an mengatur hukum waris secara jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti
karena setiap orang pasti akan berhubungan dengan warisan, dan kalau tidak
diberikan ketentuan yang pasti akan menimbulkan sengketa di antara para Ahli
Waris. Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan
tentang bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan, kepada siapa saja
harta tersebut dibagikan, serta bagaimana cara pembagiannya.[2]
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
nantinya akan dibicarakan dalam materi hukum waris Islam.
Bagi umat Islam mengamalkan waris berdasarkan hukum
waris Islam bersifat wajib ‘ain dan mempelajarinya merupakan kewajiban kolektif
(fardlu kifayah).[3]
Kewajiban itu dapat dilihat dari beberapa ayat Alqur’an dan Hadist Nabi berikut
ini:
1. QS. Ali Imran: 185; QS. Al Ankabut: 57; QS. Al Anbiya: 35 yang
artinya: “Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati.” Hal tersebut berarti
bahwa setiap manusia pasti akan mati. Setelah ada kematian maka terbukalah Pewarisan.[4]
2. ”Bagilah harta pusaka di antara ahli-Ahli
Waris menurut Kitabullah (Alqur’an)”(HR.. Muslin dan Abu Dawud).
3.
Dari Abu Harairah, bahwa Nabi saw bersabda:
“Pelajarilah faraidl dan ajarkanlah kepada orang banyak; karena faraidl adalah
separoh ilmu dan mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang
dari umatKu.”(HR.. Ibnu Majah & Ad-Daruquthni).
4.
Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata:
Telah bersabda Rasul Allah saw: “Pelajarilah Alqur’an dan ajarkanlah kepada
orang banyak, pelajari pula faraidl dan ajarkanlah kepada orang banyak. Karena
aku adalah manusia yang pada suatu ketika mati dan ilmupun akan hilang. Hampir-hampir
dua orang bersengketa dalam pembagian warisan dan masalahnya tidak menemukan seseorang
yang memberitahu bagaimana penyelesaiannya.”(HR. Ahmad bin Hambal).
5.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa
Rasulullah bersabda:”Ilmu itu ada tiga macam, dan selain dari yang tiga itu
adalah tambahan: ayat yang jelas, sunnah yang datang dari Nabi dan faridlah
yang adil.”(HR.. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, maka para ulama
bersepakat bahwa faraidl dijadikan
sebagai salah satu cabang ilmu yang berdiri sendiri yang disebut dengan Ilmu Faraidl, yaitu ilmu tentang pembagian
harta warisan. Kata Faraidl adalah
bentuk jamak dari Faridlah, faridlah diambil dari kata Fardl yang artinya takdir (ketentuan).
Sementara itu, Fardl dalam istilah
syara’ adalah bagian tertentu dari harta warisan bagi Ahli Waris.[5]
Di Indonesia, sejak berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada
tanggal 20 Maret 2006, ada beberapa perubahan tentang:
1.
Perluasan kewenangan Pengadilan
Agama sebagai berikut.
- Pasal 49
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a.
perkawinan;
b.
waris;
c.
wasiat;
d.
hibah;
e.
wakaf;
f.
zakat;
g.
infaq;
h.
shadaqah;
i.
ekonomi syari’ah.
-
Dalam Pasal 49 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 kewenangan di bidang kewarisan diatur tentang: penentuan
siapa-siapa yang menjadi Ahli Waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing Ahli Waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut.
- Dalam penjelasan Pasal 49 huruf b UU Nomor 3
Tahun 2006 kewenangan di bidang kewarisan ditambah meliputi: penetapan
permohonan seseorang tentang penentuan Ahli Waris dan bagiannya. Dalam Pasal
107 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 permohonan ini tidak dikualifikasikan
sebagai perkara permohonan.
2.
Perubahan yang cukup signifikan
sebagai berikut.
- Subyek hukum diperluas menjadi tidak hanya orang Islam dalam
pengertian teologis, akan tetapi termasuk juga orang atau badan hukum yang
menundukkan diri secara sukarela kepada hukum Islam.
- Apabila terjadi sengketa hak milik diantara subyek hukum yang
beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama
bersama-sama dengan perkara pokok (Pasal 50 ayat (2)).
- Pilihan hukum untuk perkara kewarisan dihilangkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas
dapat diketahui bahwa kedudukan hukum waris Islam di Indonesia sudah merupakan
hukum positif dan oleh karena itu perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak
menjadi kewenangan Peradilan Agama.
B. Pengertian Hukum Waris
Islam
Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa Ilmu Mawaris adalah
sebagai “suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima
pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap Ahli
Waris dan cara membaginya.”[6]
Definisi tersebut lebih menekankan pada: orang yang berhak mewaris, orang yang
tidak berhak mewaris, besarnya bagian yang diterima oleh masing-masing Ahli
Waris, serta cara membagikan warisan kepada para Ahli Waris.
Menurut Muhammad Asy-Syarbini, hukum waris Islam adalah
“Ilmu fiqih yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang
cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan
pengetahuan mengenai bagian-bagian wajib dari harta peninggalan untuk setiap
pemilik hak pusaka.”[7]
Definisi tersebut lebih menekankan dari segi: pembagian warisan, cara
penghitungan dan Ahli Waris.
Pasal 171 butir a KHI, hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) Pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi Ahli Waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat diambil
suatu pemahaman bahwa hukum waris Islam mempelajari tentang siapa yang disebut
Pewaris (Muwarits), siapa saja yang
termasuk Ahli Waris (Warits), apa
yang dimaksud dengan warisan (Tirkah),
berapa bagian masing-masing Ahli Waris, dan bagaimana cara pembagiannya.
C. Sumber-sumber Hukum Waris
Islam
Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah waris terdapat
di dalam Alqur’an, Hadist atau Sunnah, dan Ijtihad dengan berbagai macam
metodenya.
1.
Al Qur’an
Sejumlah ketentuan tentang
faraidl telah diatur secara jelas dan terperinci di dalam QS. An Nisa’ ayat 1,
7,8, 9,10,11,12,176, dan QS. Al Anfal
ayat 75, sebagai berikut.
a. QS. An Nisa’ ayat 1: Kuatnya hubungan kerabat karena
pertalian/hubungan darah.
b. QS. Al Anfal ayat 75: hak kerabat karena pertalian/hubungan darah,
sebagian lebih diutamakan dari sebagian yang lain.
c. QS. An Nisa’ ayat 7: laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas
warisan orang tua dan kerabatnya sesuai dengan bagiannya masing-masing.
d. QS. An Nisa’ ayat 8:
memerintahkan agar kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, dan
orang-orang miskin yang hadir menyaksikan pembagian harta warisan, diberi
sejumlah harta sekedar untuk dapat ikut menikmati harta warisan yang baru saja
dibagi itu. Adapun kerabat disini maksudnya adalah kerabat yang tidak mempunyai
hak mewaris dari harta warisan, dan besarnya bagian adalah tidak boleh lebih
dari 1/3 harta warisan.
e. QS. An Nisa’ ayat 9: memperingatkan agar orang senantiasa
memperhatikan kepada anak cucu yang akan ditinggalkan, agar jangan sampai
mereka mengalami kesempitan hidup sebagai akibat kesalahan orang tua
membelanjakan hartanya.
f. QS. An Nisa’ ayat 10: memperingatkan agar orang berhati-hati dalam
memelihara harta warisan yang menjadi hak anak-anak yatim, jangan sampai
termakan dengan cara yang tidak sah.
g. QS. An Nisa’ ayat 11: menentukan bagian anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan; anak perempuan dua orang atau lebih (apabila tidak
ada anak laki-laki) menerima 2/3 harta warisan dan apabila hanya seorang (tidak
ada anak laki-laki) menerima ½ harta warisan; bagian ayah dan ibu, apabila ada
anak, masing-masing menerima 1/6 harta warisan; apabila tidak ada anak, bagian
ibu adalah 1/3 harta warisan (ayah mendapatkan sisanya); apabila ada
saudara-saudara lebih dari seorang, bagian ibu adalah 1/6 harta warisan;
pembagian harta warisan dilakukan setelah hutang dan wasiat dibayarkan.
h. QS. An Nisa’ ayat 12: menentukan bagian suami ½ harta warisan jika
mayit tidak meninggalkan anak; apabila ada anak, bagian suami adalah ¼ harta
warisan; bagian isteri adalah ¼ jika mayit tidak meninggalkan anak, 1/8 harta
warisan jika mayit meninggalkan anak, pembagiannya setelah hutang dan wasiat
dibayarkan. Apabila seseorang mati tidak meninggalkan ayah atau anak, padahal
ia meninggalkan saudara laki-laki atau perempuan (seibu), maka bagian saudara
apabila hanya satu orang adalah 1/6 harta warisan, dan apabila lebih dari satu
orang, maka mereka bersama-sama mendapat 1/3 harta warisan, setelah hutang dan
wasiat dibayarkan.
i. QS. An Nisa’ ayat 13: ketentuan bagian-bagian harta warisan itu berasal
dari Allah yang wajib ditaati.
j. QS. An Nisa’ ayat 176: menentukan bagian saudara perempuan kandung
atau seayah, apabila mayit dalam keadaan kalalah (tidak meninggalkan ayah atau
anak), bagian saudara perempuan adalah ½ harta warisan jika hanya seorang, 2/3
harta warisan jika dua orang atau lebih; apabila saudara-saudara itu terdiri
dari laki-laki dan perempuan, bagian seorang saudara laki-laki sama dengan dua
orang saudara perempuan.
2.
Hadist/Sunnah
a.
HR. Bukhari Muslim: Ahli Waris
laki-laki yang lebih dekat kepada mayit lebih berhak atas sisa harta warisan,
setelah diambil bagian Ahli Waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu.
b.
HR. Bukhari Muslim: wala’
(harta warisan bekas budak yang tidak meninggalkan waris kerabat) adalah
menjadi hak orang yang memerdekakannya.
c.
HR. Al Jama’ah kecuali Muslim
dan Nasai: orang muslim tidak berhak mewaris atas harta orang kafir, dan orang
kafir tidak berhak mewaris atas harta orang muslim.
d.
HR. Ahmad & Abu Daud: harta
warisan orang yang tidak meninggalkan Ahli Waris adalah menjadi milik baitul
mal.
e.
HR. Ahmad, Malik & Ibnu
Majah: pembunuh tidak berhak waris atas harta orang yang dibunuhnya.
f.
HR. Bukhari: dalam suatu kasus
warisan yang Ahli Warisnya terdiri 1 orang anak perempuan, 1 orang cucu
perempuan dari anak laki-laki dan 1 orang saudara perempuan, Nabi memberikan
bagian warisan kepada anak perempuan 1/2, kepada cucu perempuan dari anak laki-laki
1/6 dan untuk saudara perempuan sisanya.
g.
HR. Ahmad: Nabi memebrikan
bagian warisan kepada dua nenek perempuan 1/6 harta warisan dibagi dua.
h.
HR. Ahmad: anak dalam kandungan
berhak mewaris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan
kelahiran.
3.
Ijtihad
Meskipun di dalam Alqur’an dan Hadist
telah memberikan ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi
dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang
tidak ditentukan dalam Alqur’an atau Hadist Misalnya mengenai bagian warisan bagi
banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan,
bagian ibu jika hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau isteri, dan lain-lain.
Salah satu contoh hasil ijtihad
dari para ahli hukum Islam[8]
di Indonesia adalah Buku II KHI tentang Kewarisan Islam yang dituangkan dalam
bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, yang ditindak lanjuti oleh
Keputusan Menterai Agama Nomor 154 Tahun 1991. Buku II KHI tersebut merupakan
hukum materiil di bidang kewarisan Islam yang digunakan oleh Peradilan Agama di
Indonesia.
D. Prinsip-prinsip Hukum
Waris Islam
1.
Prinsip Ijbari (Paksaan)
Prinsip ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal
dunia kepada mereka yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.[9]
Hal ini berarti, bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal
dunia kepada Ahli Warisnya, berlaku dengan sendirinya sesuai dengan kehendak
Allah, tanpa bergantung kepada kehendak Pewaris atau Ahli Waris.[10]
Dengan demikian, antara Pewaris dan Ahli Waris dalam hal ini “dipaksa” (ijbar)
menerima dan membagikan harta warisan sesuai dengan ketentuan bagian yang ada.[11]
Apabila dalam prakteknya ada seseorang Ahli Waris yang merasa lebih cukup
daripada Pewaris, sehingga merasa tidak memerlukan harta warisan tersebut, maka
dia tetap berkewajiban menerima harta itu, adapun harta tersebut akan
disumbangkan atau untuk keperluan yang lain terserah kepada yang menerima harta
tersebut. Hal yang pokok adalah setelah semua itu diketahui bagiannya
masing-masing dan telah diterima oleh Ahli Waris dengan ikrar yang jelas.[12]
Ditegaskannya prinsip ijbari
ini, tidak dalam arti memberatkan Ahli Waris. Misalnya, Pewaris mempunyai
hutang yang lebih besar dari pada warisan yang ditinggalkannya. Hutang Pewaris
akan dibayarkan sebesar harta warisan yang dimiliki oleh Pewaris. Ahli Waris
tidak mempunyai kewajiban hukum untuk melunasinya dengan harta milik Ahli Waris,
akan tetapi jika Ahli Waris akan melunasinya adalah merupakan akhlak Islaminya.[13]
2.
Prinsip Individual
Prinsip individual adalah warisan
dapat dibagi-bagikan kepada Ahli Waris untuk dimiliki secara perorangan. Hal
ini berarti setiap Ahli Waris berhak atas bagian warisan yang didapatkan tanpa
terikat oleh Ahli Waris yang lain.[14]
Prinsip individual ini dapat
ditemukan dalam QS. An Nisa’ ayat 7,”setiap orang, laki-laki atau perempuan
berhak menerima warisan dari orang tua maupun kerabat dekatnya.”
Menghilangkan bentuk individual
dengan jalan mencampuradukkannya dengan sifat kolektif, menyalahi ketentuan QS.
An Nisa’ ayat 2, “dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh)
harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan menukar dan
memakan itu adalah dosa yang besar.”
Bentuk Pewarisan kolektif
dilarang oleh Islam karena dikuatirkan akan terjadi percampuran antara harta
anak yatim dengan harta seseorang. Percampuran harta tersebut tentunya akan
menyebabkan tertukarnya dan termakannya harta anak yatim tersebut. Jika hal ini
terjadi, maka merupakan suatu dosa besar. Secara khusus, perbuatan ini terkena
sanski QS. An Nisa’ ayat 2, 6 dan 10. Secara umum perbuatan percampuran harta
tersebut melanggar ketentuan QS. Al Baqarah ayat 188, “Dan janganlah sebagian
kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan batil dan
janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa,
padahal kamu mengetahui.”
3.
Prinsip Bilateral
Prinsip bilateral adalah bahwa
laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis
kekerabatan, yakni pihak kerabat laki-laki dan pihak kerabat perempuan. Dalam
kewarisan Islam, jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau
diwarisi.[15]
Prinsip bilateral ini terdapat
dalam QS. An Nisa’ ayat 7,11,12, 33 dan 176. Secara umum QS. An Nisa’ ayat 7
dan 33 menegaskan mengenai prinsip bilateral, sedangkan ayat 11,12 dan 176
merinci lebih jauh mengenai siapa saja yang dapat mewaris dan berapa besar
bagiannya. Prinsip bilateral ini berlaku baik dalam keturunan garis lurus ke
atas, ke bawah serta ke samping.
4.
Prinsip Kewarisan hanya karena Kematian
Hukum kewarisan Islam menetapkan
bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan,
berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian
tidak ada pembagian warisan sepanjang Pewaris masih hidup. Segala bentuk
peralihan harta seseorang yang masih hidup, baik secara langsung maupun tidak
langsung, tidak termasuk ke dalam persoalan kewarisan menurut hukum waris
Islam.[16]
Prinsip kewarisan hanya karena
kematian ini bisa digali dari penggunaan kata-kata warasa yang banyak terdapat dalam Alqur’an. Dari keseluruhan
pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku sesudah yang
mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Selnjutnya baca QS. Al Mu’minun ayat
10; QS. Al A’raf ayat 128; QS. As Syu’ara ayat 59, QS. An Nisa ayat 11,12, 176;
QS. An Naml ayat 16 dan QS. Al Qasas ayat 5.
E. Sebab-sebab Mewaris
1.
Karena Hubungan Nasab
Hubungan Nasab maksudnya adalah
hubungan kekerabatan atau hubungan famili, yang akan menimbulkan hak mewaris
jika salah satu meninggal dunia. Misalnya antara anak dengan orangtuanya.
Apabila orangtua meninggal dunia, maka anak mewarisi harta warisan dari
orangtuanya, demikian pula sebaliknya.
2.
Karena Hubungan Perkawinan
Perkawinan yang sah menimbulkan
hubungan kewarisan. Jika seorang suami meninggal dunia, maka isteri adalah
sebagai Ahli Waris dari suaminya. Demikian juga sebaliknya, jika isteri
meninggal dunia, maka suami menjadi Ahli Waris dari isterinya.
3.
Karena Agama
Hubungan mewaris karena agama ini
yang dimaksud adalah apabila seorang Pewaris sama sekali tidak meninggalkan Ahli
Waris, baik karena hubungan nasab maupun
hubungan perkawinan. Adapun yang mengelola harta warisan tersebut adalah baitul
mal untuk mewujudkan tujuan pengembangan agama Islam.
F. Rukun Mewaris
1.
Pewaris
Menurut Pasal 171 butir b KHI, Pewaris
adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan, beragama Islam, meninggalkan Ahli Waris dan
harta peninggalan.
Dengan demikian, pada prinsipnya Pewaris
adalah orang yang telah meninggal dunia yang hartanya diwarisi oleh Ahli Warisnya.
Istilah Pewaris dalam kepustakaan sering disebut sebagai Mewarrits.
2.
Ahli Waris
Menurut Pasal 171 butir c KHI, Ahli
Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah/nasab atau hubungan perkawinan dengan Pewaris, beragama Islam dan tidak
berhalangan karena hukum untuk menjadi Ahli Waris.
Redaksi Pasal tersebut apabila
diperhatikan secara seksama terkesan seolah-olah orang yang pada saat meninggal
tersebut, ia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan Pewaris.
Padahal yang dimaksud tentu tidak demikian. Oleh karena itu redaksi pada Pasal
tersebut perlu direvisi, misalnya: Ahli
Waris adalah orang yang masih hidup atau dinyatakan hidup yang mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan Pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi Ahli Waris.
Pada prinsipnya, Ahli Waris
adalah orang yang mendapatkan warisan dari Pewaris, baik karena hubungan nasab
maupun karena hubungan perkawinan, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi Ahli Waris.
3.
Warisan
KHI membedakan pengertian antara
harta peninggalan dengan harta warisan. Menurut Pasal 171 butir d KHI, Harta
Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh Pewaris baik yang berupa harta benda
yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Adapun Harta Warisan menurut Pasal 171
butir e KHI adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan Pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Pemahaman yang muncul dalam Pasal
tersebut, terkesan bahwa Pewaris itu hanya terjadi bagi mereka yang telah
terikat dengan perkawinan (pasangan suami isteri), yang kemudian salah satunya
meninggal dunia. Juga ungkapan “Harta
Bawaan dan Harta Bersama”, berkaitan erat dengan pengaturan harta benda
dalam perkawinan apabila perkawinan putus, yaitu ketentuan Pasal 35, 36 dan 37
UU Nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 85-97 KHI Buku I.
Menurut Penulis, pengertian seperti
tersebut di atas kurang tepat, karena kenyataannya Pewaris bisa juga terjadi
terhadap seseorang yang sedang tidak atau belum terikat perkawinan. Dalam
keadaan demikian tentunya tidak ada istilah Harta Bawaan, Harta Perolehan dan Harta Bersama.
Oleh karena itu, pada prinsipnya
Harta Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh Pewaris, baik yang berupa
harta benda yang menjadi miliknya ataupun hak-haknya. Sedangkan Harta Warisan
adalah harta peninggalan setelah digunakan untuk keperluan Pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya penguburan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang, penyelesaian wasiat, dan pemberian
untuk kerabat.
Dalam kepustakaan istilah harta
warisan sering disebut dengan irts,
mirats, mauruts, turats dan tirkah.
G. Syarat-syarat Kewarisan
1.
Meninggal Dunianya Pewaris
Adapun yang dimaksud dengan
meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia
hukmi (putusan pengadilan) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). Tanpa
ada kepastian bahwa Pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan
kepada Ahli Waris.
2.
Hidupnya Ahli Waris
Hidupnya Ahli Waris harus jelas pada saat Pewaris
meninggal dunia. Dengan demikian Ahli Waris benar-benar masih hidup ketika Pewaris
meninggal dunia, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup di saat Pewaris
meninggal dunia. Apabila dua orang yang saling mempunyai hak mewaris satu sama
lain meninggal bersama-sama, tetapi tidak dapat diketahui siapa yang meninggal
terlebih dahulu, maka diantara mereka tidak terjadi saling mewaris. Misalnya
orang-orang yang meninggal dalam suatu kecelakaan, tenggelam, kebakaran dan
lain-lain.
3.
Mengetahui Status Kewarisan
Agar seseorang dapat mewarisi
harta orang yang meninggal dunia, maka harus jelas hubungan antara keduanya (Pewaris
dengan Ahli Waris), apakah karena hubungan nasab atau hubungan perkawinan.
H. Penghalang Mewaris
Adanya sebab-sebab mewaris, rukun kewarisan dan syarat
kewarisan sudah terpenuhi, belum cukup menjadi alasan adanya hak waris bagi
setiap Ahli Waris, kecuali apabila tidak terdapat penghalang warisan. Dalam
hukum kewarisan Islam di Indonesia ada dua penghalang warisan, yaitu:
1.
Pembunuhan
Menurut Pasal 173 KHI, seseorang
terhalang menjadi Ahli Waris, apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, dihukum karena:
a.
Dipersalahkan telah membunuh
atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada Pewaris.
b.
Dipersalahkan secara memfitnah
telah mengajukan pengaduan bahwa Pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang
diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
2.
Berbeda Agama
Berbeda agama berarti agama Pewaris
berbeda dengan agama Ahli Waris. Misalnya, Pewaris beragama Islam sedangkan Ahli
Warisnya beragama non muslim (selain Islam). Demikian pula sebaliknya. Hal ini
didasarkan pada Hadist Nabi, “Orang Islam
tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi
harta orang Islam.”(HR. Bukhari Muslim).
Pasal 172 KHI, “Ahli Waris
dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan
atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”
Apabila antara Pewaris dengan Ahli Waris berbeda agama,
apabila salah satunya menghendaki agar diantara mereka ikut menikmati harta
peninggalan, maka bisa dilakukan dengan jalan wasiat atau wasiat wajibah, yang
bagiannya tidak melebihi 1/3 bagian harta peninggalan yang siap dibagikan
kepada para Ahli Waris yang lain (Lihat Pts PA No.377/Pdt.G/1993/PA Jkt, 4
Nopember 1993; Pts No. 1/Pdt.G/1994/PTA Jkt, 25 Oktober 1994; Pts No.
368K/G/1995/MA, 16 Juli 1998).
I. Hijab
Hijab adalah terhalangnya atau terdindingnya atau
tertutupnya seorang Ahli Waris karena adanya Ahli Waris yang lain[17].
Hijab dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.
Hijab Hirman adalah terhijabnya Ahli
Waris dalam memperoleh seluruh bagian warisan akibat adanya Ahli Waris lain.
Menurut Faturrahman, hijab hirman ada dua kelompok, yaitu:
a.
Ahli Waris yang tidak dapat
terhijab hirman sama sekali, yaitu: anak laki-laki, anak perempuan, ayah, ibu,
suami dan isteri.
b.
Ahli Waris yang dalam satu
keadaan tertentu dapat menjadi Ahli Waris tetapi dalam keadaan lain dapat
terhijab hirman, yaitu kelompok Ahli Waris Dzawil Furudl selain kelompok (a),
dan menurut Amir Syarifuddin, yaitu:
1)
Cucu (laki-laki/perempuan)
tertutup oleh anak.
2)
Kakek tertutup oleh ayah.
3)
Nenek tertutup oleh ibu.
4)
Saudara kandung tertutup oleh
anak atau cucu laki-laki atau ayah.
5)
Saudara seayah tertutup oleh
saudara kandung, anak perempuan, cucu perempuan, anak dari cucu laki-laki dan ayah.
6)
Saudara seibu tertutup oleh
anak, cucu, ayah dan kakek.
Adapun Ahli Waris yang tidak tertutup oleh saudara
kandung atau saudara seayah adalah:
a.
Anak saudara kandung tertutup
oleh saudara laki-laki seayah, dan tertutup oleh orang yang menutup saudara seayah.
b.
Anak saudara seayah tertutup
oleh anak saudara sekandung dan oleh orang yang menutup anak saudara kandung.
c.
Paman kandung tertutup oleh
anak saudara seayah dan oleh orang yang menutupnya.
d.
Paman seayah tertutup oleh
paman kandung dan orang yang menutupnya.
e.
Anak paman kandung tertutup
oleh paman seayah dan yang menutupnya.
f.
Anak paman seayah tertutup oleh
anak paman kandung dan yang menutupnya.
2.
Hijab Nuqshan adalah hijab sebagian
yaitu berkurangnya bagian yang semestinya diperoleh oleh Ahli Waris karena
adanya Ahli Waris yang lain. Dengan demikian Ahli Waris ini masih memperoleh
bagian, tetapi jumlah bagiannya berkurang dari jumlah bagian semula. Ahli Waris
tersebut adalah:
a.
Suami, dari ½ menjadi ¼, karena
ada anak.
b.
Isteri, dari ¼ menjadi 1/8,
karena ada anak.
c.
Ibu, dari 1/3 menjadi 1/6,
karena ada anak Pewaris.
d.
Cucu perempuan dari anak
laki-laki, dari ½ menjadi 1/6 sebagai pelengkap 2/3 karena ada anak kandung Pewaris.
e.
Saudara perempuan seayah, dari
½ menjadi 1/6 sebagai penyempurnaan 2/3 karena ada saudara kandung.
J. Hak-hak yang Berhubungan
dengan Harta Peninggalan
Sebelum para Ahli Waris membagi
warisan, terlebih dahulu harus diperhatikan hak-hak yang berhubungan dengan
harta peninggalan si Pewaris. Perlu diketahui bahwa hak-hak Pewaris tersebut
pada hakekatnya merupakan kewajiban para Ahli Waris terhadap Pewaris seperti
yang ditentukan dalam Pasal 175 KHI. Hak-hak tersebut secara tertib adalah
sebagai berikut.
1.
Mengurus dan menyelesaikan
sampai pemakaman jenazah selesai.
2.
Menyelesaikan baik
hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban Pewaris maupun
menagih hutang.
3.
Menyelesaikan wasiat Pewaris.
4.
Membagi harta warisan diantara Ahli
Waris yang berhak.
Tanggung jawab Ahli Waris terhadap hutang atau kewajiban
Pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
[4]Prinsip
kewarisan hanya karena kematian ini bisa digali dari penggunaan kata-kata warasa yang banyak terdapat dalam
Alqur’an. Dari keseluruhan pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta
berlaku sesudah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Selnjutnya baca
QS. Al Mu’minun ayat 10; QS. Al A’raf ayat 128; QS. As Syu’ara ayat 59, QS. An
Nisa ayat 11,12, 176; QS. An Naml ayat 16 dan QS. Al Qasas ayat 5. Selanjutnya
baca bukunya Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
hlm. 6.