DOWNLOAD FILE DOC (KLIK DISINI)
A.
Wasiat Menurut Doktrin
Ahlusunnah
1.
Pengertian
Kata wasiat diambil dari kata washshaitu
asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu),.
Maka muushii (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan
di waktu ia hidup untuk dilaksanakan sesudah ia meninggal[25]
Dalam istilah syara’, wasiat adalah pemberian
seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal.[26]
Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, Wasiat adalah
suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang dilaksanakan
sesudah meninggal dunia yang berwasiat[27]
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil
kesimpulan, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan
setelah pemberinya meninggal dunia.
2.
Dasar Hukum
Dasar hukum wasiat dalam hukum Kewarisan
Islam, berturut-turut adalah: QS. Al Baqarah ayat 180, QS. Al Maidah ayat 106, QS.
An Nisa ayat 11.
QS. Al Baqarah ayat 180, artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang
diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (inilah)
kewajiban atas orang yang bertakwa.”
QS. Al Maidah ayat 106, artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kematian akan merenggut salah seorang diantara kamu, sedang ia akan berwasiat,
maka hendaklah disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu atau dua orang
yang berlainan agama dengan kamu jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu
kamu ditimpa bahaya kematian.”
QS. An Nisa ayat 11, artinya:
“...sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat
atau sesudah dibayar hutangnya...”
3.
Rukun dan Syarat
Rukun wasiat adalah:
a.
Orang yang memberi wasiat;
b.
Orang yang diberi wasiat;
c.
Sesuatu yang diwasiatkan;
d.
Ijab qabul.
Syarat orang yang memberi wasiat yaitu orang yang ahli
kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kecakapan yang sah. Keabsahan kecakapan
ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar, dan tidak dibatasi
karena kedunguan atau kelalaian.
Syarat orang yang diberi wasiat yaitu:
a.
Dia bukan ahli waris dari orang
yang memberi wasiat (QS. Al Baqarah ayat 180)
b.
Orang yang diberi wasiat itu
ada di waktu pemberi wasiat meninggal dunia, baik ada secara benar-benar ataupun
ada secara perkiraan.
c.
Orang yang diberi wasiat tidak
membunuh orang yang memberi wasiat.
Syarat sesuatu yang diwasiatkan adalah bisa dimiliki
dengan salah satu cara pemilikan setelah pemberi wasiat meninggal dunia, baik
berupa harta, barang maupun manfaat.
Syarat ijab dan qabul wasiat yaitu melalui pernyataan,
atau isyarat yang dapat dipahami, tetapi jika pemberi wasiat tidak sanggup
berbicara maka ijab dapat dilakukan dengan tulisan.
4.
Besarnya Wasiat
Pemberi wasiat adakalanya mempunyai ahli
waris dan adakalanya tidak mempunyai ahli waris. Apabila pemberi wasiat
mempunyai ahli waris, maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Hal
ini berdasarkan Hadist Rasulullah:
“Rasulullah SAW
datang mengunjungi saya pada tahun haji Wada’, waktu saya sakit keras. Lalu
saya bertanya: Hai Rasulullah, saya sedang sakit keras, bagaima pendapat Tuan.
Saya ini orang berada, akan tetapi tak ada yang dapat mewarisi hartaku selain
seorang anak perempuan, apakah sebaiknya saya wasiatkan dua pertiga hartaku
untuk beramal? Jangan, jawab Rasulullah,. Separoh ya Rasulullah?, sambungku.
Jangan jawab Rasulullah. Lalu sepertiga? Sambungku lagi. Rasulullah menjawab,
sepertiga. Sebab sepertiga itu banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan
ahli waris dalam keadaan cukup adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak (HR. Bukhari
Muslim).”
Apabila ia mewasiatkan lebih dari
sepertiga, maka wasiatnya tidak dapat dilaksanakan kecuali atas ijin dari para
ahli waris; dan untuk pelaksanaannya diperlukan dua syarat, yaitu:
a.
Agar permintaan ijin dari ahli
waris itu dilaksanakan sesudah si pemberi wasiat meninggal.
b.
Agar orang yang memberi ijin
itu mempunyai kecakapan yang sah, tidak dibatasi karena kedunguan atau
kelalaian di waktu memberikan ijin.
Demikian pula, seandainya pemberi wasiat
tidak mempunyai ahli waris, maka iapun tidak boleh mewasiatkan lebih dari
seperti[28]
5.
Batalnya Wasiat
Wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari
syarat-syarat tersebut di atas, misalnya sebagai berikut:
a.
Bila pemberi wasiat itu
menderita penyakit gila yang parah yang menyampaikan kepada kematiannya.
b.
Bila orang yang diberi wasiat
terlebih dahulu meninggal sebelun pemberi wasiat memberinya.
c.
Bila yang diwasiatkan itu
barang-barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh orang yang diberi
wasiat.
B.
Wasiat Menurut KHI
Pembahasan mengenai wasiat diatur mulai
Pasal 194-209 KHI.
1.
Pengertian
Menurut Pasal 171 huruf (f), Wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
2.
Rukun dan Syarat Wasiat
a.
Pewasiat, syaratnya adalah: Telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal
sehat, dan tanpa adanya paksaan (Pasal 194 ayat (1)). Termasuk di dalamnya
adalah orang-orang yang sudah menikah.
b.
Penerima wasiat, dalam hal ini adalah orang dan lembaga (Pasal 171 huruf (f) jo.
Pasal 194 ayat (1), Pasal 196).
Ada orang-orang tertentu yang tidak
dapat diberi wasiat, yaitu: (Pasal 195 ayat (3) jo Pasal 207, Pasal 208)
1). Ahli waris;
kecuali wasiat tersebut disetujui oleh semua ahli waris lainnya.
2). Orang yang
melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan orang yang memberi tuntunan
kerohanian sewaktu pewasiat menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali
ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.
3). Notaris dan
saksi-saksi yang berkaitan dengan pembuatan akta wasiat.
c.
Benda yang diwasiatkan
Perkataan “benda” dalam Pasal 171 huruf
(f) dapat ditafsirkan sebagai “sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik”. Hal
ini berarti benda tersebut meliputi benda berwujud dan benda tidak berwujud,
benda bergerak dan benda tetap (Pasal 200). Adapun jenis benda yang dapat
diwasiatkan harus memenuhi syarat, yaitu “harus merupakan hak dari pewasiat”.
3.
Bentuk Wasiat
Wasiat dapat dilakukan dengan cara lisan
maupun tertulis. Berdasarkan Pasal 195, dapat disimpulkan bahwa wasiat tertulis
dapat dibuat dengan akta di bawah tangan dan akta otentik. Wasiat lisan maupun
tertulis harus dilakukan dihadapan dua orang saksi. Apabila wasiat ditujukan
kepada ahli waris, maka persetujuan ahli waris yang lain mutlak diperlukan,
baik lisan maupun tertulis dihadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.
4.
Batalnya Wasiat
Menurut Pasal 197 ayat (1) wasiat menjadi
batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a.
dipersalahkan telah membunuh
atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.
b.
Dipersalahkan secara memfitnah
telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang
diancam hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat.dipersalahkan dengan
kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau
mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
c.
Dipersalahkan telah menggelapkan
atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
Selanjutnya menurut Pasal 197 ayat (2),
wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
d.
tidak mengetahui adanya wasiat
tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum pewasiat meninggal.
e.
Mengetahui adanya wasiat
tersebut, tetapi ia menolak untuk menerimanya.
f.
Mengetahui adanya wasiat
tersebut, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia
meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
5.
Pencabutan Wasiat
Pada dasarnya wasiat dapat dicabut
kembali, apabila calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau
menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali. Hal ini dinyatakan
dalam Pasal 199 ayat (1). Dengan demikian apabila calon penerima wasiat telah
menyatakan persetujuannya atau tidak menarik kembali persetujuannya, maka suatu
wasiat tidak dapat dicabut. Dari ketentuan ini ternyata bahwa KHI memandang
wasiat bukan merupakan oerbuatan hukum sepihak, melainkan dua pihak,
sebagaimana layaknya suatu perjanjian. Suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan
apabila mendapat persetujuan dua belah pihak.
Pasal 199 ayat (2) menegaskan bahwa
pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang
saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan
akta notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan. Apabila wasiat dibuat
secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris. Suatu wasiat
yang dibuat berdasarkan akta notaris hanya dapat dicabut berdasarkan akta
notaris pula.
6.
Pembatasan Benda yang
Diwasiatkan
Pada dasarnya wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari warisan, kecuali apabila semua ahli waris
menyetujuinya. Hal ini di atur dalam Pasal 195 ayat (3) jo Pasal 201 KHI.
C.
HIBAH
Menurut Pasal 171 huruf (g) KHI, Hibah
adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Adapun syarat pemberi hibah adalah
sekurang-kurangnya berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa paksaan (Pasal
210 ayat (1) KHI).
Penerima hibah adalah orang dan lembaga
(Pasal 210 ayat (1) KHI). Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari
pemberi hibah, dan sebanyak-banyaknya adalah sepertiga (Pasal 210 ayat (2) KHI).
Hibah dari orangtua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan (Pasal 211 KHI).
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali
hibah orangtua kepada anaknya (Pasal 212 KHI).Hibah kepada selain anak dapat
ditarik kembali asalkan disetujui oleh penerima hibah.
Hibah yang diberikan pada saat pemberi
hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya (Pasal 213 KHI).
Mengenai benda yang dapat dihibahkan
secara prinsip sama dengan benda yang dapat diwasiatkan, yakni harus merupakan
hak si penghibah.