A. PERAN ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-ban lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan
kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat yang bebas,
mandiri, dan bertanggungjawab[1],
sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.
Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status
kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan
penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut
memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu”Organisasi
Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri
yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan
tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu,
Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti
luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga
melaksanakan fungsi Negara.[2]
Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya
penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara,
bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara
dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama
praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata
rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau
tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah
dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.
Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu
harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi
Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu
agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah atau janji advokat
yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu:
“Demi Allah saya bersumpah/saya
berjanji :
- bahwa
saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa
saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa
saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak
jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa
saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak
akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau
pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang
sedang atau akan saya tangani;
- bahwa
saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai
dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
- bahwa
saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di
dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung
jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani
profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya
setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi,
meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa
meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan
hukum dan keadilan.
Selain itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai
penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU
Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap
pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh
Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa
advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:
a. mengabaikan
atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. berbuat atau bertingkah laku yang
tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c. bersikap,
bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan
sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau
pengadilan;
d. berbuat
hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan
martabat profesinya;
e. melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela;
f. melanggar
sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
B. INFRASTRUKTUR SISTEM KODE ETIK ADVOKAT
Untuk menunjang berfungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika
yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di
setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata tertib
serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan
organisasi-organisasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman
Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organisasi. Namun, baru sedikit
sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki
perangkat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan
Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud.
Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut
sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak
sungguh-sungguh dijadikan pedoman perilaku berorganisasi. Pada umumnya,
dokumen-dokumen peraturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut
hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kongres, muktamar atau musyawarah
nasional organisasi yang bersangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut hanya
biasa dilupakan.
Demikian pula halnya UU Advokat teleh menentukan adanya kewajiban menyusun
kode etik profesi advokat oleh Organisasi Advokat untuk menjaga martabat dan
kehormatan profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode
etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan
Organisasi Advokat.
Untuk itu perlu dibangun
infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur
tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik
aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan
rumah tangga serta kode etik profesi. Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme
penegakan kode etik
juga harus dilembagakan melalui
pembentukan Dewan Kehormatan yang credible
diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif.
Sebagai organisasi profesi
yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu
harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip
transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi
Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat
demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat.