SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADITS

ADMIN


SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS 

A. Hadis Pada Masa Rasul Saw

                   Membicarakan hadis pada masa.Rasul SAW berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul SAW sebagai sumber hadis Rasul SAW. Tanya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwumdkannya Hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.
              Wahyu yang di turunkan Allah SWT kepadanya di jelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan penetapan (tagrir) nyn. Sehingga apa yang di dengar ,dilihat dilihat dan di saksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ububiah mereka. Rasul SAW merupakan contoh satu-satunya bagipara sahabat, karena ia memiliki sifat kesempumaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia
lainnya.

1. Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis

                   Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya. Umat Islam pada masa ini dapat secaralangsung memperoleh hadis dari Rasul SAW sebagai sumberhadis. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atauhijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
                   Allah menurunkan al-Quran dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut.
$tBurß,ÏÜZtƒÇ`tã#uqolù;$#ÇÌÈ÷bÎ)uqèdžwÎ)ÖÓórur4ÓyrqãƒÇÍÈ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawanafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yangdiwahyukan (kepadanya).” (QS Al-Najm (53): 3-4)
                   Kedudukan nabi yang demikian ini otomatis menjadikansemua perkataan, perbuatan dan taqrir nabi sebagai referensi bagipara sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Merekamentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya.
              Oleh karcna itu, tcmpat-tcmpat pcrtcmuan cli antaia kedua belati pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan Rasul SAW cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah). Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrimya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musyahadah). Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas‘ud pemah berceritabahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat,Rasul SAW menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat’selalu ingin mengikuti pengajiannya.
              Ada beberapa cara Rasul SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannyayang disebut majlis al-’Ilmi. Melalui majlis ini para sahabatmemperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehinggamereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri gunamengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAW. Para sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti kegiatan di majlis ini, ini ditunjukkannya dengan banyak upaya.Terkadang di antara mereka bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab. Ia sewaktu-waktu bergantian hadirdengan Ibnu Zaid (dari bani Umayah) untuk menghadiri majlisini, ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata: “Kalau hari ini akuyang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi, demikian aku melakukannya.
              Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti hadis-hadis yang ditulis oleh Abdullah ibn Amr ibn Al-’Ash.
              Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui istri-istrinya.Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui istri-istrinya.
              Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasul SAW adalah melalui ceramah atau pidatodi tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.

2. Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis

                   Di antara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama. perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama RasulKedua. perbedaan mereka dalam soal kesangÿupan bertanya kepada sahabat lain. Keempat, perbedaan mereka karena merbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal darimasjid Rasul SAW.
              Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari rasul SAW dengan beberapa penyebabnya. Mereka it u antara lain:
a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sahiqun Al-Awwalun (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Utsman ibn Aft'an. All ibn Abi Thalib danIbn Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari RasulSAW, karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabatlainnya.
b. Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti SitiAisvah dan TImmii Salamah. Mereka secara nrihadi lebihdekat dengan Rasul SAW daripada sahabat-sahabat lainnya.Hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan RasulSAW iupa menuliskan hadis-hadis vang diterimanya. seperti Abdullah Amr ibn Al-’Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW,akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnyasecara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya kepada sahabat lain darisudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnyaRasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.

3. Menghafal dan Menulis Hadis

a. Menghafal Hadis
                   Untuk memelihara kemumian dan mencapai kemaslahatan Al-qur’an dan hadis. Sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-qur’an ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping dihafal. Sedangkan terhadap hadis ia hanya menguruh  menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal ini ia bersabda:
لاَتَكْتُبُوْا عَنَّي وَمَنْ كَتَبَ عَنَّي غَيْرَالْقُرْانِ فلْيَمْحُهُ وَحَدَّ ثُوْا عَنَّي وَلاَحَرَجَ وَمَنْ كَذَ بَ عَلَيَّ مُتَعَمَّدًا فَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Janganlah kalian tubs apa saja dariku selain al-Quran. Barangsiapa telah menulis dariku selain al-Quran, hendaklah dihapus.Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa.Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah iamenempati tempat duduknya di neraka”. (HR Muslim).
              Maka segala hadis yang diterima dari Rasul SAW oleh parasahabat diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Merekasangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
              Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama,karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yangtelah diwarisinya sejak pralslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melaluidoa-doanya; Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat
b. Menulis Hadis
                   Di balik larangan Rasul SAW. seperti pada hadis Abu Sa’idAl-Khudri di atas, temyata ditemukan sejumlah sahabat yangmemiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadaphadis dan memiliki catatan-catatannya, ialah:
1. Abdullah ibn Amr Al-’Ash. Ia merpiliki catatan hadis yangmenurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga diberinya nama al-sahifah al-shadiqah.Menurutsuatu riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdullah ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW. Mereka berkata:“Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasul SAW, dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan:
اُكْتُبْ فَوَالَّذِى نَفْسِ بِيَدِهِ مَايَخْرُ جُ مِنْهُ اِلاَّ الْحَقُّ
"Tulislah! demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar". (HR.Bukhari)
Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitarseribu hadis, yang menurut pengakuannya diterima langsungdari Rasul SAW ketika mereka berdua tanpa ada orang lainyang menemaninya.
2. Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78H.). Ia memiliki catatan hadis dari Rasul SAW tentang manasik haji.Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh muslim.Catatanya dikenal dengan Sahifah jabir.
3. Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan hadisyang dikenal dengan Al-Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada anaknya bemama Hammam.
4. Abu Syah (Umar ibn Sa‘ad Al-Anmari) seorang pendudukYaman. Ia meminta kepada Rasul SAW dicatatkan hadisyang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yangdilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salahseorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW. Kemudian bersabda:
اُكْتُبُوْالأ بِي شَاهَ
"Kalian tuliskan untuk Abu Syah".
Di samping nama-nama di atas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya, yang juga mengaku memiliki catatanhadis dan dibenarkan Rasul SAW. seperti RafT bin Khadij,Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud.

4. Mempertemukan Dua Hadis yang Bertentangan

                   Dengan melihat dua kelompok hadis yang kelihatannya terjadi kontradiksi, seperti pada hadis dari Abu Sa’id Al-Hudri disatu pihak, dengan hadis dari Abdullah ibn Amr ibn Al-’Ash, dipihak lain, yang masing-masing didukung oleh hadis-hadis lainnya, mengundang perhatian para ulama untuk menemukan penyelesaiannya. Di antara mereka ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan Nasikh dan mansukh, dan ada yang berusaha mengkompromikan keduannya, sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul).
              Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, larangan Rasul SAW menuliskan hadis adalah khusus ketika al-Quran turun. Ini karena ada kekhawatiran tercampumya naskah ayat al-Quran dengan Hadis. Kemudian menurutnya larangan itu dimaksudkan juga untuk tidak menuliskan al-Quran dalam satu suhuf. Ini artinya,bahwa ketika wahyu tidak turun dan dituliskan bukan pada suhuf untuk mencatat wahyu, adalah dibolehkan.Al-Nawawi dan Al-Suyuthi memandang, bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sehingga tidak ada kekhawatiran akan terjadinya lupa. Akan tetapi bagi orang yang khawatir lupa atau kurang kuat ingatannya, dibolehkan mencatatnya.Jika pendapat ulama dalam hal ini dicoba diambil kesimpulannya, maka (sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Ajjaj Al Khathib) akan ditemukan sekitar empat qaul,seperti di bawah ini.
                   Pertama, menurut sebagian ulama bahwa hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri bemilai mauquf, karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini tidak bisa diterima, karena hadis Abu Sa’id Al-Khudri dan hadis-hadis yang semakna dengannya adalah shahih.
                   Kedua, yang lain menyebutkan bahwa larangan menulis hadis terjadi pada periode awal Islam. Hal ini karena adanya keterbatasan-keterbatasan. Maka pada saat umat Islam sudah semakin bertambah dan tenaga yang menulis hadis sudah memungkinkan, penulisan hadis menjadi diperbolehkan. Menurut kelompok ini, hukum tentang larangan menulis hadis berubah menjadi mubah. Mereka pada sisi lainnya memandang, kemungkinan larangan penulisan hadis yang dimaksud jika disatukan pada satu suhuf dalam Al-qur’an.
                   Ketiga, ada ulama yang memandang bahwa larangan tersebut pada dasarnya bagi orang yang kuat hafalannya. Hal iniuntuk membiasakan diri melatih kekuatan hafalannya, denganmenghilangkan ketergantungan kepada penulisan. Sedang izinpenulisan diberikan kepada orang-orang yang lemah hafalannya,seperti Abu Syah atau yang khawatir lupa seperti Abdullah ibn‘Amr ibn Al-’Ash.
                   Keempat, ada juga yang memandang bahwa larangan tersebut dalam bentuk umum, yang sasarannya masyarakat banyak.Akan tetapi untuk orang-orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, yang tidak ada kekhawatiran terjadinya kekeliruan dalam menulisnya, adalah dibolehkan.

B. Hadis Pada Masa Sahabat

                   Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).

1. Menjaga Pesan Rasul SAW

                   Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada alQuran dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْامَاتَمَسَّكْتُمْ بِهِمَاكِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيَّهِ
"Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (alQuran) dan Sunnahku (al-Hadis)". (HR. Malik)

2. Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis

                   Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan al-Quran. Ini terlihat bagaimana al-Quran dibukukan pada masa Abu Bakar atassaran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani.Satu disimpan di Madinah yang dinamai mushaf al-Imam, danyang empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah,syiria dan kufah.
              Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatirterjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadismerupakan sumber tasyri’ setelah al-Quran, yang harus terjagadari kekeliruannya sebagaimana al-Quran. Oleh karenanya,para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar, Umar,Usman dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.
                   Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadis. Menurut Al-Dzahabi, AbuBakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima hadis dengan hati-hati. Diriwayatkan oleh Ibn Syihab dari Qabisah ibnZuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soalbagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itutidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Quran maupun hadis.Al-Mughirah menyebutkan, bahwa Rasul SAW memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian memintasupaya Al-Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu barn kemudian hadisnya diterima.
                   Setelah Rasul SAW wafat Abu Bakar pemah mengumpulkanpara sahabat. Kepada mereka, ia berkata: ’’Kalian meriwayatkanhadis-hadis Rasul SAW yang diperselisihkan orang-orang setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan hadis (tersebut).”
                   Perlu pula dijelaskan di sini, bahwa pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya al-Quran. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat Islam) dalam mempelajari al-Quran. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukannya masing masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadis, di kalangan para sahabat sendiri teijadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz, dan kesahihannya.
3. Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna
                   Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis, yangditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya,tidak berarti hadis-hadis rasul tidak diriwayatkan. Dalam batasbatas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya yangberkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinyaseperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatantersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tcrsebut dan kebenaran isi matannya. Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW). Dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja)

B.  Dari Segi Penerimaan dan Penolakan

Sesuai dengan sejarah perjalanan hadis, ternyata tidak semua yang disebut hadis itu benar-benar berasal dari Nabi. Selanjutnya apa yang disnisbatkan kepada Nabi yang fungsinya sebagi rujukan dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam. Dimasa Imam al-Bukhari Imam Muslim dan imam-imam sebelumnya, nilai hadis itu ada dua yang maqbul dan shahih.
1.      Hadis shahih
Hadis shahih menurut para ulama yang shahih sanadnya, sanadnya tidak bertentangan denagn dalil yang lain yang lebih kuat harus diterima sebagai dalil syara’ kendati maksud hadis itu sulit dimengerti. Ulama Maliki berpendapat ahwa untuk dapat diamalkannya sebuah hadis shahih tidak bertentangan tradisi dan paham yang mengekar di masyarakat Madinah.
Dari definisi tersbut dapat disimpulkan bahwa hadis shahiih itu mengandung unsur sebagai berikut:
a.       Sanadnya bersmbung, semenjak dari Nabi, Sahabat, hingga periwayat terakhir
b.      Periwayatn orang yang memiliki sifat adil dan dhabit, artinya periwayat setia mengamalkan agamanya sesuai dengan pengetetahuan yang dimilikinya. Perieayat tidak pernah bohong. Dhabit artinya periwayat mempunyai hafalan yang kuat, crmat dan mengetahui ada perubahan periwayatan atau tidaknya. Periwayat tidak pelupa.
c.       Informasi hadisnya tidak syadz. Maksudnya informasi yang terkandung di dalamnya tidak bertentangan dengan indformasi yang lain yang dibawa oleh orang-orang yang lebih berkualitas, atau dalil lain yang yang lebih kuat. Sebab, sungguh pun sebuah hadis diriwayatkan oleh orang-orang berkualitas dan yang lebih kuat.
d.      Hadis yang diriwayatkan itu tidak caacat. Tidak ada pengelabuhan denagn cara menyambung sanad hadis yang sebenarnya memang tidak bersambung atau mengatasnamakan dari Nabi, padahal sebenarnya bukan dari Nabi.
Hadis yang melukiskan sebuah peristiwa bahwa seseorang masuk ke mesjidlangsug duduk, ketika itu Nabi sedang khutbah , kemudian Nabi menegurnya agar mengerjakan shalat dua rakaat terlebih dahulu. Hadis ini dijadikan daasra bahwa apabila ada seorang datang ketika khatib sedang berkhutbah, maka disunatkan shalat dua rakaat sebelum duduk mendengar khutbah. Sebaliknya, menurut mazhab Maliki, hal itu tidak dapat diterima karena, pertama tidak dikenal di masyarakat Madinah. Kedua, mengaabaikan khutbah yang dituturkan oleh Nabi ketika berkutbah lebih utama lebih berguna dari pada mengabaikannya untuk sekedar sahalat sunnat. Bahan shalat sunnat semacam itu dianggap batal.
2.      Hadis hasan
Istilah hadis hasan dipopulerkan oleh Imam al-Turmidzi alasannya hadis semacam ini tidak pantas disebut dhai’f tetapi kurang tepat disebut shahih mengingat smeua persyaratan shahih hampir terpenuhi. Menurut para ulama hadis Hasan dapat naik derajatnya menjadi shahih karena ada hadis lain yang isinya sama diriwayatkan melali jalur lain yang kualitasnya tidak lebih rendah. Menurut para ulama hadis hadis hasan dapat naik derajatnya menjadi shahih karena ada hadis lain yang isinya sama diriwayatkan melalui jalur lain yang kualitasnya tidak lebih rendah. Denagn kata lain hadis hasan ini terangkat menjadi shahih karena jalur lain dalam ilmu Mustashlalh disebut shahih li ghairi.
3.      Hadis dhaif
Yaitu hadis yang tidak memenuhi persyaratan di atas, misalnya sanadnya ada yang terputus, diantara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain. Hadis yang dhaifnya disebabkan oleh hal diatas digunakan oleh banyak orang Islam untuk dalil keagamaan karena kadar kedhaifannya tinggi.
Jenis-jenis hadis dhaif
a.       Hadis mursal, yaitu hadis yang disandarkan kepada Rasulullah oleh tabi’in tanpa meneyebutkan nama Sahabat yang memebawaa hadis itu. Atau riwayat yang didalamnya ada unsur sahabat pembawa hadisnya tidak disebutkan.
b.      Hadis munqathi, yaitu sanadnya terdapat salah seorang yang digugurkan (tidak disebutkan namany), baik diujung maupun dipangkal. Denagn demikian hadis mursal termasuk bagian dari hadis maunqathi.
c.       Hadis mudhal, yaitu hadis didalamnya sanadanya terdapat dua orang periwayata atau lebih yang secara berturut-turut tidak disebut namanya. Misalany aperkataan seorang penulis atau pemniacara dari kalangan fuqaha.
d.      Hadis mudallas, artinya menyimpan aib. Menyimpan cacat barang agar tidak ketahuan pembeli disebut tadlis. Hadis mudallas dimaksudkan hadis yang didalamnya ada sesutau yang dsembunyikan.
Hadis yang dhaif yang disebabkan oleh cacat periwayatnya atau hal lain adalah:
a.       Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan mealaui hanya satu jalur yang didalamnya terdapat seorang periwayat yang tertuduh dusta, fasiq, atau banyak hal. Hadis semacam ini disebut matruk bukan maudhu. Karena periwayat tersebut baru dicurigai berdusta meriwayatkan hadis, bukan terbukti telah membuat hadis. Li mengambil bentuk penambahan kalimat oleh periwayat atau teks hadis, seolah-oleh tambahan itu termsuk matan hadis.
b.      Hadis muallal , yaitu hadis yang kelihatannya tidak megandung cacat setelah dadakan penelitian mendalam, ternyata ada cacatnya. Pada umumnya cacat itu pada sanad. Misalnya menyambung sanad yang sebenanrya terputus. Sedangkan cacat pada matan sering
c.       Hadis munkar, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang lemah yang menyalahi riwayat orang yang lebih terpercaya padanya. Denagn definisi maka ia kebalikan dari hadis ma’ruf yang biasa didefinisikan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah yang menyalahi riwayat orang dhaif. Namun demikian ada ulama yang mendefinisiakan hadis ini yang diriwayatkan oleh hanya orang-orang periwayat, baik menyalahi riwayat lain atau tidak., bahakn boleh jadi periwayat yang sendirian dalam meriwayatkan sebuah hadis itu tsiqah. Tentu perbedaan definisi ini dapat membingungkan karean sesuai dengan definis yang kedua, hadis shahih, berpeluang untuk masuk dalam kategori meunkar karen aperiwayatan tsiqah . tetapi begitulah ragam pendapat dalam setiap ilmu.
d.       Hadis Syadz, yaitu yang diriwayatkan oleh orang terpercaya, tetapi bertentangan denagn hadis yang diriwayatkann oleh orang yang lebih terpercaya lagi. Jadi sebuah hadis disebut syadz.
e.       Hadis mudtharib, artinya goncang, artinya sebuah hadis yang diriwayatkan melalaui beberapa jalur yang sanad atau matannya salaing berlawanan, baik periwayat itu satu atau beberapa orang. Pertentangan tersebut tidak dapat disatukan atau salah sataunya dikalahkan. Bila salah satunya dapat dikalahkan, maka yang menang dijadikan dali. Atau dapat dismpulkan bahwa pertentangan itu, yang satu menghapus dipergunakan sebagai dalil

C.    Sikap Ulama terhadap Hadis Dha’if

Realita menunjukkan bahwa untuk kepentingan duniawi, pendapat ilmuan menjadi rujukan utama, bukan dalil kagamaan. Ini agaknya sesuai dengan semangat menempatkan sesuatu pada bidangnya. Jadi, hadis ini dibutuhkan karena hasil penelitian ilmuan tidak dapat menjagkau informasi keagamaan.
1.      Mazhab pertama tidak mau mengamalkannya secara mutlak, pendukung mazhab ini adalah ulama ahli hadis, seperti Yahya ibn Ma’in al-Bukhari, Muslim. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ibn Hazm.
2.      Mazhab kedua mengamalkan hadis ini secara mutlak. Konon, Abu Daud dan Imam Ahmad berpendapat demikian. Lebih jauh dikatakan lebih baik mengambil hadis dhaif dari pada menempuh qiyas atau pendapat  seseorang. Agaknya, hadis dhaif yang diambil bukan dhaif yang sangat-sangat lemah.

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.